Senin, 19 Oktober 2015

INTELEKTUALISLME PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI) (Studi Karakteristik Pendidikan)



INTELEKTUALISLME PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI)
(Studi Karakteristik Pendidikan)
Artikel ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah         : Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Waryani Fajar Riyanto, M.Ag.


Disusun oleh:
Nama                    : Imam Syafi’i
NIM                      : 2052115026


PASCA SARJANA - PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PEKALONGAN
2015

INTELEKTUALISLME PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI)
(Studi Karakteristik Pendidikan)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam)
STAIN Pekalongan
2015

ABSTRAK
Pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan di kalangan kaum muda Muslim tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan mereka.
Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan kawan-kawan di tahun 1950-an.
Kata kunci: Intelektualisme, Pesantren dan PTAI
Secara Historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga  makna keaslian Indonesia. Sebab Cikal Bakal lembaga yang dikenal sebagai pesantren dewasa ini sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya.[1]
Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran ulama-ulama fiqh, tafsir, tauhid, dan tasawuf pada abad pertengahan.[2]
Pondok pesantren bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam, sekalipun pesantren adalah bentuk yang melembaga secara permanen di pedesaan. Muhammad Yacub mencatat adanya enam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: perguruan formal, pesantren tradisional, majelis taklim, “serikat tolong menolong” seperti kelompok Yasinan, majelis latihan semacam pesantren kilat, dan majelis kultum (kuliah tujuh menit atau ceramah singkat).[3]
A.  Karakteristik Pesantren dan PTAI
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lainnya baik dari aspek sistem pendidikan maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem pendidikannya, terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional, sekalipun juga terdapat pesantren yang bersifat memadukannya dengan sistem pendidikan modern. Yang mencolok dari perbedaan itu adalah perangkat-perangkat pendidikannya baik perangkat lunak (sofware) maupun perangkat keras (hardware)nya. Keseluruhan perangkat pendidikan itu merupakan unsur-unsur dominan dalam keberadaan pondok pesantren. Bahkan unsur-unsur dominan itu merupakan ciri-ciri (karakteristik) khusus pondok pesantren.[4]
Ada beberapa ciri yang secara umum dimiliki oleh pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai lembaga sosial yang informal itu terlibat dalam pengembangan masyarakat pada umumnya. Zamarkhsyari Dhofier mengajukan lima unsur pondok pesantren yang melekat atas dirinya yang melipti; pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, santri dan kyai.[5]
Pengamatan mutakhir tentang pesantren ternyata menemukan bermacam tingkat perkembangan pesantren. Soedjoko Prasodjo et al, menyebut adanya lima macam pola pesantren, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah Kiai; Pola II terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok; Pola III terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok dan madrasah; Pola IV terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan; Pola V terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[6]
Sedangkan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) adalah lembaga pendidikan yang membuka kajian-kajian keilmuan yang selama ini dikenal dengan istilah Islamic Studies, kebutuhan akan identitas diri ini belum dirasakan. Hal ini karena  berdasarkan common sense, kajian-kajian tersebut dengan sendirinya sudah terbedakan dengan ilmu-ilmu sekuler. Tetapi, ketika PTAI membuka ranah kajian keilmuan yang selama ini dianggap sekuler tersebut, identitas Islam tiba-tiba menjadi kebutuhan yang hampir tak terhindarkan. Tidak mengherankan jika kemudian muncul gugatan-gugatan.[7]
Kalau kita melacak sedikit ke belakang bahwa kajian ilmu-ilmu sekuler sebetulnya bukanlah hal baru. Sejauh ilmu-ilmu sekuler ini dimaknai sebagai ilmu-ilmu yang tidak termasuk di dalam rumpun ilmu-ilmu keislaman, semisal Al-Qur’an-Hadits, fiqh, sejarah peradaban Islam, tarbiyah Islamiyah, sastra Arab, dan sebagainya, maka kita mendapatkan dulu IAIN memiliki Jurusan Tadris yang mempelajari matematika dan bahasa Inggris. Akan tetapi, saat itu rasanya islamisasi ilmu pengetahuan tidak menjadi struktural yang begitu serius.
Islamisasi ilmu pengetahuan berputar pada dua hal, pertama, bahwa sebuah konstruksi keilmuan tidak bisa dilepaskan dari muatan ideologis individu atau kelompok yang membangunnya. Sebuah ilmu yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok yang tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya, bisa dipastikan mengandung unsur-unsur jahiliah yang bertentangan dengan ajaran Qur’ani. Kedua: merupakan, konsekuensi dari point pertama yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai pondasi kontruksi keilmuan. Ini berangkat dari anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan ang selama ini telah diabaikan dalam perburuan pencarian kebenaran oleh kalangan akademis Muslim. Karena posisi Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber ilmu pengetahuan, konsekuensi berikutnya adalah meletakkan Al-Qur’an sebagai basis seluruh bangunan ilmu, jika sebuah ilmu itu menginginkan dirinya dianggap sebagai ilmu Islam atau islami.[8]
Sebelumnya, harus dibedakan antara Islam sebagai objek kajian keilmuan dan Islam sebagai landasan etis. Sebagai objek kajian ilmu, Islam harus tunduk pada prosedur-prosedur keilmuan. Sebagai contoh, Al-Qur’an sebagai teks, maka ia bisa dikaji oleh siapa saja, tidak peduli apakah orang itu mempercayai Al-Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Tuhan atau tidak. Inilah yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa orang non-Muslim pun bisa mengkaji Al-Qur’an dan hasilnya memiliki derajat yang sama dengan tafsir yang disusun oleh seorang Muslim. Kedua tafsir tersebut sama-sama memiliki derajat relatif dalam perspektif ilmu.[9]
Dalam kasus Islam sebagai objek kajian keilmuan, kita menemukan bahwa rumpun ilmu-ilmu keislaman hanyalah menjadi bagian kecil dari kegiatan keilmuan secara umum. Ilmu-ilmu yang dikaji di fakultas/ jurusan Syari’ah, Tarbiyah, Adab, Dakwah dan Ushuluddin adalah bagian kecil dari anggota ilmu-ilmu noneksakta. Menyadari hal ini membawa beberapa konsekuensi lanjutan.
Pertama, kalau selam ini animo masyarakat untuk melanjutkan studi ke PTAI relatif kecil dibandingkan ke PTU, hal ini tidak semata-mata mutu PTAI lebih jelek dibandingkan PTU, tetapi karena mereka tidak ingin menjadi ahli agama. Kedua,tidak bisa diperbandingkan antara PTAI (IAIN/ STAIN) dan PTU karena yang dikaji di PTAI hanyalah sebagian kecil dari rumpun keilmuan noneksakta. Kalau lulusan PTU lebih banyak mengisi di pos-pos penting, baik di birokrasi negara maupun di sektor swasta, hal itu sangatlah wajar karena lingkup keilmuan yang diajarkan lebih luas dari pada di PTAI. Ilmu-ilmu yang diajarkan di PTAI sebanding dengan satu fakultas di PTU.[10]
B.  Kebangkitan Intelektualisme
Soedjono Prasodjo menyebutkan adanya tiga macam jasa pesantren, yaitu: (1) kegiatan tabligh kepada masyarakat yang dilakukan dalam kompleks pesantren. (2) Majlis Ta’lim atau pengajian yang bersifat pendidikan kepada umum, dan (3) bimbingan hikmah berupa nasihat Kiai kepada orang yang datang untuk minta diberi “amalan-amalan” apa yang harus dilakukan supaya mencapai suatu hajat, nasihat-nasihat agama dan sebagainya.[11]
Sedangkan PTAI selama ini mengklaim bahwa dirinya sebagai pusat orang-orang cerdik pandai bahkan ada yang mengatakan PTAI menjadi sarang konservatisme. Adapun indikasinya adalah wacana fiqh di PTAI tidak pernah beranjak dari thaharah dan teman-temannya, dan ilmu kalam tidak pernah bergeser dari perdebatan-perdebatan klasik untuk membela Tuhan, kemudian ilmu tafsir dan ilmu hadits menjadi begitu fixed sehingga literatur apa saja yang kita baca berbunyi sama.[12]
Kemudian peranan pesantren tentu bukan tanpa batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks pedesaan, agraris, dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat persemaian yang baik, santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri, merupakan agen yang sesuai dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita ingin mencatat supaya pesantren yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya model yang terlalu direalisasikan menjadi sebuah “mitos”. Pembangunan menuju masyarakat industrial memerlukan lembaga yang memadai. Pikiran-pikiran sederhana dan “kecil itu indah” perlu diimbangi dengan pikiran-pikiran tinggi dan besar. Catatan ini hendaknya justru menekankan pentingnya pesantren dalam pembangunan masyarakat desa dan bukan sebaliknya.[13]
Tidak kalah pentingnya, bahwa kampus diharapkan dapat menjadi lahan bagi penyemaian pikiran-pikiran yang mempelajari, memperdebatkan dan menguji keilmuan tanpa rasa takut dan bertindak secara ilmiah. Sehingga kampus akan menjadi sebuah kontinum keilmuan yang terentang mulai dari yang sangat kiri sampai yang sangat kanan, tidak ada pelarangan untuk mempelajari buku-buku kiri karena hanya ia kiri.[14]
Sedangkan kedudukan Kiai di sebuah pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya. Pendek kata, Kiai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz mengemukakan bahwa Kiai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator  atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri. Dengan demikian, posisi dan peran seorang Kiai yang mampu menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan Kiai sebagai cultural broker.
Peran Kiai dan Ulama sebagai tokoh masyarakat dapat dilihat, misalnya dalam serangkaian upaya-upaya mereka untuk menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para Kiai dan Ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan program-program pembangunan ke dalam bahasa agama yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada komunitas yang dipimpinnya. Dengan cara ini, para Kiai dan Ulama sekaligus berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut melegitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan dapat menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini semakin memperjelas peran Kiai dan Ulama dalam proses transformasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat.[15]
Kalau di PTAI yang menjadi tombol pengembangan keilmuan adalah kurikulum, tenaga pengajar dan kondisi akademik, spirit keragaman wacana adalah tombol utamanya. Kurikulum harus tidak menjadi kacamata kuda yang menyempitkan pemahaman mahasiswa, dosen harus terbuka terhadap setiap gagasan tanpa sikap apriori jika menginginkan mahasiswanya memiliki kejujuran ilmiah dan kampus harus menyediakan suasana akademis  yang kondusif untuk mempelajari dan mendiskusikan teori apa saja. Jangan sampai terjadi sebaliknya: kurikulum, dosen dan kampus menjadi penjara, di mana setiap saat orang disempitkan pikirannya dan ditakut-takuti.[16]
Dilihat dari perspektif transformasi sosial budaya, sikap para Kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, para Kiai yang mempertahankan nilai ortodoksi Islam dalam sistem pendidika pesantren dengan melakukan usaha-usaha untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu, Kiai ini disebut Kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut pesantren salafiyah. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain, mereka membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para Kiai yang sudah memasukkan  ilmu-ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan  tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam.[17]
Memasuki abad 21 nanti, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional terasa akan semakin penting dan sekaligus akan memiliki peran yang sangat signifikan dan strategis. Sejak paruh kedua abad 20, kajian-kajian serius tentang pesantren telah banyak diminati oleh para mahasiswa, para calon sarjana, para sarjana dan para pakar di berbagai perguruan tinggi, tidak saja di Tanah Air tetapi juga di luar negeri. Dengan kata lain, sosok dan dunia pesantren telah menjadi salah satu minat besar para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah-telaah ilmiah.[18]
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat dalam transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Pengajaran “kitab-kitab kuning” (sebagaimana sering dikatakan orang untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi ciri khas dari proses belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang menekankan penggunaan metode sorogan dan weton. Pelajaran pertama dan utama di pesantren adalah bahasa Arab dengan seluk beluknya (nahwu, sharaf dan ilmu balaghah), karena dengan penguasaan bahasa Arab yang baik para santri akan bisa mengupas dan membahas kitab-kitab klasik yang tidak memakai syakal (kitab-kitab gundul). Dalam hubungan ini, penguasaan “kitab Alfiyah Ibnu Malik” oleh para santri sangat ditekankan.
Selain bahasa Arab, biasanya mata pelajaran lain yang diberikan adalah ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, misalnya kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathul Qarib Syarh Matan Taqrib (Ibnu Qasim Al-Ghazi), Fathul Mu’in Syarh Qurratul ‘Ain (Zainuddin Al-Malibari), Minhaju Thoalibin (An-Nawawi), Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim Al-Bajuri), Al-Iqna’ (Syarbini), Fathul Wahab, Tuhfah (Ibnu Hajar) dan Nihayah (Ramli). Kajian-kajian kitab kuning di pesantren-pesantren sudah seharusnya tetap dipertahankan agar kesinambungan historis antara masa depan dengan masa lampau tidak terputus. Dengan demikian, khazanah ilmu-ilmu pengetahuan keislaman masa klasik akan tetap terpelihara dan terawat dengan baik di pesantren-pesantren.
Dengan kata lain, pesantren telah berperan sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus berperan pula sebagai jaringan transmisi atau penyebaran ilmu-ilmu keislaman tersebut. Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung hingga dewasa ini dan diperluas lagi dengan merebaknya pembangunan pesantren-pesantren baru yang juga berperan sebagai pusat dan jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang semakin luas dan intens.
Para pakar mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan kaum muda Muslim tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan mereka. Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan kawan-kawan di tahun 1950-an.
Pondok pesantren yang kini sebagiannya telah memiliki universitas-universitas dan berafiliasi pada jam’iyah Nahdlatul Ulama serta berperan untuk ikut mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Inilah salah satu tugas sejarah yang penting dan strategis yang terletak di pundak kalangan Muslim tradisional dalam memasuki abad 21.[19]



KESIMPULAN
Peran pesantren dalam usaha meningkatkan intelektualisme masyarakat, secara garis besar antara lain:
1.    Sebagai tempat media dakwah penyebaran nilai-nilai ajaran agama.
2.    Sebagai tempat pengembangan ilmu-ilmu agama, terlebih yang berkaitan dengan syari’at ajaran agama.
3.    Sebagai tempat pembentukan karakter bagi masyarakat sekitar dan santri pada khususnya dan masyarakat umum pada umumnya.
4.    Sebagai tempat membangun dan mengembangkan SDM desa.
Sedangkan PTAI dalam usaha meningkatkan intelektualisme masyarakat, secara umum antara lain:
1.    Kurikulum yang diterapkan harus mampu membentuk karakter dan mampu memperluas khasanah keilmuan bagi pengembangan ide dan pola pikir mahasiswanya.
2.    Dosen harus mampu terbuka dalam setiap gagasan yang dikeluarkan oleh para mahasiswanya.
3.    Kondisi akademik harus mampu menciptakan suasana yang kondusif yang ilmiah dalam segala aktivitasnya.
4.    Spirit pengembangan keilmuan harus ditanamkan dalam cara pandang mahasiswa di setiap aktivitasnya seperti diskusi, dan pemecahan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat.









DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. et, al. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. Bandung: PT. Mizan Pustaka, Anggota IKAPI.

Dhofier, Zamakhshahri. 1994. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.

Ghazali, M. Bahri. 2004. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti.

Kuntowijoyo, 1999. Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.

Madjid, Nur Chalish. 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah. Jakarta: P3M.

Prasodjo, Soedjoko. et. al. 1982. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.

Yacub, Muhammad. Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam. makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.


[1] Nur Chalish Madjid , Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah (Jakarta: P3M, 1985), hlm, 3.
[2] Zamakhshahri Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 1.
[3] Muhammad Yacub, Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[4] M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: CV. Prasasti, 2004), hlm. 17.
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 55.
[6] Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 83-84.
[7] Zainal Abidin, et, al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, Anggota IKAPI, 2005), hlm. 181.
[8] Ibid, hlm. 182.
[9] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas:Tentang Transformasi Intelektual. Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985) hlm. 5.
[10] Ibid, hlm. 185.
[11] Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 111.
[12] Op. Cit., Zainal Abidin, hlm. 197.
[13] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1999), hlm. 264.
[14] Op. Cit., Zainal Abidin, hlm. 1999.
[15] Ibid., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 109-110.
[16] Op. Cit., Zainal Abidin, hlm. 199.
[17] Ibid., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[18] Ibid., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 113.
[19] Ibid., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 120.