Rabu, 09 Maret 2016

STRATEGI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN KECERDASAN SPIRITUAL



STRATEGI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
(Studi Kecerdasan Spiritual pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(2052115026)
Kelas: B
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan
 Tahun 2016

ABSTRAK
Era globalisai yang melanda dunia saat ini sangat memerlukan SDM yang unggul dan handal. Kenyataan yang dijumpai mengindikasikan bahwa fungsi pendidikan sebagai pembentuk kepribadian telah mengalami degradasi nilai atau sikap di dalam praktik pendidikan. Taksonomi untuk mencapai tujuan pendidikan sebagai bingkai wilayah kepribadian manusia yakni membentuk sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive domain), serta melatih ketrampilan (psychomotor domain), tampaknya belum menjadi domain yang utuh dalam tataran outcomes pendidikan. Bahkan dalam praktik domain cognitive lebih dipentingkan dari pada domain yang lainnya. Seolah kepribadian manusia hanya berhubungan dengan kecerdasan intelektualnya semata-mata. Padahal, seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali ia juga memiliki piranti kecerdasan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual, atau bentuk kecerdasan jamak lainnya yang tinggi.

Kata Kunci: Strategi, Pendidiakan, Kecerdasan Spiritual, dan Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini tentunya esensial dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tapi apa yang terjadi pada penerapannya sistem pendidikan pada saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ) dan Kecerdasan Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana keduanya apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak disinergikan dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi “ahli petapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan SQ, seorang penipu atau yang lebih popular saat ini adalah para koruptor, tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ. Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak bertangung jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ. Ketiga kecerdasan ini, terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di sinergikan dengan kondisi pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta didik dapat terbentuk dengan baik.
A.      Pengertian Strategi, Pembelajaran, Kecerdasan Spiritual
Strategi dapat diartikan sebagai a plan, method, or series of activietis designed to achieves a particular educational goal.[1] Kata “strategi” dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[2] Strategi juga dapat diartikan sebgai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa Strategi adalah suatu perencanaan, metode atau berbagai aktivitas yang dirancang khusus untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kemudian pembelajaran merupakan aktivitas atau proses yang sistematis dan sistemik yang terdiri atas beberapa komponen. Komponen tersebut antara lain: tujuan pembelajaran, guru, siswa, perencanaan pembelajaran sebagai segmen kurikulum, strategi pembelajaran, media pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.[4] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi bahwa pembelajaran berarti proses, cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.[5]
Jadi pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang belajar.
Sedangkan kecerdasan spiritual secara bahasa adalah batin, kejiwaan, moral dan rohani. Spiritual berasal dari kata spirit, yang mempunyai beberapa arti yaitu arwah, hantu, peri, orang, kelincahan, makna, moral, cara berpikir, semangat keberanian, sukma dan tabi’at, dari kedua belas arti tersebut dapat dipersempit lagi menjadi tiga macam arti yaitu berkaitan dengan “moral”, “semangat”, dan “sukma”.[6] Menurut al-Ghazali kata spiritual dapat diartikan menjadi empat istilah yaitu al-Qalb, al-Ruh, an-Nafs, al-Aql.[7]
Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.[8]
Jadi kecerdasan spiritual dapat disimpulkan sebagai cara berpikir seseorang yang berkaitan dengan value dalam menempatkan perilaku dalam kehidupan yang lebih bermakna.

B.       Perbedaan SQ, IQ dan EQ
Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang “cerdas” dalam mengelola dan mempergunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup bermakna (the meaningful life).[9] SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita.[10]
Para ahli menyatakan bahwa tingkat perkembangan IQ berbeda dengan perkembangan SQ. Tingkat kecerdasan IQ relatif tetap sedangkan kecerdasan SQ dapat meningkat sepanjang hidup manusia.[11]
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang ‘cerdas’ dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya.
Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual. Acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleranansi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya insklusif, setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu menunjukkan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) di sini tidak selalu berarti agama atau bertuhan.[12]
Melalui penggunaan kecerdasan spiritual kita secara lebih terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan sumber dan makna terdalam di dalam diri kita. Kita dapat menggunakan penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita. Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita sendiri yang dalam.[13]
Menurut saran Ian Marshall dan Danah Zohar, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan SQ, antara lain:
1.    Selalu menyadari di mana saat ini saya berada (menyadari keadaan diri). Ketahuilah diri anda di mana saat ini berada dan kemana arah yang anda tuju
2.    Punya kemauan keras untuk berubah kearah yang lebih bagus. Munculkan berbagai ide untuk memperbaiki diri anda
3.    Selalu menggali sumber motivasi ke dalam diri. Misalnya memperjelas visi hidup, menghayati misi hidup, memperjelas tujuan hidup
4.    Selalu mengusahakan solusi atas setiap masalah yang muncul
5.    Selalu mengeksplorasi kemungkinan dan peluang untuk meraih kemajuan
6.    Milikilah komitmen untuk berjalan di atas jalan yang sudah kita pilih (jalan yang tidak melanggar kebenaran atau jalan yang lurus)
7.    Selalu sadar bahwa di dunia tidak hanya ada satu jalan untuk meraih keinginan
Selain ketujuh hal di atas, ada juga yang perlu kita lakukan untuk mengembangkan SQ ini, yaitu memunculkan motivasi positif dan melawan motivasi negatif.[14]
Kita harus memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi cerdas secara spiritual. Semua aktivitas yang kita lakukan pasti lebih efektif jika dikerjakan dengan SQ tinggi, sehingga kita akan lebih puas dalam menjalani hidup. Memanfaatkan dan  meningkatkan SQ bukan pula sekadar salah satu jenis aktivitas. Sebaliknya, SQ suatu aktivitas diukur melalui kedalaman dari motivasi bagi aktivitas tersebut, apapun itu, selama aktivitas itu timbul dari suatu hasrat yang terpusat, dari motivasi dan nilai-nilai kehidupan kita yang paling dalam.[15]
Kemudian kecerdasan intelektual dapat diartikan sebagai kecerdasan yang berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, dan menilai atau memperhitungkan sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika.[16]
Ada beberapa indikator yang menunjukkan hadirnya kecerdasan intelektual dalam diri seseorang, diantaranya:
a.    Kerja akal/pikir senantiasa dalam koordinasi nurani
b.    Buah pemikiran mudah dipahami dan diamalkan.
c.    Buah pikiran bersifat kausalitatif, artinya memiliki kemampuan mengetahui, memahami, dan menganalisis hakikat dari suatu masalah, kejadian atau peristiwa.
d.   Buah pikiran bersifat solutif, artinya memiliki kemampuan menggunakan akal pikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapi, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.[17]
EQ adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran seseorang pada suara hati.[18] Emotional Quotient (EQ) merupakan kecerdasan emosional, artinya kemampuan untuk menggunakan otak (berpikir atau menalar) dengan melibatkan emosi, indera, untuk menggerakkan diri sendiri menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang harus dihadapi, dan dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman.
Goleman mendefinisikan emosi dengan perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[19] Menurut Goleman, yang dimaksud kecerdasan emosional itu adalah: kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar bebas stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.[20]
Kecerdasan emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan, sedang kecerdasan intelektual merupakan hasil kerja otak kiri. Menurut DePorter dan Hernacki, otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik, sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional, dan linier. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai dengan fungsinya, sebab jika tidak maka masing-masing belahan akan menganggu pada belahan lain.[21]
EQ memiliki empat pilar utama yang bisa kita jadikan pedoman. Keempat pilar itu oleh Steve Hein disingkat dengan sebutan B.A.R.E yang isinya adalah:
B = balance (keseimbangan diri)
A = awareness (kesadaran diri)
R = responsibility (tanggung jawab)
E = emphaty (empati)
Dari keempat hal di atas yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan EQ, yaitu:
1.    Belajar menjaga keseimbangan
2.    Belajar mempertebal kesadaran diri
3.    Belajar meningfkatkan rasa tanggung jawab
4.    Belajar berempati[22]
C.      Komponen/ Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rahmat mengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Robert A. Emmons, dalam bukunya “The Psychology of Ultimate Concern” :
1.    Mampu untuk mentransendensikan yang fisik dan material.
2.    Mampu untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak.
3.    Mampu untuk menyakralkan pengalaman sehari-hari.
4.    Mampu untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah.
5.    Kemampuan untuk berbuat baik.
Dua karakteristik yang pertama sering di sebut sebagai komponen inti kecerdasan spiritual. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hanya secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti teks-teks kitab suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya, untuk melakukan definisi situasi.
Pengembangan kecerdasan spiritual dalam proses pendidikan anak dapat dilakukan sedini agar dapat memperoleh kelima kemampuan di atas tersebut. Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rahmat menyarankan kepada orang tua dan guru dengan memberikan sepuluh kiat mengembangkan SQ anak sebagai berikut:
1.    Jadilah kita “Gembala Spiritual” yang baik untuk anak.
2.    Bantulah anak untuk merumuskan “misi” hidupnya.
3.    Baca kitab suci bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan.
4.    Ceritakan kisah-kisah agung dari tokoh-tokoh spiritual.
5.    Diskusikan berbagai persoalan dari segala perspektif.
6.    Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
7.    Bacakan puisi-puisi atau lagu-lagu yang spiritualis dan inspirasional.
8.    Bawa anak untuk menikmati keindahan alam.
9.    Bawa anak ke tempat-tempat yang menderita.
10.                        Ikut sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial.[23]
D.      Urgensi Kecerdasan Spiritual
Orang yang memiliki SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang poisitif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tingkatan positif. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual selalu diliputi oleh kebahagiaan karena penerimaan dan pemaknaan terhadap dirinya.[24]
Jadi melalui penggunaan kecerdasan spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui kejujuran dan keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu, kita dapat terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri peserta didik, peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang jauh lebih luas.

E.       Rancangan Pembelajaran dan Strategi Kecerdasan Spiritual
Proses pembelajaran kecerdasan spiritual dapat dikembangkan dengan metode dan praktik sederhana misalnya diskusi interaktif, menghindarkan celaan kepada siswa, bila ada masalah diselesaikan dengan solusi menang-menang (win-win solution), mengembangkan toleransi yang tulus (belajar menerima orang lain apa adanya), dan banyak cara lagi. Semuanya dapat diserap melalui proses pembelajaran pada setiap bidang studi, guru tidak terlalu letih berceramah sepanjang jam pelajaran, karena dalam kenyataan masih ada guru yang merasa sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam konsep belajar yang berpusat pada siswa, guru berfungsi sebagai fasilitator, motivator, dan sebagai model.[25]
Strategi pembelajaran kecerdasan spiritual dapat dimodifikasi sedimian rupa melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Pengembangan “kantin kejujuran” di sejumlah sekolah misalnya, adalah bentuk terobosan kegiatan pendidikan spiritual. Di sejumlah madrasah bahkan telah pula dikembangkan “kelas kejujuran” dimana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal ujian tanpa pengawasan guru. Semua upaya tersebut akan bermanfaat bagi pengembangan kecerdasan spiritual peserta didik. Tentu saja masih perlu pengembangan model pendidikan dan pembelajaran spiritual yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan.[26]





F.       Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga Wijaya Persada.

Ali, Mohammad. Tt. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: menuju Bangsa Indonesi yang mandiri dan berdaya saing tinggi, (Jakarta: PT. Grasindo.

AN. Ubaedy. 2010. Jangan Cuma berserah diri: Temukan Takdir Anda dengan Menggali dan Melesatkan Bakat serta Potensi Diri. Yogyakarta: Sakanta Publisher.

Baharuddin, 2005. Aktualisasi Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakran, Hamdani Adz-Zakiey. 2005. Prophetik Intelligent: menumbuhkan Potensi Hakiki Insani melalui Pengembangan Kesehatan Rohani. Yogyakarta: Islamika.

David, JR. dalam Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. cet. V. Jakarta: Kencana.

Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. cet. VII. Jakarta: Bumi Aksara.

Imam al-Ghazali, 1995. Minhajul Abdidin (Petunjuk Ahli Ibadah). Surabaya: Mutiara Ilmu.


Kurniasih, Imas. 2010. Mendidik SQ Anak menurut Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Pustaka Marwa.

Mujib, Abdul dan Mudzakir, Yusuf. Tt. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam.

Salati, Suriansyah. 2009. Hakikat IQ, EQ, dan SQ dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam. Banjarmasin: Antasari Press.

Syamsuddin, Abin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Rosda Karya Remaja.

Zohar, Danah dan Marshal, Ian. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan terj. Rahmani Astuti, dkk. Bandung: Mizan.

Zohar, Danah dan Marshal, Ian. 2003. Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.


[1] J.R. David dalam Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan, cet. V; (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 126.
[2] Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar, (Jakarta: PT. Indahjaya Pratama, 2009), hlm. 751.
[3] Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Rosda Karya Remaja, 2003), hlm. 69.
[4] Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, cet. VII, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 77.
[5] KBBI Offline, Versi 1.1, Freeware @2010, Ebta Setiawan.
[6] Qonita Alya, Op. cit., hlm. 748.
[7] Imam al-Ghazali, Minhajul Abdidin (Petunjuk Ahli Ibadah), (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 117.
[8] Danah Zohar dan Ian Marshal, Kecerdasan Spiritual. (Bandung: Mizan, 2003).
[9] Suriansyah Salati, Hakikat IQ, EQ, dan SQ dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), hlm. 28.
[10] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), hlm. 9.
[11] Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 215.
[12] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, hlm. 325.
[13] Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan terj. Rahmani Astuti, dkk. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 15.
[14] AN. Ubaedy, Jangan Cuma berserah diri: Temukan Takdir Anda dengan Menggali dan Melesatkan Bakat serta Potensi Diri, (Yogyakarta: Sakanta Publisher, 2010), hlm. 87-92.
[15] Danah Zohar dan Ian Marshal, Op. cit., hlm. 199.
[16] Suriansyah Salati, Op. cit., hlm. 15.
[17] Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Prophetik Intelligent: menumbuhkan Potensi Hakiki Insani melalui Pengembangan Kesehatan Rohani, (Yogyakarta: Islamika, 2005), hlm. 660-675.
[18] Ary Ginanjar Agustian, loc. cit., …
[19] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Op. cit., hlm. 320.
[20] Suriansyah Salati, Op. cit., hlm. 23.
[21] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Op. cit., hlm. 321.
[22] AN. Ubaedy, loc. cit., …
[23] Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak menurut Nabi Muhammad SAW, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), hlm. 43-47.
[24] Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: menuju Bangsa Indonesi yang mandiri dan berdaya saing tinggi, (Jakarta: PT. Grasindo, tt), hlm. 142.
[25] Ibid., hlm. 143.
[26] Ibid., hlm. 143-144.