Jumat, 15 Mei 2015

Analisis Konsep Nilai Pendidikan Akhlak (Bab IV)


BAB IV
ANALISIS KONSEP NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB TANBIHUL MUTA’ALLIM
A.  Analisis Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Muta’allim Karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
Berdasarkan data-data pada bab sebelumnya maka penulis mengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Muta’allim karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi menjadi 4 macam:
1.    Hubungan antara manusia dengan Allah, yang meliputi:
a.    Berdo’a sebelum dan sesudah belajar.
Pelajar memulai dan mengakhiri belajar dengan membaca basmallah, hamdallah, shalawat kepada Nabi dan keluarganya serta para sahabat kemudian meminta pertolongan Allah tentang ilmu.[84]
Jabir bin Abdullah R.A., mengatakan bahwa pada saat turun ayat bismillahirrahmanirrahim, maka awan lari ke timur, angin berhenti, laut bergelombang, binatang-binatang mendengarkan dengan telinganya, dan syaitan-syaitan dilempari dari langit. Allah SWT. bersumpah dengan kemuliaan-Nya bahwa jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan menjadi obat baginya. Jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan menjadikan keberkahan baginya. Dan barang siapa membaca bismillahirrahmanirrahim dijamin masuk surga.”[85]
Kemudian ada riwayat lain dari Ikrimah mengatakan bahwa Allah menciptakan qalam dan lauh yang pertama kali dan Allah memerintahkan qalam menulis di atas lauh segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat. Maka sesuatu yang pertama kali yang ditulis di atas lauh adalah bismillahirrahmanirrahim. Kemudian Allah SWT. menjadikan ayat ini sebagai jaminan keamanan bagi hamba-Nya yang membacanya. Karena kalimat itu merupakan bacaan seluruh penghuni tujuh langit dan bacaan orang-orang yang selalu menyucikan Allah SWT., yaitu orang yang telah mendapatkan keagungan.”[86]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat bismillahirrahmanirrahim, shalawat atau do’a-do’a dapat menjadikan suatu keberkahan tersendiri bagi para pembacanya dan menjadikan diangkat derajat kemuliaannya serta dapat menjadikannya mudah dalam segala urusannya.
b.    Menjauhi perkara dosa
Kemudian pelajar hendaknya menjauhi beberapa perkara dosa, karena satu dosa merupakan kotoran yang melekat di hati.[87]
Perbuatan dosa membuat hati manusia merasa bersalah dan tidak tenang bahkan bisa membuat hati putus asa sehingga bingung tidak tahu akan lari kemana. Kondisi tersebut membuat pikiran tidak dapat berfungsi dengan sempurna, sebab kondisi kejiwaan sangat mempengaruhi kinerja pikiran.[88]
Imam al-Syafi’i dalam gubahan sya’irnya mengatakan, bahwa: “Aku mengeluh pada Imam Waqi’ akan lemahnya hapalanku, maka beliau menyuruhku untuk meninggalkan maksiat dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada ahli maksiat.”[89]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hati manusia sering kali berubah, terkadang berangsur-angsur menjadi terang, terasa lapang, ibadah menjadi ringan sehingga belajar juga semakin kuat. Namun terkadang hati berubah menjadi terasa sesak, dunia terasa sempit, ibadah jadi kendor dan akhirnya belajarpun menjadi malas. Hal itu disebabkan karena hatinya telah menjadi gelap dan keras yang merupakan akibat dari dosa yang menumpuk dan nafsu yang memegang kendali kemauan dan gerakan manusia.
c.    Disiplin waktu
Pelajar dapat membagi waktu agar dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu yang kosong dan sia-sia dengan memperbanyak untuk mengulang pelajaran di waktu malam terlebih lagi pada waktu sahur agar dapat mengejar para ahli ilmu. Dan Pelajar yang tidak bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu yang pendek, maka pelajar akan berada di kehinaan kebodohan pada waktu yang lama.[90]
Menurut al-Ghazali dalam kitab ihya’ ulumiddin membagi waktu 24 jam menajdi tiga bagian:
1.    8 jam untuk ilmu
2.    8 jam untuk urusan dunia
3.    8 jam untuk urusan akhirat[91]
Kemudian pelajar menghidupkan waktu malam, karena waktu malam itu lebih mulia dari waktu siang. Ibadah yang dilakukan di malam hari jauh lebih besar pahalanya dari ibadah yang dilakukan di siang hari. Pada waktu malam juga terdapat waktu mustajabah. Nabi SAW. bersabda: ”sesungguhnya di malam hari terdapat waktu yang tiada satupun yang saat itu meminta hal dunia maupun akhirat kecuali diberinya. Setiyap malam rahmat Allah turut ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga akhir dari malam dia berkata adakah yang berdo’a, sehingga kukabulkan? Adakah yang meminta sehingga kuberi? Adakah yang meminta ampunan sehingga kuampuni?. Barang siapa mengisi malamnya dengan tidur, maka di hari kiamat ia datang dalam keadaan fakir.”[92]
Malam adalah waktu yang luar biasa. Menurut kyai Nawawi Banten belajar di waktu malam adalah salah satu sebab terbukanya hati dalam memahami ilmu. Waktu malam juga termasuk waktu yang senggang, sepi, dan tenang sehingga sangat cocok untuk mengulang-ulang membaca pelajaran dan menghafalkan.[93]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang yang alim membutuhkan waktu yang tidak sebentar sebab ilmu pengetahuan sangat luas sekali sehingga butuh waktu yang panjang. Tiada yang tahu luasnya ilmu kecuali Allah al-Alim. Sehebat apapun manusia dan selama apapun dia hidup, tidak akan mampu mengumpulkan semuanya.
d.   Niat dan tujuan
Pelajar membaguskan/ memurnikan niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan harta benda dan menjauhi dari mencintai kedudukan, dimuliakan manusia serta dipuji oleh manusia agar ia menjadi orang yang mulia, karena pelajar yang mencari ilmu karena Allah, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali perkara dunia dan ia tidak akan mencium baunya surga.[94]
Setiap orang yang menuntut ilmu harus punya niat, karena sahnya amal dengan niat. Niat menuntut ilmu yang utama adalah mencari ridlanya Allah SWT. kemudian di antara niat mencari ilmu yang lain adalah untuk mendapatkan pahala di akhirat, untuk menghidupkan agama Allah yaitu agama islam, untuk melanggengkan agama islam, untuk menghilangkan kebodohan dirinya dan kebodohan orang-orang yang bodoh serta untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan Allah berupa nikmat akal dan kesehatan badan. Dan janganlah berniat untuk mendapatkan perhatian manusia dan untuk mendapatkan harta benda serta dengan niat agar dimuliakan pejabat atau penguasa.[95]
Sebelum berangkat mencari ilmu hendaknya pelajar mengatur niat terlebih dahulu, merenungkan tujuannya mencari ilmu dan menghayati manfaat ilmu yang kelak akan diperolehnya. Dengan demikian niatnya akan menjadi kukuh dan kuat sehingga tidak mudah goyah dan roboh ketika badai cobaan dan ujian menerpanya. Setelah niatnya terasa sangat kuat mengucap di dada kemudian atur dan rencanakan urutan, cara, dan metode dalam belajar.[96]
Pelajar mengamalkan sesuatu yang pernah didengarnya dari beberapa golongan ilmu ibadah dan ilmu akhlak yang utama serta mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu kalimat karena Allah Ta’ala, agar ia tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu sehingga mendapatkan laknat dari Allah.[97]
Mengamalkan atau mempraktekkan ilmu termasuk cara yang paling efektif untuk menancapkan ilmu dengan kokoh dalam hati. Ilmu akan terasa berkesan dalam hati setelah diamalkan sehingga tidak mudah hilang. Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa “ilmu memanggil amal, jika ia datang (maka ia akan tetap) namun jika tidak datang ilmu akan pergi.”[98]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa niat dan tujuan dalam mencari ilmu sangatlah penting bagi pelajar agar selama perjalanannya dapat menuai kesempurnaan hidupnya dan mengangkat derajat juga martabat kemanusiaannya.
2.    Hubungan antara manusia dengan sesamanya, yang meliputi:
a.    Akhlak terhadap keluarga, yaitu berbuat baik dan mendo’akan kedua orang tua.
Pelajar berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akan kedua orang tua serta mengirimkan pahala kebaikan setelah wafatnya.[99]
Abdullah bin Umar RA., dia berkata, “seorang lelaki telah datang kepada Nabi SAW. lalu berkata, “sesungguhnya aku ingin berjihad.” Beliau bersabda, “apakah kamu mempunyai kedua orang tua?” dia menjawab, “ya.” Beliau bersabda, berjihadlah dengan melayani mereka.” Adapun cara berbakti kepada mereka adalah dengan mencukupi keperluan mereka, menghindarkan mereka dari hal yang menyakitkan, dan merawat mereka seperti merawat anak kecil. Janganlah bersikap kasar terhadap mereka, janganlah menolak apa yang mereka inginkan, dan menjadikan pelayanan kepada mereka sebagai ganti memperbanyak shalat sunnah dan puasa.
Kemudian memohonkan ampun untuk mereka seusai shalat. Jangan membuat mereka lelah, jangan membebani dan menyakiti mereka, jangan mengeraskan suara melebihi mereka, jangan membantah perintah mereka selama tidak melanggar agama, misalnya perintah untuk meninggalkan suatu perintah yang wajib seperti haji bagi yang mampu, shalat lima waktu, puasa, zakat, nadzar dan tidak pula melanggar dosa seperti zina, minum arak, membunuh, menuduh palsu, dan mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya.[100]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbuat baik dan mendo’akan terhadap kedua orang tua itu wajib karena pahalanya seperti orang yang berjihad dan dilarang membantah kecuali dalam hal ajakan melaksanakan perbuatan yang tidak baik menurut ajaran agama.
b.    Akhlak terhadap masyarakat, antara lain:
1.   Memuliakan dan mengagungkan guru
Pelajar menyakini kemuliaan dan keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung pada zaman yang akan dihadapinya, sehingga ia mampu bersungguh-sungguh mencari ridhanya guru dan mengagungkan guru dengan hati yang bersih supaya termasuk golongan orang yang utama.[101]
Seorang murid harus memiliki kenyakinan bahwa gurunya sangat ahli dan yang paling unggul di antara sekian ulama’ lainnya agar ia lebih antusias dengan apapun yang ia dengar dari gurunya. Dan murid harus selalu berprasangka baik pada gurunya, jika ada yang menggunjingnya ia harus menghentikannya dan jika tidak bisa, maka segera pergi dan meninggalkan mereka untuk menjaga iktikad pada guru. Selain itu jangan pernah berburuk sangka pada gurunya walaupun yang dilakukan gurunya tidak cocok dengannya, bahkan walaupun tidak sesuai dengan sunnah, beliau lebih paham dan lebih mengetahui rahasia dibalik yang dikerjakannya. Cukuplah kisah Nabi Musa dengan gurunya Nabi Khidhir sebagai contoh pentingnya menjaga hati dari prasangka buruk pada guru.[102]
Memuliakan guru merupakan kewajiban seorang murid, Nabi SAW. telah bersabda yang artinya “pelajarilah ilmu serta belajarlah tenang dan berwibawa dan rendah dirilah pada orang yang kamu belajar darinya.”
Tujuan menghormati guru adalah untuk mengagungkan ilmu beliau dan untuk mendapatkan ridlo beliau. Dalam buku karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi yang berjudul Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah disebutkan bahwa “sesungguhnya guru dan dokter tidak akan tulus jika mereka tidak dimuliakan, maka sabarlah dengan penyakitmu jika kamu meninggalkan dokternya dan terimalah kebodohanmu jika kamu tinggalkan guru.”[103]
Syeikh Ahmad al-Maihiy al-Syaibani dalam kitab Hasyiah Syaibani menyebutkan bahwa “lebih kudahulukan guruku atas diriku sendiri dan orang tuaku walaupun aku memperoleh keutamaan dan kemuliaan dari orang tuaku sebab guruku mendidik jiwaku (ruh) dan ayahku mendidik ragaku sedangkan ruh bagaikan mutiara dan jisim bagaikan wadahnya.”[104]
Kemudian sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata dalam sya’irnya yaitu “aku menyakini bahwa hak yang paling penting adalah hak seorang guru dan merupakan hak yang paling wajib dipenuhi bagi semua umat dan sungguh sangat layak jika seorang guru diberi seribu dirham sebagai penghormatan untuk satu huruf yang beliau ajarkan.[105]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menyakini kemuliaan dan keluhuran sang guru serta menghormati guru merupakan suatu kewajiban bagi pelajar, karena dalam hal ini menyebabkan ridlanya guru dan salah satu cara dalam mengagungkan pemilik ilmu.
2.   Taat dan tawadlu’
Pelajar duduk dengan tenang, takut terhadap guru dan ilmu serta patuh pada guru dengan menghadap pada guru dan menundukkan kepala saat guru menerangkan sesuatu serta mencatat apa-apa yang belum diketahui agar dapat dipahaminya.[106]
Kemudian di dalam kitab al-Bayan disebutkan bahwa seorang pelajar harus bersikap tawadlu’ (rendah hati) dan sopan kepada guru walaupun gurunya lebih muda, kurang tersohor dan lebih rendah nasab dan kebaikannya daripada dirinya, dengan tawadlu’, maka ia bisa mendapatkan ilmu.[107]
Pelajar menggunakan pekerti yang baik dan budi yang mulia serta sopan santun terhadap orang yang mengajarinya agar mencapai kemuliaan yang tinggi dengan tidak membuat kebosanan pada guru, karena hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat mencegah dalam mengambil kemanfaatan ilmu. Kemudian ia meminta ijin kepada guru ketika ada halangan untuk tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan halangannya.[108]
Orang yang mengajarimu walau satu huruf yang penting dalam agama, maka dia adalah bapakmu dalam agama, jangan pernah mengatakan, dia mantan guruku, maka ilmumu tidak akan bermanfaat dan tidak akan bisa mendapatkan barokah ilmu dan guru, Jangan pula berjalan di muka guru, jangan menduduki tempat duduknya guru, jangan bertanya sesuatu yang membosankan, jangan mengetuk-ngetuk pintu guru, tetapi bersabarlah hingga guru keluar. Barang siapa yang menyakiti hati guru, maka ia tidak akan bisa mendapatkan barokahnya dan manfaatnya ilmu kecuali sedikit.[109]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa taat dan rendah hati terhadap orang yang mengajari merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi pelajar dalam mencari ilmu, karena hal ini dapat meningkatkan kemuliaan yang tinggi bagi pelajar dan dapat menjaga kepahamannya selama mencari ilmu serta dapat memberi keberkahan dan kemanfaatan ilmu.
3.   Tidak sombong dan tidak minder
Pelajar tidak merasa malu dan sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya serta lainnya seperti berselisih tentang ilmu dan unggul-unggulan dalam hal ilmu serta menganggap remeh ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah, karena orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu sebagaimana air yang tidak akan mengalair ke atas gunung.[110]
Imam as-Syafi’i mengatakan “tidak akan berhasil orang yang mencari ilmu dengan keangkuhan, orang yang akan berhasil mendapatkannya adalah yang mencarinya dengan kerendahan diri dan serba diliputi keterbatasan.”[111]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sifat sombong dan minder yang dimiliki oleh pelajar dapat mencegah rusaknya ilmu dan mempersulit kepahamannya selama mencari ilmu, karena ilmu hanya akan diberikan kepada orang yang memiliki sifat rendah hati dan memiliki sifat percaya diri yang tidak berlebihan.
3.    Akhlak terhadap lingkungannya, yang meliputi:
Pelajar dianjurkan memakan makanan yang halal, memakai pakaian yang bersih dan menggunkan alat belajar yang halal serta menata semua perkara dengan rajin seperti meletakkan sesuatu pada tempat yang tetap agar hatinya menjadi terang dan bersinar.[112]
Abu Hurairah RA. Telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa mencari harta secara halal, dengan menjaga harga diri dan tidak meminta-minta untuk mencukupi keluarganya dan mengasihi tetangganya, maka Allah SWT. akan membangkitkannya pada hari kiamat dengan wajah seperti bulan purnama. Barang siapa mencari harta secara halal untuk ditumpuk-tumpuk karena sombong dan pamer, maka dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan Dia murka kepadanya.”[113]
Sungguh, jika salah seorang di antara kamu mengambil tali kemudian menuju ke suatu lembah untuk mencari kayu lalu datang ke pasarmu untuk menjualnya dengan satu mud kurma, itu lebih baik baginya daripada meminta manusia, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.”[114]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terang dan bersinarnya hati disebabkan oleh penggunaan apa-apa yang ada dalam diri pelajar yaitu dengan sesuatu yang bersifat halal dan baik serta bersih juga rapi, sehingga ilmu mudah diterima dengan baik.
4.    Akhlak terhadap diri sendiri, yang meliputi:
a.    Menjaga kebersihan dengan bersuci
Apabila hendak masuk pada tempat belajar, maka pelajar dianjurkan bersuci dengan berwudlu, menggunakan pakaian yang bersih dan suci serta berbau harum serta bersiwak agar sesampainya di tempat belajar sudah bagus dan rapi. Kemudian ia mempersiapkan apa-apa yang diperlukan saat di tempat belajar seperti buku, bolpoin dan sebagainya dalam belajar agar tidak mengganggu dalam proses belajar mengajar.[115]
Hal ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW. yaitu bahwa wudlu itu sebagian dari iman. Begitu pula hati harus dikosongkan dari akhlak tercela, kemudian diisi dengan akhlak terpuji. Begitu pula mengenai anggota tubuh. Ia harus dikosongkan dari dosa-dosa, kemudian diisi dengan ketaatan. Masing-masing dari tingkatan ini adalah syarat untuk masuk dalam tingkatan selanjutnya. Maka penyucian diawali dengan penyucian lahir, kemudian penyucian roh, hati dan batin.[116]
Tugas pertama pelajar ialah mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. bahwa “Agama didirikan di atas kebersihan.” Bukanlah yang dimaksud kebersihan baju saja, tetapi di dalam hati. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. Al-Taubah: 28), sedangkan najasah tidak khusus mengenai baju.
Maka, selama batin tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.”[117]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berwudlu, bersiwak dan menjaga kebersihan baik jasmani maupun rohani sangat dianjurkan bagi pelajar, karena hal ini menyebabkan diterimanya ilmu yang bermanfaat dalam hati bagi pelajar.
b.    Muthola’ah (mengulang pelajaran)
Apabila sepulang dari tempat belajar, sesampainya di rumah pelajar mengulang pelajaran yang baru saja ia dapatkan di tempat belajar sampai pada pelajaran yang berikutnya, begitu pula ketika akan masuk pada pelajaran yang baru agar ilmunya menetap di hati dengan kuat.[118]
Mengasah kemampuan hafalan dengan terus akan meningkatkan volume hafalan secara bertahap. Dalam manaqib Imam Syafi’i yang disebutkan dalam pembukuan kitab al-Umm dikisahkan bahwa Imam Syafi’i ketika beliau telah berkembang beliau dikirim ibunya untuk belajar menulis, namun karena sang ibu tidak mampu membiayainya, maka Syafi’i kecil tidak diurus oleh guru.
Sikap guru tersebut membuat Syafi’i selalu mendekatkan jaraknya dari guru, beliau berusaha menghafal semua yang diajarkan sang guru pada murid-murid. Luar biasa secara bertahap daya ingat al-Syafi’i meningkat sampai pada lefel yang amat mengagumkan, bahkan ketika gurunya pergi Syafi’ilah yang mengajari teman-temanya karena mereka belum hafal apa yang diajarkan oleh sang guru.[119]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muthalaah (mengulang pelajaran) sebelum dan sesuadah belajar sangatlah diperlukan, karena hal ini dapat meningkatkan daya ingat pelajar terhadap ilmu yang telah didapat selama melaksanakan proses belajar mengajar dan akan membuatnya mudah dalam memahami ilmu.
c.    Berkerja keras dan bermusyawarah
Pelajar bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga dalam menghasilkan ilmu seperti bermusyawarah dengan para ahli ilmu agar dapat memperoleh ilmu karena ilmu tidak akan didapat dengan bersanatinya badan dan banyak menganggur dan hidupnya ilmu adalah dengan bermusyawarah. Setelah itu pelajar menghafalkan ilmu per bab/ tiap satu permasalahan samapai ke bab/ permasalahan yang lain dengan pelan-pelan seperti memahami lafadznya, bahasanaya, i’robnya, dan beberapa makna yang diucapkan guru, sehingga ilmu itu akan mudah diingat dan menjadi jelas serta nyata, karena orang yang mencari ilmu dengan borongan/ semua bab, maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya dan akan menjadi sia-sia atas apa yang telah dilakukannya.[120]
Dalam sya’ir kitab ta’lim muta’allim disebutkan bahwa “kemalasan disebabkan sedikitnya membaca tentang keutamaan ilmu.” Oleh karena itu, hendaknya seorang murid menimbulkan kesungguhan dan ketekunan dalam dirinya dengan menelaah keutamaan ilmu, karena ilmu akan tetap kekal selama pengetahuan itu masih ada, sedangkan harta akan habis, seperti yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahwa “kami rela ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa pada diri kami, kami memperoleh ilmu dan musuh memperoleh harta, karena harta akan hancur dalam waktu dekat sedangkan ilmu akan kekal selamanya.” Dengan ilmu yang manfaat seseorang mendapat pujian yang indah dan akan terus melekat padanya meski setelah ia wafat karena ilmu itu hidup kekal.[121]
Ada tiga tingkatan bagi manusia dalam bermusyawarah, bertanya dan mengutarakan pendapat:
1.    Seorang yang sempurna, yaitu orang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar dan mau mengutarakannya. Ia sempurna karena meluruskan temannya yang melenceng pemahamannya.
2.    Seorang yang setengah sempurna, yaitu orang yang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar namun tidak mau mengutarakannya dan orang yang mengutarakan pendapatnya namun pendapatnya tidak benar, akhirnya dengan musyawarah ia mendapatkan kebenaran.
3.    Orang yang tiada sempurna sama sekali, yaitu orang yang tidak mau mengutarakan pendapatnya dan pendapatnya salah, akhirnya ia tidak memperoleh kebenaran.[122]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bekerja keras sangatlah perlu bagi pelajar, karena dalam menjalani hidup ini dianjurkan untuk berusaha sesuai kemampuan dengan kata lain harus berusaha semaksimal tanpa mengeluh dan bosan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara bermusyawarah terhadap orang yang lebih pandai ilmunya agar kemampuan yang dimiliki dapat meningkat.
B.  Analisis Relevansi Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul Muta’allim Karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
Di dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip moral, ternyata juga tidak sepi dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah palsu, proses pendidikan yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik yang tidak semestinya. Itu semua adalah pertanda bahwa karakter bangsa ini oleh sementara orang sudah dianggap mulai mengkhawatirkan.
Lebih terasa memperhatikan lagi, adalah terjadinya kenakalan remaja dimana-mana, kasus-kasus penggunaan narkoba, seks bebas, video porno, tawuran dan lain-lain. Dikalangan orang tua juga terjadi perselingkuhan, beristeri simpanan, perzinahan, perjudian, korupsi dan makelar kasus. Belum lagi munculnya kasus-kasus konflik antar elit, saling tidak percaya, menuduh, mencurigai dan bahkan juga fitnah terjadi di mana-mana. Semua itu kemudian mengusik banyak pihak, sehingga mereka merasa perlu mencari jalan keluar untuk memperbaiki kondisi karakter bangsa ini.[123]
Akhir-akhir ini ramai banyak dibicarakan oleh banyak kalangan tentang contek-memyontek yang dilakukan oleh para siswa dalam ujian. Rupanya persoalan itu sudah dianggap sedemikian serius, sehingga para wartawan, baik lokal maupun nasional memuatnya. Tidak sebatas itu, bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun ikut terlibat, ambil bagian menyelesaikannya. Akhirnya contek-menyontek menjadi persoalan nasional.
Menyontek sebenarnya adalah hal kecil, dan biasa dilakukan oleh para siswa. Siswa menyontek itu sudah terjadi sejak zaman dulu, dan sama sekali bukan termasuk hal baru. Mungkin semua orang yang pernah sekolah, pada tingkat-tingkat tertentu, pernah melakukan itu. Menyontek merupakan kegiatan anak-anak di sekolah. Memahami hal itu, maka setiap pelaksanaan ujian selalu dijaga atau diawasi.
Hal yang kemudian meresahkan adalah, tatkala contek-menyontek itu dilakukan secara massal dan apalagi diketahui dan bahkan dikomando oleh para guru dan kepala sekolahnya. Itulah yang kemudian menjadi aneh. Guru dan kepala sekolah yang seharusnya mengajari para siswanya agar menjadi jujur, taat peraturan sekolah dan seterusnya, ternyata justru melakukan kebijakan yang sangat berlawanan dengan prinsip-prinsip dan hakikat pendidikan itu sendiri.
Lebih parah lagi ternyata, copy paste, plagiat, dan sejenisnya, dilakukan oleh oknum-oknum yang berstatus atau setidaknya mengaku sebagai ilmuwan. Bahkan beberapa waktu yang lalu, terdengar dari sebuah perguruan tinggi, terdapat guru besar yang kedapatan bahwa ternyata karya-karya ilmiahnya ternyata plagiat dari tulisan orang lain.[124]
Manusia adalah makhluk bermoral. Manusia yang melakukan penyimpangan moral adalah manusia yang sedang mereduksi nilai-nilai kemanusiaannya manusia. Karena kodrat dasar manusia adalah sebagai makhluk bermoral, yakni bermoral kemakhlukan manusia dan kemanusiaan makhluk. Tentu saja, kodrat kemanusiaan bukan menyeret manusia bergeser ke arah kanan (kepatuhan total) atau ke arah kiri (pengingkaran total), tetapi berada pada posisi aslinya sebagai manusia yang sekaligus berbeda dengan makhluk lainnya. Irisan kepatuhan dan pengingkaran menjadi ciri dari kemanusiaannya manusia.[125]
Oleh karena itu, terkait pendidikan karakter atau akhlak, ada dua hal yang seharusnya diperbaharui, yaitu mindset atau cara pandang tentang pendidikan dan niat sebagai dasar dalam menunaikan tugas-tugasnya sebagai pelaku tenaga kependidikan. Pendidikan harus dikembalikan pada watak aslinya, yaitu mengantarkan peserta didik menjadi anak bangsa meraih derajat unggul, baik dari aspek intelektual, spiritual, jiwa dan raga, serta akhlaknya.
Dengan demikian, pendidikan karakter atau akhlak bukan hanya terletak pada tanggung jawab guru agama atau guru budi pekerti, melainkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, dalam pendidikan karakter semua mata pelajaran/ kuliah, seperti biologi, kimia, fisika, matematika, sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, muaranya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan eksistensi dirinya, Tuhan, dan makna atau arti kehidupannya secara keseluruhan. Dengan begitu, maka diharapkan akan tumbuh keimanan yang selanjutnya membuahkan amal shaleh dan akhlakul karimah atau karakter yang unggul.[126]
Dari uraian sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Muta’allim karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi masih sangat relevan untuk dipergunakan sebagai buku pedoman penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak bagi masyarakat sekarang, khususnya bagi peserta didik dan pendidik yang terlibat dalam dunia pendidikan.


[84] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 6.
[85] Masrohan Ahmad, Terjemah al-Ghunyah, (Jakarta: Citra Risalah, 2010), hlm. 301.
[86] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 303.
[87] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 9.
[88] Shohibun Niam, Zadul Muta’allim, (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm. 15.
[89] Ahmad Sunarto, Etika Menuntut Ilmu terjemah Ta’limul Muta’allim, (Surabaya: al-Miftah, 2012), hlm. 195.
[90] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 17-18, 20.
[91] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut: Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah, tt), vol.1, hlm. 80.
[92] Abdullah Baalawi al-Hadad, Nashaihul Diniyah, (Maktabah Toha Putra, tt), hlm. 30-31.
[93] Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul Hidayah, (Surabaya: tt), hlm. 40.
[94] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 20-21.
[95] Taufiqul Hakim, op., cit., hlm . 6-11.
[96] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 1.
[97] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 22-23.
[98] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op., cit., hlm. 88.
[99] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 10.
[100] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 112-113.
[101] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 11-12.
[102] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 94-95.
[103] Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah, (Surabaya: Maktabah Nurul Huda, tt), hlm. 71.
[104] Ahmad al-Maihi al-Syaibani, Hasyiah al-Syaibani Ala Syarhis Sittin, (Sangkapura: Maktabah Usaha Keluarga, tt), hlm. 2.
[105] Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 71.
[106] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 5.
[107] Taufiqul Hakim, op., cit., hlm. 40-41.
[108] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 12, 18.
[109] Tafiqul Hakim, op., cit., hlm. 15-16.
[110] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 19.
[111] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab, vol. 1, hlm. 35.
[112] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 8-9.
[113] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 94.
[114] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 95.
[115] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 4.
[116] Imam Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid), (Jakarta : Pustaka Amani, 1995), hlm. 24.
[117] Imam Ghazali, ibid., hlm. 8.
[118] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 7.
[119] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 18.
[120] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 14-16.
[121] Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 108.
[122] Syeikh al-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, hlm. 14.
[123] Imam Suprayogo, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Malang: UIN-Maliki Press, 2013), hlm. ix-x.
[124] Imam Suprayogo, op., cit., hlm. 10, 11.
[125] Mursidin, Moral (Sumber Pendidikan), (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 5.
[126] Imam Suprayogo, op., cit., hlm. xxi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar