REFLEKSI MATA KULIAH
(Studi Islam Integratif)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Pendidikan Agama Islam)
STAIN Pekalongan
2015
Pengertian,
Pembidangan, dan Ruang Lingkup Studi Islam
Istilah ‘studi Islam’ dipahami sebagai ‘kajian
atas Islam’. Istilah itu merupakan gabungan dua kata yang keseluruhannya
memiliki makna yang selalu dinamis. Arkoen menjelaskan bahwa diskursus akademik
studi Islam yang ada selama ini masih membutuhkan penjelasan lanjut atas teori,
disiplin, maupun konsepnya yang semuanya masih selalu diasosiasikan dengan kata
‘Islam’.[1]
Waardenburg menyatakan pendapatnya dalam kutipan
berikut ini (terjemahan):
Studi
Islam meliputi kajian agama Islam dan tentang aspek-aspek keislaman masyarakat
dan budaya Muslim. Atas dasar pembedaan di atas, kiranya mungkin untuk
mengidentifikasi tiga pola kerja yang berbeda yang masuk dalam ruang umum studi
Islam. Pertama, pada umumnya kajian normatif agama Islam yang dikembangkan oleh
sarjana Muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan atas kebenaran keagamaan
(Islam). Kajian ini mencakup kajian-kajian keagamaan tentang Islam, seperti
tafsir al-Qur’an, Ilmu al-Hadits, Fikih, Kalam, dan sebagainya. Kedua, kajian
non-normatif agama Islam, seperti pendekatan observasi dengan aturan-aturan
umum yang ada dalam penelitian keilmiahan, yang kemudian sering disebut dengan
studi-studi Islam. Ketiga, kajian non-normatif atas berbagai aspek keislaman
yang berkait dengan kultur dan masyarakat Muslim. Kajian ini mengambil cakupan
konteks yang cukup luas, mendekati keislaman dari sudut pandangan sejarah,
literatur, atau sosiologi dan antropologi budaya, dan tidak hanya terfokus pada
satu perspektif, yaitu studi agama.[2]
Ketika mendiskusikan tentang Islam, Fazlur Rahman
membaginya menjadi 14 bidang, yaitu (1) Kehidupan Nabi Muhammad, (2) al-Qur’an,
(3) Sunnah Nabi Muhammad saw, (4) Struktur Hukum Islam, (5) Dialog antara Teologi
dan Perkembangan Dogma, (6) Syari’ah, (7) Perkembangan Filsafat, (8) Praktik
dan Ajaran Sufi, (9) Organisasi Sufi, (10) Perekembangan Aliran-Aliran, (11)
Pendidikan, (12) Gerakan Pembaruan pra-Modern, (13) Gerakan Pembaruan Modern,
(14) Warisan Prospek.[3]
Pembidangan-pembidangan studi Islam di atas tidak
bisa dilepaskan dari sejarah internal dan eksternal umat Islam. Dalam konteks
internal umat Islam, sebelum orientalis muncul untuk memahami Islam, studi
Islam telah dilakukan dengan berbagai pola dan variasinya masing-masing.
Istilah Dirasah Islamiyah yang pada awalnya diterapkan di Universitas
Al-Azhar, Mesir dan juga digunakan di IAIN pada era 1960-an sampai 1990-an
merupakan bukti adanya konsep “Studi Islam” meskipun dalam konteks pemaknaan
yang cenderung lebih dogmatis-ideologis.[4]
Diantara nama-nama intelektual Muslim tersebut,
“duo” nama Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun dapat diposisikan berada dalam
titik singgung bertemunya dua tradisi studi Islam di atas, antara tradisi
“Barat” dan tradisi “Timur”. Dua tradisi tersebut adalah tradisi studi Islam
yang berkembang di kalangan intelektual dan dunia Islam, dan studi Islam
orientalis/Barat. Terlepas dari problem posisi keduanya, proses studi Islam
terus mengalami dinamikanya yang belum selesai dan bahkan tidak akan pernah
selesai.[5]
Dalam konteks perbendaharaan istilah-istilah pengembangan studi keislaman,
Arkoen menawarkan kata kunci Islamologi Terapan (al-Islamiyat
al-Tathbiqiyyah), Fazlur Rahman menawarkan pemaduan antara normative
Islam-historical Islam, Mukti Ali menawarkan metode sintesis
saintifik-cum-doktriner, dan Harun Nasution dengan gagasan Islam Rasional.
Salah satu karya Rahman, misalnya Islam and Modernity (1982),[6]
telah menjelaskan pentingnya dilakukan rekonstruksi yang lebih sistematik pada
bidang-bidang ilmu-ilmu keislaman, seperti teologi (kalam) hukum dan etika
(fikih), filsafat, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Disebutkannya kata-kata ilmu-ilmu
sosial (social sciences) oleh Rahman tersebut, di samping filsafat, etika
dan teologi sebagai salah satu metode yang sangat bermanfaat untuk
merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman, telah menunjukkan adanya kemajuan.[7]
Jika Rahman telah memperkenalkan istilah historical
sciences dalam studi Islam, Maka Muhammad Arkoen[8]
mengenalkan istilah social sciences dalam studi Islam. Berbeda dengan
Rahman, yang dilakukan oleh Arkoen adalah mengritik seluruh bangunan keilmuan
Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, fikih, dan sebagainya. Kritik ini
semakin tajam ketika masing-masing pemikir Muslim mencoba menfokuskan kajian
atau bidang kritik epitemologinya, yaitu semisal Hassan Hanafi pada bangunan
keilmuan kalam,[9]
dan Fazlur Rahman pada bangunan keilmuan tafsir.[10]
Dua karya penting dari Rahman dan Arkoen, yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dalam konteks pengembangan studi
Islam di Indonesia adalah buku Islam (1968) karya Rahman, yang diterjemahkan
sesuai dengan judul aslinya, Islam, oleh penerbit pustaka, Bandung
(1984) dan Buku Essais Sur La Pense Islamique (1984) yang diterjemahkan
berjudul Membedah Pemikiran Islam oleh penerbit pustaka, Bandung (2000).
Buku Islam tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1996 oleh Holt,
Rinehart, dan Winston. Rahman lebih menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu
karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia terlatih secara teknis
untuk memahaminya.[11]
Berdasarkan historisitas studi Islam di Indonesia
di atas, paling tidak ada empat tahap pergeseran paradigma perkembangan studi
Islam di PTAI Indonesia. Pertama, perkembangan pada akhir abad ke-20, tepatnya
sebelum tahun 1950. Pada tahapan ini yang dimaksud dengan studi Islam terbatas
pada ulumuddin dalam arti ‘ulum an-naqliyyah saja seperti fikih,
tafsir, hadits, dan tarikh. Dengan demikian, ketika membicarakan studi Islam
sama sekali tidak ada bayangan mengaitkan dengan keilmuan di luar itu, sebab
selain ilmu-ilmu tersebut dianggap “bukan ilmu agama”.[12]
Dalam hal ini pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan
metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain.[13]
Memasuki tahun 1976 sampai akhir tahun 1995,
perkembangan studi Islam di Indonesia memasuki perkembangan baru seiring dengan
mualai munculnya beberapa tawaran baru oleh pemikir progresif, semacam Mukti
Ali dan Harun Nasution untuk konteks PTAI di Indonesia. Perkembangan yang
dimaksud adalah perlunya kajian Islam memanfaatkan ilmu-ilmu lain sebagai alat
bantu dalam memecahkan problem realitas. Menurut kedua pioner studi Islam,
khususnya di PTAI Indonesia tersebut, untuk mengetahui Islam tidak bisa hanya
didasarkan pada ilmu naqli semata, namun harus menggunakan perspektif
lain dan multifaced. Untuk itu,
meminjam disiplin disiplin Ilmu lain adalah sebuah keharusan, misanya keilmuan
sejarah, sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, dan sains. Mukti Ali
kemudian memperkenalkan model Scientific-cum-Doctrinair (ScD).[14]
Mukti Ali dan Harun Nasution, sebagai duo tokoh
IAIN, yang kiprahnya dapat dibaca pada rentang waktu 1970-1990, telah banyak
meletakkan pondasi yang tergolong awal dalam pengembangan studi Islam, agar
Islam dapat dikaji secara akademik-objektif-ilmiah. Hal ini telah mendorong
terjadinya perubahan mendasar dalam studi Islam di Indonesia, baik mengyangkut
pendekatan, teori dan metodologi, bahkan juga beragam materi dari ajaran Islam
itu sendiri. Sejak saat itu, dengan tetap memandang pentingnya pendekatan
normatif-filosofis-spekulatif-deduktif pendekatan historis-empiris- induktif
semakin mendapat tempat bahkan berkembang sedimikian cepatnya.[15]
Memasuki awal tahun 90-an, perkembangan studi
Islam di Indonesia dapat ditunjukkan, salah satunya, dalam buku Metode
Memahami Agama Islam (1991) karya Mukti Ali. Di sini Mukti menggunakan
istilah “metode memahami Islam”, bukan “studi Islam”. Artinya yang berkembang
di era ini adalah bermunculnya berbagai metode dalam mengkaji Islam, bukan
materi syudi Islam, yang marak di era pra 90-an. Terkait dengan tawaran
metodologi dalam memahami ilmu agama Islam, Mukti Ali menjelaskan bahwa satu
metode saja tidak bisa dipilih untuk mempelajari Islam, karena Islam adalah
agama yang bukan mono-dimensi. pIslam adalah bukan agama yang hanya didasarkan
kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia
dengan Tuhan. Ini adalah hanya merupakan satu dimensi dari agama Islam. Untuk
mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk
masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari diemnsi ini maka metode sejarah dan
sosiologi harus dipergunakan.[16]
Islam adalah agama, maka memahami Tuhan yang
mempergunakan metode filosofis, membahas kehidupan manusia di bumi yang
mempergunakan metode ilmu-ilmu alam, dan mempelajari masyarakat dan peradaban
dengan metode historis dan sosiologis, harus ditambah dengan metode doktriner.[17]
Pendekatan multidimensi terhadap Islam yang
dimaksud oleh Mukti Ali di atas, sebenarnya adalah pendekatan transdimensi atau
monotrialis antara memahami dimensi teosentris (memahami Tuhan) yang
menggunakan metode fiulosofis –metafisis, memahami dimesi kosmosentris dengan
menggunakan metodei ilmuj-ilmu alam, dan memahami dimensi antroposentris dengan
mempelajari masyarakat dan peradaban dengan metode historis dan sosiologi.[18]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi’i Ma’arif.
2010. dalam Fazlur Rahman, “Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung:
Penerbit Pustaka.
Fazlur Rahman. 1982. “Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago and
London: The University of Chicago Press.
Fazlur Rahman. 1996. “Islam”.
Chicago: The University of Chicago Press.
Jacques Waardendburg. 1996.
“Islamic Studies”, Mircea Eliade (ed), “The Encyclopedia of Religion,
vol.7. New York: Mac Millan.
M. Amin Abdullah dkk.
2007. “Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah
Antalogi”. Yogyakarta: Suka Press.
Muhammad Arkoen, 1996. “Islamic
Studies : Methodologies”. dalam John L.Esposito (ed), The Oxford
Encyclopedia of Modern Islamic Word, vol.1 (Oxford: The Oxford University
Press.
Mukti Ali. 1991. “Metode
Memahami Agama Islam”. Jakarta: Bulan Bintang.
Muqowim. 2011. “Keterpaduan
Sains dan Agama”. Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan
Kalijaga.
Waryani Fajar Riyanto.
2014. “Studi Islam Indonesia (1950-2014)”. Pekalongan: STAIN Pekalongan
Press.
Zuhri. 2008. “Studi
Islam dalam Tafsir Sosial: Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan
Mohammad Arkoen”. Yogyakarta: Sukses.
[1]
Muhammad Arkoen, “Islamic Studies : Methodologies”, dalam John
L.Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic Word, vol.1
(Oxford: The Oxford University Press, 1996), hlm. 332.
[2]
Jacques Waardendburg, “Islamic Studies”, Mircea Eliade (ed), “The
Encyclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mac Millan, 1996), hlm. 457.
[3]
Fazlur Rahman, “Islam”, (Chicago: The University of Chicago Press,
1966).
[4]
Zuhri, “Studi Islam dalam Tafsir Sosial: Telaah Sosial Gagasan Keislaman
Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoen”, (Yogyakarta: Sukses, 2008), hlm. 48.
[5] Ibid,
“Studi Islam dalam Tafsir Sosial”, hlm. 55.
[6]
Fazlur Rahman, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual
Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), hlm.
151-162.
[7]
Abdullah, “Pendekatan dalam Kajian Islam”, hlm. 33.
[8] Ibid,
hlm. 35.
[9] Lihat,
Min al-Aqidah ila as-Saurah.
[10]
Lihat, Islam.
[11]
Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam Fazlur Rahman, “Islam, terj. Ahsin Muhammad
(Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hlm. viii.
[12]
Muqowim, “Keterpaduan Sains dan Agama (Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 23-24.
[13]
M. Amin Abdullah dkk., “Islamic Studies dalam Paradigma
Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antalogi (Yogyakarta: Suka Press, 2007),
hlm. 10.
[14]
Waryani Fajar Riyanto, “Studi Islam Indonesia (1950-2014)”, (Pekalongan:
STAIN Pekalongan Press, 2014), hlm. 108.
[15] Ibid,
hlm. 108.
[16] Mukti
Ali, “Metode Memahami Agama Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.
31.
[17] Ibid,
hlm. 32.
[18] Op.,
cit., hlm. 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar