BAB
IV
ANALISIS
KONSEP NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB TANBIHUL MUTA’ALLIM
A. Analisis Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul
Muta’allim Karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
Berdasarkan
data-data pada bab sebelumnya maka penulis mengklasifikasikan nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul Muta’allim karya Ahmad Maisur
Sindi al-Thursidi menjadi 4 macam:
1. Hubungan antara manusia dengan Allah, yang meliputi:
a. Berdo’a sebelum dan sesudah belajar.
Pelajar memulai dan
mengakhiri belajar dengan membaca basmallah, hamdallah, shalawat kepada Nabi
dan keluarganya serta para sahabat kemudian meminta pertolongan Allah tentang
ilmu.[84]
Jabir bin Abdullah
R.A., mengatakan bahwa pada saat turun ayat bismillahirrahmanirrahim, maka awan
lari ke timur, angin berhenti, laut bergelombang, binatang-binatang
mendengarkan dengan telinganya, dan syaitan-syaitan dilempari dari langit.
Allah SWT. bersumpah dengan kemuliaan-Nya bahwa jika disebutkan nama-Nya pada
sesuatu, maka akan menjadi obat baginya. Jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu,
maka akan menjadikan keberkahan baginya. Dan barang siapa membaca
bismillahirrahmanirrahim dijamin masuk surga.”[85]
Kemudian ada
riwayat lain dari Ikrimah mengatakan bahwa Allah menciptakan qalam dan lauh
yang pertama kali dan Allah memerintahkan qalam menulis di atas lauh segala
sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat. Maka sesuatu yang pertama kali
yang ditulis di atas lauh adalah bismillahirrahmanirrahim. Kemudian
Allah SWT. menjadikan ayat ini sebagai jaminan keamanan bagi hamba-Nya yang
membacanya. Karena kalimat itu merupakan bacaan seluruh penghuni tujuh langit
dan bacaan orang-orang yang selalu menyucikan Allah SWT., yaitu orang yang
telah mendapatkan keagungan.”[86]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa kalimat bismillahirrahmanirrahim, shalawat atau
do’a-do’a dapat menjadikan suatu keberkahan tersendiri bagi para pembacanya dan
menjadikan diangkat derajat kemuliaannya serta dapat menjadikannya mudah dalam
segala urusannya.
b. Menjauhi perkara dosa
Kemudian pelajar
hendaknya menjauhi beberapa perkara dosa, karena satu dosa merupakan kotoran
yang melekat di hati.[87]
Perbuatan dosa
membuat hati manusia merasa bersalah dan tidak tenang bahkan bisa membuat hati
putus asa sehingga bingung tidak tahu akan lari kemana. Kondisi tersebut
membuat pikiran tidak dapat berfungsi dengan sempurna, sebab kondisi kejiwaan
sangat mempengaruhi kinerja pikiran.[88]
Imam al-Syafi’i
dalam gubahan sya’irnya mengatakan, bahwa: “Aku mengeluh pada Imam Waqi’ akan
lemahnya hapalanku, maka beliau menyuruhku untuk meninggalkan maksiat dan
beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan
diberikan pada ahli maksiat.”[89]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa hati manusia sering kali berubah, terkadang
berangsur-angsur menjadi terang, terasa lapang, ibadah menjadi ringan sehingga
belajar juga semakin kuat. Namun terkadang hati berubah menjadi terasa sesak,
dunia terasa sempit, ibadah jadi kendor dan akhirnya belajarpun menjadi malas.
Hal itu disebabkan karena hatinya telah menjadi gelap dan keras yang merupakan
akibat dari dosa yang menumpuk dan nafsu yang memegang kendali kemauan dan
gerakan manusia.
c. Disiplin waktu
Pelajar dapat
membagi waktu agar dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu
yang kosong dan sia-sia dengan memperbanyak untuk mengulang pelajaran di waktu
malam terlebih lagi pada waktu sahur agar dapat mengejar para ahli ilmu. Dan
Pelajar yang tidak bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu
yang pendek, maka pelajar akan berada di kehinaan kebodohan pada waktu yang
lama.[90]
Menurut al-Ghazali
dalam kitab ihya’ ulumiddin membagi waktu 24 jam menajdi tiga bagian:
1. 8 jam untuk ilmu
2. 8 jam untuk urusan dunia
3. 8 jam untuk urusan akhirat[91]
Kemudian pelajar
menghidupkan waktu malam, karena waktu malam itu lebih mulia dari waktu siang.
Ibadah yang dilakukan di malam hari jauh lebih besar pahalanya dari ibadah yang
dilakukan di siang hari. Pada waktu malam juga terdapat waktu mustajabah. Nabi
SAW. bersabda: ”sesungguhnya di malam hari terdapat waktu yang tiada satupun
yang saat itu meminta hal dunia maupun akhirat kecuali diberinya. Setiyap malam
rahmat Allah turut ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga akhir dari malam
dia berkata adakah yang berdo’a, sehingga kukabulkan? Adakah yang meminta
sehingga kuberi? Adakah yang meminta ampunan sehingga kuampuni?. Barang siapa
mengisi malamnya dengan tidur, maka di hari kiamat ia datang dalam keadaan
fakir.”[92]
Malam adalah waktu
yang luar biasa. Menurut kyai Nawawi Banten belajar di waktu malam adalah salah
satu sebab terbukanya hati dalam memahami ilmu. Waktu malam juga termasuk waktu
yang senggang, sepi, dan tenang sehingga sangat cocok untuk mengulang-ulang
membaca pelajaran dan menghafalkan.[93]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang yang alim membutuhkan waktu yang tidak
sebentar sebab ilmu pengetahuan sangat luas sekali sehingga butuh waktu yang
panjang. Tiada yang tahu luasnya ilmu kecuali Allah al-Alim. Sehebat apapun
manusia dan selama apapun dia hidup, tidak akan mampu mengumpulkan semuanya.
d. Niat dan tujuan
Pelajar
membaguskan/ memurnikan niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan
harta benda dan menjauhi dari mencintai kedudukan, dimuliakan manusia serta
dipuji oleh manusia agar ia menjadi orang yang mulia, karena pelajar yang
mencari ilmu karena Allah, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali
perkara dunia dan ia tidak akan mencium baunya surga.[94]
Setiap orang yang
menuntut ilmu harus punya niat, karena sahnya amal dengan niat. Niat menuntut
ilmu yang utama adalah mencari ridlanya Allah SWT. kemudian di antara niat
mencari ilmu yang lain adalah untuk mendapatkan pahala di akhirat, untuk
menghidupkan agama Allah yaitu agama islam, untuk melanggengkan agama islam,
untuk menghilangkan kebodohan dirinya dan kebodohan orang-orang yang bodoh
serta untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan Allah
berupa nikmat akal dan kesehatan badan. Dan janganlah berniat untuk mendapatkan
perhatian manusia dan untuk mendapatkan harta benda serta dengan niat agar
dimuliakan pejabat atau penguasa.[95]
Sebelum berangkat
mencari ilmu hendaknya pelajar mengatur niat terlebih dahulu, merenungkan
tujuannya mencari ilmu dan menghayati manfaat ilmu yang kelak akan diperolehnya.
Dengan demikian niatnya akan menjadi kukuh dan kuat sehingga tidak mudah goyah
dan roboh ketika badai cobaan dan ujian menerpanya. Setelah niatnya terasa sangat
kuat mengucap di dada kemudian atur dan rencanakan urutan, cara, dan metode
dalam belajar.[96]
Pelajar mengamalkan
sesuatu yang pernah didengarnya dari beberapa golongan ilmu ibadah dan ilmu
akhlak yang utama serta mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu
kalimat karena Allah Ta’ala, agar ia tidak termasuk orang yang
menyembunyikan ilmu sehingga mendapatkan laknat dari Allah.[97]
Mengamalkan atau
mempraktekkan ilmu termasuk cara yang paling efektif untuk menancapkan ilmu
dengan kokoh dalam hati. Ilmu akan terasa berkesan dalam hati setelah diamalkan
sehingga tidak mudah hilang. Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa “ilmu memanggil
amal, jika ia datang (maka ia akan tetap) namun jika tidak datang ilmu akan
pergi.”[98]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa niat dan tujuan dalam mencari ilmu sangatlah penting
bagi pelajar agar selama perjalanannya dapat menuai kesempurnaan hidupnya dan
mengangkat derajat juga martabat kemanusiaannya.
2. Hubungan antara manusia dengan sesamanya, yang meliputi:
a. Akhlak terhadap keluarga, yaitu berbuat baik dan mendo’akan
kedua orang tua.
Pelajar berbuat
baik terhadap kedua orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akan kedua orang
tua serta mengirimkan pahala kebaikan setelah wafatnya.[99]
Abdullah bin Umar
RA., dia berkata, “seorang lelaki telah datang kepada Nabi SAW. lalu berkata,
“sesungguhnya aku ingin berjihad.” Beliau bersabda, “apakah kamu mempunyai
kedua orang tua?” dia menjawab, “ya.” Beliau bersabda, berjihadlah dengan melayani
mereka.” Adapun cara berbakti kepada mereka adalah dengan mencukupi
keperluan mereka, menghindarkan mereka dari hal yang menyakitkan, dan merawat
mereka seperti merawat anak kecil. Janganlah bersikap kasar terhadap mereka,
janganlah menolak apa yang mereka inginkan, dan menjadikan pelayanan kepada
mereka sebagai ganti memperbanyak shalat sunnah dan puasa.
Kemudian memohonkan
ampun untuk mereka seusai shalat. Jangan membuat mereka lelah, jangan membebani
dan menyakiti mereka, jangan mengeraskan suara melebihi mereka, jangan
membantah perintah mereka selama tidak melanggar agama, misalnya perintah untuk
meninggalkan suatu perintah yang wajib seperti haji bagi yang mampu, shalat
lima waktu, puasa, zakat, nadzar dan tidak pula melanggar dosa seperti zina,
minum arak, membunuh, menuduh palsu, dan mengambil harta tanpa sepengetahuan
pemiliknya.[100]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa berbuat baik dan mendo’akan terhadap kedua orang tua
itu wajib karena pahalanya seperti orang yang berjihad dan dilarang membantah
kecuali dalam hal ajakan melaksanakan perbuatan yang tidak baik menurut ajaran
agama.
b. Akhlak terhadap masyarakat, antara lain:
1. Memuliakan dan mengagungkan guru
Pelajar menyakini
kemuliaan dan keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung
pada zaman yang akan dihadapinya, sehingga ia mampu bersungguh-sungguh mencari
ridhanya guru dan mengagungkan guru dengan hati yang bersih supaya termasuk
golongan orang yang utama.[101]
Seorang murid harus
memiliki kenyakinan bahwa gurunya sangat ahli dan yang paling unggul di antara
sekian ulama’ lainnya agar ia lebih antusias dengan apapun yang ia dengar dari
gurunya. Dan murid harus selalu berprasangka baik pada gurunya, jika ada yang
menggunjingnya ia harus menghentikannya dan jika tidak bisa, maka segera pergi
dan meninggalkan mereka untuk menjaga iktikad pada guru. Selain itu jangan
pernah berburuk sangka pada gurunya walaupun yang dilakukan gurunya tidak cocok
dengannya, bahkan walaupun tidak sesuai dengan sunnah, beliau lebih paham dan
lebih mengetahui rahasia dibalik yang dikerjakannya. Cukuplah kisah Nabi Musa
dengan gurunya Nabi Khidhir sebagai contoh pentingnya menjaga hati dari
prasangka buruk pada guru.[102]
Memuliakan guru
merupakan kewajiban seorang murid, Nabi SAW. telah bersabda yang artinya “pelajarilah
ilmu serta belajarlah tenang dan berwibawa dan rendah dirilah pada orang yang
kamu belajar darinya.”
Tujuan menghormati
guru adalah untuk mengagungkan ilmu beliau dan untuk mendapatkan ridlo beliau.
Dalam buku karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi yang berjudul Muhtarul Ahadits
al-Nabawiyyah disebutkan bahwa “sesungguhnya guru dan dokter tidak akan
tulus jika mereka tidak dimuliakan, maka sabarlah dengan penyakitmu jika kamu
meninggalkan dokternya dan terimalah kebodohanmu jika kamu tinggalkan guru.”[103]
Syeikh Ahmad
al-Maihiy al-Syaibani dalam kitab Hasyiah Syaibani menyebutkan bahwa “lebih
kudahulukan guruku atas diriku sendiri dan orang tuaku walaupun aku memperoleh
keutamaan dan kemuliaan dari orang tuaku sebab guruku mendidik jiwaku (ruh) dan
ayahku mendidik ragaku sedangkan ruh bagaikan mutiara dan jisim bagaikan
wadahnya.”[104]
Kemudian sayyidina
Ali bin Abi Thalib berkata dalam sya’irnya yaitu “aku menyakini bahwa hak yang
paling penting adalah hak seorang guru dan merupakan hak yang paling wajib
dipenuhi bagi semua umat dan sungguh sangat layak jika seorang guru diberi
seribu dirham sebagai penghormatan untuk satu huruf yang beliau ajarkan.[105]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa menyakini kemuliaan dan keluhuran sang guru serta
menghormati guru merupakan suatu kewajiban bagi pelajar, karena dalam hal ini
menyebabkan ridlanya guru dan salah satu cara dalam mengagungkan pemilik ilmu.
2. Taat dan tawadlu’
Pelajar duduk
dengan tenang, takut terhadap guru dan ilmu serta patuh pada guru dengan
menghadap pada guru dan menundukkan kepala saat guru menerangkan sesuatu serta
mencatat apa-apa yang belum diketahui agar dapat dipahaminya.[106]
Kemudian di dalam
kitab al-Bayan disebutkan bahwa seorang pelajar harus bersikap tawadlu’ (rendah
hati) dan sopan kepada guru walaupun gurunya lebih muda, kurang tersohor dan
lebih rendah nasab dan kebaikannya daripada dirinya, dengan tawadlu’, maka ia
bisa mendapatkan ilmu.[107]
Pelajar menggunakan
pekerti yang baik dan budi yang mulia serta sopan santun terhadap orang yang
mengajarinya agar mencapai kemuliaan yang tinggi dengan tidak membuat kebosanan
pada guru, karena hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat
mencegah dalam mengambil kemanfaatan ilmu. Kemudian ia meminta ijin kepada guru
ketika ada halangan untuk tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan
halangannya.[108]
Orang yang
mengajarimu walau satu huruf yang penting dalam agama, maka dia adalah bapakmu dalam
agama, jangan pernah mengatakan, dia mantan guruku, maka ilmumu tidak akan
bermanfaat dan tidak akan bisa mendapatkan barokah ilmu dan guru, Jangan pula
berjalan di muka guru, jangan menduduki tempat duduknya guru, jangan bertanya
sesuatu yang membosankan, jangan mengetuk-ngetuk pintu guru, tetapi bersabarlah
hingga guru keluar. Barang siapa yang menyakiti hati guru, maka ia tidak akan
bisa mendapatkan barokahnya dan manfaatnya ilmu kecuali sedikit.[109]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa taat dan rendah hati terhadap orang yang mengajari
merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi pelajar dalam mencari ilmu, karena
hal ini dapat meningkatkan kemuliaan yang tinggi bagi pelajar dan dapat menjaga
kepahamannya selama mencari ilmu serta dapat memberi keberkahan dan kemanfaatan
ilmu.
3. Tidak sombong dan tidak minder
Pelajar tidak
merasa malu dan sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya
serta lainnya seperti berselisih tentang ilmu dan unggul-unggulan dalam hal
ilmu serta menganggap remeh ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah, karena orang
yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu sebagaimana air
yang tidak akan mengalair ke atas gunung.[110]
Imam as-Syafi’i
mengatakan “tidak akan berhasil orang yang mencari ilmu dengan keangkuhan,
orang yang akan berhasil mendapatkannya adalah yang mencarinya dengan
kerendahan diri dan serba diliputi keterbatasan.”[111]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa sifat sombong dan minder yang dimiliki oleh pelajar
dapat mencegah rusaknya ilmu dan mempersulit kepahamannya selama mencari ilmu,
karena ilmu hanya akan diberikan kepada orang yang memiliki sifat rendah hati
dan memiliki sifat percaya diri yang tidak berlebihan.
3. Akhlak terhadap lingkungannya, yang meliputi:
Pelajar dianjurkan
memakan makanan yang halal, memakai pakaian yang bersih dan menggunkan alat
belajar yang halal serta menata semua perkara dengan rajin seperti meletakkan
sesuatu pada tempat yang tetap agar hatinya menjadi terang dan bersinar.[112]
Abu Hurairah RA.
Telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa mencari harta
secara halal, dengan menjaga harga diri dan tidak meminta-minta untuk mencukupi
keluarganya dan mengasihi tetangganya, maka Allah SWT. akan membangkitkannya
pada hari kiamat dengan wajah seperti bulan purnama. Barang siapa mencari harta
secara halal untuk ditumpuk-tumpuk karena sombong dan pamer, maka dia akan
berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan Dia murka kepadanya.”[113]
Sungguh, jika salah
seorang di antara kamu mengambil tali kemudian menuju ke suatu lembah untuk
mencari kayu lalu datang ke pasarmu untuk menjualnya dengan satu mud kurma,
itu lebih baik baginya daripada meminta manusia, baik mereka memberinya atau
tidak memberinya.”[114]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa terang dan bersinarnya hati disebabkan oleh penggunaan
apa-apa yang ada dalam diri pelajar yaitu dengan sesuatu yang bersifat halal
dan baik serta bersih juga rapi, sehingga ilmu mudah diterima dengan baik.
4. Akhlak terhadap diri sendiri, yang meliputi:
a. Menjaga kebersihan dengan bersuci
Apabila hendak
masuk pada tempat belajar, maka pelajar dianjurkan bersuci dengan berwudlu,
menggunakan pakaian yang bersih dan suci serta berbau harum serta bersiwak agar
sesampainya di tempat belajar sudah bagus dan rapi. Kemudian ia mempersiapkan
apa-apa yang diperlukan saat di tempat belajar seperti buku, bolpoin dan
sebagainya dalam belajar agar tidak mengganggu dalam proses belajar mengajar.[115]
Hal ini sesuai
dengan yang disabdakan Rasulullah SAW. yaitu bahwa wudlu itu sebagian
dari iman. Begitu pula hati harus dikosongkan dari akhlak tercela, kemudian
diisi dengan akhlak terpuji. Begitu pula mengenai anggota tubuh. Ia harus
dikosongkan dari dosa-dosa, kemudian diisi dengan ketaatan. Masing-masing dari
tingkatan ini adalah syarat untuk masuk dalam tingkatan selanjutnya. Maka
penyucian diawali dengan penyucian lahir, kemudian penyucian roh, hati dan
batin.[116]
Tugas pertama
pelajar ialah mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah berdasarkan
sabda Rasulullah SAW. bahwa “Agama didirikan di atas kebersihan.” Bukanlah
yang dimaksud kebersihan baju saja, tetapi di dalam hati. Hal itu ditunjukkan
oleh firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS.
Al-Taubah: 28), sedangkan najasah tidak khusus mengenai baju.
Maka, selama batin
tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang
bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud
berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya
yang dimasukkan ke dalam hati.”[117]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa berwudlu, bersiwak dan menjaga kebersihan baik jasmani
maupun rohani sangat dianjurkan bagi pelajar, karena hal ini menyebabkan
diterimanya ilmu yang bermanfaat dalam hati bagi pelajar.
b. Muthola’ah (mengulang pelajaran)
Apabila sepulang
dari tempat belajar, sesampainya di rumah pelajar mengulang pelajaran yang baru
saja ia dapatkan di tempat belajar sampai pada pelajaran yang berikutnya,
begitu pula ketika akan masuk pada pelajaran yang baru agar ilmunya menetap di
hati dengan kuat.[118]
Mengasah kemampuan
hafalan dengan terus akan meningkatkan volume hafalan secara bertahap. Dalam
manaqib Imam Syafi’i yang disebutkan dalam pembukuan kitab al-Umm dikisahkan
bahwa Imam Syafi’i ketika beliau telah berkembang beliau dikirim ibunya untuk
belajar menulis, namun karena sang ibu tidak mampu membiayainya, maka Syafi’i
kecil tidak diurus oleh guru.
Sikap guru tersebut
membuat Syafi’i selalu mendekatkan jaraknya dari guru, beliau berusaha menghafal
semua yang diajarkan sang guru pada murid-murid. Luar biasa secara bertahap
daya ingat al-Syafi’i meningkat sampai pada lefel yang amat mengagumkan, bahkan
ketika gurunya pergi Syafi’ilah yang mengajari teman-temanya karena mereka
belum hafal apa yang diajarkan oleh sang guru.[119]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa muthalaah (mengulang pelajaran) sebelum dan sesuadah
belajar sangatlah diperlukan, karena hal ini dapat meningkatkan daya ingat
pelajar terhadap ilmu yang telah didapat selama melaksanakan proses belajar
mengajar dan akan membuatnya mudah dalam memahami ilmu.
c. Berkerja keras dan bermusyawarah
Pelajar
bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga dalam menghasilkan ilmu seperti
bermusyawarah dengan para ahli ilmu agar dapat memperoleh ilmu karena ilmu
tidak akan didapat dengan bersanatinya badan dan banyak menganggur dan hidupnya
ilmu adalah dengan bermusyawarah. Setelah itu pelajar menghafalkan ilmu per
bab/ tiap satu permasalahan samapai ke bab/ permasalahan yang lain dengan
pelan-pelan seperti memahami lafadznya, bahasanaya, i’robnya, dan beberapa
makna yang diucapkan guru, sehingga ilmu itu akan mudah diingat dan menjadi
jelas serta nyata, karena orang yang mencari ilmu dengan borongan/ semua bab,
maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya dan akan menjadi sia-sia atas apa
yang telah dilakukannya.[120]
Dalam sya’ir kitab
ta’lim muta’allim disebutkan bahwa “kemalasan disebabkan sedikitnya membaca
tentang keutamaan ilmu.” Oleh karena itu, hendaknya seorang murid menimbulkan
kesungguhan dan ketekunan dalam dirinya dengan menelaah keutamaan ilmu, karena
ilmu akan tetap kekal selama pengetahuan itu masih ada, sedangkan harta akan
habis, seperti yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahwa
“kami rela ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa pada diri kami, kami memperoleh
ilmu dan musuh memperoleh harta, karena harta akan hancur dalam waktu dekat
sedangkan ilmu akan kekal selamanya.” Dengan ilmu yang manfaat seseorang
mendapat pujian yang indah dan akan terus melekat padanya meski setelah ia
wafat karena ilmu itu hidup kekal.[121]
Ada tiga tingkatan
bagi manusia dalam bermusyawarah, bertanya dan mengutarakan pendapat:
1. Seorang yang sempurna, yaitu orang memiliki pemahaman dan
pendapat yang benar dan mau mengutarakannya. Ia sempurna karena meluruskan
temannya yang melenceng pemahamannya.
2. Seorang yang setengah sempurna, yaitu orang yang memiliki
pemahaman dan pendapat yang benar namun tidak mau mengutarakannya dan orang
yang mengutarakan pendapatnya namun pendapatnya tidak benar, akhirnya dengan
musyawarah ia mendapatkan kebenaran.
3. Orang yang tiada sempurna sama sekali, yaitu orang yang tidak
mau mengutarakan pendapatnya dan pendapatnya salah, akhirnya ia tidak
memperoleh kebenaran.[122]
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa bekerja keras sangatlah perlu bagi pelajar, karena
dalam menjalani hidup ini dianjurkan untuk berusaha sesuai kemampuan dengan
kata lain harus berusaha semaksimal tanpa mengeluh dan bosan. Hal itu bisa
dilakukan dengan cara bermusyawarah terhadap orang yang lebih pandai ilmunya
agar kemampuan yang dimiliki dapat meningkat.
B. Analisis Relevansi Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam
Kitab Tanbihul Muta’allim Karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
Di dunia pendidikan
yang seharusnya menjadi tauladan, selalu menjaga prinsip-prinsip moral,
ternyata juga tidak sepi dari sorotan negatif. Terungkapnya ijazah palsu,
proses pendidikan yang dijalankan apa adanya, kenaikan jabatan akademik yang
tidak semestinya. Itu semua adalah pertanda bahwa karakter bangsa ini oleh
sementara orang sudah dianggap mulai mengkhawatirkan.
Lebih terasa
memperhatikan lagi, adalah terjadinya kenakalan remaja dimana-mana, kasus-kasus
penggunaan narkoba, seks bebas, video porno, tawuran dan lain-lain. Dikalangan
orang tua juga terjadi perselingkuhan, beristeri simpanan, perzinahan,
perjudian, korupsi dan makelar kasus. Belum lagi munculnya kasus-kasus konflik
antar elit, saling tidak percaya, menuduh, mencurigai dan bahkan juga fitnah
terjadi di mana-mana. Semua itu kemudian mengusik banyak pihak, sehingga mereka
merasa perlu mencari jalan keluar untuk memperbaiki kondisi karakter bangsa
ini.[123]
Akhir-akhir ini
ramai banyak dibicarakan oleh banyak kalangan tentang contek-memyontek yang
dilakukan oleh para siswa dalam ujian. Rupanya persoalan itu sudah dianggap
sedemikian serius, sehingga para wartawan, baik lokal maupun nasional
memuatnya. Tidak sebatas itu, bahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun ikut
terlibat, ambil bagian menyelesaikannya. Akhirnya contek-menyontek menjadi
persoalan nasional.
Menyontek
sebenarnya adalah hal kecil, dan biasa dilakukan oleh para siswa. Siswa
menyontek itu sudah terjadi sejak zaman dulu, dan sama sekali bukan termasuk
hal baru. Mungkin semua orang yang pernah sekolah, pada tingkat-tingkat
tertentu, pernah melakukan itu. Menyontek merupakan kegiatan anak-anak di
sekolah. Memahami hal itu, maka setiap pelaksanaan ujian selalu dijaga atau
diawasi.
Hal yang kemudian
meresahkan adalah, tatkala contek-menyontek itu dilakukan secara massal dan
apalagi diketahui dan bahkan dikomando oleh para guru dan kepala sekolahnya.
Itulah yang kemudian menjadi aneh. Guru dan kepala sekolah yang seharusnya
mengajari para siswanya agar menjadi jujur, taat peraturan sekolah dan
seterusnya, ternyata justru melakukan kebijakan yang sangat berlawanan dengan
prinsip-prinsip dan hakikat pendidikan itu sendiri.
Lebih parah lagi
ternyata, copy paste, plagiat, dan sejenisnya, dilakukan oleh oknum-oknum
yang berstatus atau setidaknya mengaku sebagai ilmuwan. Bahkan beberapa waktu
yang lalu, terdengar dari sebuah perguruan tinggi, terdapat guru besar yang
kedapatan bahwa ternyata karya-karya ilmiahnya ternyata plagiat dari tulisan
orang lain.[124]
Manusia adalah
makhluk bermoral. Manusia yang melakukan penyimpangan moral adalah manusia yang
sedang mereduksi nilai-nilai kemanusiaannya manusia. Karena kodrat dasar
manusia adalah sebagai makhluk bermoral, yakni bermoral kemakhlukan manusia dan
kemanusiaan makhluk. Tentu saja, kodrat kemanusiaan bukan menyeret manusia
bergeser ke arah kanan (kepatuhan total) atau ke arah kiri (pengingkaran
total), tetapi berada pada posisi aslinya sebagai manusia yang sekaligus
berbeda dengan makhluk lainnya. Irisan kepatuhan dan pengingkaran menjadi ciri
dari kemanusiaannya manusia.[125]
Oleh karena itu,
terkait pendidikan karakter atau akhlak, ada dua hal yang seharusnya
diperbaharui, yaitu mindset atau cara pandang tentang pendidikan dan niat
sebagai dasar dalam menunaikan tugas-tugasnya sebagai pelaku tenaga
kependidikan. Pendidikan harus dikembalikan pada watak aslinya, yaitu
mengantarkan peserta didik menjadi anak bangsa meraih derajat unggul, baik dari
aspek intelektual, spiritual, jiwa dan raga, serta akhlaknya.
Dengan demikian,
pendidikan karakter atau akhlak bukan hanya terletak pada tanggung jawab guru
agama atau guru budi pekerti, melainkan merupakan tanggung jawab semua pihak
yang terlibat dalam proses pendidikan. Selain itu, dalam pendidikan karakter
semua mata pelajaran/ kuliah, seperti biologi, kimia, fisika, matematika,
sosiologi, psikologi, sejarah dan lain-lain, muaranya adalah untuk meningkatkan
kesadaran akan eksistensi dirinya, Tuhan, dan makna atau arti kehidupannya
secara keseluruhan. Dengan begitu, maka diharapkan akan tumbuh keimanan yang
selanjutnya membuahkan amal shaleh dan akhlakul karimah atau karakter yang
unggul.[126]
Dari uraian sebelumnya,
penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Tanbihul
Muta’allim karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi masih sangat relevan untuk
dipergunakan sebagai buku pedoman penanaman nilai-nilai pendidikan akhlak bagi
masyarakat sekarang, khususnya bagi peserta didik dan pendidik yang terlibat
dalam dunia pendidikan.
[84]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 6.
[85]
Masrohan Ahmad, Terjemah al-Ghunyah, (Jakarta: Citra Risalah, 2010),
hlm. 301.
[86]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 303.
[87]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 9.
[88]
Shohibun Niam, Zadul Muta’allim, (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm.
15.
[89]
Ahmad Sunarto, Etika Menuntut Ilmu terjemah Ta’limul Muta’allim,
(Surabaya: al-Miftah, 2012), hlm. 195.
[90]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 17-18, 20.
[91]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut:
Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah, tt), vol.1, hlm. 80.
[92]
Abdullah Baalawi al-Hadad, Nashaihul Diniyah, (Maktabah Toha Putra, tt),
hlm. 30-31.
[93]
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul
Hidayah, (Surabaya: tt), hlm. 40.
[94]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 20-21.
[95]
Taufiqul Hakim, op., cit., hlm . 6-11.
[96]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 1.
[97]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 22-23.
[98]
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op., cit., hlm. 88.
[99]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 10.
[100]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 112-113.
[101]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 11-12.
[102]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 94-95.
[103]
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah, (Surabaya:
Maktabah Nurul Huda, tt), hlm. 71.
[104]
Ahmad al-Maihi al-Syaibani, Hasyiah al-Syaibani Ala Syarhis Sittin,
(Sangkapura: Maktabah Usaha Keluarga, tt), hlm. 2.
[105]
Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 71.
[106]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 5.
[107]
Taufiqul Hakim, op., cit., hlm. 40-41.
[108]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 12, 18.
[109]
Tafiqul Hakim, op., cit., hlm. 15-16.
[110]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 19.
[111]
Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab, vol. 1, hlm. 35.
[112]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 8-9.
[113]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 94.
[114]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 95.
[115]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 4.
[116]
Imam Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid),
(Jakarta : Pustaka Amani, 1995), hlm. 24.
[117]
Imam Ghazali, ibid., hlm. 8.
[118]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 7.
[119]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 18.
[120]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 14-16.
[121]
Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 108.
[122]
Syeikh al-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, hlm. 14.
[123]
Imam Suprayogo, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Malang: UIN-Maliki
Press, 2013), hlm. ix-x.
[124]
Imam Suprayogo, op., cit., hlm. 10, 11.
[125]
Mursidin, Moral (Sumber Pendidikan), (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,
2011), hlm. 5.
[126]
Imam Suprayogo, op., cit., hlm. xxi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar