Jumat, 15 Mei 2015

Pengertian Pendidikan Akhlak (Landasan Teori)


BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
A.  Pengertian Nilai, Pendidikan dan Akhlak
1.    Pengertian Nilai
Secara etimologi, nilai dalam bahasa Inggrisnya adalah value, berasal dari kata valere dalam bahasa Latin atau valoir dalam bahasa Prancis Kuno, yang biasa diartikan sebagai ‘harga’, ‘penghargaan’, atau ‘taksiran’. Maksudnya adalah harga yang melekat pada sesuatu atau penghargaan pada sesuatu.[36]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kata nilai berarti banyak sedikitnya isi; kadar; mutu; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Sedangkan secara terminologi bahwa nilai adalah sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.[37]
Nilai-nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sesuatu yang melekat atau terkandung dalam kitab Tanbihul Muta’allim yang berkenaan dengan akhlak bagi seorang pencari ilmu atau orang yang sedang belajar tentang suatu ilmu, baik ilmu Agama maupun ilmu yang berkenaan dengan urusan dunia.



2.    Pengertian Pendidikan
Secara etimologi, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education, yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah pendidikan ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan.[38]
Kemudian secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, dan perbuatan mendidik.[39]
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[40]
Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu nilai suatu konsep yang digunakan sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan bersosial pada saat melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan yang setinggi-tingginya.
3.    Pengertian Akhlak
Secara etimologi, definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik atau agama.[41]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akhlak diartikan sebagai moral, budi pekerti, atau susila, kelakuan.[42]
Sebagaimana pengertian akhlak yang telah dinukil oleh Muchson dan Samsuri, bahwa Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.[43]
Jadi secara terminologi, akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan apabila dibutuhkan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yaitu istilah etika, moral dan susila.[44]
Etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.[45]
Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.[46]
Pengertian dari susila adalah sopan, beradab, baik budi bahasanaya. Istilah tersebut hampir sama dengan moral, yaitu pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.[47]
Akhlak yang dimaksud dalam penelitian ini ialah akhlak atau karakter yang terbentuk atas dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga mampu tertanam di dalam jiwa para pencari ilmu.
Dengan demikian, posisi akhlak, etika, moral dan susila sangat dibutuhkan yaitu dalam rangka menjabarkan dan menerapkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Alquran dan Hadits.[48]
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit dinyatakan pada Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional anatara lain adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia atau bermoral tinggi, akan tetapi rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun kebijakan pendidikan nasional kita. Dalam ketidakjelasan sosok pendidikan moral dalam struktur kurikulum, masyarakat pada umumnya memandang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai representasi pendidkan moral.
Pada masa yang lalu pernah dikeluarkan kebijakan menteri tentang pendidkan budi pekerti atau pendidikan moral (akhlak mulia). Kebijakan yang dimaksudkan untuk memperbaiki moralitas bangsa itu menjadi wacana yang kontroversial, justru pada persoalan pengorganisasian kurikulum, apakah akan berdiri sebagai mata pelajaran tersendiri (terpisah) atau akan terintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang telah ada. Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut seakan “mati suri” dalam sistem persekolahan di Indonesia.[49]
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek batin/ rohani dan pendidikan bersifat jasmani/ lahiriah. Pertama, pendidikan bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan watak. Ke semua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan. Kedua, pengembangan terfokus kepada aspek jasmani, seperti ketangkasan, kesehatan, cakap, kreatif dan sebagainya. Pengembangan tersebut dilakukan di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam keluarga, dan masyarakat.
Tujuan pendidikan berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif, dan spiritual.
Etika maupun akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu, dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun di dunia ini.[50]
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai pendidikan akhlak adalah sesuatu yang melekat atau terkandung (konsep) yang digunakan sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar untuk mendewasakan dirinya dalam hidup bersosial, bermasyarakat demi memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan yang setinggi-tingginya.

B.  Urgensi Pendidikan Akhlak
Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyataan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalanya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila.[51]
Kemudian meningkatnya perhatian terhadap pendidikan akhlak itu disebabkan ketidakmampuan negara dalam mengatasi masalah minuman keras, kriminaliatas, kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis.[52]
Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring ampas negatif teknologi dan menjaring saripati informasi positf. Dengan otoritas yang ada dalam akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan pondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh. Akhlak, pada hakikatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Televisi yang sarat muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan berbagai tayangan yang sronok penuh janji kenikmatan, keasyikan dan kesenangan. Belum lagi penanyangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah dan masyarakat.[53]
Adanya fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi di sisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi pemuda-pemudi dan mencari sasaran pasangan sesaat dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlak karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.
Kemudian munculnya fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran pusat perkotaan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan, fenomena tersebut hendaknya dicarikan pemicu gerakan pendidikan moralitas bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.[54]
Urgensi akhlak semakin terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan, korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras. Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan represif tidak akan mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh hilang berganti.
Serangkaian fenomena miring tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas yang semakin sulit dibendung.[55]
Sehingga pendidikan nilai-nilai akhlak diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik beretika baik dan mulia. Padahal tujuan pendidikan di anataranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat, beriman dan bertakwa, serta beretika.
Akhlak maupun etika menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu, dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun di dunia ini.[56]
C.  Macam-Macam Pendidikan Akhlak
Ahmad Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam. Dalam islam, akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:[57]
1.    Hubungan antara manusia dengan Allah seperti akhlak terhadap Tuhan.
2.    Hubungan manusia dengan sesamanya.
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat, seperti akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3.    Hubungan manusia dengan lingkungannya.
Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4.    Akhlak terhadap diri sendiri.
Akhlak terhadap diri sendiri seperti akhlak terhadap jasmani yaitu dengan menjaga kesehatan tubuh agar dapat digunakan untuk hal-hal kebaikan, dan akhlak terhadap rohani yaitu agar senantiasa menjaga nama baik diri sendiri.
D.  Metode-Metode Pendidikan Akhlak
1.    Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah proses pembentukan  kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah  ada. Pembiasaan selain menggunakan perintah, suri tauladan, dan pengalaman khusus, juga  menggunakan  hukuman  dan  ganjaran.  Tujuannya  agar  siswa memperoleh  sikap-sikap  dan  kebiasaan-kebiasaan  baru  yang  lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).  Selain  itu,  arti tepat  dan positif ialah  selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang   bersifat  religius maupun tradisional dan kultural.[58]
Kemudian, ayat-ayat  dalam  Al  Quran  yang  menekankan  pentingnya pembiasaan   bisa  terlihat  pada  tern   amilus  shalihat.  Tern  ini diungkap  Al  Quran  sebanyak  73  kali.  Bisa  diterjemahkan  denga n kalimat            mereka selalu   melakukan       amal     kebaikan,atau           membiasakan  beramal  saleh.  Jumlah  term  amilus  shalihat yang banyak tersebut  memperlihatkan  pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan  dalam  proses  pembinaan  dan  pendidikan  karakter  dalam islam.[59]
Dalam  teori  perkembangan  anak  didik,  dikenal  ada  teori konvergensi,  di  mana  pribadi  dapat  dibentuk  oleh  lingkungannya dengan  mengembangkan  potensi  dasar  yang  ada  padanya.  Potensi dasar ini dapat  menjadi penentu tingkah laku (melalui  proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan tercapai dengan  baik.  Salah  satu  cara  yang  dapat  dilakukan  untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.
Menurut Burghardt, sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan, kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang, dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan prilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan atau pengurangan inilah muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.[60]
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dengan metode pembiasaan ini adalah termasuk prinsip utama dalam pendidikan dan merupakan metode paling efektif dalam pembentukan aqidah dan pelurusan akhlak anak didik, sehingga tujuan daripada diadakannya pembelajaran dengan metode pembiasaan ini adalah untuk melatih serta membiasakan anak didik secara konsisten dan kontinyu dengan sebuah tujuan, sehingga benar-benar tertanam dalam diri anak didik dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan di kemudian hari.
2.    Metode Keteladanan
Metode keteladanan merupaka  suatu  cara  atau  jalan  yang  ditempuh  seseorang  dalam  proses pendidikan melalui  perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling). Namun  yang dikehendaki dengan metode keteladanan dijadikan sebagai alat pendidikan Islam dipandang keteladanan merupakan bentuk prilaku individu yang  bertanggung  jawab   yang  bertumpu  pada  praktek  secara  langsung. Dengan  menggunakan  metode  praktek  secara  langsung  akan  memberikan hasil yang efektif dan maksimal.
Keteladanan dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Islam  karena  hakekat  pendidikan  Islam  ialah  mencapai  keredhaan  kepada Allah dan  mengangkat tahap akhlak dalam bermasyarakat berdasarkan pada agama serta membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang dibuat oleh Allah SWT. untuk manusia.[61]
3.    Metode Mauidhah Hasanah
Mauidhah  hasanah adalah  ucapan  yang  berisi  nasihat-nasihat  yang  baik  dimana  ia  dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau menurut penafsiran, mauidhah hasanah adalah argument-argumen yang memuaskan sehingga pihak  yang mendengarkan  dapat  membenarkan  apa  yang disampaikan oleh pembawa  argumen itu.[62]
Metode mauidhah  hasanah  atau  ceramah  adalah  suatu  teknik atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i atau mubaligh pada suatu aktifitas dakwah, ceramah dapat pula bersifat kampanye, berceramah       (retorika), khutbah, sambutan, mengajar, dan sebagainya. Metode ceramah  juga  merupakan  suatu  teknik  dakwah  yang banyak diwarnai oleh ciri-ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i pada  suatu  aktifitas  dakwah.  Metode  ini  harus  diimbangi  dengan kepandaian khusus tentang  retorika,  diskusi, factor-faktor lain yang membuat pendegar merasa simpatik dengan ceramahnya.[63]
4.    Metode Cerita
Bercerita merupakan salah satu metode untuk mendidik anak didik. Berbagai nilai-nilai moral, pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita. Cerita ilmiah maupun fiksi yang disukai anak didik dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan. Cerita dengan tokoh yang baik, kharismatik, dan heroik menjadi alat untuk mengembangkan sikap yang baik kepada anak didik. Sebaliknya tokoh yang jelek, jahat dan kejam mendidik anak untuk tidak berperilaku seperti itu karena pada umumnya tokoh jahat di akhir cerita akan kalah dan sengsara. Cerita tentang kepahlawanan, heroisme dan pemikiran yang cerdas dari para pahlawan dapat mendidik anak agar kelak memiliki jiwa kepahlawanan. Jadi cerita amat potensial untuk mendidik akhlak anak didik. Oleh karena itu, pendidik sebaiknya pandai bercerita.[64]


[36] Muchson dan Samsuri, loc., cit., hlm. 21.
[37] Ebta Setiawan, op., cit.,
[38] Agus Wibowo, loc., cit., hlm. 17.
[39] Ebta Setiawan, op., cit.,
[40] Agus Wibowo, loc., cit., hlm. 17.
[41] Agus Wibowo, ibid,. hlm. 27.
[42] Ebta Setiawan, op., cit.,
[43] Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 1.
[44] Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 8.
[45] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 11.
[46] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 14.
[47] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 17.
[48] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 19.
[49] Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 83.
[50] Muchson dan Samsuri, loc., cit., hlm. 84.
[51] Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 25.
[52] Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 86.
[53] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 27.
[54] Alwan Khoiri, op., cit., hlm. 35.
[55] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 28-30.
[56] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan), (Malang : Aditya Media, 2010), hlm. 2-4.
[57] Alwan Khoiri, op., cit., hlm. 19.
[58] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123.
[59] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 137-138.
[60] Muhibbin Syah, op., cit., hlm. 118.
[61] Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 420.
[62] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Pejaten Barat : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 122.
[63] Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Raja Grafindo Psd, 2012), hlm.253.
[64] Slamet Suyanto, Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta : Hikayat Publishing, 2008), hlm. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar