BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
A. Pengertian Nilai, Pendidikan dan Akhlak
1. Pengertian Nilai
Secara etimologi,
nilai dalam bahasa Inggrisnya adalah value, berasal dari kata valere
dalam bahasa Latin atau valoir dalam bahasa Prancis Kuno, yang biasa
diartikan sebagai ‘harga’, ‘penghargaan’, atau ‘taksiran’. Maksudnya adalah
harga yang melekat pada sesuatu atau penghargaan pada sesuatu.[36]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kata nilai berarti banyak sedikitnya isi; kadar;
mutu; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Sedangkan secara terminologi
bahwa nilai adalah sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan
hakikatnya.[37]
Nilai-nilai yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sesuatu yang melekat atau terkandung dalam
kitab Tanbihul Muta’allim yang berkenaan dengan akhlak bagi seorang
pencari ilmu atau orang yang sedang belajar tentang suatu ilmu, baik ilmu Agama
maupun ilmu yang berkenaan dengan urusan dunia.
2. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi,
istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe”
dan akhiran “kan” mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya).
Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang
berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education, yang berarti
pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah pendidikan ini sering
diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan.[38]
Kemudian secara terminologi,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, dan
perbuatan mendidik.[39]
Sedangkan menurut
Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[40]
Pendidikan yang
dimaksud dalam penelitian ini yaitu nilai suatu konsep yang digunakan sebagai
proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar
sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan bersosial pada saat
melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan yang
setinggi-tingginya.
3. Pengertian Akhlak
Secara etimologi,
definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai, kebiasaan, watak,
peradaban yang baik atau agama.[41]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia akhlak diartikan sebagai moral, budi pekerti, atau susila,
kelakuan.[42]
Sebagaimana
pengertian akhlak yang telah dinukil oleh Muchson dan Samsuri, bahwa Al-Ghazali
mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber
timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu
dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.[43]
Jadi secara terminologi,
akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan
muncul secara spontan apabila dibutuhkan, tanpa memerlukan pemikiran atau
pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Dalam pembahasan
tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak,
yaitu istilah etika, moral dan susila.[44]
Etika adalah ilmu
tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban
yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan
tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.[45]
Moral adalah
istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.[46]
Pengertian dari
susila adalah sopan, beradab, baik budi bahasanaya. Istilah tersebut hampir
sama dengan moral, yaitu pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan
baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta
mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.[47]
Akhlak yang
dimaksud dalam penelitian ini ialah akhlak atau karakter yang terbentuk atas
dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga mampu tertanam di
dalam jiwa para pencari ilmu.
Dengan demikian,
posisi akhlak, etika, moral dan susila sangat dibutuhkan yaitu dalam rangka
menjabarkan dan menerapkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Alquran dan
Hadits.[48]
Dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit
dinyatakan pada Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional anatara lain adalah
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia
atau bermoral tinggi, akan tetapi rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak
secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun kebijakan pendidikan
nasional kita. Dalam ketidakjelasan sosok pendidikan moral dalam struktur
kurikulum, masyarakat pada umumnya memandang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
representasi pendidkan moral.
Pada masa yang lalu
pernah dikeluarkan kebijakan menteri tentang pendidkan budi pekerti atau
pendidikan moral (akhlak mulia). Kebijakan yang dimaksudkan untuk memperbaiki
moralitas bangsa itu menjadi wacana yang kontroversial, justru pada persoalan
pengorganisasian kurikulum, apakah akan berdiri sebagai mata pelajaran
tersendiri (terpisah) atau akan terintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang
telah ada. Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut seakan “mati suri” dalam
sistem persekolahan di Indonesia.[49]
Tujuan pendidikan
setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek
batin/ rohani dan pendidikan bersifat jasmani/ lahiriah. Pertama, pendidikan
bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan
watak. Ke semua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan. Kedua, pengembangan
terfokus kepada aspek jasmani, seperti ketangkasan, kesehatan, cakap, kreatif
dan sebagainya. Pengembangan tersebut dilakukan di institusi sekolah dan di
luar sekolah seperti di dalam keluarga, dan masyarakat.
Tujuan pendidikan
berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian
secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak
didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill,
kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan
mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri
berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi
pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif, dan spiritual.
Etika maupun akhlak
menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul
karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang
berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu,
dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation
and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan
memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa
manapun di dunia ini.[50]
Dari penjelasan
diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa nilai pendidikan akhlak adalah sesuatu
yang melekat atau terkandung (konsep) yang digunakan sebagai proses untuk
mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar untuk
mendewasakan dirinya dalam hidup bersosial, bermasyarakat demi memperoleh
kebahagiaan dan kemuliaan yang setinggi-tingginya.
B. Urgensi Pendidikan Akhlak
Saat ini kita berada di
tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan
sejumlah kemudahan dan kenyataan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia
misalanya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat
didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk
dinikmati. Namun di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup
seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang
semula sarat norma susila.[51]
Kemudian meningkatnya
perhatian terhadap pendidikan akhlak itu disebabkan ketidakmampuan negara dalam
mengatasi masalah minuman keras, kriminaliatas, kekerasan, disintegrasi keluarga,
meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung,
menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis.[52]
Disinilah akhlak harus
berbicara, sehingga mampu menyaring ampas negatif teknologi dan menjaring
saripati informasi positf. Dengan otoritas yang ada dalam akhlakul karimah,
seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang
dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan pondasi utama sejumlah
komitmen nilai adalah akidah yang kokoh. Akhlak, pada hakikatnya merupakan manifestasi
akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Televisi yang sarat
muatan hedonistis menebarkan jala untuk menjaring pemirsa dengan
berbagai tayangan yang sronok penuh janji kenikmatan, keasyikan dan kesenangan.
Belum lagi penanyangan film laga yang berbau darah, atau iklan yang
mengeksploitasi aurat. Adanya sekat-sekat kultur dipandang tidak relevan di era
global ini, sehingga sensor dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan tidak
diperlukan lagi. Menghadapi fenomena seperti ini hanya satu tumpuan harapan
kita, yakni pendarahdagingan akhlak melalui keluarga, sekolah dan masyarakat.[53]
Adanya fenomena yang
harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu
sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan
dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi di sisi lain sebagian mall mulai
difungsikan untuk mejeng bagi pemuda-pemudi dan mencari sasaran pasangan sesaat
dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan
bina moral serentak untuk menanamkan akhlak karimah serasa tidak dapat
ditunda lagi.
Kemudian munculnya
fenomena amukan massa di beberapa kota besar yang ditandai dengan pembakaran
pusat perkotaan, penghancuran tempat ibadah, bahkan perusakan kantor polisi
maupun berbagai kalangan. Untuk menghindari terulangnya serangkaian peristiwa
amukan tersebut, di samping perlu dicari akar masalahnya dan diselesaikan,
fenomena tersebut hendaknya dicarikan pemicu gerakan pendidikan moralitas
bangsa, dengan menjadikan akhlakul karimah sebagai acuan utama.[54]
Urgensi akhlak semakin
terasa jika dikaitkan maraknya aksi perampokan, penjambretan, penodongan,
korupsi, manipulasi, dan berbagai upaya untuk cepat kaya tanpa kerja keras.
Untuk mengatasi semua kenyataan tersebut dilakukan tindakan represif tidak akan
mampu menyelesaikan masalah karena semua pelaku kejahatan selalu patah tumbuh
hilang berganti.
Serangkaian fenomena
miring tersebut merupakan dampak negatif dari modernitas yang ada di
tengah-tengah kita. Hidup di era global ini tidak memungkinkan untuk melarikan
diri dari kenyataan modernitas. Modernitas tidak perlu dijauhi, karena
kesalahannya tidak terletak pada modernitasnya itu sendiri, tetapi pada tingkat
komitmen nilai dari moralitas bangsa dan umat dalam merespon arus modernitas
yang semakin sulit dibendung.[55]
Sehingga pendidikan
nilai-nilai akhlak diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk
anak didik beretika baik dan mulia. Padahal tujuan pendidikan di anataranya
adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat, beriman dan bertakwa, serta
beretika.
Akhlak maupun etika
menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul
karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang
berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu,
dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation
and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan
memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa
manapun di dunia ini.[56]
C. Macam-Macam Pendidikan Akhlak
Ahmad Azhar Basyir
menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan
kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan
yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan
Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga,
akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak
terhadap alam. Dalam islam, akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada
perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan
manusia. Oleh karena itu konsep akhlak islam mengatur pola kehidupan manusia
yang meliputi:[57]
1. Hubungan antara manusia dengan Allah seperti akhlak terhadap
Tuhan.
2. Hubungan manusia dengan sesamanya.
Hubungan manusia
dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun
hubungan seseorang terhadap masyarakat, seperti akhlak terhadap tetangga,
akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak
terhadap sanak keluarga.
3. Hubungan manusia dengan lingkungannya.
Akhlak terhadap makhluk
lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan
akhlak terhadap alam sekitar.
4. Akhlak terhadap diri sendiri.
Akhlak terhadap
diri sendiri seperti akhlak terhadap jasmani yaitu dengan menjaga kesehatan
tubuh agar dapat digunakan untuk hal-hal kebaikan, dan akhlak terhadap rohani
yaitu agar senantiasa menjaga nama baik diri sendiri.
D. Metode-Metode Pendidikan Akhlak
1. Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan
baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Pembiasaan
selain menggunakan perintah, suri tauladan, dan pengalaman khusus, juga
menggunakan hukuman dan
ganjaran.
Tujuannya
agar
siswa memperoleh sikap-sikap dan
kebiasaan-kebiasaan
baru yang
lebih
tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat
dan positif ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural.[58]
Kemudian,
ayat-ayat
dalam Al Qur‟an yang
menekankan
pentingnya pembiasaan bisa terlihat
pada tern
“
amilus shalihat”. Tern
ini
diungkap Al
Qur‟an sebanyak
73
kali.
Bisa diterjemahkan denga n kalimat “ mereka selalu melakukan amal kebaikan,” atau “ membiasakan
beramal
saleh”.
Jumlah term “amilus
shalihat” yang banyak tersebut memperlihatkan pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan
dalam proses pembinaan
dan pendidikan
karakter dalam
islam.[59]
Dalam teori
perkembangan anak
didik,
dikenal
ada teori
konvergensi,
di mana
pribadi
dapat dibentuk oleh
lingkungannya
dengan mengembangkan potensi dasar
yang ada padanya. Potensi
dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh
karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan
tercapai dengan
baik. Salah satu
cara
yang dapat dilakukan
untuk
mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang
baik.
Menurut Burghardt,
sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan,
kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan
menggunakan stimulasi yang berulang-ulang, dalam proses belajar, pembiasaan
juga meliputi pengurangan prilaku yang tidak diperlukan. Karena proses
penyusutan atau pengurangan inilah muncul suatu pola bertingkah laku
baru yang relatif menetap dan otomatis.[60]
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa pendidikan dengan metode pembiasaan ini adalah termasuk prinsip utama
dalam pendidikan dan merupakan metode paling efektif dalam pembentukan aqidah
dan pelurusan akhlak anak didik, sehingga tujuan daripada diadakannya
pembelajaran dengan metode pembiasaan ini adalah untuk melatih serta
membiasakan anak didik secara konsisten dan kontinyu dengan sebuah tujuan,
sehingga benar-benar tertanam dalam diri anak didik dan akhirnya menjadi
kebiasaan yang sulit ditinggalkan di kemudian hari.
2. Metode Keteladanan
Metode keteladanan merupaka
suatu
cara
atau
jalan
yang
ditempuh
seseorang
dalam proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling).
Namun
yang dikehendaki dengan metode keteladanan dijadikan sebagai alat pendidikan Islam dipandang keteladanan merupakan bentuk prilaku
individu yang
bertanggung
jawab yang bertumpu
pada praktek secara
langsung. Dengan
menggunakan
metode praktek secara langsung
akan
memberikan hasil
yang efektif
dan maksimal.
Keteladanan dijadikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam karena hakekat
pendidikan
Islam
ialah
mencapai keredhaan kepada
Allah dan mengangkat tahap akhlak dalam bermasyarakat
berdasarkan pada agama serta membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang dibuat oleh
Allah SWT. untuk manusia.[61]
3. Metode Mau’idhah Hasanah
Mau’idhah
hasanah
adalah
ucapan yang
berisi
nasihat-nasihat
yang baik
dimana
ia
dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya,
atau menurut penafsiran,
mau’idhah hasanah adalah
argument-argumen yang memuaskan
sehingga
pihak yang mendengarkan dapat
membenarkan apa
yang disampaikan oleh pembawa argumen itu.[62]
Metode
mau’idhah hasanah
atau ceramah
adalah
suatu
teknik
atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara oleh
seorang da’i atau mubaligh pada suatu aktifitas dakwah, ceramah
dapat
pula bersifat
kampanye, berceramah (retorika),
khutbah, sambutan, mengajar, dan sebagainya.
Metode ceramah
juga merupakan
suatu
teknik dakwah yang
banyak diwarnai oleh ciri-ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i
pada suatu aktifitas
dakwah.
Metode
ini
harus
diimbangi
dengan kepandaian khusus
tentang retorika,
diskusi, factor-faktor lain yang
membuat pendegar merasa simpatik dengan ceramahnya.[63]
4. Metode Cerita
Bercerita merupakan
salah satu metode untuk mendidik anak didik. Berbagai nilai-nilai moral,
pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita. Cerita
ilmiah maupun fiksi yang disukai anak didik dapat digunakan untuk menyampaikan
pengetahuan. Cerita dengan tokoh yang baik, kharismatik, dan heroik menjadi
alat untuk mengembangkan sikap yang baik kepada anak didik. Sebaliknya tokoh
yang jelek, jahat dan kejam mendidik anak untuk tidak berperilaku seperti itu
karena pada umumnya tokoh jahat di akhir cerita akan kalah dan sengsara. Cerita
tentang kepahlawanan, heroisme dan pemikiran yang cerdas dari para pahlawan
dapat mendidik anak agar kelak memiliki jiwa kepahlawanan. Jadi cerita amat
potensial untuk mendidik akhlak anak didik. Oleh karena itu, pendidik sebaiknya
pandai bercerita.[64]
[36]
Muchson dan Samsuri, loc., cit., hlm. 21.
[37]
Ebta Setiawan, op., cit., …
[38]
Agus Wibowo, loc., cit., hlm. 17.
[39]
Ebta Setiawan, op., cit., …
[40]
Agus Wibowo, loc., cit., hlm. 17.
[41]
Agus Wibowo, ibid,. hlm. 27.
[42]
Ebta Setiawan, op., cit., …
[43]
Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 1.
[44]
Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 8.
[45]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 11.
[46]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 14.
[47]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 17.
[48]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 19.
[49]
Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 83.
[50]
Muchson dan Samsuri, loc., cit., hlm. 84.
[51]
Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 25.
[52]
Muchson dan Samsuri, op., cit., hlm. 86.
[53]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 27.
[54]
Alwan Khoiri, op., cit., hlm. 35.
[55]
Nur Hidayat, op., cit., hlm. 28-30.
[56]
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif
Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan), (Malang : Aditya
Media, 2010), hlm. 2-4.
[57]
Alwan Khoiri, op., cit., hlm. 19.
[59] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 137-138.
[61]
Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 420.
[62] Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah
Nabi, (Pejaten Barat : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 122.
[64]
Slamet Suyanto, Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta : Hikayat
Publishing, 2008), hlm. 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar