Senin, 28 September 2015

DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM



DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah         : Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Waryani Fajar Riyanto


Disusun oleh:
Nama                    : Imam Syafi’i
NIM                      : 2052115026


PASCA SARJANA - PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PEKALONGAN
2015
DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM
Oleh: Imam Syafi’i
(2052115026)
Asal Usul Pesantren
Ada beberapa pendapat berasal dari asal usul kata santri. Menurut A. H. Johns, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Sedangkan C. C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata Shastri yang berarti orang yang tahu dan memahami kitab suci agama Hindu. Kemudian Jonns mengatakan bahwa kata Shastri itu sendiri berasal dari kata sastra yang berarti buku-buku suci (buku-buku agama) atau buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan.[1]
Dari kata santri inilah terbentuklah kata Pesantren. Menurut Struktur Bahasa Indonesia, kata pesantren menunjukkan tempat, yakni tempat untuk mengajar dan mendidik para santri yang hendak mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama (Islam). Menurut Nurkholis Madjid, secara Historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga  makna keaslian Indonesia. Sebab Cikal Bakal lembaga yang dikenal sebagai pesantren dewasa ini sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya.[2]
Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran ulama-ulama fiqh, tafsir, tauhid, dan tasawuf pada abad pertengahan.[3]
Pesantren bukan sekedar merupakan fenomena lokal ke-Jawaan (hanya terdapat di Jawa), akan tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh Nusantara. Artinya, lembaga pendidikan sejenis pesantren ini dapat ditemukan pula di luar Jawa. Di Aceh ia disebut dayah, dan di Minangkabau ia dinamakan surau. Berbagai penelitian mengatakan bahwa pada awal abad ke-16 pesantren merupakan pusat lembaga pendidikan Islam kedua setelah masjid.[4]
Pondok pesantren bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam, sekalipun pesantren adalah bentuk yang melembaga secara permanen di pedesaan. Muhammad Yacub mencatat adanya enam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: perguruan formal, pesantren tradisional, majelis taklim, “serikat tolong menolong” seperti kelompok Yasinan, majelis latihan semacam pesantren kilat, dan majelis kultum (kuliah tujuh menit atau ceramah singkat).[5]
Di desa Putukrejo, Malang Selatan, Mukti Ali mencatat adanya lima macam lembaga pendidikan agama di luar perguruan formal dan pesantren, yaitu majlis taklim berupa pengajian rutin setiap bulan, pengajian rutin tiga kali seminggu, kuliah subuh pada jum’at pagi di masjid jami’, jama’ah khataman al-Qur’an, dan jam’ah tahlil.[6]
Pesantren bukan lagi lembaga yang tertutup, esoteris, dan eksklusif. Bahkan Zamakhsyari Dhofier terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional dalam lukisannya tentang pesantren. Dalam buknya “Tradisi Pesantren”, ia menyebutkan adanya lima unsur yang membentuk pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan Kiai.[7]
Ketika terjadi “polemik kebudayaan” di tahun 1930-an, pendidikan di pondok pesantren untuk pertama kali dibanggakan sebagai sistem yang tak terpaku pada penumpukan pengetahuan dan pengesahan otak, tetapi juga mementingkan kepribadian, karakter manusia. Di pesantren terleburlah segala kecenderungan dan hasrat kebirokrasian, yang terdapat dalam sistem pendidikan Barat, ke dalam suasana kekeluargaan, antara Kyai dan Santrinya. Dalam perdebatan yang terjadi di saat pergerakan nasional telah mencapai tingkat yang lanjut ini, sistem pendidikan pesantren dibanggakan pula sebagai alternatif yang otentik terhadap sistem kolonial, yang bukan saja dikatakan bersifat intelektualistik, tetapi juga cenderung membentuk manusia yang tidak bebas. Hal ini tampak dengan jelas bahwa pokok perdebatannya bukanlah substansi ilmu yang ingin dikembangkan, melainkan corak produk yang ingin dihasilkan. Inti maslah ialah, bagaimana corak masyarakat dan karakter manusia yang diinginkan di masa depan.[8]
Sementara itu dunia pesantren bukan saja lebih mengalami perubahan, baik sebagai akibat dari dinamika internal maupun sebagai penetrasi dari “dunia luar”, tetapi juga melanjutkan peranan yang cukup besar dalam perkembangan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang mana seorang guru dan murid menciptakan suatu suasana kekeluargaan dalam usaha mencari, menggali, dan menyebarkan berbagai ilmu keagamaan. Kemudian pesantren tidaklah bisa terlepas dari masyarakat yang mengitarinya. Peranan yang paling sederhana tentu saja ialah jasa “pelayanan keagamaan” kepada masyarakat sekitar, seperti pembacaan talqin di waktu pembacaan do’a untuk sang mayit. Selain menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, pesantren juga menjadi tempat bagi para remaja yang berdatangan dari tempat-tempat yang cukup jauh untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari situasi remaja ke suasana dewasa.
Dari sudut keagamaan, pesantren adalah tempat mengaji dan mempelajari kitab-kitab dan kadang-kadang juga merupakan tempat di mana intensifikasi peribadatan bisa dilakukan yang terlepas dari kemungkinan adanya unsur heterodoksi dari ajaran yang disampaikan dan praktek ritual yang dijalankan, sebagaimana sering dikecam oleh para ulama ahli fiqh, selain itu cukup banyak juga pesantren yang menjadi pusat-pusat tarekat.
Tak kurang pentingnya dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia ialah peranan pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan. Berbagai buku teks, tafsir, dan lainnya, bahkan kemudian bermacam-macam publikasi majalah dan brosur keagamaan yang dihasilkan oleh pesantren. Pesantren juga menjadi sumber dari pendukung dan pemimpin dari organisasi serta partai yang bernafaskan Islam.[9]
Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren
Dari gambaran di atas dapatlah kita ketahui bahwa akar-akar historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh ke belakang pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika para Wali Songo menyebarkan dan menyiarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para Wali Songo itu mendirikan masjid dan padepokan (pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. Misalnya Raden Rahmat (yang dikenal sebagai Sunan Ampel) mendirikan pesantrennya di daerah kembang kuning (Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning.[10]
Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosia-kultural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Faktor-faktor yang menopang untuk menguatkan keberadaan pesantren ini antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1.    Karena agama Islam telah semakin tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air, maka masjid-masjid dan pesantren-pesantren semakin banyak pula didirikan oleh Umat Islamuntuk dijadikan saran pembinaan dan pengembangan Syi’ar Islam.
2.    Kedudukan dan Kharisma Kiai dan Ulama (yang memperoleh penghormatan, penghargaan, dan perhatian dari para penguasa pada masa itu) sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pesantren. Sebagai contoh, pesantren Tegal Sari, di Jawa Timur didirikan pada tahun 1792 atas anjuran Susuhunan II.
3.    Siasat belanda yang terus memecah belah antara penguasa dan ulama telah mempertinggi semangat jihad umat Islam untuk melawan Belanda. Menghadapi situasi ini, para ulama hijrah ke tempat-tempat yang jauh dari kota dan mendirikan pesantren sebagai basis pemusatan kekuatan mereka.
4.    Kebutuhan umat Islam yang semakin mendesak akan sarana pendidikan yang Islami, karena sekolah-sekolah Belanda secara terbatas hanya menerima murid-murid dari kelas sosial tertentu.
5.    Semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan tanah suci Mekkah yang memungkinkan para pemuda Islam Indonesia untuk belajar ke Mekkah yang merupakan pusat studi Islam. Sepulangya dari Mekkah, banyak di antara mereka yang mendirikan pesantren untuk mengajarkan dan mengembangkan agama Islam di daerah asal mereka masing-masing.[11]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial tumbuh diam-diam di pedesaan dan perkotaan. Jumlah lembaga itu ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Dalam catatan Departemen Agama jumlah pesantren pada tahun 1977 adalah 4.195 buah dengan santri sebanyak 677.384 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981.[12]
Menurut buku laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1982, jumlah pesantren di Indonesia yang trecatat sebnyak 4.890 pesantren. Dalam rentang waktu selama lima belas tahun kemudian (antara 1982-1997), jumlah pesantren ini akan semakin bertambah banyak sejalan dengan didirikannya pesantren-pesantren di berbagai pelosok tanah Air, terutama di masa orde baru sekarang ini.[13]
Dapat diperkirakan jumlah itu sekarang lebih tinggi, sekalipun angka-angka resmi tidak selalu tersedia. Pencatatan pertumbuhan pesantren mengalami kesulitan karena dua hal. Pertama, tidak adanya kriteria yang jelas mengenai besar kecilnya lembaga yang dapat disebut sebagai pesantren. Di dekat Yogyakarta, di dua desa Mlangi dan Sawahan, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, misalnya terdapat 20 pesantren yang masing-masing mempunyai santri tak lebih tinggi dari 150 orang, seperti pesantren As-Salafiyah pada tahun 1982/1983. Sementara itu, banyak pesantren yang mempunyai santri lebih dari 2.000 orang, seperti pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo, Asembagus-Situbundo, yang mempunyai 2.162 santri; atau Lirboyo-Kediri, yang mempunyai 3.000 santri. Kedua, pesantren-pesantren besar biasanya juga mendirikan sekolah-sekolah agama dan sekolah umum, bahkan universitas, sehingga timbul pertanyaan apakah sekolah/universitas itu termasuk pesantren dan murid/mahasiswanya itu santri juga. Tiadanya kriteria yang memadai ini justru menggambarkan pertumbuhan pesantren dan membuktikan bahwa pesantren responsif terhadap perubahan dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan baru.[14]
Pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang, sekalipun pesantren-pesantren besar yang ada sekarang hanya dapat dilacak asal-usulnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dalam hal ini Zamakhsyari Dhofier telah membuat peta pesantren-pesantren di Jawa dari abad ke-19 dan abad ke-20 yang menunjukkan adanya pemusatan pesantren dengan Jawa Timur sebagai pemegang jumlah terbesar, diikuti secara berurutan oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat.[15]
Pengamatan mutakhir tentang pesantren ternyata menemukan bermacam tingkat perkembangan pesantren. Soedjoko Prasodjo et al, menyebut adanya lima macam pola pesantren, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah Kiai; Pola II terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok; Pola III terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok dan madrasah; Pola IV terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan; Pola V terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[16]
Perkembangan pesantren sudah dimulai sejak awal abad ke-20 ini. Perkembangan itu meliputi kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat perkembangan sejak 1906 ketika kerajaan Jawa di Surakarta mendirikan Mamba’ul Ulum, tempat mendidik calon-calon pejabat agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama itu. Pada waktu yang hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat. Dalam metode mengajar ada perkembangan dari sistem salaf ke sistem madrasi. Sistem salaf ialah metode mengajar secara tradisional dengan sistem sorogan, yaitu bimbingan individual, dan bandongan, semacam ceramah umum. Dalam sistem salaf tidak ada pembagian ke dalam tingkatan kemajuan belajar, karena masing-masing santri menentukan sendiri kemajuannya dengan menunjukkan kemampuan penguasaan buku-buku kepada Kiai secara perorangan. Dalam sistem madrasi, yang sudah dikenal di Sumatera barat sejak 1907. Dan di pesantren-pesantren Jawa baru pada awal 1920-an, sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatan-tingkatan pendidikan.[17]

Peranan Pesantren dan Kebangkitan Intelektualisme
Soedjono Prasodjo menyebutkan adanya tiga macam jasa pesantren, yaitu: (1) kegiatan tabligh kepada masyarakat yang dilakukan dalam kompleks pesantren. (2) Majlis Ta’lim atau pengajian yang bersifat pendidikan kepada umum, dan (3) bimbingan hikmah berupa nasihat Kiai kepada orang yang datang untuk minta diberi “amalan-amalan” apa yang harus dilakukan supaya mencapai suatu hajat, nasihat-nasihat agama dan sebagainya.[18]
Peranan pesantren tentu bukan tanpa batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks pedesaan, agraris, dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat persemaian yang baik. Santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri, merupakan agen yang sesuai dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita inginmencatat supaya pesantren yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya model yang terlalu direalisasikan menjadi sebuah “mitos”. Pembangunan menuju masyarakat industrial memerlukan lembaga yang memadai. Pikiran-pikiran sederhana dan “kecil itu indah” perlu diimbangi dengan pikiran-pikiran tinggi dan besar. Catatan ini hendaknya justru menekankan pentingnya pesantren dalam pembangunan masyarakat desa dan bukan sebaliknya.[19]
Kedudukan Kiai di sebuah pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya. Pendek kata, Kiai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz mengemukakan bahwa Kiai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator  atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri. Dengan demikian, posisi dan peran seorang Kiai yang mampu menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan Kiai sebagai cultural broker.[20]
Peran Kiai dan Ulama sebagai tokoh masyarakat dapat dilihat, misalnya dalam serangkaian upaya-upaya mereka untuk menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para Kiai dan Ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan program-program pembangunan ke dalam bahasa agama yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada komunitas yang dipimpinnya. Dengan cara ini, para Kiai dan Ulama sekaligus berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut melegitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan dapat menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini semakin memperjelas peran Kiai dan Ulama dalam proses transformasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat.[21]
Dilihat dari perspektif transformasi sosial budaya, sikap para Kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, para Kiai yang mempertahankan nilai ortodoksi Islam dalam sistem pendidika pesantren dengan melakukan usaha-usaha untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu, Kiai ini disebut Kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut pesantren salafiyah. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain, mereka membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para Kiai yang sudah memasukkan  ilmu-ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan  tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam.[22]
Memasuki abad 21 nanti, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional terasa akan semakin penting dan sekaligus akan memiliki peran yang sangat signifikan dan strategis. Sejak paruh kedua abad 20, kajian-kajian serius tentang pesantren telah banyak diminati oleh para mahasiswa, para calon sarjana, para sarjana dan para pakar di berbagai perguruan tinggi, tidak saja di Tanah Air tetapi juga di luar negeri. Bahkan kajian-kajian tentang pesantren secara akademis dan komprehensif telah banyak dilakukan oleh para mahasiswa peserta program S-3 dalam rangka mempersiapkan disertasi mereka. Dengan kata lain, sosok dan dunia pesantren telah menjadi salah satu minat besar para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah-telaah ilmiah.[23]
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat dalam transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Pengajaran “kitab-kitab kuning” (sebagaimana sering dikatakan orang untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi ciri khas dari proses belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang menekankan penggunaan metode sorogan dan weton. Pelajaran pertama dan utama di pesantren adalah bahasa Arab dengan seluk beluknya (nahwu, sharaf dan ilmu balaghah), karena dengan penguasaan bahasa Arab yang baik para santri akan bisa mengupas dan membahas kitab-kitab klasik yang tidak memakai syakal (kitab-kitab gundul). Dalam hubungan ini, penguasaan “kitab Alfiyah Ibnu Malik” oleh para santri sangat ditekankan.
Selain bahasa Arab, biasanya mata pelajaran lain yang diberikan adalah ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, misalnya kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathul Qarib Syarh Matan Taqrib (Ibnu Qasim Al-Ghazi), Fathul Mu’in Syarh Qurratul ‘Ain (Zainuddin Al-Malibari), Minhaju Thoalibin (An-Nawawi), Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim Al-Bajuri), Al-Iqna’ (Syarbini), Fathul Wahab, Tuhfah (Ibnu Hajar) dan Nihayah (Ramli). Kajian-kajian kitab kuning yang ditradisikan di pesantren-pesantren sudah seharusnya tetap dipertahankan agar kesinambungan historis antara masa depan dengan masa lampau tidak terputus. Dengan demikian, khazanah ilmu-ilmu pengetahuan keislaman masa klasik akan tetap terpelihara dan terawat dengan baik di pesantren-pesantren dan di pusat studi inilah mutiara-mutiara keilmuwan masa lalu itu bisa tetap terjaga secara utuh dan baik.
Para Kiai dikenal sebagai musafir pencari ilmu. Mereka bukan saja berguru kepada Kiai-Kiai senior dengan cara belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, tetapi juga mereka belajar langsung ke Mekkah dan Madinah serta tinggal di Tanah Suci itu bertahun-tahun lamanya. K.H. Hasyim Asy’ari, misalnya, sebelum mendirikan pondok pesantrennya sendiri (Tebu Ireng), beliau berguru kepada ayahnya dan Kiai-Kiai lainnya untuk kemudian belajar ke Mekkah (Masjidil Haram) selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama mendalami ilmu hadits di bawah bimbingan gurunya di Mekkah, Beliau akhirnya memperoleh ijazah di bidang ilmu hadits. Beliau kemudian mengajarkan ilmu hadits itu kepada para santrinya di pesantren Tebu Ireng selama bertahun-tahun.
Hal serupa juga dilakukan oleh Kiai-Kiai lain, termasuk K.H. Ali Maksum yang ketika masih hidup beliau secara aktif memimpin pondok pesantren Krapyak. Para santri Kiai Hasyim, santri Kiai Ali dan santri-santri Kiai-Kiai lain setelah menamatkan pendidikan mereka di pondok pesantren masing-masing, mereka banyak yang mendirikan pesantren di daerah-daerah asal mereka. Situasi ini sekaligus menggambarkan adanya jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang sangat luas melalui pesantren-pesantren itu. Dengan kata lain, pesantren telah berperan sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus berperan pula sebagai jaringan transmisi atau penyebaran ilmu-ilmu keislaman tersebut. Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung hingga dewasa ini dan diperluas lagi dengan merebaknya pembangunan pesantren-pesantren baru yang juga berperan sebagai pusat dan jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang semakin luas dan intens.[24]
Para pakar mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan di kalangan kaum muda Muslim tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan mereka. Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan kawan-kawan di tahun 1950-an.
Pondok pesantren yang kini sebagiannya telah memiliki universitas-universitas dan pada umumnya berafiliasi pada jam’iyah Nahdlatul Ulama serta berperan sebagai basis kekuatan Muslim tradisional ditantang untuk ikut mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Pesantren diharapkan bisa menjadi “garda depan” motivator dan dinamisator munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Karena, bagaimanapun kalangan tradisional Muslim itu sendirilah yang harus membuktikan diri bahwa mereka mampu untuk memotori munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua ini. Inilah salah satu tugas sejarah yang penting dan strategis yang terletak di pundak kalangan Muslim tradisional dalam memasuki abad 21.[25]








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia Penerbit PT: Pustaka LP3ES Indonesia.

Ali, H.A. Mukti. 1987. Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.

Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Islmail, Faisal. 1997. Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Kuntowijoyo. 1999. Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi). Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.

Madjid, Nur Chalish, 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah. Jakarta: P3M.

Prasodjo, Soedjoko. et. al. 1982. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.

Saridjo, Marwan. et al. 1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Yacub, Muhammad. 1985. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Penerbit: Angkasa.

Yacub, Muhammad. Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.


[1] Zamakhshahri Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 18.
[2] Nur Chalish Madjid , Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah (Jakarta: P3M, 1985), hlm, 3.
[3] Op. Cit., Tradisi Pesantren, hlm. 1.
[4] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 24.
[5] Muhammad Yacub, Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[6] H.A. Mukti Ali, Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987).
[7] Dhofier, Tradisi Pesantren, Bab-II.
[8] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia (Penerbit PT: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 110.
[9] Ibid, hlm. 111-112.
[10] Marwan Saridjo et al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982), hlm. 25.
[11] Ibid, hlm. 41-43.
[12] H.M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Penerbit: Angkasa, 1985), hlm. 68.
[13] Faisal Islmail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 108.
[14] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1999), hlm. 246.
[15] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 3.
[16] Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 83-84.
[17] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 102.
[18] Op. Cit., Profil Pesantren, hlm. 111.
[19] Op. Cit., Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), hlm. 264.
[20] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 109.
[21] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[22] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[23] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 113.
[24] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 117-118.
[25] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 120.