Selasa, 05 April 2016

KONSTRUKSI FILSAFAT ILMU



KONSTRUKSI FILSAFAT ILMU
(Studi Ontologi, Epistemologi, Aksiologi)

Oleh:
RUSILAH (2052115021)
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
2015
ABSTRAK
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.
Kajian ini menggunakan metode deskriptif-analistis-kritis terhadap kajian konstruksi filsafat ilmu (studi ontologi, epitemologi dan aksiologi) dengan menggunakan sumber primernya adalah buku karya Mohammad Adib yang berjudul “Filsafat Ilmu”.
Hasil kajian ini dapat memberikan gambaran tentang sejarah filsafat ilmu, definisi filsafat ilmu, ruang lingkup filsafat ilmu, ontologi filsafat ilmu, epistemologi filsafat ilmu, aksiologi filsafat ilmu, tujuan, implikasi dan manfaat mempelajari filsafat ilmu. kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat universal serta dikritisi agar dapat dimanfaatkan kelebihan dan mengganti kekurangan yang ada di pesantren dengan sesuatu yang lebih baik demi kemaslahatan ummah.

Kata Kunci: Konstruksi, Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.

Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat, karena muncul beberapa madzhab, yaitu madzhab rasionalis, emperis, dan kritisis.
Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu maka filsafat ilmu sangat diperlukan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.[1]
A.      Sejarah Filsafat Ilmu
Lahir pada abad ke-18 cabang filsafat yang di sebut sebagai filsafat pengetahuan di mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi apa yang disebut kebenaran ilmiah dan batas validitasnya.[2]
Perbincangan mengenai filsafat ilmu baru mulai merebak di awal abad ke-20, namun Francis Bacon dengan metode induksi yang ditampilkannya pada abad ke-19 dapat dikatakan sebagai peletak dasar filsafat ilmu dalam khasanah bidang filsafat secara umum.
B.       Definisi Filsafat Ilmu
Istilah filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu). The Liang Gie mendefinisikan bahwa filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia.[3]
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Ilmu merupakan cabang dari pengetahuan. Ilmu atau pengetahuan ilmiah dalam bahasa Inggris science, dalam bahasa Yunani episteme. Filsafat ilmu menurut Mohar seperti yang dikutip oleh Andi Hakim Nasoetion (1999: 27) ialah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar.[4]
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertia filsafat ilmu dapat dirangkum kepada tiga medan telaah yang tercakup di dalam filsafat ilmu. ketiganya itu adlah sebagai berikut:[5]
1.    Filsafat ilmu adalah suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan juga ilmu rasional serta membahas studi bidang etika dan estetika, studi kesejarahan, antropologi, geologi dan sebagainya. Dalam hubungan ini yang terutama sekali ditelaah adalah ihwal penalaran dan teorinya.
2.    Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana, dan postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir dasar-dasar keempirisan, kerasionalan dan kepragmatisan. Aspek filsafat ini erat hubungannya dengan hal ihwal yang logis dan epitemologis. Jadi peran filsafat ilmu di sini berganda. Pada posisi pertama, filsafat ilmu mencakup analisi kritis terhadap anggapan dasar, seperti kuantitas, kualitas, waktu, ruang, dan hukum. Pada sisi yang lain filsafat ilmu mencakup studi menganai kenyakinan tertentu. Seperti, kenyakinan mengenai keserupaan di dalam alam semesta, dan kenyakinan mengenai kenalaran proses-proses alami.
3.    Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan studi gabungan dalam berfilsafat untuk melakukan suatu telaah kritis terhadap metode yang dipakai oleh ilmu tertentu berkenaan dengan hal yang logis dan epistemologis guna membuka tabir dasar keempirisan, kerasionalan, dan kepragmatisan dalam menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu tertentu sehingga menghasilkan pengetahuan yang benar secara general.
C.      Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (1) ilmu mempunyai empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (2) ilmu mempunyai beberapa bidang yaitu logika ilmu, ilmu ke-alaman (A. Coenelius Benjamin); (3) ada tiga bidang filsafat ilmu (Israel Scheffler); dan (4) filsafat ilmu dianggap mempunyai dua komponen utama (U.C Smart).[6]
Dalam melakukan penataan dan pengorganisasian ilmu, filsafat ilmu petama-tama berusaha menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam penelitian ilmiah yaitu: prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola argumentasi, metode penyajian dan perhitungan, asumsi-asumsi metafisika dan seterusnya, kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya berdasarkan sudut pandang logika formal, dan metodologi praktis.[7]
Sedangkan filsafat ilmu sebagaimana halnya dengan bidang-bidang ilmu yang lain juga memiliki objek material dan objek formal tersendiri. Objek material atau pokok bahasan filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu sehingga dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara umum. Sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem-problem mendasar ilmu pengetahuan seperti: apa hakikat ilmu itu sesungguhnya? Bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah? Apa fungsi ilmu pengetahuan itu bagi manusia? Problem-problem inilah yang dibicarakan dalam landasan pengembangan ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologi, epistemologi dan aksiologi.



Rounded Rectangle: Landasan
Pengembangan Ilmu
Kalau diskemakan, maka landasan pengembangan ilmu dapat digambarkan sebagai berikut:[8]




 












Landasan ontologi pengembangan ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas sikap dan pendirian filosofis yang dimiliki oleh seorang ilmuwan. Dan landasan epistemologis pengembanagn ilmu artinya titik tolak penelaahan ilmu pengetahuan didasarkan atas cara dan prosedur dalam memperoleh kebenaran. Serta landasan aksiologi pengembangan ilmu perupakan sikap etis yang harus dikembangkan oleh ilmuwan, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai yang dinyakini kebenarannya.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup filsafat ilmu meliputi objek material (ilmu pengetahuan dan metode secara sistematis) dan objek formal (hakikat/esensi dari ilmu pengetahuan) Sehingga aktivitas ilmiah senantiasa dikaitkan dengan kepercanyaan, ideologi yang dianut oleh masyarakat atau bangsa tempat ilmu itu dikembangkan.
D.      Ontologi Filsafat Ilmu
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: On = being, dan Logos = logic. Jadi Ontologi adalah The theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[9] Louis. O Kattsoff dalam Elements of Filosophy mengatakan Ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate subtance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.[10]
Noeng Muhadjir dalam bukunya Filsafat Ilmu, mengatakan bahwa ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan.[11] Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan bahwa ontologi yaitu membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.[12]
Sementara itu, A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat, dan Logika mengatakan bahwa ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada, dalam kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakainnya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.[13]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Menurut bahasa, ontologi adalah berasal dari bahasa Yunani yaitu, On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
2.    Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/ kongkret maupun rohani/abstrak.[14]
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1.    Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan ini hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya.
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:[15]
a.    Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber  yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga di sebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta.[16]
Dari segi dimensinya, paham ini sering di kaitkan dengan teori Atomisme. Menurut teori ini semua materi tersusun dari sejumlah bahan yang disebut unsur. Unsur-unsur itu bersifat tetap, tak dapat dirusakkan. Bagian-bagian yang terkecil dari unsur itulah yang dinamakan atom-atom. Atom dari unsur sama rupanya sama pula, dan sebaliknya. Namun perbedaan hanya mengenai berat dan besarnya. Mereka bisa bersatu menjadi molekul-molekul yang terkecil dari atom-atom itu. Jadi materialisme menganggap bahwa kenyataan ini merupakan suatu mekanis seperti suatu mesin yang besar.[17]
b.    Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme yang dinamakan juga dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh.
Idealisme diambil dari kata “Idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau dzat itu hanyalah suatu jenis dari pada penjelmaan ruhani.[18]
Materi bagi penganut idealisme sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah sebagai ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai manusia perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita dan cita-cita itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat di sebut idealisme dan dapat di sebut spiritualisme.[19]
2.    Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monisme) baik materi ataupun ruhani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini di sebut dualisme. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.[20]
3.    Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.[21] Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara.[22]
4.    Nihilisme
Nihilisme berasal dari Bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.[23]
5.    Agnositisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknow. A Artinya non, Gno artinya know.[24] Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancedent.[25]
Jadi Agnotisisme  adalah paham peningkatan atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skepitisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnotisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.[26]
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa ontologi filsafat ilmu merupakan menelaah suatu sifat dasar yang ada atau nyata secara fundamental dan cara yang berbeda dari sesuatu yang berkategori logis, oleh sebab itulah memunculkan berbagai aliran pemikiran dalam ontologi seperti, monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme dan agnositisme.
E.       Epistemologi Filsafat Ilmu
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[27]
Objek material epistemologi adalah pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan. Setiap filsuf menawarkan aturan yang cermat dan terbatas untuk menguji berbagai tuntutan lain yang menjadikan kita dapat memiliki pengetahuan, tetapi setiap perangkat aturan harus benar-benar mapan.
Persoalan-persoalan penting yang dikaji dalam epistemologi berkisar pada masalah: asala usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam pengetahuan, hubungan antara pengetahuan dengan keniscayaan, hubungan antara pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan skeptisisme universal, dan bentuk-bentuk perubahan pengetahuan yang berasal dari konspestualisasi baru mengenai dunia.[28]
Pengetahauan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera, dan lain-lian mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, antara lain:[29]
1.    Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi yang disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum.[30] Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang, bertolak dari teori ini kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga pengetahuan sintetik.
2.    Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut. Sebagai contoh jika penawaran besar, harga akan turun. Karena penawaran beras besar, maka harga beras akan turun.
3.    Metode Postivisme
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan diluar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisis dipandang tak berguna, menurutnya tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam, melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.
4.    Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan al-Ghazali.
Intuisi dalam tasawuf disebut dengan ma’rifah yaitu pengetahuan yang datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran. al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti ilmu pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.

5.    Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialetika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini merupakan dialetika yang berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialetika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa objek material epistemologi filsafat ilmu adalah pengetahuan. Sedangkan objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) dari pengetahuan. Kemudian pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal maupun indera memiliki metode antara lain; metode induktif, metode deduktif, metode positisivisme, metode kontemplatif dan metode dialektis.
F.       Aksiologi Filsafat Ilmu
Aksiologi berasal dari perkataan axio (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah ”teori tentang nilai”.[31] Sedangkan di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri dengan judul “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[32]
Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral condact, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.[33]
Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan hpengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.[34]
Dari data tersebut menunjukkan bahwa aksiologi filsafat ilmu yaitu membahas tentang teori nilai yang berkenaan dengan etika dalam menilai perbuatan manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
G.      Tujuan Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebgai cabang khusus filsafat yang membicarakan tentang sejarah perkembangan ilmu, metode-metode ilmiah, sikap etis yang harus dikembangkan para ilmuwan, secara umum mengandung tujuan-tujuan sebagai berikut:
Pertama, filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya, seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik, menganggap bahwa hanya pendapatnya yang paling benar.
Kedua, filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan modern adalah menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai atau cocok dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya. Metode hanya sarana berpikir, bukan merupakan hakikat ilmu pengetahuan.
Ketiga, filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasionalis, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum. Semakin luas penerimaan  dan penggunaan metode ilmiah, maka semakin valid metode tersebut, pembahasan mengenai hal ini dibicarakan dalam metodologi, yaitu ilmu yang mempelajari tentang cara-cara untuk memperoleh kebenaran.[35]
Tujuan filsafat ilmu adalah:[36]
1.    Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita dapat memahami sumber, hakikat dan tujuan ilmu.
2.    Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan ilmu di berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu kontemporer secara historis.
3.    Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami studi di perguruan tinggi, terutama untuk membedakan persoalan yang ilmiah dan non ilmiah.
4.    Mendorong pada calon ilmuwan untuk konsisten dalam mendalami ilmu dan mengembangkannya.
5.    Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan.
H.      Implikasi mempelajari Filsafat Ilmu
Implikasi dari mempelajari filsafat ilmu antara lain:[37]
1.    Bagi seorang yang mempelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial supaya para ilmuwan memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti ilmuwan sosial perlu mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial, sehingga antara ilmu yang satu dengan lainnya saling menyapa, bahkan dimungkinkan terjalinnya kerja sama yang harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
2.    Menyadarkan seorang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”, yakni hanya berpikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial-kemasyarakatan.
I.         Manfaat mempelajari Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu secara umum mengandung manfaat sebagai berikut:[38]
1.    Filsafat ilmu sebagai sarana pengujian penalaran ilmiah, sehingga orang menjadi kritis terhadap kegiatan ilmiah. Maksudnya seorang ilmuwan harus memiliki sikap kritis terhadap bidang ilmunya sendiri, sehingga dapat menghindarkan diri dari sikap solipsistik, yakni menganggap hanya pendapatnya yang paling benar.
2.    Filsafat ilmu merupakan usaha merefleksi, menguji, mengkritik asumsi dan metode keilmuan. Sebab kecenderungan yang terjadi di kalangan para ilmuwan menerapkan suatu metode ilmiah tanpa memperhatikan struktur ilmu pengetahuan itu sendiri. Satu sikap yang diperlukan di sini adalah menerapkan metode ilmiah yang sesuai dengan struktur ilmu pengetahuan, bukan sebaliknya.
3.    Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Setiap metode ilmiah yang dikembangkan harus dapat dipertanggungjawabkan secara logis-rasionalis, agar dapat dipahami dan dipergunakan secara umum.
Adapun manfaat dilaksanakan pembelajaran filsafat ilmu antara lain:
1.    Kembali kepada kesadaran berpikir kefilsafatan
2.    Merespon isu krisis ilmu pengetahuan
3.    Mengoreksi paham positivisme dan pragmatisme
4.    Memberi dasar-dasar filosofis bagi ilmu yang baru
5.    Melakukan falsifikasi terhadap ilmu
6.    Membangun paradigma baru
7.    Mengoreksi konsep dan teori lama
8.    Menumbuhkembangkan moralitas dan integritas manusia mendasarkan pada ilmu pengetahuan yang dikuasainya[39]













J.        Daftar Pustaka

Adib, Mohammad Adib. 2010. Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amsal Bachtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali.

Bakhtiar, Amsal. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers.

Bakry, Hasbullah. 1992. Sistematika Filsafat. Jakarta: Widjaya.

Hadiwijono, Harun. 2008. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius.

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mustansyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rachmat, Aceng. et al. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana.

Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Reneka Cipta.

Sunarto, 1983. Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Tim Dosen Filsafat Ilmu. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.


[1] Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), cet. ke-5, hlm. 51.
[2] Mohammad Adib, “Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan)”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 55.
[3] Mohammad Adib, op. cit., hlm.54-55.
[4] Aceng Rachmat, et al., “Filsafat Ilmu Lanjutan”, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 109.
[5] Hartono Kasmadi, dkk., 1990, hlm. 17-18. Dalam Surajiyo, “Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), cet. ke-5, hlm. 46-47.
[6] Mohammad Adib, ibid., hlm. 64-65.
[7] Aceng Rachmat, et al., op. cit., hlm. 109-110.
[8] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 46.
[9] Lihat James K. Feibleman, “Ontologi dalam Dagobert D. Runes (ed), Dictinary Philoshopy, (Totowa New Jersey: Little Adam & Co., 1976), hlm. 219. Dalam Amsal Bakhtiar, “Filsafat Ilmu”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 132.
[10] Louis O Kattsoff, “Element of Philosophy”, (New York: The Roland Press Company, 1953), hlm. 178. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, loc. cit., hlm. 132.
[11] Noeng Muhadjir, “Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme”, (Yogyakarta: Rakesarin, ed. II., cet. I, 2001), hlm. 57. Dalam Amsal Bachtiar, op. cit., hlm. 133.
[12] Jujun Suriasumantri, “Tentang Hakikat Ilmu, dalam Ilmu dalam Perspektif”, (Jakarata: Gramedia, cet. VI, 1985), hlm. 5. Dalam Amsal Bakhtiar, loc. cit., …
[13] A. Dardiri, “Humaniora, Filsafat, dan Logika”, (Jakarta: Rajawali, ed. Cet. I, 1986), hlm. 17. Dalam Dalam Amsal Bakhtiar, loc. cit., …
[14] Amsal Bakhtiar, ibid., hlm. 134.
[15] Amsal Bakhtiar, op. cit, hlm. 135-136.
[16] Sunarto, “Pemikran tentang Kefilsafatan Indonesia”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1983), hlm. 70. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 136.
[17] Hasbullah Bakry, “Sistematika Filsafat”, (Jakarta: Widjaya, 1992), hlm. 53. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 136-137.
[18] Hasbullah Bakry, op. cit., hlm. 56. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 138.
[19] Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 139.
[20] Lihat Harun Hadiwijono, “Sari Sejarah Filsafat Barat 2”, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), cet. 18. hlm. 18. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 142.
[21] Sunarto, “Pemikiran tentang Kefilsafatan Indonesia”, (Yogyakarta: Andi Offset, 1983), hlm. 71. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 144.
[22] William L. Reese, “Dictionary of Philosophy and Religion Eastern and Western Though”, (New York: Humanity Books, 1996), hlm. 591. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 144.
[23] Paul Edwards, Ed., “The Encyclopedia of Philosophy”, (New York: Collie Mac Millan Publishing Co., ed. 2, 1972). Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 145.
[24] A. Tafsir, “Filsafat Umum, Akal, dan Hati Sejak Thales sampai Capra”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 146.
[25] Hasbullah Bakry, op. cit., hlm. 60. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 147.
[26] A. Tafsir, op. cit., hlm 30. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 148.
[27] DW. Hamlyn, “History of Epistemology”, dalam Prof. Amsal Bakhtiar, ibid, hlm. 148.
[28] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 52.
[29] Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 152-156.
[30] Tim Dosen Filsafat Ilmu, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm 109. Dalam Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 152.
[31] Burhanuddin Salam, “Logika Materil: Filsafat Ilmu Pengetahuan”, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1, hlm. 168. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 163.
[32] Jujun S. Suriasumantri, “Filsafat Ilmu …, hlm. 234. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 163.
[33] Jalaluddin dan Abdullah Idi, “Filsafat Pendidikan”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet. ke-1, hlm. 106. Dalam Prof. Amsal Bakhtiar, ibid., hlm. 163-164.
[34] Amsal Bakhtiar, op. cit., hlm. 165-166.
[35] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), cet. ke-10, hlm. 52.
[36] Amsal Bachtiar, “Filsafat Ilmu”, (Jakarta: Rajawali, 2011), hlm. 20.
[37] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, op. cit., hlm. 53.
[38] Surajiyo, op. cit., hlm. 51-52.
[39] Mohammad Adib, op. cit., hlm. 58.