Sabtu, 27 Februari 2016

Metode Pendidikan Akhlak sebagai Islamic Character Building


Pendidikan Akhlak
(Metode Pendidikan Akhlak sebagai Islamic Character Building)
Oleh :
Imam Syafi’i
(2052115026)
(Mahasiswa PASCASARJANA STAIN Pekalongan)

Abstrac
Pembinaan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Dalam salah satu haditsnya beliau menegaskan innama bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq (HR Ahmad), yang artinya hanya saja aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Berdasarkan analisis yang didukung dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits, kita dapat mengatakan bahwa Islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan akhlak yang menunjukkan bahwa pembinaan akhlak yang ditempuh Islam adalah menggunakan cara atau sistem yang integrated, yaitu sistem yang menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk diarahkan pada pembinaan akhlak.
Pembinaan akhlak secara efektik dapat dilakuakn dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam berbagai bentuk metode, seperti metode pembiasaan, metode keteladanan, metode mauidhoh hasanah dan metode cerita.
تعزيز الأخلاق هي أساس الشاغل الأول في الإسلام. يمكن أن ينظر إليه من واحدة من المهمة الرسولية للنبي محمد. الشيء الرئيسي هو تعزيز الطابع النبيل. في أحد الأحاديث وقال انه يؤكد: إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق (رواه أحمد), وهو ما يعني انها مجرد أنني كنت أرسلت إلى الطابع النبيل الكمال.
استنادا إلى تحليل بدعم حجج آل القرآن و آل الحديث، نستطيع أن نقول أن الإسلام يعطي اهتماما كبيرا لتنمية الأخلاق مما يدل على أن التوجيه المعنوي للإسلام يؤخذ باستخدام طريقة أو نظام متكامل، واستخدامات النظام مختلف أماكن أخرى للعبادة وجهت في وقت واحد في الأخلاق تعزيز.
ويمكن أن يتم ذلك على نحو فعال الأخلاق التدريب فيما يتعلق بعوامل نفسية سيتم عزز الهدف. ليمكن عرضها تعاليم الأخلاقية في مجموعة متنوعة من الطرق، مثل أساليب التعود، طريقة مثالية، وطريقة, وَموْعضة الحسنة وأساليب القصة.
Fostering morality is the foundation of the first concern in Islam. It can be seen from one of the apostolic mission of the Prophet Muhammad. the main thing is to enhance noble character. In one hadith he affirms innama bu'itstu li utammima Makarim al-akhlaq (Ahmad), which means it's just that I was sent to perfect noble character.
Based on the analysis supported the arguments of Al-Quran and al-Hadith, we can say that Islam gives great attention to development of morals which indicates that the moral guidance of Islam is taken using a method or system that is integrated, the system uses various other places of worship and simultaneously directed at fostering morals.
Morals coaching can effectively be done with regard to psychological factors target will be fostered. To the moral teachings can be presented in a variety of methods, such as methods of habituation, exemplary method, the method mauidhoh hasanah and methods of the story.
Kata kunci : Metode, Pendidikan, dan Akhlak.

Dalam hidup ini ada dua nilai yang menentukan perbuatan manusia yaitu nilai baik dan buruk (good and bad), betul dan salah (true and false). Penilaian ini berlaku dalam semua lapangan kehidupan manusia apakah yang dimaksudkan dengan baik dan buruk, betul dan salah, benar dan palsu itu? Apakah alat pengukur yang menentukan sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, betul atau salah, benar atau palsu? Persoalan-persoalan inilah yang akan dijawab oleh ilmu akhlak.[i]
Nilai-nilai akhlak tidak akan tampak dan tidak akan ada hasilnya dalam suatu masyarakat, bahkan tidak dapat mencapai sasarannya kecuali bila ada batasan-batasan mengenai nilai atau arti kehidupan dunia bagi masyarakat. Secara garis besar, pendidikan akhlak ingin mewujudkan masyarakat yang senantiasa berjalan di atas kebenaran. Masyarakat yang konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan musyawarah.
Masalah moralitas di kalangan pelajar dewasa ini merupakan salah satu masalah pendidikan yang harus mendapatkan perhatian semua pihak. Berbagai perubahan yang terjadi, mulai dari tata pergaulan, gaya hidup, bahkan hingga pandangan-pandangan yang mendasar tentang standar perilaku merupakan konsekuensi dari perkemabangan yang terjadi dalam skala global umat manusia di dunia. Arus globalisasi informasi lintas geografi dan budaya semakin deras terjadi saat ini, mau tidak mau menimbulkan dampak tersendiri yang tidak selalu positif bagi kehidupan remaja.[ii]

Pengertian Metode, Pendidikan, Akhlak dan Character Building
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengajarkan sesuatu. Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan.[iii] Melalui metode ini, kemudian akan diperoleh suatu pedoman dalam melanjutkan proses kependidikan. Metode mengandung implikasi bahwa proses penerapannya harus dilakukan secara konsisten dan sistematis, agar hasil yang ingin dicapai benar-benar maksimal sesuai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Secara etimologi, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education, yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah pendidikan ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah, yang berarti pendidikan.[iv]
Kemudian secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, dan perbuatan mendidik.[v]
Sedangkan pengertian pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber pendidikan Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits yang memuat kata-kata rabba dari kata tarbiyah, ‘alama, kata kerja dari ta’lim, dan addaba dari kata kerja ta’dib.[vi] Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam karena pendidikan adalah tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[vii]
Menurut Prof. Dr. Omar Muhammad al-Touny al-Syaebani, bahwa pendidikan yang bernapaskan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau dalam kehidupan masyarakat. Selain itu pendidikan juga merupakan upaya pengembangan proses pembelajaran yang berlangsung tanpa henti dan berjalan sampai akhir hidup manusia.[viii]
Pendidikan yang dimaksud di sini yaitu nilai suatu konsep yang digunakan sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan bersosial pada saat melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan yang setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, baik menyangkut aspek ruhaniah dan jasmaniah. Tidak heran bila suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan jiwa manusia, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses ke arah tujuan akhir perkembangan kepribadian manusia.[ix] Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan lebih mengacu pada pembinaan tingkah laku agar mampu meraih kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari.
Kemudian kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan. Kata akhlaq merupakan jama’ taksir dari kata khuluq, yang sering juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama. Secara etimologi, definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik atau agama.[x] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akhlak diartikan sebagai moral, budi pekerti, atau susila, kelakuan.[xi]
Sebagaimana pengertian akhlak yang telah dinukil oleh Muchson dan Samsuri, bahwa Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.[xii] Jadi secara terminologi, akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan apabila dibutuhkan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar.
Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yaitu istilah etika, moral dan susila.[xiii] Etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan, serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.[xiv] Moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.[xv] Pengertian dari susila adalah sopan, beradab, baik budi bahasanaya. Istilah tersebut hampir sama dengan moral, yaitu pedoman untuk membimbing orang agar berjalan dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat serta mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.[xvi]
Akhlak yang dimaksud di sini ialah akhlak atau karakter yang terbentuk atas dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga mampu tertanam di dalam jiwa para pencari ilmu. Dengan demikian, posisi akhlak, etika, moral dan susila sangat dibutuhkan yaitu dalam rangka menjabarkan dan menerapkan ketentuan akhlak yang terdapat dalam Alquran dan Hadits.[xvii]
Sedangkan definisinya, dapat dilihat beberapa pendapat dari pakar ilmu akhlaq, antara lain:
1.        Al-Qurthubi mengatakan:
Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlaq, karena perbuatan tersebut bersumber dari kejadiannya.[xviii]
2.        Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi mengatakan:
Akhlaq adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam diri, yang dapat mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang.[xix]
3.        Ibnu Maskawih mengatakan:
Akhlak adalah kondisi jiwa yang selalu mendorong (manusia) berbuat sesuatu, tanpa ia memikirkan (terlalu lama).[xx]
4.        Abu Bakar Jabir al-Jaziri mengatakan:
Khlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela.[xxi]
5.        Imam Ghazali mengatakan:
Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan; tenpa melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan norma agama, dinamakn akhlaq baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan buruk, maka dinamakan akhlak buruk.[xxii]
Sedangkan pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang dijadikan sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata.[xxiii] Dengan demikian, pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogarm dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia, termasuk didalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi dibina secara optimal dengan cara pendekatan yang tepat.[xxiv]

Metode-Metode Pendidikan Akhlak
1.    Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Pembiasaan selain menggunakan perintah, suri tauladan, dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif ialah selaras dengan norma dan tata nilai moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan kultural.[xxv]
Kemudian, ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada teks “amilus shalihat”. Teks ini diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan” atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term “amilus shalihat” yang banyak tersebut memperlihatkan bahwa pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam.[xxvi] Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori konvergensi, di mana pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dengan mengembangkan potensi dasar yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.
Menurut Burghardt, sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan, kebiasaan itu timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang, dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan prilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan atau pengurangan inilah muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.[xxvii]
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dengan metode pembiasaan ini adalah termasuk prinsip utama dalam pendidikan dan merupakan metode paling efektif dalam pembentukan aqidah dan pelurusan akhlak anak didik, sehingga tujuan daripada diadakannya pembelajaran dengan metode pembiasaan ini adalah untuk melatih serta membiasakan anak didik secara konsisten dan kontinyu dengan sebuah tujuan, sehingga benar-benar tertanam dalam diri anak didik dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan di kemudian hari.
2.    Metode Keteladanan
Metode keteladanan merupaka  suatu  cara  atau  jalan  yang  ditempuh  seseorang  dalam  proses pendidikan melalui  perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling). Namun  yang dikehendaki dengan metode keteladanan dijadikan sebagai alat pendidikan Islam dipandang keteladanan merupakan bentuk prilaku individu yang  bertanggung  jawab   yang  bertumpu  pada  praktek  secara  langsung. Dengan  menggunakan  metode  praktek  secara  langsung  akan  memberikan hasil yang efektif dan maksimal.
Keteladanan dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan Islam  karena  hakekat  pendidikan  Islam  ialah  mencapai  keredhaan  kepada Allah dan  mengangkat tahap akhlak dalam bermasyarakat berdasarkan pada agama serta membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang dibuat oleh Allah SWT. untuk manusia.[xxviii]

3.    Metode Mau’idhah Hasanah
Mauidhah  hasanah adalah  ucapan  yang  berisi  nasihat-nasihat  yang  baik  dimana  ia  dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau menurut penafsiran, mauidhah hasanah adalah argument-argumen yang memuaskan sehingga pihak  yang mendengarkan  dapat  membenarkan  apa  yang disampaikan oleh pembawa  argumen itu.[xxix]
Metode mauidhah  hasanah  atau  ceramah  adalah  suatu  teknik atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i atau mubaligh pada suatu aktifitas dakwah, ceramah dapat pula bersifat kampanye, berceramah          (retorika), khutbah, sambutan, mengajar, dan sebagainya. Metode ceramah  juga  merupakan  suatu  teknik  dakwah  yang banyak diwarnai oleh ciri-ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i pada  suatu  aktifitas  dakwah.  Metode  ini  harus  diimbangi  dengan kepandaian khusus tentang  retorika,  diskusi, factor-faktor lain yang membuat pendegar merasa simpatik dengan ceramahnya.[xxx]
4.    Metode Cerita
Bercerita merupakan salah satu metode untuk mendidik anak didik. Berbagai nilai-nilai moral, pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita. Cerita ilmiah maupun fiksi yang disukai anak didik dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan. Cerita dengan tokoh yang baik, kharismatik, dan heroik menjadi alat untuk mengembangkan sikap yang baik kepada anak didik. Sebaliknya tokoh yang jelek, jahat dan kejam mendidik anak untuk tidak berperilaku seperti itu karena pada umumnya tokoh jahat di akhir cerita akan kalah dan sengsara. Cerita tentang kepahlawanan, heroisme dan pemikiran yang cerdas dari para pahlawan dapat mendidik anak agar kelak memiliki jiwa kepahlawanan. Jadi cerita amat potensial untuk mendidik akhlak anak didik. Oleh karena itu, pendidik sebaiknya pandai bercerita.[xxxi]

Metode Pendidikan sebagai Islamic Character Building
Ada pendapat yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat ini umumnya datang dari Ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibn Sina, al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usahar (Muktasabah). Imam Ghazali misalnya mengatakan sebagai berikut:
لَوْ كَانَتِ الْأَخْلَاقُ لَاتَقْبَلُ التَّغَيُّرَ لَبَطَلِ الْوَصَايَا وَالْعَوَاعِظَ وَالتَّأْدِيْبَاتُ وَلِمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسِّنُوْاأَخْلَاقُكُمْ
Seandainya akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan “perbaikilah akhlak kamu sekalian”.[xxxii]
Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasulnya, hormat kepada ibu bapak, sayang kepada sesama makhluk Allah dan seterusnya. Sebaliknya keadaan sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai kegiatan tercela dan seterusnya. Ini menynjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina.
Keadaan pembinaan ini semakin terasa diperlukan terutama pada saat ini di mana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan di bidang IPTEK. Misalnya, orang akan dengan mudah berkomunikasi dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia ini, yang baik atau yang buruk, karena ada alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet, faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang menyuguhkan adegsn maksiat juga banyak. Demikian pula produk obat-obat terlarang, seperti minuman keras dn pola hidup materialistik dan hedonistik semakin menggejala. Semua ini jelas membutuhkan pembinaan akhlak.[xxxiii]
Perhatian Islam dalam pembinaan akhlak ini dapat dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan dari pada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang  baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah mengahasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin.[xxxiv]
Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi ruhaniah yang terdapat dalam diri manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak peran dan fungsi lembaga pendidikan dalam penerapan suatu metode pendidikan dalam kegiatan belajar mengajar.
Penerapan metode yang sistematis, dinamis, dan praktis, pada gilirannya dapat menjadi langkah primordial dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Metode dalam pendidikan berfungsi untuk memberikan motivasi yang berlipat ganda kepada anak didik. Bila metode diartikan sebagai “cara”, meka pengertian tersebut sangat sesuai dengan peran antara pendidik dengan anak didik, yang mana keduanya memiliki pengaruh yang besar dalam kelancaran proses pembelajaran. Metode pendidikan yang digunakan pendidik tentu akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi peningkatan semangat belajar anak didik dalam mencapai cita-citanya. Jika ini bisa diterapkan, metode pendidikan yang digunakan pasti berjalan maksimal.
Salah satu tujuan penggunaan metode pendidikan yang tepat adalah untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi dalam keberhasilan belajar anak didik sehingga terciptalah hubungan yang harmonis antara pendidik dan anak didik. Sebab, pendidik berperan penting dalam menerapkan metode yang tepat agar potensi anak didik dapat berkembang dengan cepat. Dengan demikian, pendidik benar-benar memahamin kedudukan metode sebagai alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.
Penggunaan dan penerapan metode sesungguhnya dimaksudkan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sehingga dambaan kualitas pendidikan yang diharapkan tidak hanya menjadi impian semata. Jadi dalam penerapan metode, yang paling penting yaitu memahami kondisi dan perkembangan anak didik dari awal sampai akhir pembelajaran. Dengan kata lain, dalam menerapkan sebuah metode harus juga dulihat pertumbuhan dan perkembangan pendidikan dalam sebuah lembaga sekolah.[xxxv]
Kesimpulan
Metode pendidikan akhlak yang dimaksud di sini adalah nilai suatu konsep yang digunakan sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau pelajar sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan bersosial pada saat melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan yang setinggi-tingginya.
Adapun macam-macam metode pendidikan akhlak antara lain: (1) metode pembiasaan, yang mana proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada; (2) metode keteladanan, yang merupakan proses pendidikan melalui  perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling); (3) metode mauidhah  hasanah, yaitu ucapan yang berisi  nasihat-nasihat yang baik dimana ia dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau menurut penafsiran, sehingga dapat membenarkan apa yang telah disampaikan; (4) metode bercerita, merupakan salah satu metode untuk mendidik anak didik, seperti nilai-nilai moral, pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita.
Penerapan dan penggunaan metode pendidikan sebagai islamic character building merupakan suatu cara atau alat yang sangat penting dalam melakukan pembinaan akhlak di sebuah lembaga sekolah, hal ini dikarenakan metode pendidikan tersebut memiliki beberapa fungsi dan tujuan pendidikan tertentu antara lain untuk mengoptimalkan proses pembelajaran; untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi dalam keberhasilan belajar anak didik; untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara pendidik dan anak didik; untuk menjadikan potensi anak didik dapat berkembang dengan cepat;untuk meningkatan semangat belajar anak didik dalam mencapai cita-citanya; untuk memberikan motivasi yang berlipat ganda kepada anak didik.


End Note

[i] Ramli, Hs, Dkk, “Memahami Konsep Dasar Islam, (Semarang: UPT MKU UNNES, 2003), hlm. 143.
[ii] Nur Uhbiyati, dan H. Abu Ahmadi, “Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm.31.
[iii] Muzayyin Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 89.
[iv] Agus Wibowo, “Pendidikan Karakter (Strategi membangun Karakter Bangsa berperadaban), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 17.
[v] Ebta Setiawan, “KBBI-Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Off line Versi 1,.5)”, Freewere, 2010.
[vi] Achmadi, “Islam sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 113.
[vii] Agus Wibowo, ibid., hlm. 17.
[viii] Muhammad Takdir Ilahi, “Revitalisasi Pendidikan berbasis Moral”, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012), hlm. 30.
[ix] Muhammad Takdir Ilahi, op., cit., hlm. 25-26.
[x] Agus Wibowo, op., cit., hlm. 27.
[xi] Ebta Setiawan, op., cit.,
[xii] Muchson dan Samsuri, “Dasar-dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 1.
[xiii] Nur Hidayat, “Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 8.
[xiv] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 11.
[xv] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 14.
[xvi] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 17.
[xvii] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 19.
[xviii] Al-Qurtubi, “Tafsir al-Qurtubi”, Juz VIII, (Qairo: Dar al-Sya’bi, 1913 M), 6706.
[xix] Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi, “Dalil al-Fatihin”, Juz III, (Mesir: Mustafa al-Babi’ al-Halabi, 1391 H/ 1971), hlm.76.
[xx] Muhammad Yusuf Musa, “Falsafah Akhlaq Fi-al-Islam Wa-Silatuha Bi-al-Falsafah al-Igriqiyyah”, (Qairo: Muassasah al-Khanji, 1963 M), hlm. 81.
[xxi] Abu Bakar Jabir al-Jaziri, “Minhaj al-Muslim”, (Madinah: Dar Umar bin Khattab, 1396 H/ 1976 M), hlm. 154.
[xxii] Al-Ghazali, “Ihya ‘Ulumi al-Din”, (Bayrut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 52.
[xxiii] Masnur Muslih, “Pendidikan Karakter (menjawab tantangan krisis multidimensi)”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm. 67.
[xxiv] Abudin Nata, “Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia”, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 134-135.
[xxv] Muhibbin Syah,Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123.
[xxvi] Ulil Amri Syafri,Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 137-138.
[xxvii] Muhibbin Syah, op., cit., hlm. 118.
[xxviii] Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibany,Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 420.
[xxix] Ali Mustafa Yaqub, “Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Pejaten Barat : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 122.
[xxx] Wahidin Saputra,Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: Raja Grafindo Psd, 2012), hlm.253.
[xxxi] Slamet Suyanto, Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta : Hikayat Publishing, 2008), hlm. 46.
[xxxii] Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulum al-Din, Juz. III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 54.
[xxxiii] Abudin Nata, op., cit., hlm. 134-135.
[xxxiv] Muhammad al-Ghazali, “Akhlak Seorang Muslim, (terj.) Moh. Rifa’i, dari judul asli Khuluk al-Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1993), cet. IV, hlm. 13.
[xxxv] Muhammad Takdir Ilahi, op., cit., hlm. 54-55.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar