Sabtu, 27 Februari 2016

Koneksi Jaringan Ulama dengan Masyarakat


Koneksi Jaringan Ulama dengan Masyarakat di Samudra Hindia
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa PASCASARJANA STAIN Pekalongan)
(2052115026)

Kawasan Samudra Hindia memainkan peranan penting dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan ke-18. Terdapat sejumlah ulama yang datang dari kawasan Samudra Hindia-khususnya Yaman, Anak Benua India, dan Asia Tenggara-yang terlibat di dalam jaringan Internasional ulama.
Munculnya jaringan ulama yang mencakup sejumlah besar ulama non Timur Tengah, khususnya dari kawasan Samudra Hindia di Makkah dan Madinah tidak terlepas dari perkembangan-perkembangan lain dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, baik di Haramain maupun di kalangan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Kemunculan mereka dapat dihubungkan dengan beberapa faktor yang tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung, baik pada tingkat regional di kalangan masyarakat Muslim tertentu maupun pada tingkat Dunia Muslim lebih luas.
Jaringan Ulama Awal
Tradisi keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam sangatlah dekat dengan lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, ribat dan bahkan rumah guru. Kenyataan ini khususnya tampak di Haramain yang di dalamnya tradisi keilmuan menciptakan suatu jaringan ulama yang luas yang melampui batas-batas geografis dan perbedaan pandangan keagamaan.[1]
Dua masjid agung yang ada di Makkah dan Madinah merupakan lokus terpenting bagi para ulama dan murid – murid untuk terlibat di dalam jaringan keilmuan sejak dekade akhir abad ke -15 dan selanjutnya. Madrasah cenderung di kelola secara lebih formal. Madrasah mempunyai kepala sekolah madrasah, guru, qadhi, dan fungsionaris lainnya yang secara resmi diangkat oleh pendiri madrasah. Masing – masing madrasah memiliki kurikulumnya sendiri – sendiri, kuota para murid dari mahzab tertentu, dan juga alokasi waktu pengajaran sesuai dengan mahzab mereka masing- masing. Kenyataannya banyak terdapat kasus pada madrasah – madrasah yang terdiri dari empat mahzab Sunni. Keempat mahzab ini memiliki perbedaan masing – masing, yakni: Madrasah Ghiyathiyyah, misalnya, mempunyai kuota dua puluh murid bagi setiap mazhab. Murid – murid pengikut Syafi’i dan Hanafi memaski kelas pagi, sedangkan murid- murid Maliki dan Hanbali memasuki kelas sore. Pengaturan yang sama juga di terapkan di madrasah Sulaimaniyyah yang didirikan oleh para pengasa Turki ‘Utsmaniyyah. Dari sumber – sumber yang ada,  juga tampak jelas bahwa madrasah – madrasah tesebut pada umumnya memutuskan pengajaran pada tingkat dasar dan menengah dalam berbagai disiplin Islam.
Al –Fasi menyatakan banyak contoh guru di Masjid Al-Haram di Makkah yang telah di beri ijazah untuk mengajar murid- murid tingkat tinggi dan juga para penguasa serta pedagang yang ingin memperoleh disiplin Islam. Karena para murid – murid telah mengikuti pelajaran–pelajaran yang tinggi seperti halaqah– halaqah di Masjid Al–Haram atau ribat, mereka juga dapat belajar secara pribadi langsung di rumah guru. Yang berhak mendapatkan ijazah adalah ‘Ali b. Ahmad Al-Fuwwiyyi (w.781H/1389M) untuk mengajarkan seorang penguasa Syiraz, Syah Syuja’b.Muhammad Al-Yazdi , ingin mempelajari berbagai disiplin Islam di Makkah, beberapa qadhi di tunjuk untuk mengajarkannya. Yang paling penting diantara mereka adalah Qadhi Al-Qudha (hakim utama) Muhammad Jamal Al-Din Al-Zahirah (w.817 H/1414 M). Ulama lain seperti Muhammad Diya’Al- Din Al-Hindi (w.780 H/1378 M) dan anaknya, Muhammad b.Diya Al-Din Al- Saghani (w. 825 H/1422 M), juga diangkat untuk mengajar fiqh Hanbali kepada beberapa orang anggota Dinasti Mamluk Mesir.[2]
Pengangkatan ulama sebagai pengajar di Masjid Al-Haram (Makkah) dan Nabawi (Madinah) diputuskan oleh suatu birokrasi keagamaan yang bertanggung  jawab tidak hanya terdapat administrasi kedua mesjid tersebut, tetapi juga kehidupan keagamaan di Haramain secara keseluruhan. Pejabat yang paling tinggi pada birokrasi itu adalah qadhi (hakim),sering pula di sebut qadhi al-qudha (qadhi utama), yang bertanggung jawab terhadap hukum agama dan kepemimpinan empat qadhi masing – masing.
Tidak ada informasi tentang kapan terbentuknya birokrasi keagamaan seperti itu, tetapi jelas bahwa ia telah berfungsi dengan baik setidaknya sejak kekuasaan di Hijaz, struktur tersebut umumnya di pertahankan. Meskipun para pemegang sebagian besar kedudukan itu memerlukan pengukuhan dari otoritas ‘Utsmaniyyah, ulama Haramain relatif bebas memilih mereka yang akan mengisi posisi – posisi tersebut. Namun, ada kecenderungan bahwa posisi – posisi itu didominasi oleh ulama – ulama dari keluarga tertentu.[3]
Tokoh dan Pertalian dalam Jaringan
Sejak kebangkitan Islam pada paruh abad ke-17, koneksi antara wilayah Nusantara dengan wilayah Timur Tengah telah terjalin hubungan yang sangat erat. Hubungan ini dapat diambil dari beberapa bentuk serta menempuh beberapa fase. Fase pertama dimulai sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, bentuk hubungan yang terjalin umumnya adalah perdagangan. Pada fase selanjutnya sampai akhir ke-15, hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah sudah menyentuh aspek-aspek yang sangat luas. Pedagang Muslim mulai melakukan penyebaran Islam di Wilayah Nusantara. Fase ketiga dimulai sejak abad ke-16 hingga paruh kedua abad ke-17, bentuk hubungan yang terjalin antara Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis.[4]
Pada abad ke-15 dan seterusnya menunjukkan informasi sejarah tentang berbagai perubahan sosial yang cukup luas cakupannya. Perubahan sosial itu terjadi disebabkan oleh persebaran agama Islam beserta sistem politiknya yang ditandai dengan adanya perubahan kenyakinan keagamaan dari masa kejayaan agama Hindu-Budha ke masa perkembangan agama Islam. Pada saat yang bersamaan itu muncullah kerajaan-kerajaan Islam yang menggantikan posisi dan kedudukan kerajaan Hindu-Budha.[5]
Hubungan-hubungan tersebut mengakibatkan banyak Muslim Nusantara ke Timur Tengah. Azra dalam bukunya menjelaskan penyebaran-penyebaran gagasan-gagasan pembaruan yang dilakukan oleh tiga orang ulama paling penting di wilayah Melayu-Indonesia, yaitu Al-Raniri, Al-Sinkili, dan Al-Maqassari. Karir dan ajaran-ajaran para ulama tersebut jelas menunjukkan bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangat terpengaruh oleh perkembangan Timur Tengah.[6]
Jaringan ulama pada abad ke-17 mempunyai asal-usul kosmopolit. Setidaknya, ada dua orang ulama non Hijaz yang memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan jaringan pada abad itu. Yang pertama adala Sayyid Syibghat Allah b. Ruh Allah jamal Al-Barwaji (beberapa orang mengejanya dengan Al- Baruji atau Barauch modern di Gujarat) kelahiran india dan keturunan persia (isfahan), dan yang kedua adalah Ahmad b.’Ali b.’Abd Al –Quddus Al-Syinnawi Al- Mishri Al-Madani dari mesir. Hubungan mereka mencerminkan sebuah contoh baik tentang bagaimana interaksi ulama muncul dari pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi kecil”(little tradition) islam dari kawasan Samudra Hindia ke Haramain.
    Sayyid Syibghat Allah (w. Madinah pada 1015H / 1606M) tampaknya merupakan tipikal ulama pengembara yang akhirnya menjadi “imigran besar” (grand immigrant) di Haramain.Dia berasal dari keluarga imigran Persia di India. Salah seorang guru indianya yang terkenal adalah Wajih Al-Din Al-Gujarat(w.997 H/1589 M),  mursyid terkemuka Syathariyyah, yang tinggal di Ahmadabad   selama setahun. Kemudian dia berpindah ke Bijapur, sebuah pusat sufi yang kuat di India, tempat dia memperoleh dukungan dari Sultan Ibrahim Adil Syah yang kemudian membuat pengaturan khusus baginya untuk kembali ke Haramain dengan menggunakan kapal  kerajaan pada musim haji 1005 M.
Setelah melaksanakan iabadah haji, Syibghat Allah memutuskan untuk menetap di Madinah tempat dia membangun sebuah rumah dari ribat dengan wakaf dan hadiah yang dia terima dari Sultan Ahmadnagar (Bijapur) an pejabat – pejabat ‘Utsmaniyyah di Madinah. Syibghat Allah umumnya dikenal sebagai seorang syaikh terkemuka Syathariyyah. Dia dianggap berjasa memperkenalkan Jawahir Al-Khamsah karya syaikh terkemuka Syathariyyah, Muhammad Ghauth Al-Hindi (w.970 H/1563 M),  dan risalah- risalah Syathhariyyah lainnya kepada para ulama Haramain. Hal ini tidak mengherankan karena gurunya, Wajih Al –Din, telah berafiliasi dengan kedelapan tarekat tersebut. Di Madinah, Syibghat Allah telah aktif mengajar di Masjid Nabawi; dia juga menulis beberapa karya mengenai sufisme, teologi, dan sebuah syarah atas tafsir Al-Qur’an Al-Baidhawi.
Beragamnya murid- murid Syibghat Allah secara jelas mencerminkan sifat kosmopolitan wacana keulamaan di Haramain. Murid – muridnya diantaranya adalah Ahmad Al-Syinnawi, Ahmad Al- Qusysyasyi, Sayyid Amjad Mirza Sayyid As’ad Al –Balkhi, Abu Bakar b. Ahmad  AL –Nafsi Al – Mishri dan masih banyak lagi murid – muridnya. Hubungan keulamaan Ahmad Al- Syinnawi melalui studi hadis dan tarekat sangat luas. Misalnaya, dia mempunyai isnad dengan para ulama dan sufi awal, seperti Muhammad Zahirah Al-Makki, Quthb Al- Din Al –Nahrawali, Ibn Hajar Al-Asqalani,Al-Suyuti, dan Ibn Arabi.[7]
Ekspansi Jaringan
Pentingnya peran warga keturunan Arab ini berkaitan dengan catatan sejarah, bahwa di abad 19 jumlah keturunan Arab Hadrami mengalami peningkatan pesat, bersamaan dengan masalah kesulitan ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Hadramaut, daerah asal umumnya imigran Arab di Indonesia. Peningkatan jumlah imigran Arab itu juga berkaitan dengan sifat merantau dan berdagang dari suku Hadrami, serta ditunjang makin mudah dan banyaknya sarana transportasi dari Timur Tengah ke Indonesia.
Kalangan Arab Hadrami dari kelompok keturunan Ba Alawi, misalnya, mendorong kaumnya untuk menjalankan tawassul (perantara) sehingga mereka menjadi penghubung manusia dengan Tuhan.praktek ini sejalan dengan Islam mistik yang ditemui di Indonesia. Selain itu cara berdagang dan meminjamkan uang yang juga banyak dilakukan kalangan Ba Alawi.[8]
Semangat kebangkitan Islam ini ditandai dengan terus meningkatnya jamaah haji ke Tanah Suci serta pesatnya pertumbuhan pesantren dan tarekat. Ibadah haji ke Tanah Suci merupakan suatu faktor yang amat penting dalam kebangkitan Islam abad ke-19. Politik ekspansionisme dan imperialisme Barat mendorong kesadaran dunia Islam, khususnya untuk menggalang persatuan berupa gagasan “Pan-Islamisme,” yang di antaranya tersebut melalui ibadah haji. Sejarahwan Santono Kartodirdjo berpendapat bahwa pelaksanaan ibadah haji sendiri menciptakan suatu sistem komunikasi yang luas dalam dunia Islam. Selama masih ada orang yang pergi berhaji, tulisnya, selama itu pula berlangsung terus hubungan religio-politik yang esensial antara Mekah dan masyarakat-masyarakat Islam yang paling jauh sekalipun.
   Meningkatnya jumlah jamaah haji ini setidaknya menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan ketaatan beragama umat Islam di Tanah Air. Akan tetapi catatan statistik perjalanan haji memperlihatkan adanya perbedaan angka antara jumlah calon jamaah haji yang berangkat dan jumlah jamaah haji yang kembali. Penyebabnya antara lain karena adanya jamaah yang meninggal dan atau bermukim di Tanah Suci, baik untuk menuntut ilmu agama atau mencari penghidupan. Masyarakat “mukimin” dari Asia Tenggara di Mekah yang umumnya berasal dari Kepulauan Nusantara dikenal dengan sebutan “Koloni Jawah”.[9]
Ulama besar lain yang memainkan peranan sangat penting dalam jaringan ulama di Makkah dengan tradisi sufisme India adalah Taj Al-Din b.Zakriyya b. Sultan Al-‘Utsmani Al-Naqsyabandi Al-Hindi (w.di makkah pada 1052 H/1642 M). Dia berasal dari Sambhal, India dan pindah ke Makkah ketika dia tidak dapat mempertahankan jabatannya sebagai mursyid tertinggi dari tarekat Naqsyabandiyyah india setelah meninggalnya Muhammad Baqi (971-1012 H/1563-1603 M).Al- Mghribi Al-Jafari Al-Tha’alibi Al- Maghribi (1020-1080 H/1611-1669 M)dan Muhammad b.Sulaiman Al-Raddani Al-Maghribi Al-Makki (1037-1094 H/1626-1683 M). Dengan tinggal di makkah, mereka tidak hanya membawa tradisi keulamaan Afrika Utara dalam studi hadis ke Haramain, tetapi juga membantu menciptakan jaringan yang lebih luas dikalangan ulama dari berbagai kawasan di dunia Muslim.
   Signifikansi ‘Isa Al-Maghribi dalam komunitas ulama di Haramain tidak dapat dipandang remeh. Dia dianggap sebagai salah  seorang ulama mahzab Maliki paling terkemuka pada masanya. Di kota Suci, dia dikenal dengan gelar kehormatan “Imam Haramain”
Sejauh ini, kita telah melihat ulama –ulama yang menonjol dalam jaringan pada abad ke-17 adalah “para imigran besar”(grand imigrants)termasuk mereka yang berasal dari kawasan Samudra Hindia. Namun, ini tidak berarti bahwa ulama-ulama asli Haramain tidak memainkan  peranan penting dalam komunitas ulama kosmopolitan tersebut. Terdapat sejumlah ulama asli makkah dan madinah yang mengambil bagian secara aktif dalam jaringan ulama.
Salah seorang ulama keturunan asli makkah yang menonjol adalah Taj Al-Din b. Ahmad yang dikenal dengan dengan sebutan IbnYa’kub. Dia lahir di makkah, tempat dia meninggal pada 1066 H/ 1656 M. Ibn ya’kub mempunyai hubungan dekat dengan para ulama yang terlibat dalam jaringan ulama,  khususnya dengan ‘Isa AL- Maghribi. Ulama penting lainnya yang asli makkah adalah Zain Al-‘Abidin Al-Thabari (1002-1078 H/1594-1667 M).
Daftar ulama yang terlibat dalam jaringan ulama pada paruh kedua abad ke-17 sangat panjang. Untuk tujuan pembahasan kita, cukuplah dikatakan bahwa semua ulama yang telah di sebutkan tadi memainkan peranan paling utama dalam jaringan ulama ulama selama priode itu.[10]

Para Ulama pada Masa Awal Abad ke-18
Kebanyakan ulama generasi Ibrahim Al-Kurani meninggal pada paruh kedia abad ke-17. Namun, mata rantai jaringan ulama berlangsung sampai kepada murid- murid mereka, yang pada gilirannya ,menjadi mata rantai yang krusial dengan para ulama pada abad ke-18. Murid- murid tersebut pada umumnya berada dalam puncak karir keulamaan pada permulaan abad ke-17 atau pada dekade awal abad ke-18.
Hasan b.’Ali b.Muhammad b. ‘Umar Al-Ajami, ada yang mengejanya dengan Al-‘Ujaimi Al-Makki, adalah seorang ulama terkemuka pada awal abad ke-17. Dia juga dikenal sebagai “Abu Al- Asrar”(Bapak rahasia spiritual). Dia lahir di Makkah dan berasal dari sebuah keluarga ulama terkenal di Mesir. Kakeknya, Muhammad b.’Abd Al-Madjid Al-‘Ajami (w.822H/1419M), adalah seorang ulama terkenal di Kairo. Hasan belajar dengan hampir setiap ulama terkemuka di Haramain. Selain dengan Al-Qusyasyi dan Al-Kurani,dia belajar dengan ulama terkemuka lainnya, seperti ‘Ala’Al-Din Al-Babili, Abd Al-Qadir, Zain Al-Abidin Al-Thabari, ‘Isa Al-Maghribi, ’Ali Al-Syabramalisi, Sa’id Al-Lahuri, ’Abd Al-Rahman Al-Khass, dan Ibrahim b.’Abd Allah Ja’man .Dua ulama yang terakhir disebutkan juga merupakan guru Al-Sinkili. Hasan Al-‘Ajami jelas memiliki pengetahuan tentang pelbagai cabang disiplin islam. Dia di pandang sebagai seorang fakih, muhaddits, sufi,dan sejarahwan terkemuka. Dalam studi islam Al-Kattani memandangnya sebagai salah seorang dari sedikit ulama pada masanya yang diberkati oleh Allah menjadi “Menara Hadits”. Dia meninggal di Thaif pada 1113 H/1701-1702M.
Hasan Al-‘Ajami memainkan peranan penting dalam menghubungkan jaringan ulama pada abad ke-17 dengan jaringan ulama pada abad ke-18 khususnya melalui studi islam dan silsilah tarekat. Untuk memperlihatkan dan Risalah Al-Ajami fi Al-Thuruq yang berbicara mengenai silsilah empat puluh tarekat, pengarang memberikan silsilah para syaikh tarekat dan keuntungan bergabung dengannya. Inilah salah satu alasan utama mengapa Al-Ajami juga dikenal sebagai “Abu Al-Asrar”. Berkat karya-karyanya itu, Risalah Al-‘Ajami fi Al- Thuruq bersama ihda’Al-Lathaif min Akhbar Al-Thaif , Hasan mengukuhkan dirinya sebagai seorang sejarahwan.
Murid- murid Hasan Al-‘Ajami yang terkenal diantaranya adalah Muhammad Hayyah Al-Sindi (w.1163H/1653M), Abu Tharir b. Ibrahim Al-Kurani (1081-1145H/1670/1732M), Taj Al-Din Al-Qal’i, Qadhi makkah, Al-Maqassari, dan sejarahwan Fath Allah sebagai keluarga ulama terkemuka di makkah. Diantara anggota keluarga ‘Ajami yang paling menonjol adalah ‘Abd Al-Hafiz Al-‘Ajami, Mufti makkah, Muhammad b.Husani Al-Ajami dan Abu Al-Fath Al-‘Ajami.
Ulama berikutnya yang patut disebutkan adalah Muhammad b.’Abd Al-Rasul Al-Barzanji. Melacak nenek moyangnya kepada ‘Ali b.Abi Thalib, dia lahir di Syahrazuri, Kurdistan. Dia memperoleh pendidikannya awalnya di daerahnya sendiri dan mengabdikan hidupnya untuk mengajar dan menulis. Dia benar –benar penulis yang poduktif. Al-Baghdadi mendaftar 52 karyanya. Dua diantara karyanya di khususkan untuk menyangkal klaim Ahmad Sirhindi sebagai “Pembaru Milenium Kedua Islam” (Mujaddid al-tsani). Hubungan Al-Barzanji dalam jaringan sangat luas. Al-Barzanji adalah ulama yang kelihatannya paling peduli terhadap keluarga Barzanji untuk menetap dan menjadi terkenal di Haramain. Salah seorang ulama keluarga Barzanji yang paling terkemuka setelah’Abd Al-Rasul Al-Barzanji adalah Ja’far b.Hasan b.Abd Al-Karim Al-Barzanji (1103-1180H/1690-1766M), Mufti Syafi’i di Madinah dan pengarang ‘Iqd Al-Jawahir, sebuah teks yang sangat terkenal yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Ahmad.b.Muhammad b.Ahmad ‘Ali Al-Nakhli Al-Makki juga merupakan ulama paling terkemuka dalam jaringan ulama setelah generasi Al-Kurani. Dia lahir dan belajar terutama di Makkah dan menjadi terkenal sebagai seorang sufi-muhaddits. Sebagaimana yang dikemukakan secara tepat oleh Murtadha Al-Zabidi, Al-Nakhli menghubungkan sejumlah ulama melalui studi hadits. Murid-muridnya datang dari pelbagai bagian dunia muslim dan menjadikan jaringan ulama semakin luas. Ulama penting lain yang dibicarakan di bawah ini adalah ‘Abd Allah b.Salimb.Muhammad b.Salim b.’Isa Al-Basri Al-Makki. Dia lahir dan meninggal di Makkah. Sebagaimana yang dilihat dalam karya Al-Basri, kitab Al-Imdad bi Ma’rifah ‘Uluw Al-Isnad, pendidikannya menyeluruh, dia mempelajari ilmu yang mencakup hadis, tafsir, fiqih, sejarah nabi Muhamad Saw(sirah), bahasa arab, dan tasawuf. Al-Basri umumya dikenal sebagai seorang muhaddits besar, dia disebut Amir Al-Mu’min Fi Al-Hadits.
Al-Basri memainkan peranan penting dalam menghubungkan generasi awal ulama pada abad ke-17 dan jaringan ulama lebih belakangan. Ini dapat dilihat dalam komposisi guru-guru dan murid-muridnya. Selain Al-Kurani, guru-guru utamanya juga mencakup nama- nama yang sangat familier, seperti Al-Babili, ’Isa Al-Maghribi, Sulaiman Al-Maghribi, dan ‘Ali Al-Thabari. Murid-muridnya di antaranya adalah ‘Ala’Al-Din b.‘Abd Al-Baqi Al-Mizjaji Al-Zabidi dari Yaman, Abu Thahir Al-Kurani, Muhammad Hayyah Al-Sindi dari Anak Benua India, dan Muhammad b.’Abd Al-Wahhab yang kemudian menjadi pencetus gerakan Wahhabi, mereka merupakan eksponen yang sangat menonjol dalam jaringan ulama pada abad ke-18.
Ulama terakhir adalah Abu Thahir b.Ibrahim Al-Kurani(1081-1145 H/1670-1733 M ).Abu Thahir dan meninggal di Madinah. Tampaknya, dia belajar terutama di Haramain. Guru- guru utamanya adalah Al-Barzanji, ’Abd Allah Al-Basri,dan Ahmad Al-Nakhli.
Abd Thahir terutama dikenal sebagai muhaddits, tetapi dia juga seorang fakih dan sufi.Dia mewarisi banyak keahlian ayahnya dalam studi hadits. Sebagai fakih, dia menduduki jabatan Mufti Syafi’i Mdinah untuk beberapa waktu. Dia juga seorang penulis produktif.Menurut Al-Kattani, dia menulis ratusan risalah. Yang paling penting diantaranya adalah Kanz Al-‘A’mal fi Sunan Al-Aqwal dan Syuru Al-Fushus Al-Syaikh Al-Akbar. Karya yang disebutkan terakhir ini tampaknya dimaksudkan untk menjelaskan ajaran Ibn ‘Arabi dan merefleksikan studi Abu Thahir dalam lapangan sufime-filosofis. Abu Thahir mempunyai hubungan luas dalam jaringan ulama, baik dengan cara isnad hadis maupun silsilah tarekat. Murid-muridnya yang paling terkenal diantaranya adalah Muhammad Hayyah Al-Sindi, Syah Wali Allah (keduanya dari Anak Benua India),dan Sulaiman Al-Kurdi.
Jaringan : Karakteristik Dasar
Setelah membicarakan sejumlah tokoh terpenting yang terlibat dalam jaringan ulama, ada gunanya membuat beberapa generalisasi tentang karakteristik dasar jaringan. Jaringan ulama menjadi semakin luas pada abad ke-17. Jelas terdapat hubungan antara ulama- ulama terdahulu dan mereka yang dalam jaringan ulama pada abad ke-17. Namun, jaringan ulama yang berkembang selama abad ke-17 tampaknya sangat kompleks. Hubungan saling-silang melalui studi hadist dan afiliasi tarekat luar biasa rumit. Meskipun adalah masalah-masalah historiografis yang dapat ditemukan dalam sumber-sumber yang memberikan informasi mengenai uama-ulama dan jaringan mereka tersebut, hubungan antar mereka dapat dilacak hingga waktu sekarang. Tidak diragukan lagi bahwa para murid dan ulama dari kawasan Samudra Hindia terlibat dan memainkan peranan signifikan dalam jaringan ulama.
Saling-silang ulama yang terlibat dalam jaringan ulama menghasilkan mereka umumnya terjalin melalui lembaga pendidikan keagamaan seperti masjid,  madrasah dan ribat. Hubungan yang paling dasar diantara mereka bersifat “akademik”. Biasanya hubungan mereka antara satu dan yang lainnya mengambil bentuk hubungan guru-murid atau hubungan vertikal. Hubungan akademik ini juga mencakup bentuk-bentuk lain, guru-guru yang juga boleh diistilahkan dengan “hubungan horisontal”; dan hubungan murid-murid yang semuanya dapat juga saling-silang antara terorganisasi  secara formal dalam struktur hierarkis apapun. Mobilitas  guru dan murid yang relatif tinggi menyebabkan tumbuhnya jaringan ulama lebih besar yang melampaui batas-batas geografis, asal-usul etnik, dan kecenderungan keagamaan.
Meskipun hubungan di kalangan para ulama tampak tidak formal khususnya dari pandangan dunia akademik modern, kepentingan bersama mereka dalam regenerasi Ummah Muslim merangsang kerja sama yang pada gilirannya menghasilkan hubungan interpersonal yang sangat dekat. Hubungan personal ini terpelihara dalam pelbagai cara setelah para ulama atau murid dalam jaringan ulama kembali ke negri asalnya masing-masing atau prgi kemana saja setelah bermukim di haramain. Kebutuhan untuk mempertahankan ikatan lebih kuat diantara para ulama semakin tersa ketika para guru dan murid yang telah kembali tersebut menghadapi berbagai masalah ditanah airnya Oleh karena itu, mereka memerluka petunjuk dan bimbingan dari mantan guru dan kolega mereka di Haramain. Semua ini membantu menjelaskan kesinambungan hubungan ulama dalam dalam jaringan ulama.
Lebih jauh, sebagaimana yan telah kita lihat, dua kendaraan penting yang membuat hubungan dalam jaringan ulama relatif solid adalah hadis dan silsilah tarekat. Voll menunjukan bahwa keduanya memainkan peranan kursial dalam mempersambugkan para ulama yang terlibat dalam jaringan ulama yang berpusat di haramain pada abad ke-18.
Hal yang sama juga terlihat dalam jaringan ulama pada abad ke-17. Dalam priode ini, para ulama dalam jaringan ulama membawa tradisional studi hadis Mesir dan Afrika Utara, yang menyambungkan mereka dengan para ulama di haramain, yang telah dikenal dalam priode awal Islam sebagai pusat terkuat keulamaan hadis. Para ulama dalam jaringan ulama memainkan peranan kursial dalam menghidupkan kembali posisi Makkah dan Madinah sebagai pusat kajian hadis.
Secara tradisional,silsilah tsrekat merupakan alat yang penting dalam menciptakan hubungan yang dekat diantara para ulama.Murid-murid dari jalan taswuf mesti tunduk pada kehendak mursyid dan gurunya.Ini menciptakan ikatan yang sangat kuat dikalangan mereka yang mengakui tarekat.Voll menekankan bahwa jenis hubungan ini”memberikan ikatan lebih personal dan afiliasi yang membantu memberian kohesi lebih besar kepada kelompok ulama yang terjalin dalam hubungan vormal”.
Semakin pentingnya Haqiqah (tasawuf) di haramain, yang diperkenalkan misalnya oleh dari para ulama kawasan Samudra Hindia, berhasil mempertemukan para ulama yang pada umumnya diasosiasikan dengan syariat secara lebih personal. Keterlibatan para ulama dari kawasan Samudra Hindia dalam jaringan tentu saja membantu memperluas jangkaua jaringan tersebut.  Namun, tidak kurang pentingnya, mereka memperluas wilayah pengaruh tarekat,  khususnya tarekat Syathariyyah dan Naqsyabandiyyah, yang sebelumnya diasosiasikan dengan sufisme versi Anak Benua India yang hampir tidak terkenal di haramain pada priode awal. Namun, mesti diingat bahwa dengan memasukan wilayah Makkah dan Madinah yang telah menjadi pusat penting keulamaan hadist, tarekat –tarekat tersebut mengalami sejenis reorientasi. Dengan perkataan lain, mereka menjadi tarekat yang lebih berorientasi pada syariat.[11]


[1] Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002), hlm. 63 dan 64.
[2] Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002), hlm. 64-65.
[3] Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002), hlm. 67.
[4] M. Sangidu, Wachdatul Wujud Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Ranīrī, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 12.
[5] Sartono  Kartodirjo,  Pendekatan  Ilmu-Ilmu  Sosial  dalam  Metodologi  Sejarah,  (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 145.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),  hlm. 202.
[7] Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002), hlm. 68-69.
[8] Bisri Affandi, Pembaharu dan Pemurni Islam Indonesia, (Syaikh Ahmad Syurkati), Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 56.
[9] Darul Aqsha, Kia Haji Mas Mansur 1986-1946 (Perjuangan dan Pemikiran), Penerbit Erlangga, tt), hlm. 4-5.
[10] Ibid, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002)
[11] Ibid, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar