Sabtu, 27 Februari 2016

STUDI ISLAM INTEGRATIF



REFLEKSI MATA KULIAH
(Studi Islam Integratif)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam)
STAIN Pekalongan
2015

Pengertian, Pembidangan, dan Ruang Lingkup Studi Islam
Istilah ‘studi Islam’ dipahami sebagai ‘kajian atas Islam’. Istilah itu merupakan gabungan dua kata yang keseluruhannya memiliki makna yang selalu dinamis. Arkoen menjelaskan bahwa diskursus akademik studi Islam yang ada selama ini masih membutuhkan penjelasan lanjut atas teori, disiplin, maupun konsepnya yang semuanya masih selalu diasosiasikan dengan kata ‘Islam’.[1]
Waardenburg menyatakan pendapatnya dalam kutipan berikut ini (terjemahan):
Studi Islam meliputi kajian agama Islam dan tentang aspek-aspek keislaman masyarakat dan budaya Muslim. Atas dasar pembedaan di atas, kiranya mungkin untuk mengidentifikasi tiga pola kerja yang berbeda yang masuk dalam ruang umum studi Islam. Pertama, pada umumnya kajian normatif agama Islam yang dikembangkan oleh sarjana Muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan atas kebenaran keagamaan (Islam). Kajian ini mencakup kajian-kajian keagamaan tentang Islam, seperti tafsir al-Qur’an, Ilmu al-Hadits, Fikih, Kalam, dan sebagainya. Kedua, kajian non-normatif agama Islam, seperti pendekatan observasi dengan aturan-aturan umum yang ada dalam penelitian keilmiahan, yang kemudian sering disebut dengan studi-studi Islam. Ketiga, kajian non-normatif atas berbagai aspek keislaman yang berkait dengan kultur dan masyarakat Muslim. Kajian ini mengambil cakupan konteks yang cukup luas, mendekati keislaman dari sudut pandangan sejarah, literatur, atau sosiologi dan antropologi budaya, dan tidak hanya terfokus pada satu perspektif, yaitu studi agama.[2]

Ketika mendiskusikan tentang Islam, Fazlur Rahman membaginya menjadi 14 bidang, yaitu (1) Kehidupan Nabi Muhammad, (2) al-Qur’an, (3) Sunnah Nabi Muhammad saw, (4) Struktur Hukum Islam, (5) Dialog antara Teologi dan Perkembangan Dogma, (6) Syari’ah, (7) Perkembangan Filsafat, (8) Praktik dan Ajaran Sufi, (9) Organisasi Sufi, (10) Perekembangan Aliran-Aliran, (11) Pendidikan, (12) Gerakan Pembaruan pra-Modern, (13) Gerakan Pembaruan Modern, (14) Warisan Prospek.[3]
Pembidangan-pembidangan studi Islam di atas tidak bisa dilepaskan dari sejarah internal dan eksternal umat Islam. Dalam konteks internal umat Islam, sebelum orientalis muncul untuk memahami Islam, studi Islam telah dilakukan dengan berbagai pola dan variasinya masing-masing. Istilah Dirasah Islamiyah yang pada awalnya diterapkan di Universitas Al-Azhar, Mesir dan juga digunakan di IAIN pada era 1960-an sampai 1990-an merupakan bukti adanya konsep “Studi Islam” meskipun dalam konteks pemaknaan yang cenderung lebih dogmatis-ideologis.[4]
Diantara nama-nama intelektual Muslim tersebut, “duo” nama Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun dapat diposisikan berada dalam titik singgung bertemunya dua tradisi studi Islam di atas, antara tradisi “Barat” dan tradisi “Timur”. Dua tradisi tersebut adalah tradisi studi Islam yang berkembang di kalangan intelektual dan dunia Islam, dan studi Islam orientalis/Barat. Terlepas dari problem posisi keduanya, proses studi Islam terus mengalami dinamikanya yang belum selesai dan bahkan tidak akan pernah selesai.[5] Dalam konteks perbendaharaan istilah-istilah pengembangan studi keislaman, Arkoen menawarkan kata kunci Islamologi Terapan (al-Islamiyat al-Tathbiqiyyah), Fazlur Rahman menawarkan pemaduan antara normative Islam-historical Islam, Mukti Ali menawarkan metode sintesis saintifik-cum-doktriner, dan Harun Nasution dengan gagasan Islam Rasional. Salah satu karya Rahman, misalnya Islam and Modernity (1982),[6] telah menjelaskan pentingnya dilakukan rekonstruksi yang lebih sistematik pada bidang-bidang ilmu-ilmu keislaman, seperti teologi (kalam) hukum dan etika (fikih), filsafat, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Disebutkannya kata-kata ilmu-ilmu sosial (social sciences) oleh Rahman tersebut, di samping filsafat, etika dan teologi sebagai salah satu metode yang sangat bermanfaat untuk merekonstruksi ilmu-ilmu keislaman, telah menunjukkan adanya kemajuan.[7]
Jika Rahman telah memperkenalkan istilah historical sciences dalam studi Islam, Maka Muhammad Arkoen[8] mengenalkan istilah social sciences dalam studi Islam. Berbeda dengan Rahman, yang dilakukan oleh Arkoen adalah mengritik seluruh bangunan keilmuan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, fikih, dan sebagainya. Kritik ini semakin tajam ketika masing-masing pemikir Muslim mencoba menfokuskan kajian atau bidang kritik epitemologinya, yaitu semisal Hassan Hanafi pada bangunan keilmuan kalam,[9] dan Fazlur Rahman pada bangunan keilmuan tafsir.[10]
Dua karya penting dari Rahman dan Arkoen, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dalam konteks pengembangan studi Islam di Indonesia adalah buku Islam (1968) karya Rahman, yang diterjemahkan sesuai dengan judul aslinya, Islam, oleh penerbit pustaka, Bandung (1984) dan Buku Essais Sur La Pense Islamique (1984) yang diterjemahkan berjudul Membedah Pemikiran Islam oleh penerbit pustaka, Bandung (2000). Buku Islam tersebut diterbitkan pertama kali tahun 1996 oleh Holt, Rinehart, dan Winston. Rahman lebih menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia terlatih secara teknis untuk memahaminya.[11]
Berdasarkan historisitas studi Islam di Indonesia di atas, paling tidak ada empat tahap pergeseran paradigma perkembangan studi Islam di PTAI Indonesia. Pertama, perkembangan pada akhir abad ke-20, tepatnya sebelum tahun 1950. Pada tahapan ini yang dimaksud dengan studi Islam terbatas pada ulumuddin dalam arti ‘ulum an-naqliyyah saja seperti fikih, tafsir, hadits, dan tarikh. Dengan demikian, ketika membicarakan studi Islam sama sekali tidak ada bayangan mengaitkan dengan keilmuan di luar itu, sebab selain ilmu-ilmu tersebut dianggap “bukan ilmu agama”.[12] Dalam hal ini pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain.[13]
Memasuki tahun 1976 sampai akhir tahun 1995, perkembangan studi Islam di Indonesia memasuki perkembangan baru seiring dengan mualai munculnya beberapa tawaran baru oleh pemikir progresif, semacam Mukti Ali dan Harun Nasution untuk konteks PTAI di Indonesia. Perkembangan yang dimaksud adalah perlunya kajian Islam memanfaatkan ilmu-ilmu lain sebagai alat bantu dalam memecahkan problem realitas. Menurut kedua pioner studi Islam, khususnya di PTAI Indonesia tersebut, untuk mengetahui Islam tidak bisa hanya didasarkan pada ilmu naqli semata, namun harus menggunakan perspektif lain dan  multifaced. Untuk itu, meminjam disiplin disiplin Ilmu lain adalah sebuah keharusan, misanya keilmuan sejarah, sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, dan sains. Mukti Ali kemudian memperkenalkan model Scientific-cum-Doctrinair (ScD).[14]
Mukti Ali dan Harun Nasution, sebagai duo tokoh IAIN, yang kiprahnya dapat dibaca pada rentang waktu 1970-1990, telah banyak meletakkan pondasi yang tergolong awal dalam pengembangan studi Islam, agar Islam dapat dikaji secara akademik-objektif-ilmiah. Hal ini telah mendorong terjadinya perubahan mendasar dalam studi Islam di Indonesia, baik mengyangkut pendekatan, teori dan metodologi, bahkan juga beragam materi dari ajaran Islam itu sendiri. Sejak saat itu, dengan tetap memandang pentingnya pendekatan normatif-filosofis-spekulatif-deduktif pendekatan historis-empiris- induktif semakin mendapat tempat bahkan berkembang sedimikian cepatnya.[15]
Memasuki awal tahun 90-an, perkembangan studi Islam di Indonesia dapat ditunjukkan, salah satunya, dalam buku Metode Memahami Agama Islam (1991) karya Mukti Ali. Di sini Mukti menggunakan istilah “metode memahami Islam”, bukan “studi Islam”. Artinya yang berkembang di era ini adalah bermunculnya berbagai metode dalam mengkaji Islam, bukan materi syudi Islam, yang marak di era pra 90-an. Terkait dengan tawaran metodologi dalam memahami ilmu agama Islam, Mukti Ali menjelaskan bahwa satu metode saja tidak bisa dipilih untuk mempelajari Islam, karena Islam adalah agama yang bukan mono-dimensi. pIslam adalah bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini adalah hanya merupakan satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk masyarakat dan peradaban. Untuk mempelajari diemnsi ini maka metode sejarah dan sosiologi harus dipergunakan.[16]
Islam adalah agama, maka memahami Tuhan yang mempergunakan metode filosofis, membahas kehidupan manusia di bumi yang mempergunakan metode ilmu-ilmu alam, dan mempelajari masyarakat dan peradaban dengan metode historis dan sosiologis, harus ditambah dengan metode doktriner.[17]
Pendekatan multidimensi terhadap Islam yang dimaksud oleh Mukti Ali di atas, sebenarnya adalah pendekatan transdimensi atau monotrialis antara memahami dimensi teosentris (memahami Tuhan) yang menggunakan metode fiulosofis –metafisis, memahami dimesi kosmosentris dengan menggunakan metodei ilmuj-ilmu alam, dan memahami dimensi antroposentris dengan mempelajari masyarakat dan peradaban dengan metode historis dan sosiologi.[18]

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif. 2010. dalam Fazlur Rahman, “Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Penerbit Pustaka.

Fazlur Rahman. 1982. “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press.

Fazlur Rahman. 1996. “Islam”. Chicago: The University of Chicago Press.

Jacques Waardendburg. 1996. “Islamic Studies”, Mircea Eliade (ed), “The Encyclopedia of Religion, vol.7. New York: Mac Millan.

M. Amin Abdullah dkk. 2007. “Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antalogi”. Yogyakarta: Suka Press.

Muhammad Arkoen, 1996. “Islamic Studies : Methodologies”. dalam John L.Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic Word, vol.1 (Oxford: The Oxford University Press.

Mukti Ali. 1991. “Metode Memahami Agama Islam”. Jakarta: Bulan Bintang.

Muqowim. 2011. “Keterpaduan Sains dan Agama”. Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.

Waryani Fajar Riyanto. 2014. “Studi Islam Indonesia (1950-2014)”. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press.

Zuhri. 2008. “Studi Islam dalam Tafsir Sosial: Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoen”. Yogyakarta: Sukses.


[1] Muhammad Arkoen, “Islamic Studies : Methodologies”, dalam John L.Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic Word, vol.1 (Oxford: The Oxford University Press, 1996), hlm. 332.
[2] Jacques Waardendburg, “Islamic Studies”, Mircea Eliade (ed), “The Encyclopedia of Religion, vol.7 (New York: Mac Millan, 1996), hlm. 457.
[3] Fazlur Rahman, “Islam”, (Chicago: The University of Chicago Press, 1966).
[4] Zuhri, “Studi Islam dalam Tafsir Sosial: Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlur Rahman dan Mohammad Arkoen”, (Yogyakarta: Sukses, 2008), hlm. 48.
[5] Ibid, “Studi Islam dalam Tafsir Sosial”, hlm. 55.
[6] Fazlur Rahman, “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 151-162.
[7] Abdullah, “Pendekatan dalam Kajian Islam”, hlm. 33.
[8] Ibid, hlm. 35.
[9] Lihat, Min al-Aqidah ila as-Saurah.
[10] Lihat, Islam.
[11] Ahmad Syafi’i Ma’arif, dalam Fazlur Rahman, “Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 2010), hlm. viii.
[12] Muqowim, “Keterpaduan Sains dan Agama (Bahan Ajar Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2011), hlm. 23-24.
[13] M. Amin Abdullah dkk., “Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi: Sebuah Antalogi (Yogyakarta: Suka Press, 2007), hlm. 10.
[14] Waryani Fajar Riyanto, “Studi Islam Indonesia (1950-2014)”, (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2014), hlm. 108.
[15] Ibid, hlm. 108.
[16] Mukti Ali, “Metode Memahami Agama Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 31.
[17] Ibid, hlm. 32.
[18] Op., cit.,  hlm. 187

Tidak ada komentar:

Posting Komentar