TASAWUF SEBAGAI
PARADIGMA SPIRITUAL DAN AKHLAK
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa PASCASARJANA STAIN Pekalongan)
2015
ABSTRAK
Akhlak
merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dan
Allah SWT. (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas).
Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara
tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan
akhlak. Sedangkan bidang akhlak memang membicarakan tatakrama atau etika
perbuatan lahir dan perbuatan batin, termasuk di dalamnya adalah ajaran
tasawuf, karena Islam memberikan tempat bagi penghayatan keagamaan secara
lahiriah, dan juga secara batiniah. Penghayatan lahiriah dilakukan dengan fiqh/
syari’at, sedangkan penghayatan secara batiniah dilakukan dengan tasawuf.
Adapun praktek
bertasawuf adalah menyandangkan sifat-sifat terpuji sekaligus menanggalkan
sifat-sifat tercela, melaksanakan semua perintah agama sekaligus menjauhi
larangannya, dan senantiasa berdzikrullah untuk mempertajam hati serta menjernihkan
relung batin dan ruhani. Untuk itu, dalam ilmu tasawuf dipelajari berbagai
pengalaman pengetahuan yang menyangkut gejala hati, etika hati, proses
penjernihan relung batin dan penjernihan cahaya ruhani serta bebagai hal yang
menyangkut kelancaran suluk (proses perjalanan spiritual) menuju wujud hakiki
Allah swt.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, hakikat
tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual,
psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses
penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah
Bagir, 1999: 7).
Adapun menyangkut
faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme
Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan
bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf
berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit
pengaruh luar, terutama Nasrani.
Tasawuf pada mulanya
dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia,
dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk
membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh
Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul
A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat
sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan
bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme
Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang
berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian,
kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan
kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam
sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu:
model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah,
yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan
dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf, Spiritual dan Akhlak
Para
ulama berbeda pendapat tentang akar kata tashawwuf ini:[1]
1.
Berasal dari kata shofi yang
artinya suci, karena kesucian hati para sufi (pengamal tasawuf) dan kebersihan
tindakannya.
2.
Berasal dari kata shaff yang
artinya barisan, karena para sufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih dan
selalu memilih baris terdepan dalam shalat berjama’ah.
3.
Berasal dari kata shuffah
yang artinya serambi, karena para sufi di zaman Nabi bertempat tinggal di
serambi rumah beliau hingga mereka disebut Ahlis Shuffah. Tempat ini
masih diabadikan sampai sekarang, yaitu di sisi utara makam Rasul dalam Masjid
Nabawi di Madinah.
4.
Berasal dari kata Shafwah
yang artinya terpilih, karena para sufi adalah orang-orang pilihan Allah
disebabkan ketulusan amal mereka kepada-Nya.
5.
Berasal dari kata Shuuf yang
artinya bulu domba, karena para sufi biasa memakai pakaian dari bulu sebagai
lambang kerendahan hati dan kesederhanaan mereka.
Kemudian Al-Qanuji mengutip pendapat Imam
Qusyairi, bahwa kata tashawwuf adalah laqab (sebutan, gelar,
istilah), jadi tidak perlu dicari akar katanya.[2]
Karena perbedaan tentang akar kata
tersebut, maka menjadi sulit untuk dirumuskan definisinya. Adapun definisi-definisi
yang ada dan ditemukan dari berbagai literatur yaitu dirumuskan berdasarkan
pengalaman batin para ulama sufi antara lain:
1.
Syaikh Junaid Al-Baghdadi
(wafat: 297 H/ 910 M), yaitu “membersihkan hati dari sifat-sifat hewani,
menekan sifat-sifat basyariyah, melawan hawa nafsu, menegakkan sifat ruhaniah,
berpegang pada ilmu kebenaran, memberi nasihat kepada umat, benar-benar
menapati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah saw”.
2.
Syaikh Ruwaim (wafat: 303
H/ 916 M), yaitu: “kemerdekaan bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya”.
3.
Syaikh Abdul Qasim
Al-Qusyairi, yaitu: “ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi,
berjuang melawan nafsu, mengendalikan syahwat, dan menghindari sifat meremehkan
ibadah”.
4.
Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi (wafat:
200 H/ 816 M), sebagai guru Al-Junaid, yaitu: “ketidak pedulian terhadap
duniawi dan mengabaikan apa yang di tangan orang lain”. Pengertian senada
juga dikemukakan oleh Syaikh Dzin Nun Al-Misri (wafat: 246 H/ 861 M) dan Syaikh
Al-Syibli (wafat: 334 H/ 946 M).[3]
5.
Syaikh Al-Jurjani, yaitu: “sifat
teguh dan memegangi adab syar’iyah secara lahir dan batin, sehingga dari lahir
muncul hikmah pada batin dan dari batin muncul hikmah pada lahir, maka
seseorang menjadi sempurna dengan dua macam hikmah tersebut”.[4]
Dari beberapa pengertian dapat
disimpulkan bahwa “tasawwuf adalah proses penyucian hati dalam diri seorang
hamba (makhluk) dari beberapa kotoran/ penyakit hati, seperti hawa nafsu dan
syahwat yang dapat mejadikannya jauh dari nur rahmat dan nur hidayah supaya ia
menjadi hamba yang senantiasa mendekatkan diri kepada (Sang Khaliq) tanpa
memperdulikan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan tidak adanya satir
yang menjadi penghalang antara Sang Khaliq dan Makhluk sebagai predikat seorang
hamba yang sempurna.
Kemudian kata thariqah artinya
jalan atau methode. Berdasarkan makna harfiah tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa thariqah (tarekat) adalah sebuah methode atau cara untuk melakukan
suluk (perjalanan spiritual menuju Allah swt). dalam artian teknis, thariqah
adalah cara melaksanakan tasawuf. Imam Al-Jurjani mendefinisikan thariqah
sebagai berikut:
الطريقة هي السيرة المختصة بالسالكين
إلى الله تعالى من قطع المنازل والترقي في المقامات
Yang artinya: “thariqah adalah prosesi
khas bagi orang-orang yang bertandang menuju Allah swt dengan melintas beberapa
post pemberhentian guna menerobos naik pada posisi tertentu”.
Sedangkan spiritual dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian.[5] Di
dalam paradigma spiritual tidak terlepas dari sebuah pemahaman suluk, yang mana
merupakan perjalanan atau yang dijalani oleh seseorang dalam perjalanan hidup menuju
ke alam berikutnya dengan cara menempuh suatu sistem dan metode tertentu,
Amatullah amstrong menyebutnya sebagai perjalanan di jalan spiritual menuju
Sang Sumber. Ia merupakan metode perjalanan melalui beberapa keadaan (ahwal),
dan kedudukan (maqam) di bawah bimbingan seorang guru spiritual (syeikh,
mursyid).[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
bahwa kata akhlak berarti budi pekerti, kelakuan.[7]
Secara singkat, definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai,
kebiasaan, watak, peradaban yang baik atau agama.[8]
Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan
pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat)
yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan
tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan
direncanakan sebelumnya.[9]
Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama,
ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai
perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.[10]
Akhlak itu adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan apabila dibutuhkan,
tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak
memerlukan dorongan dari luar. Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul
beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yaitu istilah etika, moral dan
susila.[11]
Dengan kata lain bahwa akhlak adalah suatu
sifat yang timbul dari gejolak hati yang telah melalui proses penyaringan
melalui akal yang akan menghasilkan sebuah formula baru yang berwujud tingkah
laku atau prilaku seseorang dalam menjalani fase kehidupannya hingga sampai
pada batas waktu yang telah ditetapkannya.
B. Korelasi Tasawuf dengan Spiritual dan Akhlak
Para ulama pada umumnya mengelompokkan
ajaran Islam menjadi tiga bidang, yaitu bidang aqidah, bidang syari’at, dan
bidang akhlak. Bidang aqidah membicarakan seluk beluk kenyakinan atau theologi
dan puncaknya adalah iman. Syari’at membicarakan hukum-hukum yang menyangkut
amal perbuatan lahiriah, mulai dari urusan ibadah, muamalah, hingga urusan
pemerintahan negara. Sedangkan bidang akhlak membicarakan tatakerama atau etika
perbuatan lahir dan perbuatan batin, termasuk di dalamnya adalah ajaran
tasawuf.
Pengelompokan tersebut adalah
pengelompokan bidang studi. Adapun dalam pengamalan ajaran Islam, tentu tidak
mungkin dilakukan pembidangan dalam arti dilakukan secara parsial, misalnya
seseorang hanya mengamalkan aqidah tanpa yang lain, atau syari’ah saja tanpa akhlak.
Ibnu Ajibah menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah yang paling unggul, katanya, “karena
ia merupakan pengendali syari’ah, pedoman thariqah, dan sumber cahaya hati”.[12]
Pengamalan agama harus dilakukan secara
komprehensif dengan tiga bidang di atas. Misalnya ibadah shalat, dalam
pelaksanaannya tentu mengandung unsur aqidah dan adab, meskipun kompetensi
utamanya adalah syari’at. Kemudian tawakkal yang pelaksanaannya juga harus
sesuai dengan ajaran aqidah dan rambu-rambu syari’at, meskipun kompetensi utamanya
adalah akhlak.
Pengamalan ajaran agama yang dilakukan
secara parsial, mengakibatkan amal tersebut tidak sempurna atau tidak sah sama
sekali, karena yang terjadi di sini bukanlah pengamalan ajaran agama tetapi
pengamalan sebuah bidang studi. Melakukan tasawuf tanpa syari’ah dapat
berakibat tersesat, karena tidak memperhatikan batasan-batasan hukum yang telah
ditentukan, sedangkan mengamalkan syari’ah tanpa tasawuf maka akan kehilangan
ruh, dan agama akan tereduksi oleh aturan fiqh yang bersifat formalitas serta
kering dari nilai-nilai ruhaniah.
Sebagaimana yang telah dikatakan Imam
Maliki yaitu;
مَنْ تَفَقَّهَ
وَلَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَسَّقْ , وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ تَزَنْدَقْ ,
وَمَنْ تَفَقَّهَ وَتَصَوَّفَ تَحَقَّقْ
Artinya: “Barang siapa mentaati fiqh tanpa tasawuf maka
dia menjadi fasiq, dan siapa yang bertasawuf tanpa memegangi fiqh maka menjadi
mistis, dan siapa yang mentaati fiqh dan tasawuf maka ia mendapatkan kebenaran
hakiki”.[13]
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan
bahwa syari’ah dan tasawuf tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Syari’at
bagaikan suatu jasad dan tasawuf seperti nyawa (ruh). Jasad tanpa nyawa, maka
tidak akan bisa hidup. Sedangkan nyawa tanpa jasad, maka tidak akan terwujud.
Implementasi tasawuf harus dalam bingkai syari’ah, dan pengamalan syari’at
harus dalam pengendalian tasawuf. Sehingga pada akhirnya seorang muslim harus
mampu memperkokoh iman, mengimplementasikan ajaran syari’at dalam kehidupannya
secara konsekuen dan bertasawuf sebagai pengendali keduanya.
Akhlak yang mulia dalam agama Islam
adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-larangan,
memberikan hak kepada Allah, Makhluk, sesama manusia dan alam sekitar dengan
sebaik-baiknya.[14]
C. Hakikat Tasawuf
Hakikat Tasawuf
Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai
ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil
dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan
dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai
apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya
asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa
kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu
muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih
sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja,
tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada
mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak
mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk
membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh
Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi
sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu
penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata
sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat
dan tabi\'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang!
Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti
nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama
kita tidak alergi, bahkan menggunakannya
dengan penuh kesadaran.
D. Sumber Tasawuf[15]
Kenapa gerakan
tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi/'in? Kenapa tidak muncul pada
masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku
umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan
Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya
pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai
nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan
tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya
sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia,
tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika
kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan,
mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi
fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah).
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut
pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi
adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H).
Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan
oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga
carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah,
ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan
pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa
semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang
ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran
tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan
apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan
keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua
yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan
kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut
dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada
Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala
manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas
Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di
hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.
E. Tokoh dan Aliran Tasawuf[16]
Kita mengenal
ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah
muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada
akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185)
seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM.
Amin Syukur, 2002: 19).
Pada masa
pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya
corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf
sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan
khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261 H) dan
al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali menggunakan istilah fana’. Corak
pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar
ortodox, yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap
menyeleweng dari syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31).
Kemudian pada
abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde
(tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan dengan
Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang
dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah,
yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah
yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah
yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791
H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30).
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30).
F.
Macam-macam Tasawuf[17]
1.
Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)
Tasawuf akhlaki identik dengan tasawuf sunni.
Dalam hal landasannya, tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) ini berpijak pada
Al-Qur’an dan As-sunnah. Orientasi dari tasawuf
akhlaki (tasawuf sunni) ini adalah pembentukan akhlak yang mulia (mahmudah) dalam mencari hakikat
kebenaran, mewujudkan manusia yang mengenal dan dekat kepada Allah (ma’rifah). Teori-teori dari tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) ini
sederhana dan mudah dipahami, serta tidak dimasuki oleh unsur-unsur filsafat.
Tokoh-tokohnya antara lain:
a. Hasan Al-Bashri
Nama lengkap dari Hasan Al-Bashri adalah Abu Sa’id
Al-Hasan bin Yasir. Ia adalah seorang zahid
yang amat mahsyur di kalangan tabiin. Ia adalah putra dari Zaid bin Tsabit,
seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi
Muhammad SAW, sedangkan ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi
Muhammad SAW. Hasan Al-Bashri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H atau
bertepatan dengan tahun 632 M. Dan beliau wafat pada hari Kamis tanggal 10
Rajab tahun 110 H atau bertepatan dengan tahun 728 M.
Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Hasan Al-Bashri
menggunakan dua cara. Pertama, beliau
mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali masa salaf, yaitu masa ketika para sahabat Nabi Muhmmad SAW masih hidup,
terutama sahabat Umar bin Khattab yang selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Kedua, beliau menyerukan kepada
murid-muridnya untuk lebih bersifat zuhud
dalam menghadapi kemewahan dunia.
b. Al-Muhassibi
Nama lengkap
dari Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Muhassibi. Beliau dilahirkan di
Bashrah, Irak pada tahun 165 H atau bertepatan dengan tahun 781 M dan meninggal
pada tahun 243 H atau bertepatan dengan tahun 857 M. Al-Muhassibi adalah
seorang sufi dan ulama besar yang
menguasai beberapa bidang ilmu, seperti tasawuf, hadits dan fiqh. Beliau
merupakan figur seorang sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri
terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering mengintrospeksi diri menurut
amalan-amalan yang pernah dilakukannya.
Al-Muhassibi
memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada
Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya,
meneladani rasulullah.
c. Al-Qusyairi
Nama lengkap
Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin. Ia dilahirkan di Istiwa, kawasan
Naisabur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya pada tahun 376 H. Al
–Qusyairi memiliki seorang guru sufi terkenal bernama Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, ia
juga belajar fiqh kepada seorang faqih Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi
yang wafat pada tahun 405 H, dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada
Abu Bakr bin Farauk yang wafat pada tahu 406 H. Selain berguru pada Abu ‘Ali
Ad-Daqqaq berguru pada Abu Ishaq Al-Isfarayini yang wafat pada tahun 418 H.
d. Al-Ghazali
Nama lengkap
Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dilahirkan di kampung Ghazlah, sebuah
kota di Khurasan, Iran pada tahun 450 H atau yang bertepatan pada tahun dengan
1058 M. Ayahnya seorang ahli tasawuf yang saleh, meninggal dunia ketika
Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil. Sebelum meninggal ayahnya
menitipkan kedua putranya kepada seorang ahi tasawuf untuk mendidik dan
membimbinganya.
Pada mulanya
Al-Ghazali belajar kepada Imam Ar-Razakani di Thus, lalu ia menuntut ilmu di
Jurjan kepada Syekh Abi Al-Qasim Ismail bin Mas’adah Al-Islamiy Al-Jurjani,
seorang pengikut madzab Syafi’i dan seorang sastrawan. Pada tahun 473 H ia
pergi ke Naisabur untuk belajar fiqh, logika, dan ushul kepada Imam
Al-Haramayn, Abu Al-Ma’ali Al-Juwani.
2.
Tasawuf Irfani
Di samping tasawuf akhlaqi yang membahas moralitas
yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, ada juga
tasawuf irfani yang tingkatannya
lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan
antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan
sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling
tinggi.
Tokoh-tokoh
sufi yang termasuk ke dalam aliran tasawuf
irfani adalah Rabi’ah Al-Adawiyyah dengan konsep mahabbah-nya, Dzu An-Nun Al-Mishri dengan paham ma’rifat-nya, Anu Yazid Al-Bustami
dengan paham fana’ dan baqa’, dan Abu
Manhsur Al-Hajja dengan paham Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud.
Berikut ini
dikemukakan biografi tokoh-tokoh tasawuf irfani dan ajaran-ajarannya:
a. Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang
bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, lahir
pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada 185 H/801 M. Rabi’ah Al-Adawiyyah
tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam
sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran
asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah.
Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan
cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan
pandangan Rabi’ah Al-Adawiyyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik
yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwiyatkan bahwa
ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka ?”
Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak
akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
b. Dzun An-Nun Al-Mishri
Dzun An-Nun
Al-Mishri dalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar
pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban
bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri, ia dilahirkan di Ikhmim dataran tinggi Mesir
tahun 180 H/796 M dan meninggal pad tahun 246 H/856 M. Al-Mishri adalah pelopor
paham ma’rifat. Penilaian ini
sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang
kemudian dianalisis Nicholson-dan Abd. Al-Qadir dalam falsafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil
memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam.
Pertama, ia membedakan antara makrifat sufiyah
dan makrifat aqliyah. Apabila
yang pertama menggunakan pendekatan qalb
yang biasa digunakan para sufi, yang keduan menggunakan pendekatan akal yang
biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Mishri, ma’rifat
sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah
(penyaksian hati) sebab ma’rifat
merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak zaman azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Mishri merupakan genosisme
ala Neo-platonik. Teori-teorinya
kemudian dianggap sebagai jembatan menu teori-teori wahdat asy-syuhud dan
ittihad. Ia pun dipandan sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur
falasafah dalam tasawuf.
3.
Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya.
Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf
falsafi menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.
Menurut
At-Taftazani, tasawuf mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad
keenam Hijriah. Masih menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyak
istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran
tasawuf jenis ini.
Diantara
tokoh-tokoh aliran tasawuf falsafi
adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Massarah;
a. Ibn Arabi
Nama lengkap
Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami.
Beliau dilahirkan di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H.
Setelah berusia 30 tahun, Ibn ‘Arabi mulai berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya,
tercatat nama-nama seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin
Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita).
Guru-guru dari
Ibn ‘Arabi tersebut banyak memengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Selain itu,
ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabi juga pernah berjumpa dengan
Ibn Rusyd, seorang filosof muslim dan
tabib istana dinasti Barbar dari Alomohad di Cordova, Spanyol.
Beliau juga
dikabarkan mengunjungi Al-Marriyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Massarah,
seorang sufi yang cukup berpengaruh
dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia, Spanyol.
b. Al-Jilli
Nama lengkap
dari Al-Jilli adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Beliau dilahirkan di
Jillan (Gillan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia pada tahun 1365 M
dan wafat tahun 1417 M. Nama Al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di
Gilan. Beliau adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Sebuah sumber
mengatakan bahwa beliau pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M.
Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani, seorang
pendiri dan pemimpin dari tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping
itu, beliau juga berguru kepada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim
Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M. Ajaran tasawuf Al-Jili yang
terpenting adalah paham insan kamil
(manusia sempurna). Menurut Al-Jili,
insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti dalam hadis berikut
yang artinya: “Allah menciptakan Adam
dalam bentuk yang Maharahman”.
c. Ibn Sab’in
Nama lengkap
Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang
juga filosof dari Andalusia. Dia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya
atas pernyataan Fredik II, penguasa Sisilia. Dia dipanggil Ibn Sab’in dan
digelari Quthbuddin, terkadang dia
dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217 M-1218 M) di
kawasan Murcia. Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah paham dalam kalangan
tasawuf filosofis, yang dikenal
dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial
pahamnya sederhana saja, yaitu wujud lainnya adalah satu alias Wujud Allah
semata, sedangkan wujud lainnya hanyalah
wujud Yang Satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu
persoalan yang tetap.
KESIMPULAN
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah
saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah.
Istilah tasawuf sendiri terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang
paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks
kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang
sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang
berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami
dinamika dalam perjalanannya. Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai
dari masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan
terakhir masa pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan
menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang
bersifat teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni
tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf
diantarnya adalah Hasan Basri (w. 110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu
Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf
juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di
antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani
(471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal
Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau
Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).
Jelaslah bahwa
ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Ia bukanlah aliran
sesat. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus
bersendikan al-Qur\'an dan Hadis. Diluar itu ditolak!
Tasawuf,
seperti dinyatakan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, adalah bagian tak terpisahkan
dari ajaran Islam. Karena misi tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas
sekali bagian dari Islam. Karena Nabi Muhamad Saw diutus untuk menyempurnakan
akhlak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam
Perspektif al-Quran. Jakarta: Amzah.
Abudin Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Ajibah, Ibnu. Tt. Liqodhul
Himam. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.
Ajibah, Ibnu. Tt. Risalah Qusyairiyah, Muqaddimah. Beirut:
Darul Kutubil Ilmiyah.
Al-Habsyi, Husain. Tt. Kamus
Al-Kautsar. Surabaya: Assegaf.
Aliy As’ad, Aliy. 2014. Menyelami Samudra Hikmah
Al-Hikam (Terjemah Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari. Kudus:
Menara Kudus.
Al-Jurjani. Tt. At-Ta’rifah, Beirut: Darul Kutubil
Ilmiyah.
Al-Qanuji, Ahadiq bin Hasan. Abjadul Ulum II.
Chusnan BDJ, 2015. Urgensi
Suluk dalam Kehidupan Muslim. Pekalongan: Unggul Press.
Ebta Setiawan, KBBI
offline, Versi 1.5, freeware © 2010-2013.
Muchson dan Samsuri. 2013. Dasar-Dasar
Pendidikan Moral. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Nur Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
[1]
Ibnu Ajibah, Liqodhul Himam, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah), hlm. 28.
[2]
Al-Qanuji, Ahadiq bin Hasan, Abjadul Ulum II, hlm. 105.
[3]
Ibnu Ajibah, Risalah Qusyairiyah, Muqaddimah, dan Al-Qanuji, ibid, hlm.
155.
[4]
Al-Jurjani, At-Ta’rifah, hlm. 19.
[5]
Ebta Setiawan, KBBI offline, Versi 1.5, freeware © 2010-2013.
[6] Dr.
Chusnan BDJ, Urgensi Suluk dalam Kehidupan Muslim, (Pekalongan: Unggul
Press, 2015), hlm. 2.
[7]
Ebta Setiawan, Op. Cit., …
[8]
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter (Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 27.
[9]
Muchson dan Samsuri, “Dasar-Dasar Pendidikan Moral”, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013), hlm. 21.
[10]
Husain Al-Habsyi, “Kamus Al-Kautsar” (Surabaya: Assegaf, tt), hlm. 87.
[11]
Nur Hidayat, “Akhlak Tasawuf”, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm.
8.
[12] Ibnu
Ajibah, loc. Cit., …
[13] Aliy
As’ad, Menyelami Samudra Hikmah Al-Hikam (Terjemah Kitab Al-Hikam Karya Ibnu
Athaillah As-Sakandari, (Kudus: Menara Kudus, 2014), hlm. 16-17.
[14]
M. Yatimin Abdullah, “Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran” (Jakarta:
Amzah, 2007), hlm. 2.
[15]
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.
181-189.
[16] Op.
Cit., hlm. 19-21.
[17] Op.
Cit., hlm. 269-276.