Jumat, 15 Mei 2015

Konsep Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Muta'allim


BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB TANBIHUL MUTA’ALLIM
A.  Biografi Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
1.    Riwayat Hidup Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi dilahirkan pada tanggal 18 juni 1925 M di desa Tursidi RT dan RW : 04, Kecamatan Pituruh, Kabupaten  Purworejo, Jawa Tengah. Nama al-Thursidi diambil dari nama desa beliau yaitu Tersidi. Ayahnya, KH. Sarbani adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai ulama’ yang teguh dalam memperjuangkan agama dan bangsa terbukti dengan semangat beliau melawan penjajah. Kakeknya yaitu KH. Rofi’i juga seorang ulama’ yang wira’i. Beliu dibesarkan dalam keluarga yang berpegang teguh pada agama dan mementingkan akhlak serta ilmu dalam Islam dengan baik.
Al-Thursidi wafat dalam usia 72 tahun pada bulan shafar tepatnya bulan Agustus tahun 1997 M di Kediri, Jawa Timur. Beliau dimakamkan di Pondok Pesantren Mahir al-Riyadl Ringin Agung, Pare, Jawa Timur, sebuah pesantren yang didirikan oleh Syekh Nawawi.[65]


2.    Pendidikan
Al-Thursidi mendapat pendidikan di tingkat ibtida’ (pendidikan awal setingkat sekolah dasar) oleh ayahnya sendiri yaitu KH. Sarbani mulai pada tahun 1931 M. Semenjak kecil beliau sangat cerdas jadi selama menerima pelajaran selalu mudah untuk memahaminya.
Ketika sudah cukup dewasa, pada tahun 1937 M KH. Sarbani mengantarkan putranya, KH. Ahmad Maisur Sindi ke Pondok Pesantren di Pondok Lirab, Kab. Kebumen, Jawa Tengah, yang mana pondok tersebut khusus mengkaji ilmu alat yang meliputi Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bayan, dan lain-lain.
Setelah beliau menyelesaikan pendidikan dari pondok pesantren Lirab, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1940. Setelah itu, pada tahun 1941 M beliau melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Jampes, Kediri, Jawa Timur, kemudian di sinilah beliau mendirikan Madrasah Mafatihul Huda.
Setelah mendirikan dan merintis Madrasah Mafatihul Huda, Kemudian pada tahun 1942 M beliau melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Benda, Pare, Kediri, Jawa Timur. Kemudian, beliau pulang ke kampungnya di desa Tersidi karena pada waktu itu terjadi penjajahan Jepang.[66]

3.    Setting Sosial
KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi yang lahir di Purworejo dan dibesarkan dalam lingkungan yang agamis. Beliau sangat tekun beribadah dan mengamalkan ilmunya dengan niat tulus dan ikhlas. Sebagai seorang pendidik di Madrasah, Pondok Pesantren dan masyarakat, beliau sangat memperhatikan masa depan anak didiknya dan masa depan umatnya, karena masa depan umat atau bangsa terletak pada pemuda.
Bangsa kita, sepertinya saat ini kehilangan kearifan lokal yang menjadi karakter budaya bangsa sejak berabad-abad lalu. Seperti maraknya kasus tawuran antar pelajar, antar mahasiswa dan antar kampung. Tindak korupsi di semua lini kehidupan dan institusi. Kebohongan publik yang telah menjadi bahasa sehari-hari. Tidak ada kepastian hukum, karena pada praktiknya hukum kita bisa diperjualbelikan.
Parahnya lagi, bangsa ini miskin figur yang bisa jadi contoh kongkret, serta ditauladani oleh masyarakat. Maka tidak heran jika pembentukan dan pembinaan karakter bangsa menuju masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi semangat nasionalisme laksana kapal tanpa pedoman di tengah luasnya samudra.[67]
Menurunnya moral bangsa bukan hanya karena disebabkan minimnya figur panutan namun juga kelemahan generasi muda seperti kami ini yang tak banyak menguasai bahasa Arab. Sehingga tidak mampu membaca teks klasik yang sebenarnya terdapat banyak poin akhlak dalam kehidupan.
KH. Ahamad Maisur Sindi al-Thursidi melakukan aktivitas mengajar sudah dimulai sejak berada di Pondok Pesantren hingga sampai akhir hidupnya, Bermula ketika di Tersidi, KH. Ahmad Maisur Sindi sering mengalami sakit-sakitan terutama sakit mata, akhirnya sang bapak yaitu KH. Sarbani menganjurkan untuk Tirah atau pindah tempat ke desa Ringin Agung (Pondok Pesantren ayahnya dahulu yang didirikan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani) di samping untuk kesehatan juga di sini beliau belajar dan mengajar. Kedatangan KH. Ahmad Maisur Sindi menjadi keberkahan tersendiri, di samping mengajar, yang mana beliau dijadikan menantu oleh keluarga Pondok Pesantren Ringin Agung yang akhirnya diamanati untuk mengasuh pondok tersebut. Di bawah asuhan KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi Pondok Pesantren Mahir al-Riyadl Ringin Agung berkembang maju begitu pesat, santrinya yang tadinya sekitar 50 orang bertambah hingga menjadi 6000 orang, jumlah tersebut mampu bertahan hingga sekarang yang diasuh oleh anaknya yang bernama KH. Musib Maisur.[68]
Pada zaman penjajahan Jepang pada tahun 1942 M, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi mengajar di rumah tempat kelahirannya yaitu desa Tersidi, setiap waktunya digunakan bersama santri-santri dari pagi hingga petang, di setiap malam hari beliau memimpin mujahadah atau dzikir bersama dengan masyarakat.
KH. Ahamad Maisur Sindi al-Thursidi adalah seorang pejuang yang melawan penjajah Jepang dari tahun 1942-1945 M. Beliau mengajak masyarakatnya untuk berjuang melawan penjajahan demi kemerdekaan republik Indonesia dengan mendirikan masjid dan majlis ta’lim bersama masyarakat dengan bergotong-royong di desa Tersidi sehingga mampu memberantas kebodohan yang melanda rakyat Indonesia sehingga mengantarkan pada kemerdekaan Indonesia.[69]
4.    Akhlak dan Ibadah Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Ketulusan niat disertai rasa ikhlas dalam segala amal, beliau buktikan pada saat mencari ilmu yang mana, Beliu berjalan kaki dari rumahnya desa Tersidi, Kec. Pituruh, Kab. Purworejo menuju Ponpes Tebu Ireng, Kediri, Jawa Timur. Pada waktu itu beliau tidak membawa bekal apapun kecuali uang benggol dari orang tuanya. Selama berminggu-minggu dalam perjalanan menuju Ponpes Tebu Ireng, beliau hanya makan 1 – 2 kali, bahakan hanya minum saja, Demikian itu berlanjut hingga beliau sering tirakat dan puasa selama bermukim di Pondok Pesantren.
Dalam hal duniawi maupun ukhrawi, beliau paling tidak suka membanggakan diri baik dengan ilmu, amal, dan ibadah. Maka, hal itu beliau wasiatkan kepada anak cucu dan santri-santrinya dengan sifat tawadhu’ atau rendah hati. Dan sifat wara’ beliau terbukti dari meninggalkan perkara yang meragukan (syubhat) sebagaimana meninggalkan perkara yang haram, hal itu beliau contohkan dengan tidak makan di warung dan di pasar. Kemudian sifat ghirah Islamiyah dan fanatisme dalam beragama beliau buktikan dengan keteguhannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Segala sisi kehidupannya, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi mengusahakan untuk selalu benar-benar sesuai yang disyari’atkan agama. Hal ini terbukti dari rasa cintanya beliau kepada keluarga dan dzurriyah Nabi (keturunan Nabi), para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, ulama’ dan guru-gurunya. Kemudian dalam hal beribadah, beliau beristiqomah, hal itu terbukti dalam shalat fardhu, sunnah, rawatib, qiyamu al-lail dan ibadah yang lain beliau hampir tidak pernah ditinggalkannya walaupun dalam keadaan berpergian maupun sakit.[70]
5.    Karya-karya Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Karya-karya KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi ada 25 kitab, akan tetapi putranya yaitu KH. Munif Maisur hanya menyebutkan 5 kitab, yaitu
1.    Tanbihul Muta’allim (karangan yang pertama dan terpopuler)
2.    Tadzribunnujaba’
3.    Nailul ‘Amal Fii Qowa’idul ‘i’lal
4.    Tanbidzul Bayan
5.    Tamridz
Yang semuanya dalam bahasa arab dan ada yang diterjemahkan dalam bahasa arab pegon. Semua karangan beliau lebih banyak dikarang saat berada di Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, termasuk kitab Tanbihul Muta’allim.[71]
6.    Guru-guru KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Dalam menimba ilmu KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi banyak berguru kepada ulama’ antara lain :
1.    KH. Sarbani (Orang tua sendiri)
2.    KH. Ibrahim (Pengasuh Ponpes Lirab, Kebumen)
3.    KH. Hasyim Asy’ari (Pengasuh Ponpes Tebu Ireng, Kediri)
7.    Anak-anak KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Di dalam mendidik 4 orang anaknya, KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi sangatlah disiplin, sehingga anak-anaknya menjadi orang yang ‘alim dan menjadi pemuka agama di masyarakatnya, anak-anak beliau antara lain :
1.    Nyai Hj. Sri Rofah
2.    KH. Munif Maisur
3.    KH. Musib Maisur
4.    KH. Khamid Maisur[72]
B.  Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Muta’allim
1.    Latar Belakang Penyusunan Kitab Tanbihul Muta’allim
Pentingnya akhlak dalam kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi berharap kepada orang tua atau wali murid dan para guru untuk memperhatikan akhlaknya, karena menurut KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi memelihara pelajar dalam berakhlak (adab) merupakan suatu kewajiban.[73] Dengan cara mengawasi dan memperhatikan tingkah laku putra-putri dan anak didik yang menjadi tanggung jawab kita semua, menanamkan tingkah laku yang lahir di lubuk hati mereka dan menjauhkan mereka dari tingkah laku yang tercela agar mereka menjadi orang yang terdidik dan beradab, yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Salah satu kitab yang konsentrasi dalam hal tersebut ialah "Tanbih al-Mutaallim", disusun oleh Kyai Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi Purworejo. KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi melihat kondisi kebutuhan pada dewasa ini dalam semua kalangan, khususnya para Tholabul Ilmi, kemudian beliau mengarang kitab Tanbihul Muta’allim. Beliau mengarang kitab ini atas dukungan dari banyak pihak terutama gurunya yaitu KH. Hasyim Asy’ari, karena kebanyakan dari isi kitab ini dinukil dari maqolah-nya KH. Hasyim Asy’ari.
Kitab yang berupa antologi puisi Bahasa Arab ini merupakan kuliah akhlak guru beliau; Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari, sebagaimana penjelasan dalam prolog. Kitab ini menjadi pelengkap khazanah keislaman dalam ranah etika yang sebelumnya pernah dirintis oleh al-Zarnuji dalam masterpiece-nya "Ta'lim al-Mutaallim", juga Ibnu Jama'ah "Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallim" , Kiai Hasyim "Adab al-Alim wa al-Mutaallim" dan "Nazm al-Ta'lim" Kiai Zaini, Solo.[74]
2.    Kandungan Umum (Nilai-nilai Pendidikan Akhlak) dalam Kitab Tanbihul Muta’allim
Kitab Tanbihul Muta’allim ini disediakan sesuai untuk pelajar pada umunya, dan pada khususnya untuk para santri di pondok-pondok pada tingkat kelas awal (pertama) sesudah kelas shifir kedua agar menjadi keselamatan bagi mereka dalam belajar ke arah cita-cita yang mulia. Adapun cara pengajarannya yaitu santri cukup menghafal lafaz (nadzam), ma’na thibaq dan artinya serta setiyap akan masuk dibaca dengan hafalan bersama (clasikal).[75]
Dalam kitab Tanbihul Muta’allim penulis mengklasifikasikan pendidikan akhlak yang perlu untuk dipenuhi oleh para pelajar pada khususnya menjadi 7 bab yang meliputi:[76]
1.    Al-Adab qoblal hudlur (adab sebelum hadir di tempat belajar), antara lain yaitu:
لِطَالِبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِيْ إِذَا حَضَرَا # مَجْلِسَ عِلْمٍ تَطَهُّرٌ كَمَا فَعَلَا
لُبْسَ ثِيَابٍ نَظِيْفَةٍ وَقَدْ طَهُرَتْ # تَطَيُّبٌ وَاسْتِيَاكٌ جَا وَقَدْ جَمُلَا
Sebelum masuk ke dalam tempat mencari ilmu (madrasah), pelajar dianjurkan untuk bersuci dengan wudlu’, memakai pakaian yang bersih dan suci serta memakai parfum, dan menggunakan siwak supaya sampai di madrasah sudah dalam keadaan rapi.

يُعِدَّ مَا هُوَ مُحْتَاجٌ إِلَيْهِ لَدَى # تَعَلُّمٍ كَيْ يَكُوْنُ حَاضِرًا كَمُلَا
Kemudian ia menyiapkan peralatan yang akan dibawa ketika belajar, supaya ketika hadir di madrasah sudah tidak perlu kembali lagi karena ada yang masih kurang.[77]
2.    Al-Adab fii majlisi al-ta’allumi (akhlak di tempat belajar), antara lain, yaitu :
وَلْيَجْلِسَنْ فِى وَقَارٍ هَيْبَةٍ بِمَكَا # نٍ بَارِزٍ لَائِقٍ يَعْتَادُ قَدْ قَبِلَا
Pelajar duduk yang tenang (jatmiko), menghormati guru dan ilmu di tempat yang sesuai dengan adab, maksudnya tidak terlalu dekat, tetap (istiqomah), serta menghadap ke guru dan arah kiblat.

يَفْتَحُ يَخْتِمُ مَجْلِسًا بِحَمْدَلَةٍ # ثُمَّ صَلَاةِ النَّبِيِّ تَوْفِيْقَهُ سَأَلَا
Kemudian ia memulai belajar dengan mengucapkan basmallah, hamdallah, dan shalawat untuk Nabi Muhammad SAW. sekeluarga dan para sahabat. Begitu pula ketika mengahiri juga mengucap hamdallah.

يُصْغِى لِمَا شَيْخُهُ يُلْقِيْهِ مُعْتَنِيًا # اَلْفَهْمَ يَكْتُبُ بِالتَّقْيِيْدِ مَا شَكَلَا
Kemudian pelajar memperhatikan terhadap pelajaran yang diterangkan oleh guru supaya faham, dan menandai masalah-masalah yang belum difaham supaya ditanyakan kepada gurunya sehingga faham.[78]
3.    Al-Adab ba’dal inshiraf (akhlak setelah selasai belajar), antara lain yaitu:
يَعُوْدُ فَالدَّرْسَ آنِفًا يُرَاجِعُهُ # حَتَّى يَكُوْنَ إِلَى الضَّمِيْرِ مُنْتَقَلَا
كَذَاكَ قَبْلَ حُضُوْرِ الثَّانِ جَدَّدَهُ # حِفْظًا لِأَنْ حَلَّ فِى الصَّدْرِ قَدِ انْعَقَلَا
Sepulang dari madrasah sampai di rumah kemudian muroja’ah pelajaran yang baru dipelajari sampai pindahke hati. Begitu juga muroja’ah saat sebelum masuk lagi supaya ilmu tetap benar-benar terikat erat dalam hati.[79]
4.    Al-Adab al-nafsiyah (akhlak terhadap jasad/badan/dirinya sendiri), antara lain yaitu:
وَلْيَكُ مُسْتَعْمِلًا بِحُسْنِ الْخُلُقِ # عَالِى الْمَآدِبِ لِلْمَعَالِ مُرْتَحِلَا
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ بِالشَّرْعِ فَقَدْ طَلَبَا # أَعْلَى أُمُوْرِ الدُّنَا وَالدِّيْنِ مُشْتَغِلَا
Pelajar menggunakan budi pekerti yang luhur. Karena orang yang mencari ilmu syara’ itu benar-benar sibuk mencari tingginya masalah dunia dan agama.

وَلْيَكُ مَطْعَمَهُ حِلًا وَمَلْبَسَهُ # آلَاتُهُ يَسْتَنِرْ طَوِيَّهُ صَقِلَا
Pelajar harus halal makanan dan pakaiannya, begitu juga dengan peralatan belajarnya, karena hal itu yang menyababkan terang dan beningnya hati yang sesuai untuk tempat ilmu.
وَلْيُقْلِلَنَّ مُبَاحَاتٍ وَيَجْتَنِبَا # عَنِ الْمَآثِمِ مَأْثَمٌ صَدَا نَزَلَا
قَالَ ابْنُ إِدْرِيْسَ لَا يُفْلِحُ مَنْ طَلَبَا # اَلْعِلْمَ مَعْ عِزَّةٍ وَوُسْعَةٍ حَمَلَ
Pelajar mengurangi hal-hal yang mubah dan menjauhi hal-hal yang bisa menuju ke perbuatan dosa, karena satu dosa saja sudah menjadi kotoran di hati. Imam Syafi’i berkata: Tidak sampai kemulyaan yang sempurna seseorang yang menuntut ilmu dengan memanjakan badan dan hidup bermewah-mewahan.[80]
5.    Al-Adab ma’al walidaini (akhlak terhadap kedua orang tua), antara lain yaitu:
وَلْيَكُ بُرًّا لِوَاِلدَيْهِ مُجْتَهِدًا # وَدَاعِيًا مَهْدِيًا مِنْ بَعْدِ مَا نْتَقَلَا
Pelajar berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akannya serta mengirim pahala kebaikan setelah wafatnya.[81]
6.    Al-Adab ma’a al-syaikh (akhlak terhadap guru), antara lain yaitu:
وَلْيَعْتَقِدْ بِجَلَالَةِ الْمُعَلِّمِ مَعْ # رُجْحَانِهِ كَيْ يَكُوْنَ مُفْلِحًا قَبِلَا
Pelajar menyakini kemuliaan dan keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung pada zaman yang akan dihadapinya.

وَلْيَتَحَرَّ رِضَا أُسْتَاذِهِ وَكَذَا # تَعْظِيْمَهُ مُخْلِصًا يَكُنْ مِنَ الْفُضَلَا
اَلْبَيْهَقِى مِنْ أَبِيْ هُرَيْرَةٍ رَفَعَا # تَوَاضَعُوْا مَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ عَلَا
وَكَانَ عِنْدَ الْمُغِيْرَةِ مَهَابَةُ إِبْــ # ــرَاهِيْمَ مِثْلَ مَهَابَةِ الْأَمِيْرِ وَلَى
Pelajar bersungguh-sungguh mencari ridlanya guru dan mengagungkan guru dengan hati yang bersih, maka pencari ilmu termasuk golongan orang yang utama. Imam Baihaqi menceritakan hadits marfu’ dari sahabat Abi Hurairah RA. : sopan santunlah kalian semua terhadap orang yang mengajarimu., sebagaimana Syaikh Mughirah takut kepada Syaikh Ibrahim seprti takut terhadap raja yang menguasainya.

لَا يُضْجِزَنْهُ فَإِنَّهُ لَهُ خَلَلُ # خَشْيَةَ أَنْ يُحُرَمَ انْتِفَاعِ مَنْ فَعَلَا
Janganlah  pelajar berpindah-pindah sehingga membuat kebosanan pada guru, maka hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat mencegah dalam mengambil kemanfaatan ilmu.

وَلْيَكُ مُسْتَأْذِنًا إِذَا تَعَذَّرَ مِنْ # دُخُوْلِهِ مُعْلِنًا عُذْرًا بِهِ نَزَلَا
Pelajar meminta ijin kepada guru ketika ada halangan tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan halangannya.[82]
7.    Al-Adab ma’al ilmi (akhlak terhadap ilmu), antara lain yaitu:
وَلْيُفْرِغِ الْجُهْدَ فِى التَّحْصِيْلِ أَنْ حَصَلَا # وَلَمْ يَنَلْهُ بِرَاحَةٍ أَتَى عَطَلَا
Pelajar bersungguh-sugguh dengan sekuat tenaga dalam menghasilkan ilmu agar dapat memperoleh ilmu, karena ilmu tidak akan didapat dengan bersantainya badan dan banyak menganggur.

وَلْيَعْرِفَنْ لَفْظَهُ لُغَتَهُ وَكَذَا # إِعْرَابُهُ وَمَعَانِيَ الَّذِيْ شَمِلَا
نُطْقًا وَفَهْمًا مُحَقِّقَ الْجَمِيْعِ وَمُتْــ # ــقِنًا لِحِفْظِ وَكَتْبَةِ الَّذِيْ شَكَلَا
مَنْ كَانَ مُقْتَصِرًا عَلَى كِتَابَتِهِ # سَمَاعِهِ أَتْعَبَ النَّفْسَ وَجَاءَ وَلَا
Hendaknya pelajar mengetahui pada lafadhnya ilmu dan bahasanya ilmu, serta i’robnya lafadh, beberapa makna yang diucapkan dan  kepahamannya sehingga menjadi jelas dan nyata atas semua itu supaya memperkuat hafalannya dan menuliskan perkara yang samar. Karena barang siapa yang menjaga dalam menulis ilmu dan mendengarkan ilmu saja, maka hanya akan membuat lelah dan tidak akan mendapatkan kemanfaatannya.

وَلْيَبْحَثَنْ أَهْلَ عِلْمٍ بِاْلمُذَاكَرَةِ # هِيَ حَيَاةُ الْعُلُوْمِ قَالَهُ الْفُضَلَا
وَلْيَحْفَظَنْهُ بِتَدْرِيْجٍ بِمَسْأَلَةٍ # مِنْ بَعْدِ مَسْأَلَةٍ مَهْلًا يَنَلْ أَمَلَا
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ جُمْلَةً فَقَدْ طَلَبَا # يَفُوْتُهُ الْعِلْمُ جُمْلَةً يَضِعْ عَمَلَا
Hendaknya pelajar berbicara/ bermusyawarah dengan para ahli ilmu, karena hidupnya ilmu dengan bermusyawarah. Dan pelajar menghafalkan per bab/ tiap satu permasalahan sampai ke bab/ permasalahan yang lain dengan pelan-pelan, maka pelajar akan mudah diingat-ingat per bab tersebut. Karena orang yang mencari ilmu dengan borongan/ semua bab, maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya dan akan menjadi sia-sia atas apa yang telah dilakukannya.

وَلْيَكُ أَوْقَاتَهُ مُوَزَّعًا لِيَفِى # بِمَا لَهَا مِنْ حُقُوْقِهَا فَمَا عَطَلَا
مُرَتِّبًا لِلْأُمُوْرِ جَاعِلًا أَحَدَا # اَلأَشْيَا مَكَانًا يُعَادِىْ كَسَلًا مَلَلًا
Hendaknya pelajar dapat membagi waktu agar dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu yang kosong dan sia-sia. Dan pelajar menata semua perkara dengan rajin seperti meletakkan sesuatu pada tempat yang tetap serta melawan rasa malas dan bosan.

وَلْيُكْثِرِ الدَّرْسَ لَيْلًا بِمُطَالَعَةٍ # مُغْتَنِمًا سَحَرًا كَيْ يُدْرِكَ الْعُقَلَا
Hendaknya pelajar memperbanyak untuk mengulang pelajaran di waktu malam terlebih lagi pada waktu sahur agar dapat mengejar para ahli ilmu.

وَلْيَخْذَرِ الْخَرْصَ فِى الْحِفْظِ تَحَمُّلِهِ # عَلَى تَسَاُهُلِهِ أَنْ كَانَ قَدْ سَهُلَا
لَا يَمْنَعَنْهُ الْحَيَاءُ الْكِبْرُ فِى الطَّلَبِ # مِنْ أَخْذِهِ الْعِلْمَ مِمَّنْ دُوْنَهُ نَزَلَا
لَمْ يَنَلِ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُتَكَبْــ # بِّــرٌ وَلَا الْمَاءُ سَالَ صَاعِدًا جَبَلَا
Hendaknya pelajar merasa takut dan tidak meremehkan ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah dan tidak merasa malu serta sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya serta lain-Nya, karena orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu, sebagaimana tidak ada air yang mengalir ke atas gunung.

مَنْ لَيْسَ مُحْتَمِلًا ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَا # عَةً فَفِى ذِلَلِ الْجَهْلِ بَقِىْ طِوَلَا
Barang siapa yang tidak bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu yang pendek, maka orang itu akan berada dalam kebodohan yang hina pada waktu yang lama.

وَلْيُصْلِحَنْ نِيَّةَ الْعِلْمِ بِحَيْثُ يَكُوْ # نُ مُخْلِصًا لَمْ يُرِدْ عَرْضَ الدُّنَا سَفُلَا
مُبْتَعِدًا عَنْ مَحَبَّةِ الرِّيَاسَةِ تَعْــ # ــظِيْمِ الْأُنَاسِ وَمَدْحِهِمْ لَهُ جَزُلَ
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِلهِ وَمَا طَلَبَا # إِلَّا الدُّنَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجِنَانِ جَلَا
Pelajar hendaknya membaguskan/ memurnikan niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan harta benda yang mulia dan menjauhi dari mencintai kedudukan, dimuliakan manusia serta dipuji oleh manusia, maka ia akan menjadi orang yang mulia. Barang siapa orang yang mencari ilmu itu karena Allah, maka pelajar tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali perkara dunia dan ia tidak akan mendapatkan baunya surga.

وَلْيَحْذَرَنْ أَنْ يُمَارِيَ بِهِ وَيُرَا # ئِيَ بِهِ وَيُبِاهِيَ بِهِ خُيَلَا
وَلْيُعْمَلَنَّ بِمَا سَمِعَ مِنْ جُمَلِ # عِلْمَ الْعِبَادَاتِ وَالْأَدَابِ مَا فَضُلَا
Hendaklah pelajar takut dengan perselisihan ilmu, unggul-unggulan  ilmu karena sombong dan mengamalkan sesuatu yang pernah didengarnya dari beberapa bagian ilmu ibadah dan ilmu akhlak yang utama.
فَذَا زَكَاةُ الْعُلُوْمِ سَبَبٌ وَصَلَا # لِحِفْظِهَا مَنْ أَرَادَهُ أَتَى عَمَلَا
وَلْيُرْشِدَنَّ إِلَى الْعِلْمِ إِذَا ظَفَرَا # بِهِ وَلَوْ كِلْمَةٍ لِلهِ مَا بَخِلَا
Beberapa amal akan menjadi pembersih beberapa ilmu yang akan menjadi sebab munculnya hafal beberapa ilmu, barang siapa mengharapkan hafal ilmu, maka lakukanlah ilmu itu dan mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu kalimat karena Allah Ta’ala, maka ia tidak termasuk orang yang bakhil.[83]
3.    Kelebihan Kitab Tanbihul Muta’allim
Adapun kelebihan dari kitab Tanbihul Muta’allim karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi menurut penulis adalah :
a.    Kitab Tanbihul Muta’allim dimulai dan diakhiri dengan kalimat rasa syukur kepada Allah SWT. dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW., sehingga hal itu dapat memberikan keberkahan (bertambahnya kebaikan) bagi penulis, guru, pencari ilmu dan pembaca.
b.    Kitab Tanbihul Muta’allim merupakan sebuah kitab klasik yang memuat pendidikan akhlak dalam proses belajar mengajar secara ringkas dan specifik.
c.    Kitab Tanbihul Muta’allim ditulis dalam bentuk syair-syair yang bersifat nadhaman sehingga memudahkan anak-anak dan para pencari ilmu untuk menghafalkan dan mempelajarinya.
d.   Kitab Tanbihul Muta’allim disusun secara sistematis dengan meletakkan beberapa bab yang runtut sehingga memudahkan para pencari ilmu dalam memahami kitab tersebut.
e.    Dengan kemudahan dalam memahami kitab Tanbihul Muta’allim, hal itu menjadikan para pencari ilmu mampu mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada di kitab Tanbihul Muta’allim dalam kehidupan sehari-hari, terutama terhadap kepribadian pencari ilmu.
f.     Isi dari kitab Tanbihul Muta’allim dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi pendidikan dalam membentuk pribadi pencari ilmu (peserta didik) yang memiliki akhlak dan sikap yang baik dalam proses belajar mengajar.
g.    Ada pesan singkat yang memberikan motifasi kepada pencari ilmu yaitu sebagai salah satu langkah yang ditempuh penulis untuk memberikan peringatan agar dapat melaksanakan dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah dihafalkan dan dipelajari dalam kehidupan sehari-harinya pada saat proses belajar mengajar maupun bermasyarakat.


[65] Fehlephi Ramadhan. “Konsep Etika Murid dalam mencari Ilmu menurut KH. Ahmad Maisur Sindy At Tursidy.” http://www.scribd.com/doc/151493457/13-BAB-III#scribd. Diakses, 7 Maret 2015.
[66] Fehlephi Ramadhan. “Konsep Etika Murid dalam mencari Ilmu menurut KH. Ahmad Maisur Sindy At Tursidy.” http://www.scribd.com/doc/151493457/13-BAB-III#scribd. Diakses, 10 Maret 2015.
[67] M. Yatimin Abdullah, op., cit., hlm. 15.
[68] Sodri Mubarok, (Konsep Etika Murid Dalam Mencari Ilmu Menurut KH. Ahmad Maisur Sindy At Tursidy), (skripsi STAIN Pekalongan, 2013).
[69] Ibid, hlm. 79. (skrpsi STAIN Pekalongan, 2013).
[70] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, Tadzribunnujaba’, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 3.
[71] Sodri Mubarok, op., cit., hlm. 81. (skrpsi STAIN Pekalongan, 2013).
[72] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, Tanbidzul Bayan, (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 2.
[73] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 2.
[75] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, loc., cit.,, hlm. 2.
[76] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 32.
[77] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 4.
[78] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 5-6.
[79] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 7.
[80] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 8-10.
[81] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 10.
[82] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 11-13.
[83] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 14-23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar