Koneksi Jaringan Ulama dengan
Masyarakat di Samudra Hindia
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa PASCASARJANA STAIN Pekalongan)
(2052115026)
Kawasan Samudra
Hindia memainkan peranan penting dalam jaringan ulama pada abad ke-17 dan
ke-18. Terdapat sejumlah ulama yang datang dari kawasan Samudra Hindia-khususnya
Yaman, Anak Benua India, dan Asia Tenggara-yang terlibat di dalam jaringan
Internasional ulama.
Munculnya
jaringan ulama yang mencakup sejumlah besar ulama non Timur Tengah, khususnya
dari kawasan Samudra Hindia di Makkah dan Madinah tidak terlepas dari
perkembangan-perkembangan lain dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik, baik
di Haramain maupun di kalangan masyarakat Muslim secara keseluruhan. Kemunculan
mereka dapat dihubungkan dengan beberapa faktor yang tidak hanya bersifat
keagamaan, tetapi juga ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung, baik pada
tingkat regional di kalangan masyarakat Muslim tertentu maupun pada tingkat
Dunia Muslim lebih luas.
Jaringan
Ulama Awal
Tradisi
keilmuan di kalangan ulama sepanjang sejarah Islam sangatlah dekat dengan
lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, seperti masjid, madrasah, ribat dan
bahkan rumah guru. Kenyataan ini khususnya tampak di Haramain yang di dalamnya
tradisi keilmuan menciptakan suatu jaringan ulama yang luas yang melampui batas-batas
geografis dan perbedaan pandangan keagamaan.[1]
Dua masjid
agung yang ada di Makkah dan Madinah merupakan lokus terpenting bagi para ulama
dan murid – murid untuk terlibat di dalam jaringan keilmuan sejak dekade akhir
abad ke -15 dan selanjutnya. Madrasah cenderung di kelola secara lebih formal.
Madrasah mempunyai kepala sekolah madrasah, guru, qadhi, dan fungsionaris
lainnya yang secara resmi diangkat oleh pendiri madrasah. Masing – masing
madrasah memiliki kurikulumnya sendiri – sendiri, kuota para murid dari mahzab
tertentu, dan juga alokasi waktu pengajaran sesuai dengan mahzab mereka masing-
masing. Kenyataannya banyak terdapat kasus pada madrasah – madrasah yang
terdiri dari empat mahzab Sunni. Keempat mahzab ini memiliki perbedaan masing –
masing, yakni: Madrasah Ghiyathiyyah, misalnya, mempunyai kuota dua puluh murid
bagi setiap mazhab. Murid – murid pengikut Syafi’i dan Hanafi memaski kelas
pagi, sedangkan murid- murid Maliki dan Hanbali memasuki kelas sore. Pengaturan
yang sama juga di terapkan di madrasah Sulaimaniyyah yang didirikan oleh para
pengasa Turki ‘Utsmaniyyah. Dari sumber – sumber yang ada, juga tampak jelas bahwa madrasah – madrasah
tesebut pada umumnya memutuskan pengajaran pada tingkat dasar dan menengah
dalam berbagai disiplin Islam.
Al –Fasi
menyatakan banyak contoh guru di Masjid Al-Haram di Makkah yang telah di beri
ijazah untuk mengajar murid- murid tingkat tinggi dan juga para penguasa serta
pedagang yang ingin memperoleh disiplin Islam. Karena para murid – murid telah
mengikuti pelajaran–pelajaran yang tinggi seperti halaqah– halaqah di Masjid
Al–Haram atau ribat, mereka juga dapat belajar secara pribadi langsung di rumah
guru. Yang berhak mendapatkan ijazah adalah ‘Ali b. Ahmad Al-Fuwwiyyi
(w.781H/1389M) untuk mengajarkan seorang penguasa Syiraz, Syah Syuja’b.Muhammad
Al-Yazdi , ingin mempelajari berbagai disiplin Islam di Makkah, beberapa qadhi
di tunjuk untuk mengajarkannya. Yang paling penting diantara mereka adalah
Qadhi Al-Qudha (hakim utama) Muhammad Jamal Al-Din Al-Zahirah (w.817 H/1414 M).
Ulama lain seperti Muhammad Diya’Al- Din Al-Hindi (w.780 H/1378 M) dan anaknya,
Muhammad b.Diya Al-Din Al- Saghani (w. 825 H/1422 M), juga diangkat untuk
mengajar fiqh Hanbali kepada beberapa orang anggota Dinasti Mamluk Mesir.[2]
Pengangkatan
ulama sebagai pengajar di Masjid Al-Haram (Makkah) dan Nabawi (Madinah)
diputuskan oleh suatu birokrasi keagamaan yang bertanggung jawab tidak hanya terdapat administrasi kedua
mesjid tersebut, tetapi juga kehidupan keagamaan di Haramain secara keseluruhan.
Pejabat yang paling tinggi pada birokrasi itu adalah qadhi (hakim),sering pula
di sebut qadhi al-qudha (qadhi utama), yang bertanggung jawab terhadap hukum
agama dan kepemimpinan empat qadhi masing – masing.
Tidak ada
informasi tentang kapan terbentuknya birokrasi keagamaan seperti itu, tetapi
jelas bahwa ia telah berfungsi dengan baik setidaknya sejak kekuasaan di Hijaz,
struktur tersebut umumnya di pertahankan. Meskipun para pemegang sebagian besar
kedudukan itu memerlukan pengukuhan dari otoritas ‘Utsmaniyyah, ulama Haramain
relatif bebas memilih mereka yang akan mengisi posisi – posisi tersebut. Namun,
ada kecenderungan bahwa posisi – posisi itu didominasi oleh ulama – ulama dari
keluarga tertentu.[3]
Tokoh dan
Pertalian dalam Jaringan
Sejak kebangkitan
Islam pada paruh abad ke-17, koneksi antara wilayah Nusantara dengan wilayah
Timur Tengah telah terjalin hubungan yang sangat erat. Hubungan ini dapat
diambil dari beberapa bentuk serta menempuh beberapa fase. Fase pertama dimulai
sejak akhir abad ke-8 sampai abad ke-12, bentuk hubungan yang terjalin umumnya
adalah perdagangan. Pada fase selanjutnya sampai akhir ke-15, hubungan antara
Nusantara dengan Timur Tengah sudah menyentuh aspek-aspek yang sangat luas.
Pedagang Muslim mulai melakukan penyebaran Islam di Wilayah Nusantara. Fase
ketiga dimulai sejak abad ke-16 hingga paruh kedua abad ke-17, bentuk hubungan
yang terjalin antara Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis.[4]
Pada abad ke-15
dan seterusnya menunjukkan informasi sejarah tentang berbagai perubahan sosial
yang cukup luas cakupannya. Perubahan sosial itu terjadi disebabkan oleh
persebaran agama Islam beserta sistem politiknya yang ditandai dengan adanya
perubahan kenyakinan keagamaan dari masa kejayaan agama Hindu-Budha ke masa
perkembangan agama Islam. Pada saat yang bersamaan itu muncullah
kerajaan-kerajaan Islam yang menggantikan posisi dan kedudukan kerajaan
Hindu-Budha.[5]
Hubungan-hubungan
tersebut mengakibatkan banyak Muslim Nusantara ke Timur Tengah. Azra dalam
bukunya menjelaskan penyebaran-penyebaran gagasan-gagasan pembaruan yang
dilakukan oleh tiga orang ulama paling penting di wilayah Melayu-Indonesia,
yaitu Al-Raniri, Al-Sinkili, dan Al-Maqassari. Karir dan ajaran-ajaran para
ulama tersebut jelas menunjukkan bahwa perkembangan Islam di Nusantara sangat
terpengaruh oleh perkembangan Timur Tengah.[6]
Jaringan ulama
pada abad ke-17 mempunyai asal-usul kosmopolit. Setidaknya, ada dua orang ulama
non Hijaz yang memberikan kontribusi besar pada pertumbuhan jaringan pada abad
itu. Yang pertama adala Sayyid Syibghat Allah b. Ruh Allah jamal Al-Barwaji
(beberapa orang mengejanya dengan Al- Baruji atau Barauch modern di Gujarat)
kelahiran india dan keturunan persia (isfahan), dan yang kedua adalah Ahmad
b.’Ali b.’Abd Al –Quddus Al-Syinnawi Al- Mishri Al-Madani dari mesir. Hubungan
mereka mencerminkan sebuah contoh baik tentang bagaimana interaksi ulama muncul
dari pertukaran pengetahuan dan transmisi “tradisi kecil”(little tradition)
islam dari kawasan Samudra Hindia ke Haramain.
Sayyid Syibghat Allah (w. Madinah pada
1015H / 1606M) tampaknya merupakan tipikal ulama pengembara yang akhirnya
menjadi “imigran besar” (grand immigrant) di Haramain.Dia berasal dari keluarga
imigran Persia di India. Salah seorang guru indianya yang terkenal adalah Wajih
Al-Din Al-Gujarat(w.997 H/1589 M),
mursyid terkemuka Syathariyyah, yang tinggal di Ahmadabad selama setahun. Kemudian dia berpindah ke
Bijapur, sebuah pusat sufi yang kuat di India, tempat dia memperoleh dukungan
dari Sultan Ibrahim Adil Syah yang kemudian membuat pengaturan khusus baginya
untuk kembali ke Haramain dengan menggunakan kapal kerajaan pada musim haji 1005 M.
Setelah
melaksanakan iabadah haji, Syibghat Allah memutuskan untuk menetap di Madinah
tempat dia membangun sebuah rumah dari ribat dengan wakaf dan hadiah yang dia
terima dari Sultan Ahmadnagar (Bijapur) an pejabat – pejabat ‘Utsmaniyyah di
Madinah. Syibghat Allah umumnya dikenal sebagai seorang syaikh terkemuka
Syathariyyah. Dia dianggap berjasa memperkenalkan Jawahir Al-Khamsah karya
syaikh terkemuka Syathariyyah, Muhammad Ghauth Al-Hindi (w.970 H/1563 M), dan risalah- risalah Syathhariyyah lainnya
kepada para ulama Haramain. Hal ini tidak mengherankan karena gurunya, Wajih Al
–Din, telah berafiliasi dengan kedelapan tarekat tersebut. Di Madinah, Syibghat
Allah telah aktif mengajar di Masjid Nabawi; dia juga menulis beberapa karya
mengenai sufisme, teologi, dan sebuah syarah atas tafsir Al-Qur’an Al-Baidhawi.
Beragamnya
murid- murid Syibghat Allah secara jelas mencerminkan sifat kosmopolitan wacana
keulamaan di Haramain. Murid – muridnya diantaranya adalah Ahmad Al-Syinnawi,
Ahmad Al- Qusysyasyi, Sayyid Amjad Mirza Sayyid As’ad Al –Balkhi, Abu Bakar b.
Ahmad AL –Nafsi Al – Mishri dan masih
banyak lagi murid – muridnya. Hubungan keulamaan Ahmad Al- Syinnawi melalui
studi hadis dan tarekat sangat luas. Misalnaya, dia mempunyai isnad dengan para
ulama dan sufi awal, seperti Muhammad Zahirah Al-Makki, Quthb Al- Din Al
–Nahrawali, Ibn Hajar Al-Asqalani,Al-Suyuti, dan Ibn Arabi.[7]
Ekspansi
Jaringan
Pentingnya
peran warga keturunan Arab ini berkaitan dengan catatan sejarah, bahwa di abad
19 jumlah keturunan Arab Hadrami mengalami peningkatan pesat, bersamaan dengan
masalah kesulitan ekonomi berkepanjangan yang terjadi di Hadramaut, daerah asal
umumnya imigran Arab di Indonesia. Peningkatan jumlah imigran Arab itu juga
berkaitan dengan sifat merantau dan berdagang dari suku Hadrami, serta
ditunjang makin mudah dan banyaknya sarana transportasi dari Timur Tengah ke
Indonesia.
Kalangan Arab
Hadrami dari kelompok keturunan Ba Alawi, misalnya, mendorong kaumnya untuk
menjalankan tawassul (perantara) sehingga mereka menjadi penghubung
manusia dengan Tuhan.praktek ini sejalan dengan Islam mistik yang ditemui di
Indonesia. Selain itu cara berdagang dan meminjamkan uang yang juga banyak
dilakukan kalangan Ba Alawi.[8]
Semangat
kebangkitan Islam ini ditandai dengan terus meningkatnya jamaah haji ke Tanah
Suci serta pesatnya pertumbuhan pesantren dan tarekat. Ibadah haji ke Tanah
Suci merupakan suatu faktor yang amat penting dalam kebangkitan Islam abad
ke-19. Politik ekspansionisme dan imperialisme Barat mendorong kesadaran dunia
Islam, khususnya untuk menggalang persatuan berupa gagasan “Pan-Islamisme,”
yang di antaranya tersebut melalui ibadah haji. Sejarahwan Santono Kartodirdjo
berpendapat bahwa pelaksanaan ibadah haji sendiri menciptakan suatu sistem
komunikasi yang luas dalam dunia Islam. Selama masih ada orang yang pergi
berhaji, tulisnya, selama itu pula berlangsung terus hubungan religio-politik
yang esensial antara Mekah dan masyarakat-masyarakat Islam yang paling jauh
sekalipun.
Meningkatnya jumlah jamaah haji ini
setidaknya menunjukkan adanya peningkatan kesadaran dan ketaatan beragama umat
Islam di Tanah Air. Akan tetapi catatan statistik perjalanan haji
memperlihatkan adanya perbedaan angka antara jumlah calon jamaah haji yang
berangkat dan jumlah jamaah haji yang kembali. Penyebabnya antara lain karena
adanya jamaah yang meninggal dan atau bermukim di Tanah Suci, baik untuk
menuntut ilmu agama atau mencari penghidupan. Masyarakat “mukimin” dari Asia
Tenggara di Mekah yang umumnya berasal dari Kepulauan Nusantara dikenal dengan
sebutan “Koloni Jawah”.[9]
Ulama besar lain
yang memainkan peranan sangat penting dalam jaringan ulama di Makkah dengan
tradisi sufisme India adalah Taj Al-Din b.Zakriyya b. Sultan Al-‘Utsmani
Al-Naqsyabandi Al-Hindi (w.di makkah pada 1052 H/1642 M). Dia berasal dari
Sambhal, India dan pindah ke Makkah ketika dia tidak dapat mempertahankan
jabatannya sebagai mursyid tertinggi dari tarekat Naqsyabandiyyah india setelah
meninggalnya Muhammad Baqi (971-1012 H/1563-1603 M).Al- Mghribi Al-Jafari
Al-Tha’alibi Al- Maghribi (1020-1080 H/1611-1669 M)dan Muhammad b.Sulaiman
Al-Raddani Al-Maghribi Al-Makki (1037-1094 H/1626-1683 M). Dengan tinggal di
makkah, mereka tidak hanya membawa tradisi keulamaan Afrika Utara dalam studi
hadis ke Haramain, tetapi juga membantu menciptakan jaringan yang lebih luas dikalangan
ulama dari berbagai kawasan di dunia Muslim.
Signifikansi ‘Isa Al-Maghribi dalam komunitas
ulama di Haramain tidak dapat dipandang remeh. Dia dianggap sebagai salah seorang ulama mahzab Maliki paling terkemuka
pada masanya. Di kota Suci, dia dikenal dengan gelar kehormatan “Imam Haramain”
Sejauh ini,
kita telah melihat ulama –ulama yang menonjol dalam jaringan pada abad ke-17
adalah “para imigran besar”(grand imigrants)termasuk mereka yang berasal dari
kawasan Samudra Hindia. Namun, ini tidak berarti bahwa ulama-ulama asli
Haramain tidak memainkan peranan penting
dalam komunitas ulama kosmopolitan tersebut. Terdapat sejumlah ulama asli
makkah dan madinah yang mengambil bagian secara aktif dalam jaringan ulama.
Salah seorang
ulama keturunan asli makkah yang menonjol adalah Taj Al-Din b. Ahmad yang
dikenal dengan dengan sebutan IbnYa’kub. Dia lahir di makkah, tempat dia
meninggal pada 1066 H/ 1656 M. Ibn ya’kub mempunyai hubungan dekat dengan para
ulama yang terlibat dalam jaringan ulama,
khususnya dengan ‘Isa AL- Maghribi. Ulama penting lainnya yang asli
makkah adalah Zain Al-‘Abidin Al-Thabari (1002-1078 H/1594-1667 M).
Daftar ulama
yang terlibat dalam jaringan ulama pada paruh kedua abad ke-17 sangat panjang.
Untuk tujuan pembahasan kita, cukuplah dikatakan bahwa semua ulama yang telah
di sebutkan tadi memainkan peranan paling utama dalam jaringan ulama ulama
selama priode itu.[10]
Para Ulama
pada Masa Awal Abad ke-18
Kebanyakan ulama generasi Ibrahim Al-Kurani
meninggal pada paruh kedia abad ke-17. Namun, mata rantai jaringan ulama
berlangsung sampai kepada murid- murid mereka, yang pada gilirannya ,menjadi
mata rantai yang krusial dengan para ulama pada abad ke-18. Murid- murid
tersebut pada umumnya berada dalam puncak karir keulamaan pada permulaan abad
ke-17 atau pada dekade awal abad ke-18.
Hasan b.’Ali b.Muhammad b. ‘Umar Al-Ajami, ada yang
mengejanya dengan Al-‘Ujaimi Al-Makki, adalah seorang ulama terkemuka pada awal
abad ke-17. Dia juga dikenal sebagai “Abu Al- Asrar”(Bapak rahasia spiritual).
Dia lahir di Makkah dan berasal dari sebuah keluarga ulama terkenal di Mesir.
Kakeknya, Muhammad b.’Abd Al-Madjid Al-‘Ajami (w.822H/1419M), adalah seorang
ulama terkenal di Kairo. Hasan belajar dengan hampir setiap ulama terkemuka di
Haramain. Selain dengan Al-Qusyasyi dan Al-Kurani,dia belajar dengan ulama
terkemuka lainnya, seperti ‘Ala’Al-Din Al-Babili, Abd Al-Qadir, Zain Al-Abidin
Al-Thabari, ‘Isa Al-Maghribi, ’Ali Al-Syabramalisi, Sa’id Al-Lahuri, ’Abd
Al-Rahman Al-Khass, dan Ibrahim b.’Abd Allah Ja’man .Dua ulama yang terakhir
disebutkan juga merupakan guru Al-Sinkili. Hasan Al-‘Ajami jelas memiliki
pengetahuan tentang pelbagai cabang disiplin islam. Dia di pandang sebagai
seorang fakih, muhaddits, sufi,dan sejarahwan terkemuka. Dalam studi islam Al-Kattani
memandangnya sebagai salah seorang dari sedikit ulama pada masanya yang
diberkati oleh Allah menjadi “Menara Hadits”. Dia meninggal di Thaif pada 1113
H/1701-1702M.
Hasan Al-‘Ajami memainkan peranan penting dalam
menghubungkan jaringan ulama pada abad ke-17 dengan jaringan ulama pada abad
ke-18 khususnya melalui studi islam dan silsilah tarekat. Untuk memperlihatkan
dan Risalah Al-Ajami fi Al-Thuruq yang berbicara mengenai silsilah empat puluh
tarekat, pengarang memberikan silsilah para syaikh tarekat dan keuntungan
bergabung dengannya. Inilah salah satu alasan utama mengapa Al-Ajami juga
dikenal sebagai “Abu Al-Asrar”. Berkat karya-karyanya itu, Risalah Al-‘Ajami fi
Al- Thuruq bersama ihda’Al-Lathaif min Akhbar Al-Thaif , Hasan mengukuhkan dirinya
sebagai seorang sejarahwan.
Murid- murid Hasan Al-‘Ajami yang terkenal
diantaranya adalah Muhammad Hayyah Al-Sindi (w.1163H/1653M), Abu Tharir b.
Ibrahim Al-Kurani (1081-1145H/1670/1732M), Taj Al-Din Al-Qal’i, Qadhi makkah,
Al-Maqassari, dan sejarahwan Fath Allah sebagai keluarga ulama terkemuka di
makkah. Diantara anggota keluarga ‘Ajami yang paling menonjol adalah ‘Abd
Al-Hafiz Al-‘Ajami, Mufti makkah, Muhammad b.Husani Al-Ajami dan Abu Al-Fath
Al-‘Ajami.
Ulama berikutnya yang patut disebutkan adalah Muhammad
b.’Abd Al-Rasul Al-Barzanji. Melacak nenek moyangnya kepada ‘Ali b.Abi Thalib,
dia lahir di Syahrazuri, Kurdistan. Dia memperoleh pendidikannya awalnya di
daerahnya sendiri dan mengabdikan hidupnya untuk mengajar dan menulis. Dia
benar –benar penulis yang poduktif. Al-Baghdadi mendaftar 52 karyanya. Dua
diantara karyanya di khususkan untuk menyangkal klaim Ahmad Sirhindi sebagai
“Pembaru Milenium Kedua Islam” (Mujaddid al-tsani). Hubungan Al-Barzanji dalam
jaringan sangat luas. Al-Barzanji adalah ulama yang kelihatannya paling peduli
terhadap keluarga Barzanji untuk menetap dan menjadi terkenal di Haramain.
Salah seorang ulama keluarga Barzanji yang paling terkemuka setelah’Abd
Al-Rasul Al-Barzanji adalah Ja’far b.Hasan b.Abd Al-Karim Al-Barzanji (1103-1180H/1690-1766M),
Mufti Syafi’i di Madinah dan pengarang ‘Iqd Al-Jawahir, sebuah teks yang sangat
terkenal yang berkaitan dengan kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Ahmad.b.Muhammad b.Ahmad ‘Ali Al-Nakhli Al-Makki
juga merupakan ulama paling terkemuka dalam jaringan ulama setelah generasi
Al-Kurani. Dia lahir dan belajar terutama di Makkah dan menjadi terkenal
sebagai seorang sufi-muhaddits. Sebagaimana yang dikemukakan secara tepat oleh
Murtadha Al-Zabidi, Al-Nakhli menghubungkan sejumlah ulama melalui studi hadits.
Murid-muridnya datang dari pelbagai bagian dunia muslim dan menjadikan jaringan
ulama semakin luas. Ulama penting lain yang dibicarakan di bawah ini adalah
‘Abd Allah b.Salimb.Muhammad b.Salim b.’Isa Al-Basri Al-Makki. Dia lahir dan
meninggal di Makkah. Sebagaimana yang dilihat dalam karya Al-Basri, kitab
Al-Imdad bi Ma’rifah ‘Uluw Al-Isnad, pendidikannya menyeluruh, dia mempelajari
ilmu yang mencakup hadis, tafsir, fiqih, sejarah nabi Muhamad Saw(sirah),
bahasa arab, dan tasawuf. Al-Basri umumya dikenal sebagai seorang muhaddits
besar, dia disebut Amir Al-Mu’min Fi Al-Hadits.
Al-Basri memainkan peranan penting dalam
menghubungkan generasi awal ulama pada abad ke-17 dan jaringan ulama lebih
belakangan. Ini dapat dilihat dalam komposisi guru-guru dan murid-muridnya.
Selain Al-Kurani, guru-guru utamanya juga mencakup nama- nama yang sangat
familier, seperti Al-Babili, ’Isa Al-Maghribi, Sulaiman Al-Maghribi, dan ‘Ali
Al-Thabari. Murid-muridnya di antaranya adalah ‘Ala’Al-Din b.‘Abd Al-Baqi
Al-Mizjaji Al-Zabidi dari Yaman, Abu Thahir Al-Kurani, Muhammad Hayyah Al-Sindi
dari Anak Benua India, dan Muhammad b.’Abd Al-Wahhab yang kemudian menjadi
pencetus gerakan Wahhabi, mereka merupakan eksponen yang sangat menonjol dalam
jaringan ulama pada abad ke-18.
Ulama terakhir adalah Abu Thahir b.Ibrahim
Al-Kurani(1081-1145 H/1670-1733 M ).Abu Thahir dan meninggal di Madinah.
Tampaknya, dia belajar terutama di Haramain. Guru- guru utamanya adalah
Al-Barzanji, ’Abd Allah Al-Basri,dan Ahmad Al-Nakhli.
Abd Thahir terutama dikenal sebagai muhaddits,
tetapi dia juga seorang fakih dan sufi.Dia mewarisi banyak keahlian ayahnya
dalam studi hadits. Sebagai fakih, dia menduduki jabatan Mufti Syafi’i Mdinah
untuk beberapa waktu. Dia juga seorang penulis produktif.Menurut Al-Kattani,
dia menulis ratusan risalah. Yang paling penting diantaranya adalah Kanz
Al-‘A’mal fi Sunan Al-Aqwal dan Syuru Al-Fushus Al-Syaikh Al-Akbar. Karya yang
disebutkan terakhir ini tampaknya dimaksudkan untk menjelaskan ajaran Ibn
‘Arabi dan merefleksikan studi Abu Thahir dalam lapangan sufime-filosofis. Abu
Thahir mempunyai hubungan luas dalam jaringan ulama, baik dengan cara isnad
hadis maupun silsilah tarekat. Murid-muridnya yang paling terkenal diantaranya
adalah Muhammad Hayyah Al-Sindi, Syah Wali Allah (keduanya dari Anak Benua
India),dan Sulaiman Al-Kurdi.
Jaringan : Karakteristik Dasar
Setelah membicarakan sejumlah
tokoh terpenting yang terlibat dalam jaringan ulama, ada gunanya membuat
beberapa generalisasi tentang karakteristik dasar jaringan. Jaringan ulama
menjadi semakin luas pada abad ke-17. Jelas terdapat hubungan antara ulama-
ulama terdahulu dan mereka yang dalam jaringan ulama pada abad ke-17. Namun,
jaringan ulama yang berkembang selama abad ke-17 tampaknya sangat kompleks.
Hubungan saling-silang melalui studi hadist dan afiliasi tarekat luar biasa
rumit. Meskipun adalah masalah-masalah historiografis yang dapat ditemukan
dalam sumber-sumber yang memberikan informasi mengenai uama-ulama dan jaringan
mereka tersebut, hubungan antar mereka dapat dilacak hingga waktu sekarang.
Tidak diragukan lagi bahwa para murid dan ulama dari kawasan Samudra Hindia
terlibat dan memainkan peranan signifikan dalam jaringan ulama.
Saling-silang ulama yang
terlibat dalam jaringan ulama menghasilkan mereka umumnya terjalin melalui
lembaga pendidikan keagamaan seperti masjid,
madrasah dan ribat. Hubungan yang paling dasar diantara mereka bersifat
“akademik”. Biasanya hubungan mereka antara satu dan yang lainnya mengambil
bentuk hubungan guru-murid atau hubungan vertikal. Hubungan akademik ini juga
mencakup bentuk-bentuk lain, guru-guru yang juga boleh diistilahkan dengan
“hubungan horisontal”; dan hubungan murid-murid yang semuanya dapat juga
saling-silang antara terorganisasi secara
formal dalam struktur hierarkis apapun. Mobilitas guru dan murid yang relatif tinggi
menyebabkan tumbuhnya jaringan ulama lebih besar yang melampaui batas-batas
geografis, asal-usul etnik, dan kecenderungan keagamaan.
Meskipun hubungan di kalangan
para ulama tampak tidak formal khususnya dari pandangan dunia akademik modern,
kepentingan bersama mereka dalam regenerasi Ummah Muslim merangsang kerja sama
yang pada gilirannya menghasilkan hubungan interpersonal yang sangat dekat.
Hubungan personal ini terpelihara dalam pelbagai cara setelah para ulama atau
murid dalam jaringan ulama kembali ke negri asalnya masing-masing atau prgi
kemana saja setelah bermukim di haramain. Kebutuhan untuk mempertahankan ikatan
lebih kuat diantara para ulama semakin tersa ketika para guru dan murid yang
telah kembali tersebut menghadapi berbagai masalah ditanah airnya Oleh karena
itu, mereka memerluka petunjuk dan bimbingan dari mantan guru dan kolega mereka
di Haramain. Semua ini membantu menjelaskan kesinambungan hubungan ulama dalam
dalam jaringan ulama.
Lebih jauh, sebagaimana yan
telah kita lihat, dua kendaraan penting yang membuat hubungan dalam jaringan
ulama relatif solid adalah hadis dan silsilah tarekat. Voll menunjukan bahwa
keduanya memainkan peranan kursial dalam mempersambugkan para ulama yang terlibat
dalam jaringan ulama yang berpusat di haramain pada abad ke-18.
Hal yang sama juga terlihat
dalam jaringan ulama pada abad ke-17. Dalam priode ini, para ulama dalam
jaringan ulama membawa tradisional studi hadis Mesir dan Afrika Utara, yang
menyambungkan mereka dengan para ulama di haramain, yang telah dikenal dalam
priode awal Islam sebagai pusat terkuat keulamaan hadis. Para ulama dalam
jaringan ulama memainkan peranan kursial dalam menghidupkan kembali posisi
Makkah dan Madinah sebagai pusat kajian hadis.
Secara tradisional,silsilah
tsrekat merupakan alat yang penting dalam menciptakan hubungan yang dekat
diantara para ulama.Murid-murid dari jalan taswuf mesti tunduk pada kehendak
mursyid dan gurunya.Ini menciptakan ikatan yang sangat kuat dikalangan mereka
yang mengakui tarekat.Voll menekankan bahwa jenis hubungan ini”memberikan
ikatan lebih personal dan afiliasi yang membantu memberian kohesi lebih besar
kepada kelompok ulama yang terjalin dalam hubungan vormal”.
Semakin
pentingnya Haqiqah (tasawuf) di haramain, yang diperkenalkan misalnya oleh dari
para ulama kawasan Samudra Hindia, berhasil mempertemukan para ulama yang pada
umumnya diasosiasikan dengan syariat secara lebih personal. Keterlibatan para
ulama dari kawasan Samudra Hindia dalam jaringan tentu saja membantu memperluas
jangkaua jaringan tersebut. Namun, tidak
kurang pentingnya, mereka memperluas wilayah pengaruh tarekat, khususnya tarekat Syathariyyah dan Naqsyabandiyyah,
yang sebelumnya diasosiasikan dengan sufisme versi Anak Benua India yang hampir
tidak terkenal di haramain pada priode awal. Namun, mesti diingat bahwa dengan
memasukan wilayah Makkah dan Madinah yang telah menjadi pusat penting keulamaan
hadist, tarekat –tarekat tersebut mengalami sejenis reorientasi. Dengan
perkataan lain, mereka menjadi tarekat yang lebih berorientasi pada syariat.[11]
[1]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 63 dan 64.
[2]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 64-65.
[3]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 67.
[4] M. Sangidu, Wachdatul Wujud Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Ranīrī, (Yogyakarta: Gama Media, 2003),
hlm. 12.
[5] Sartono Kartodirjo,
Pendekatan Ilmu-Ilmu Sosial
dalam
Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 145.
[6] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar
Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005),
hlm. 202.
[7]
Azyumardi Azra, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit
Mizan, 2002), hlm. 68-69.
[8]
Bisri Affandi, Pembaharu dan Pemurni Islam Indonesia, (Syaikh Ahmad
Syurkati), Pustaka Al-Kautsar, 1999), hlm. 56.
[9]
Darul Aqsha, Kia Haji Mas Mansur 1986-1946 (Perjuangan dan Pemikiran), Penerbit
Erlangga, tt), hlm. 4-5.
[10]
Ibid, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan,
2002)
[11]
Ibid, Islam Nusantara (Jaringan Global dan Lokal), (Penerbit Mizan,
2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar