KONSTRUKSI FILSAFAT ILMU
(Studi Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)
Oleh:
RUSILAH (2052115021)
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister
Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
2015
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat
ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan
akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap
arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri
di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan
seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.
Kajian ini menggunakan metode
deskriptif-analistis-kritis terhadap kajian konstruksi filsafat ilmu (studi
ontologi, epitemologi dan aksiologi) dengan menggunakan sumber primernya adalah
buku karya Mohammad Adib yang berjudul “Filsafat Ilmu”.
Hasil kajian ini dapat
memberikan gambaran tentang sejarah filsafat ilmu, definisi filsafat ilmu,
ruang lingkup filsafat ilmu, ontologi filsafat ilmu, epistemologi filsafat
ilmu, aksiologi filsafat ilmu, tujuan, implikasi dan manfaat mempelajari
filsafat ilmu. kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan yang
bersifat universal serta dikritisi agar dapat dimanfaatkan kelebihan dan
mengganti kekurangan yang ada di pesantren dengan sesuatu yang lebih baik demi
kemaslahatan ummah.
Kata Kunci: Konstruksi,
Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup
dan kehidupan ini sampailah pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada
tataran menyatakan kebenaran maka terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat,
karena muncul beberapa madzhab, yaitu madzhab rasionalis, emperis, dan
kritisis.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu
sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan
menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap arogansi
intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di
kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh
potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.[1]
A.
Sejarah Filsafat
Ilmu
Lahir pada abad ke-18 cabang filsafat
yang di sebut sebagai filsafat pengetahuan di mana logika, filsafat bahasa,
matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen pendukungnya. Melalui
cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk
menggunakan pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula syarat-syarat yang harus
dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah dan batas validitasnya.[2]
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru
mulai merebak di awal abad ke-20, namun Francis Bacon dengan metode induksi
yang ditampilkannya pada abad ke-19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar
filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum.
B.
Definisi Filsafat
Ilmu
Istilah filsafat ilmu adalah theory
of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu), science of
science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan bahwa
filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi kehidupan manusia.[3]
Filsafat ilmu adalah bagian dari
filsafat pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau
pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang dari pengetahuan. Ilmu atau
pengetahuan ilmiah dalam bahasa Inggris science, dalam bahasa Yunani episteme.
Filsafat ilmu menurut Mohar seperti yang dikutip oleh Andi Hakim Nasoetion (1999:
27) ialah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju penemuan
keterangan tentang pengetahuan yang benar.[4]
Untuk mendapatkan gambaran singkat
tentang pengertia filsafat ilmu dapat dirangkum kepada tiga medan telaah yang
tercakup di dalam filsafat ilmu. ketiganya itu adlah sebagai berikut:[5]
1.
Filsafat ilmu adalah suatu
telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap
lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang
yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris
dan juga ilmu rasional serta membahas studi bidang etika dan estetika, studi
kesejarahan, antropologi, geologi dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang
terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya.
2.
Filsafat ilmu adalah upaya
untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana, dan
postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan,
kerasionalan dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat hubungannya dengan hal
ihwal yang logis dan epitemologis. Jadi peran filsafat ilmu di sini berganda.
Pada posisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisi kritis terhadap anggapan dasar,
seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan hukum. Pada sisi yang lain
filsafat ilmu mencakup studi menganai kenyakinan tertentu. Seperti, kenyakinan
mengenai keserupaan di dalam alam semesta, dan kenyakinan mengenai kenalaran
proses-proses alami.
3.
Filsafat ilmu adalah studi
gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan
untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu.
Dari
data di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan studi gabungan
dalam berfilsafat untuk melakukan suatu telaah kritis terhadap metode yang
dipakai oleh ilmu tertentu berkenaan dengan hal yang logis dan epistemologis
guna membuka tabir dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan dalam
menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu sehingga menghasilkan
pengetahuan yang benar secara general.
C.
Ruang Lingkup
Filsafat Ilmu
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para
filsuf antara lain: (1) ilmu mempunyai empat bidang konsentiasi yang utama
(Peter Angeles); (2) ilmu mempunyai beberapa bidang yaitu logika ilmu, ilmu
ke-alaman (A. Coenelius Benjamin); (3) ada tiga bidang filsafat ilmu (Israel
Scheffler); dan (4) filsafat ilmu dianggap mempunyai dua komponen utama (U.C
Smart).[6]
Dalam melakukan penataan dan
pengorganisasian ilmu, filsafat ilmu petama-tama berusaha menjelaskan
unsur-unsur yang terlibat dalam penelitian ilmiah yaitu: prosedur-prosedur
pengamatan, pola-pola argumentasi, metode penyajian dan perhitungan,
asumsi-asumsi metafisika dan seterusnya, kemudian mengevaluasi dasar-dasar
validitasnya berdasarkan sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis.[7]
Sedangkan filsafat ilmu sebagaimana
halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain juga memiliki objek material dan
objek formal tersendiri. Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah
ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara
sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya secara umum. Sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian
terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa hakikat ilmu
itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu
pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam
landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologi, epistemologi
dan aksiologi.
Kalau
diskemakan, maka landasan pengembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut:[8]
Landasan ontologi pengembangan ilmu
artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan
pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuwan. Dan landasan
epistemologis pengembanagn ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan
didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran. Serta landasan
aksiologi pengembangan ilmu perupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh
ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang dinyakini
kebenarannya.
Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa ruang lingkup filsafat ilmu meliputi objek material (ilmu pengetahuan dan
metode secara sistematis) dan objek formal (hakikat/esensi dari ilmu
pengetahuan) Sehingga aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan
kepercanyaan, ideologi yang dianut oleh masyarakat atau bangsa tempat ilmu itu
dikembangkan.
D.
Ontologi Filsafat
Ilmu
Kata ontologi berasal dari perkataan
Yunani: On = being, dan Logos = logic. Jadi
Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan
sebagai keberadaan).[9]
Louis. O Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan Ontologi itu
mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh
pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang
menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua
benda hanya satu saja yaitu air.[10]
Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat
Ilmu, mengatakan bahwa ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak
terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang
universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari
inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[11]
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam
Perspektif mengatakan bahwa ontologi yaitu membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[12]
Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora,
Filsafat, dan Logika mengatakan bahwa ontologi adalah menyelidiki sifat
dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana
entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis,
hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada, dalam kerangka tradisional
ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada,
sedangkan dalam hal pemakainnya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai
teori mengenai apa yang ada.[13]
Dari beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Menurut bahasa, ontologi
adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu, On/Ontos = ada, dan Logos =
ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
2.
Menurut istilah, ontologi
ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality baik yang berbentuk jasmani/ kongkret maupun rohani/abstrak.[14]
Di
dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran
sebagai berikut:
1.
Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang
asal dari seluruh kenyataan ini hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah
satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi
ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan
berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua
aliran:[15]
a.
Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering juga di sebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati
merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[16]
Dari segi dimensinya, paham ini sering
di kaitkan dengan teori Atomisme. Menurut teori ini semua materi tersusun dari
sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap, tak dapat
dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari unsur itulah yang dinamakan
atom-atom. Atom dari unsur sama rupanya sama pula, dan sebaliknya. Namun
perbedaan hanya mengenai berat dan besarnya. Mereka bisa bersatu menjadi
molekul-molekul yang terkecil dari atom-atom itu. Jadi materialisme menganggap
bahwa kenyataan ini merupakan suatu mekanis seperti suatu mesin yang besar.[17]
b.
Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran
idealisme yang dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba
cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh.
Idealisme diambil dari kata “Idea”,
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat
kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis
dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau
dzat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.[18]
Materi bagi penganut idealisme
sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah
sebagai ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai manusia perorangan, tetapi juga
kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita dan cita-cita
itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat di sebut idealisme dan dapat di
sebut spiritualisme.[19]
2.
Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu
satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan
bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini di sebut dualisme. Aliran ini berpendapat
bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi
bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat.
Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama
azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan alam ini. Contoh yang
paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri
manusia.[20]
3.
Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap
macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan
mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.[21] Pluralisme
dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu
atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan
Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri
dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.[22]
4.
Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin
yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui
validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun
1862 di Rusia.[23]
5.
Agnositisme
Paham ini mengingkari kesanggupan
manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat
ruhani. Kata Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang
berarti unknow. A Artinya non, Gno artinya know.[24]
Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu
menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan
dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu
kenyataan mutlak yang bersifat trancedent.[25]
Jadi Agnotisisme adalah paham peningkatan atau penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun ruhani.
Aliran ini mirip dengan skepitisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan
kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnotisisme lebih dari itu
karena menyerah sama sekali.[26]
Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa ontologi filsafat ilmu merupakan menelaah suatu sifat dasar yang ada atau
nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dari sesuatu yang berkategori
logis, oleh sebab itulah memunculkan berbagai aliran pemikiran dalam ontologi
seperti, monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme dan agnositisme.
E.
Epistemologi
Filsafat Ilmu
Epistemologi atau teori pengetahuan
ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[27]
Objek material epistemologi adalah
pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Setiap filsuf
menawarkan aturan yang cermat dan terbatas untuk menguji berbagai tuntutan lain
yang menjadikan kita dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan
harus benar-benar mapan.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji
dalam epistemologi berkisar pada masalah: asala usul pengetahuan, peran
pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan
keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan
skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal
dari konspestualisasi baru mengenai dunia.[28]
Pengetahauan yang diperoleh oleh manusia
melalui akal, indera, dan lain-lian mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengetahuan, antara lain:[29]
1.
Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang
menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi yang disimpulkan dalam suatu
pernyataan yang lebih umum.[30] Dan
menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh
metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari
pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan
penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh
pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita
bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan
tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di
atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang
disebut juga pengetahuan sintetik.
2.
Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang
menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem
pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah
adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada
penyelidikan bentuk logis teori dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai
sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada
pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan
yang bisa ditarik dari teori tersebut. Sebagai contoh jika penawaran besar,
harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan turun.
3.
Metode Postivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang
telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/
persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Pada tahap ini, usaha mencapai
pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang
tak berguna, menurutnya tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh
alam, melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah
menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan
pengamatan dan penggunaan akal.
4.
Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya
keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga
objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah
yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran.
al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang
disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar.
Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak
bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa
ini bisa dikomersilkan.
5.
Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialetika mula-mula
berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini
merupakan dialetika yang berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah
dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik ide-ide untuk mencapai
apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialetika
berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini
merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi
pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
Dari
data di atas dapat disimpulkan bahwa objek material epistemologi filsafat ilmu
adalah pengetahuan. Sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah hakikat
(esensi) dari pengetahuan. Kemudian pengetahuan yang diperoleh manusia melalui
akal maupun indera memiliki metode antara lain; metode induktif, metode
deduktif, metode positisivisme, metode kontemplatif dan metode dialektis.
F.
Aksiologi Filsafat
Ilmu
Aksiologi berasal dari perkataan axio
(Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi
aksiologi adalah ”teori tentang nilai”.[31] Sedangkan
di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri dengan judul “Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[32]
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam
tiga bagian. Pertama, moral condact, yaitu tindakan moral, bidang ini
melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu
ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosio-politik.[33]
Dari definisi di atas dapat dilihat
bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah
sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa
yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk
arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan hpengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau
manusia-manusia yang lain. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat
kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia,
dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau
dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu
kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.[34]
Dari data tersebut menunjukkan bahwa
aksiologi filsafat ilmu yaitu membahas tentang teori nilai yang berkenaan
dengan etika dalam menilai perbuatan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak
baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di
sekelilingnya.
G.
Tujuan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebgai cabang khusus
filsafat yang membicarakan tentang sejarah perkembangan ilmu, metode-metode
ilmiah, sikap etis yang harus dikembangkan para ilmuwan, secara umum mengandung
tujuan-tujuan sebagai berikut:
Pertama, filsafat ilmu sebagai
sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap
kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis
terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap
solipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar.
Kedua, filsafat ilmu merupakan
usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab
kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan modern adalah menerapkan
suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri.
Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai
atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya
sarana berpikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
Ketiga, filsafat ilmu memberikan
pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang
dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasionalis, agar
dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan dan penggunaan metode ilmiah, maka semakin
valid metode tersebut, pembahasan mengenai hal ini dibicarakan dalam
metodologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara untuk memperoleh
kebenaran.[35]
Tujuan filsafat ilmu adalah:[36]
1.
Mendalami unsur-unsur pokok
ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan
ilmu.
2.
Memahami sejarah
pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita
mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
3.
Menjadi pedoman bagi para
dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk
membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah.
4.
Mendorong pada calon
ilmuwan untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya.
5.
Mempertegas bahwa dalam
persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
H.
Implikasi
mempelajari Filsafat Ilmu
Implikasi dari mempelajari filsafat ilmu
antara lain:[37]
1.
Bagi seorang yang
mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang
ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial supaya para ilmuwan memiliki landasan
berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan sosial perlu mempelajari ilmu-ilmu
kealaman secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial, sehingga antara ilmu yang
satu dengan lainnya saling menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerja sama
yang harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
2.
Menyadarkan seorang ilmuwan
agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir
murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar
dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari
konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.
I.
Manfaat mempelajari
Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat
yang membicarakan tentang hakikat ilmu secara umum mengandung manfaat sebagai
berikut:[38]
1.
Filsafat ilmu sebagai
sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap
kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap
bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap
solipsistik, yakni menganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2.
Filsafat ilmu merupakan
usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab
kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan menerapkan suatu metode
ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap
yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan
struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.
3.
Filsafat ilmu memberikan
pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang
dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasionalis, agar
dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Adapun manfaat dilaksanakan pembelajaran
filsafat ilmu antara lain:
1.
Kembali kepada kesadaran
berpikir kefilsafatan
2.
Merespon isu krisis ilmu
pengetahuan
3.
Mengoreksi paham
positivisme dan pragmatisme
4.
Memberi dasar-dasar
filosofis bagi ilmu yang baru
5.
Melakukan falsifikasi
terhadap ilmu
6.
Membangun paradigma baru
7.
Mengoreksi konsep dan teori
lama
8.
Menumbuhkembangkan
moralitas dan integritas manusia mendasarkan pada ilmu pengetahuan yang
dikuasainya[39]
J.
Daftar Pustaka
Adib, Mohammad Adib.
2010. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Amsal Bachtiar, Amsal.
2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali.
Bakhtiar, Amsal.
2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.
Bakry, Hasbullah.
1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Widjaya.
Hadiwijono, Harun.
2008. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.
Mustansyir, Rizal
dan Munir, Misnal. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mustansyir, Rizal
dan Munir, Misnal. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachmat, Aceng. et
al. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.
Salam, Burhanuddin.
1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.
Sunarto, 1983.
Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.
Surajiyo. 2010. Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Surajiyo. 2010. Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat
Ilmu. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
[1]
Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia”, (Jakarta:
PT. Bumi Aksara, 2010), cet. ke-5, hlm. 51.
[2]
Mohammad Adib, “Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika
Ilmu Pengetahuan)”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 55.
[3]
Mohammad Adib, op. cit., hlm.54-55.
[4]
Aceng Rachmat, et al., “Filsafat Ilmu Lanjutan”, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 109.
[5]
Hartono Kasmadi, dkk., 1990, hlm. 17-18. Dalam Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), cet. ke-5,
hlm. 46-47.
[6]
Mohammad Adib, ibid., hlm. 64-65.
[7]
Aceng Rachmat, et al., op. cit., hlm. 109-110.
[8]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 46.
[9]
Lihat James K. Feibleman, “Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictinary
Philoshopy, (Totowa New Jersey: Little Adam & Co., 1976), hlm. 219.
Dalam Amsal Bakhtiar, “Filsafat Ilmu”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 132.
[10]
Louis O Kattsoff, “Element of Philosophy”, (New York: The Roland Press
Company, 1953), hlm. 178. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, loc. cit., hlm.
132.
[11]
Noeng Muhadjir, “Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post
Modernisme”, (Yogyakarta: Rakesarin, ed. II., cet. I, 2001), hlm. 57. Dalam
Amsal Bachtiar, op. cit., hlm. 133.
[12]
Jujun Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif”,
(Jakarata: Gramedia, cet. VI, 1985), hlm. 5. Dalam Amsal Bakhtiar, loc. cit.,
…
[13]
A. Dardiri, “Humaniora, Filsafat, dan Logika”, (Jakarta: Rajawali, ed.
Cet. I, 1986), hlm. 17. Dalam Dalam Amsal Bakhtiar, loc. cit., …
[14]
Amsal Bakhtiar, ibid., hlm. 134.
[15]
Amsal Bakhtiar, op. cit, hlm. 135-136.
[16]
Sunarto, “Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia”, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1983), hlm. 70. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 136.
[17]
Hasbullah Bakry, “Sistematika Filsafat”, (Jakarta: Widjaya, 1992), hlm.
53. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 136-137.
[18]
Hasbullah Bakry, op. cit., hlm. 56. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit.,
hlm. 138.
[19]
Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 139.
[20]
Lihat Harun Hadiwijono, “Sari Sejarah Filsafat Barat 2”, (Yogyakarta:
Kanisius, 2008), cet. 18. hlm. 18. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm.
142.
[21]
Sunarto, “Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia”, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1983), hlm. 71. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 144.
[22]
William L. Reese, “Dictionary of Philosophy and Religion Eastern and Western
Though”, (New York: Humanity Books, 1996), hlm. 591. Dalam Amsal Bakhtiar, op.
cit., hlm. 144.
[23]
Paul Edwards, Ed., “The Encyclopedia of Philosophy”, (New York: Collie
Mac Millan Publishing Co., ed. 2, 1972). Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit.,
hlm. 145.
[24]
A. Tafsir, “Filsafat Umum, Akal, dan Hati Sejak Thales sampai Capra”,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit.,
hlm. 146.
[25]
Hasbullah Bakry, op. cit., hlm. 60. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit.,
hlm. 147.
[26]
A. Tafsir, op. cit., hlm 30. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm.
148.
[27]
DW. Hamlyn, “History of Epistemology”, dalam Prof. Amsal Bakhtiar, ibid,
hlm. 148.
[28]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 52.
[29]
Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 152-156.
[30]
Tim Dosen Filsafat Ilmu, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Liberty, 1996),
hlm 109. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 152.
[31]
Burhanuddin Salam, “Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan”,
(Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1, hlm. 168. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar,
op. cit., hlm. 163.
[32]
Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu …”, hlm. 234. Dalam Prof.
Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 163.
[33]
Jalaluddin dan Abdullah Idi, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1997), cet. ke-1, hlm. 106. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, ibid., hlm.
163-164.
[34]
Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 165-166.
[35]
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 52.
[36]
Amsal Bachtiar, “Filsafat Ilmu”, (Jakarta: Rajawali, 2011), hlm. 20.
[37] Rizal
Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., hlm. 53.
[38]
Surajiyo, op. cit., hlm. 51-52.
[39]
Mohammad Adib, op. cit., hlm. 58.