INTELEKTUALISLME
PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI)
(Studi Karakteristik
Pendidikan)
Artikel ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah : Studi Islam
Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Waryani
Fajar Riyanto, M.Ag.
Disusun oleh:
Nama : Imam
Syafi’i
NIM :
2052115026
PASCA
SARJANA - PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN)
PEKALONGAN
2015
INTELEKTUALISLME
PESANTREN DAN PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM (PTAI)
(Studi Karakteristik Pendidikan)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Pendidikan Agama Islam)
STAIN Pekalongan
2015
ABSTRAK
Pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan di
kalangan kaum muda Muslim tradisional mengalami peningkatan dan percepatan
dalam arti luas, maka diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran
kualitas SDM di kalangan mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di
bidang pendidikan ini tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan
kreativitas di kalangan mereka.
Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya
gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh
Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan
intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan
kawan-kawan di tahun 1950-an.
Kata kunci:
Intelektualisme, Pesantren dan PTAI
Secara Historis
pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab Cikal Bakal
lembaga yang dikenal sebagai pesantren dewasa ini sebenarnya sudah ada pada
masa Hindu-Budha dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan
mengislamkannya.[1]
Pesantren
dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam
menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada
pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran ulama-ulama fiqh, tafsir, tauhid, dan
tasawuf pada abad pertengahan.[2]
Pondok
pesantren bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam, sekalipun pesantren
adalah bentuk yang melembaga secara permanen di pedesaan. Muhammad Yacub
mencatat adanya enam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: perguruan formal,
pesantren tradisional, majelis taklim, “serikat tolong menolong” seperti
kelompok Yasinan, majelis latihan semacam pesantren kilat, dan majelis kultum
(kuliah tujuh menit atau ceramah singkat).[3]
A. Karakteristik Pesantren dan PTAI
Pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan yang lainnya baik dari aspek sistem
pendidikan maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi sistem
pendidikannya, terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung
sederhana dan tradisional, sekalipun juga terdapat pesantren yang bersifat
memadukannya dengan sistem pendidikan modern. Yang mencolok dari perbedaan itu
adalah perangkat-perangkat pendidikannya baik perangkat lunak (sofware)
maupun perangkat keras (hardware)nya. Keseluruhan perangkat pendidikan
itu merupakan unsur-unsur dominan dalam keberadaan pondok pesantren. Bahkan
unsur-unsur dominan itu merupakan ciri-ciri (karakteristik) khusus pondok
pesantren.[4]
Ada beberapa ciri yang secara umum
dimiliki oleh pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai
lembaga sosial yang informal itu terlibat dalam pengembangan masyarakat pada
umumnya. Zamarkhsyari Dhofier mengajukan lima unsur pondok pesantren yang
melekat atas dirinya yang melipti; pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam
klasik, santri dan kyai.[5]
Pengamatan mutakhir tentang pesantren
ternyata menemukan bermacam tingkat perkembangan pesantren. Soedjoko Prasodjo et
al, menyebut adanya lima macam pola pesantren, dari yang paling sederhana
sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid
dan rumah Kiai; Pola II terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok; Pola III
terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok dan madrasah; Pola IV terdiri atas
masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan; Pola V terdiri
atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas,
gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[6]
Sedangkan Perguruan Tinggi Agama Islam
(PTAI) adalah lembaga pendidikan yang membuka kajian-kajian keilmuan yang
selama ini dikenal dengan istilah Islamic Studies, kebutuhan akan
identitas diri ini belum dirasakan. Hal ini karena berdasarkan common sense,
kajian-kajian tersebut dengan sendirinya sudah terbedakan dengan ilmu-ilmu
sekuler. Tetapi, ketika PTAI membuka ranah kajian keilmuan yang selama ini
dianggap sekuler tersebut, identitas Islam tiba-tiba menjadi kebutuhan yang
hampir tak terhindarkan. Tidak mengherankan jika kemudian muncul
gugatan-gugatan.[7]
Kalau kita melacak sedikit ke belakang
bahwa kajian ilmu-ilmu sekuler sebetulnya bukanlah hal baru. Sejauh ilmu-ilmu
sekuler ini dimaknai sebagai ilmu-ilmu yang tidak termasuk di dalam rumpun
ilmu-ilmu keislaman, semisal Al-Qur’an-Hadits, fiqh, sejarah peradaban Islam,
tarbiyah Islamiyah, sastra Arab, dan sebagainya, maka kita mendapatkan dulu
IAIN memiliki Jurusan Tadris yang mempelajari matematika dan bahasa Inggris. Akan
tetapi, saat itu rasanya islamisasi ilmu pengetahuan tidak menjadi struktural
yang begitu serius.
Islamisasi ilmu pengetahuan berputar pada
dua hal, pertama, bahwa sebuah konstruksi keilmuan tidak bisa dilepaskan
dari muatan ideologis individu atau kelompok yang membangunnya. Sebuah ilmu
yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok yang tidak menjadikan Al-Qur’an
sebagai pedoman hidupnya, bisa dipastikan mengandung unsur-unsur jahiliah yang
bertentangan dengan ajaran Qur’ani. Kedua: merupakan, konsekuensi dari
point pertama yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai pondasi kontruksi keilmuan.
Ini berangkat dari anggapan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan
ang selama ini telah diabaikan dalam perburuan pencarian kebenaran oleh
kalangan akademis Muslim. Karena posisi Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber
ilmu pengetahuan, konsekuensi berikutnya adalah meletakkan Al-Qur’an sebagai
basis seluruh bangunan ilmu, jika sebuah ilmu itu menginginkan dirinya dianggap
sebagai ilmu Islam atau islami.[8]
Sebelumnya, harus dibedakan antara Islam
sebagai objek kajian keilmuan dan Islam sebagai landasan etis. Sebagai objek
kajian ilmu, Islam harus tunduk pada prosedur-prosedur keilmuan. Sebagai
contoh, Al-Qur’an sebagai teks, maka ia bisa dikaji oleh siapa saja, tidak peduli
apakah orang itu mempercayai Al-Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Tuhan
atau tidak. Inilah yang dikatakan Fazlur Rahman bahwa orang non-Muslim pun bisa
mengkaji Al-Qur’an dan hasilnya memiliki derajat yang sama dengan tafsir yang
disusun oleh seorang Muslim. Kedua tafsir tersebut sama-sama memiliki derajat
relatif dalam perspektif ilmu.[9]
Dalam kasus Islam sebagai objek kajian
keilmuan, kita menemukan bahwa rumpun ilmu-ilmu keislaman hanyalah menjadi
bagian kecil dari kegiatan keilmuan secara umum. Ilmu-ilmu yang dikaji di
fakultas/ jurusan Syari’ah, Tarbiyah, Adab, Dakwah dan Ushuluddin adalah bagian
kecil dari anggota ilmu-ilmu noneksakta. Menyadari hal ini membawa beberapa
konsekuensi lanjutan.
Pertama, kalau selam ini animo
masyarakat untuk melanjutkan studi ke PTAI relatif kecil dibandingkan ke PTU,
hal ini tidak semata-mata mutu PTAI lebih jelek dibandingkan PTU, tetapi karena
mereka tidak ingin menjadi ahli agama. Kedua,tidak bisa diperbandingkan
antara PTAI (IAIN/ STAIN) dan PTU karena yang dikaji di PTAI hanyalah sebagian
kecil dari rumpun keilmuan noneksakta. Kalau lulusan PTU lebih banyak mengisi
di pos-pos penting, baik di birokrasi negara maupun di sektor swasta, hal itu
sangatlah wajar karena lingkup keilmuan yang diajarkan lebih luas dari pada di
PTAI. Ilmu-ilmu yang diajarkan di PTAI sebanding dengan satu fakultas di PTU.[10]
B. Kebangkitan Intelektualisme
Soedjono Prasodjo menyebutkan adanya
tiga macam jasa pesantren, yaitu: (1) kegiatan tabligh kepada masyarakat
yang dilakukan dalam kompleks pesantren. (2) Majlis Ta’lim atau
pengajian yang bersifat pendidikan kepada umum, dan (3) bimbingan hikmah berupa
nasihat Kiai kepada orang yang datang untuk minta diberi “amalan-amalan” apa
yang harus dilakukan supaya mencapai suatu hajat, nasihat-nasihat agama dan
sebagainya.[11]
Sedangkan PTAI selama ini mengklaim
bahwa dirinya sebagai pusat orang-orang cerdik pandai bahkan ada yang
mengatakan PTAI menjadi sarang konservatisme. Adapun indikasinya adalah wacana
fiqh di PTAI tidak pernah beranjak dari thaharah dan teman-temannya, dan
ilmu kalam tidak pernah bergeser dari perdebatan-perdebatan klasik untuk
membela Tuhan, kemudian ilmu tafsir dan ilmu hadits menjadi begitu fixed sehingga
literatur apa saja yang kita baca berbunyi sama.[12]
Kemudian peranan pesantren tentu
bukan tanpa batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks
pedesaan, agraris, dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat
persemaian yang baik, santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri,
merupakan agen yang sesuai dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita
ingin mencatat supaya pesantren yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya
model yang terlalu direalisasikan menjadi sebuah “mitos”. Pembangunan menuju
masyarakat industrial memerlukan lembaga yang memadai. Pikiran-pikiran
sederhana dan “kecil itu indah” perlu diimbangi dengan pikiran-pikiran tinggi
dan besar. Catatan ini hendaknya justru menekankan pentingnya pesantren dalam
pembangunan masyarakat desa dan bukan sebaliknya.[13]
Tidak kalah pentingnya, bahwa kampus
diharapkan dapat menjadi lahan bagi penyemaian pikiran-pikiran yang
mempelajari, memperdebatkan dan menguji keilmuan tanpa rasa takut dan bertindak
secara ilmiah. Sehingga kampus akan menjadi sebuah kontinum keilmuan yang
terentang mulai dari yang sangat kiri sampai yang sangat kanan, tidak ada
pelarangan untuk mempelajari buku-buku kiri karena hanya ia kiri.[14]
Sedangkan kedudukan Kiai di sebuah
pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada
para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal
yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di
sekitarnya. Pendek kata, Kiai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang
baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga
bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz
mengemukakan bahwa Kiai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang
memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator atas arus informasi yang masuk ke lingkungan
kaum santri. Dengan demikian, posisi dan peran seorang Kiai yang mampu
menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan Kiai sebagai cultural broker.
Peran Kiai dan Ulama sebagai tokoh
masyarakat dapat dilihat, misalnya dalam serangkaian upaya-upaya mereka untuk
menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para
Kiai dan Ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa menerjemahkan
ide-ide, gagasan-gagasan, dan program-program pembangunan ke dalam bahasa agama
yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada komunitas yang
dipimpinnya. Dengan cara ini, para Kiai dan Ulama sekaligus berperan pula dalam
memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam
program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Fatwa-fatwa agama yang mereka
keluarkan telah ikut melegitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan
berbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan
dapat menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh
pemerintah. Hal ini semakin memperjelas peran Kiai dan Ulama dalam proses
transformasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat.[15]
Kalau di PTAI yang menjadi tombol
pengembangan keilmuan adalah kurikulum, tenaga pengajar dan kondisi akademik,
spirit keragaman wacana adalah tombol utamanya. Kurikulum harus tidak menjadi
kacamata kuda yang menyempitkan pemahaman mahasiswa, dosen harus terbuka
terhadap setiap gagasan tanpa sikap apriori jika menginginkan mahasiswanya
memiliki kejujuran ilmiah dan kampus harus menyediakan suasana akademis yang kondusif untuk mempelajari dan
mendiskusikan teori apa saja. Jangan sampai terjadi sebaliknya: kurikulum,
dosen dan kampus menjadi penjara, di mana setiap saat orang disempitkan
pikirannya dan ditakut-takuti.[16]
Dilihat dari perspektif transformasi
sosial budaya, sikap para Kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan
menjadi dua kelompok. Pertama, para Kiai yang mempertahankan nilai
ortodoksi Islam dalam sistem pendidika pesantren dengan melakukan usaha-usaha
untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu, Kiai ini disebut
Kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut pesantren salafiyah.
Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah
nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan
fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain,
mereka membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan
prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para Kiai yang sudah
memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan umum ke
dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam.[17]
Memasuki abad 21 nanti, posisi
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional terasa akan semakin
penting dan sekaligus akan memiliki peran yang sangat signifikan dan strategis.
Sejak paruh kedua abad 20, kajian-kajian serius tentang pesantren telah banyak
diminati oleh para mahasiswa, para calon sarjana, para sarjana dan para pakar
di berbagai perguruan tinggi, tidak saja di Tanah Air tetapi juga di luar
negeri. Dengan kata lain, sosok dan dunia pesantren telah menjadi salah satu
minat besar para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah-telaah
ilmiah.[18]
Pesantren, sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional, tak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat
dalam transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian
klasik. Pengajaran “kitab-kitab kuning” (sebagaimana sering dikatakan orang
untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi ciri khas dari proses
belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang
menekankan penggunaan metode sorogan dan weton. Pelajaran pertama
dan utama di pesantren adalah bahasa Arab dengan seluk beluknya (nahwu, sharaf
dan ilmu balaghah), karena dengan penguasaan bahasa Arab yang baik para santri
akan bisa mengupas dan membahas kitab-kitab klasik yang tidak memakai syakal
(kitab-kitab gundul). Dalam hubungan ini, penguasaan “kitab Alfiyah Ibnu Malik”
oleh para santri sangat ditekankan.
Selain bahasa Arab, biasanya mata
pelajaran lain yang diberikan adalah ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, misalnya
kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathul Qarib Syarh Matan Taqrib (Ibnu
Qasim Al-Ghazi), Fathul Mu’in Syarh Qurratul ‘Ain (Zainuddin
Al-Malibari), Minhaju Thoalibin (An-Nawawi), Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim
Al-Bajuri), Al-Iqna’ (Syarbini), Fathul Wahab, Tuhfah (Ibnu
Hajar) dan Nihayah (Ramli). Kajian-kajian kitab kuning di
pesantren-pesantren sudah seharusnya tetap dipertahankan agar kesinambungan
historis antara masa depan dengan masa lampau tidak terputus. Dengan demikian,
khazanah ilmu-ilmu pengetahuan keislaman masa klasik akan tetap terpelihara dan
terawat dengan baik di pesantren-pesantren.
Dengan kata lain, pesantren telah
berperan sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus berperan pula
sebagai jaringan transmisi atau penyebaran ilmu-ilmu keislaman tersebut.
Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung hingga dewasa ini dan diperluas lagi
dengan merebaknya pembangunan pesantren-pesantren baru yang juga berperan
sebagai pusat dan jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang semakin luas dan
intens.
Para pakar mengatakan bahwa
pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan kaum muda Muslim
tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka
diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan
mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini
tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan
mereka. Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya
gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh
Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan
intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan
kawan-kawan di tahun 1950-an.
Pondok pesantren yang kini
sebagiannya telah memiliki universitas-universitas dan berafiliasi pada
jam’iyah Nahdlatul Ulama serta berperan untuk ikut mempercepat proses munculnya
gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Inilah salah satu tugas
sejarah yang penting dan strategis yang terletak di pundak kalangan Muslim
tradisional dalam memasuki abad 21.[19]
KESIMPULAN
Peran pesantren dalam usaha meningkatkan
intelektualisme masyarakat, secara garis besar antara lain:
1.
Sebagai tempat media dakwah
penyebaran nilai-nilai ajaran agama.
2.
Sebagai tempat pengembangan
ilmu-ilmu agama, terlebih yang berkaitan dengan syari’at ajaran agama.
3.
Sebagai tempat pembentukan
karakter bagi masyarakat sekitar dan santri pada khususnya dan masyarakat umum
pada umumnya.
4.
Sebagai tempat membangun
dan mengembangkan SDM desa.
Sedangkan PTAI dalam
usaha meningkatkan intelektualisme masyarakat, secara umum antara lain:
1.
Kurikulum yang diterapkan
harus mampu membentuk karakter dan mampu memperluas khasanah keilmuan bagi
pengembangan ide dan pola pikir mahasiswanya.
2.
Dosen harus mampu terbuka
dalam setiap gagasan yang dikeluarkan oleh para mahasiswanya.
3.
Kondisi akademik harus
mampu menciptakan suasana yang kondusif yang ilmiah dalam segala aktivitasnya.
4.
Spirit pengembangan
keilmuan harus ditanamkan dalam cara pandang mahasiswa di setiap aktivitasnya
seperti diskusi, dan pemecahan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. et, al. 2005. Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi dan Aksi. Bandung: PT. Mizan Pustaka, Anggota IKAPI.
Dhofier, Zamakhshahri. 1994. Tradisi Pesantren: Studi
Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.
Dhofier, Zamakhsyari. 1982. Tradisi Pesantren: Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Ghazali, M. Bahri. 2004. Pesantren Berwawasan Lingkungan.
Jakarta: CV. Prasasti.
Kuntowijoyo, 1999. Paradigma Islam (Interpretasi untuk
Aksi), (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.
Madjid, Nur Chalish. 1985. Merumuskan Kembali Tujuan
Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia
Pesantren : Membangun dari bawah. Jakarta: P3M.
Prasodjo, Soedjoko. et. al. 1982. Profil
Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren
Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.
Yacub, Muhammad. Model-model Pengembangan Koperasi di
Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam. makalah, tanggal 28-30 Agustus di
Jakarta.
[1] Nur
Chalish Madjid , Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam
Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah (Jakarta:
P3M, 1985), hlm, 3.
[2] Zamakhshahri
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta:
LP3ES, 1994), hlm. 1.
[3]
Muhammad Yacub, Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga
Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[4] M.
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: CV. Prasasti,
2004), hlm. 17.
[5]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 55.
[6]
Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian
Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 83-84.
[7]
Zainal Abidin, et, al., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi,
(Bandung: PT. Mizan Pustaka, Anggota IKAPI, 2005), hlm. 181.
[8] Ibid,
hlm. 182.
[9]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas:Tentang Transformasi Intelektual.
Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985) hlm. 5.
[10] Ibid,
hlm. 185.
[11]
Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian
Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 111.
[12] Op.
Cit., Zainal Abidin, hlm. 197.
[13]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung:
Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1999), hlm. 264.
[14] Op.
Cit., Zainal Abidin, hlm. 1999.
[15] Ibid.,
Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 109-110.
[16] Op.
Cit., Zainal Abidin, hlm. 199.
[17] Ibid.,
Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[18] Ibid.,
Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 113.
[19] Ibid.,
Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 120.