Pendidikan Akhlak
(Metode
Pendidikan Akhlak sebagai Islamic Character Building)
Oleh :
Imam
Syafi’i
(2052115026)
(Mahasiswa
PASCASARJANA STAIN Pekalongan)
Abstrac
Pembinaan akhlak merupakan
tumpuan perhatian pertama dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari salah satu
misi kerasulan Nabi Muhammad SAW. yang utama adalah untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia. Dalam salah satu haditsnya beliau menegaskan innama bu’itstu
liutammima makarim al-akhlaq (HR Ahmad), yang artinya hanya saja aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Berdasarkan
analisis yang didukung dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits, kita dapat
mengatakan bahwa Islam sangat memberi perhatian yang besar terhadap pembinaan
akhlak yang menunjukkan bahwa pembinaan akhlak yang ditempuh Islam adalah
menggunakan cara atau sistem yang integrated, yaitu sistem yang
menggunakan berbagai sarana peribadatan dan lainnya secara simultan untuk
diarahkan pada pembinaan akhlak.
Pembinaan
akhlak secara efektik dapat dilakuakn dengan memperhatikan faktor kejiwaan
sasaran yang akan dibina. Untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam
berbagai bentuk metode, seperti metode pembiasaan, metode keteladanan, metode mauidhoh
hasanah dan metode cerita.
تعزيز الأخلاق هي أساس الشاغل الأول في الإسلام. يمكن أن ينظر إليه من واحدة من المهمة الرسولية للنبي محمد. الشيء الرئيسي هو تعزيز الطابع النبيل. في أحد الأحاديث وقال انه يؤكد: إنما بعثت لأتمم مكارم
الأخلاق (رواه أحمد), وهو ما يعني انها مجرد أنني
كنت أرسلت إلى الطابع النبيل الكمال.
استنادا إلى تحليل بدعم حجج
آل القرآن و آل الحديث،
نستطيع أن نقول أن الإسلام يعطي اهتماما كبيرا لتنمية الأخلاق مما يدل على أن التوجيه
المعنوي للإسلام يؤخذ باستخدام طريقة أو نظام متكامل،
واستخدامات النظام مختلف أماكن أخرى للعبادة وجهت
في وقت واحد في الأخلاق
تعزيز.
ويمكن أن يتم ذلك على
نحو فعال الأخلاق التدريب فيما يتعلق بعوامل نفسية سيتم عزز الهدف. ليمكن عرضها تعاليم الأخلاقية في مجموعة متنوعة من الطرق، مثل أساليب التعود،
طريقة مثالية، وطريقة, وَموْعضة الحسنة وأساليب القصة.
Fostering morality is the foundation of the
first concern in Islam. It can be
seen from one of the apostolic mission of
the Prophet Muhammad. the main thing is to enhance noble character. In one hadith he
affirms innama bu'itstu li utammima Makarim
al-akhlaq (Ahmad),
which means it's just that I was sent to perfect noble character.
Based on the analysis
supported the arguments of Al-Quran and al-Hadith,
we can say
that Islam gives great
attention to development of morals
which indicates that the moral guidance of Islam
is taken using a
method or system that
is integrated, the system uses various other
places of worship and simultaneously directed at fostering morals.
Morals coaching can effectively be done with regard to
psychological factors target will
be fostered. To the moral teachings can be presented in a variety of methods, such
as methods of habituation, exemplary
method, the method mauidhoh hasanah and
methods of the story.
Kata kunci :
Metode, Pendidikan, dan Akhlak.
Dalam hidup ini ada
dua nilai yang menentukan perbuatan manusia yaitu nilai baik dan buruk (good
and bad), betul dan salah (true and false). Penilaian ini berlaku
dalam semua lapangan kehidupan manusia apakah yang dimaksudkan dengan baik dan
buruk, betul dan salah, benar dan palsu itu? Apakah alat pengukur yang
menentukan sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, betul atau salah, benar atau
palsu? Persoalan-persoalan inilah yang akan dijawab oleh ilmu akhlak.[i]
Nilai-nilai akhlak
tidak akan tampak dan tidak akan ada hasilnya dalam suatu masyarakat, bahkan
tidak dapat mencapai sasarannya kecuali bila ada batasan-batasan mengenai nilai
atau arti kehidupan dunia bagi masyarakat. Secara garis besar, pendidikan
akhlak ingin mewujudkan masyarakat yang senantiasa berjalan di atas kebenaran.
Masyarakat yang konsisten dengan nilai-nilai keadilan, kebaikan dan musyawarah.
Masalah moralitas di kalangan pelajar dewasa ini
merupakan salah satu masalah pendidikan yang harus mendapatkan perhatian semua
pihak. Berbagai perubahan yang terjadi, mulai dari tata pergaulan, gaya hidup,
bahkan hingga pandangan-pandangan yang mendasar tentang standar perilaku
merupakan konsekuensi dari perkemabangan yang terjadi dalam skala global umat
manusia di dunia. Arus globalisasi informasi lintas geografi dan budaya semakin
deras terjadi saat ini, mau tidak mau menimbulkan dampak tersendiri yang tidak
selalu positif bagi kehidupan remaja.[ii]
Pengertian
Metode, Pendidikan, Akhlak dan Character Building
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengajarkan sesuatu.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan.[iii] Melalui
metode ini, kemudian akan diperoleh suatu pedoman dalam melanjutkan proses
kependidikan. Metode mengandung implikasi bahwa proses penerapannya harus
dilakukan secara konsisten dan sistematis, agar hasil yang ingin dicapai
benar-benar maksimal sesuai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
Secara etimologi, istilah pendidikan berasal dari kata “didik”
dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “kan” mengandung arti
perbuatan (hal, cara dan sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal
dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie, yang berarti bimbingan yang
diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dengan education, yang berarti pengembangan atau bimbingan.
Dalam bahasa Arab istilah pendidikan ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah,
yang berarti pendidikan.[iv]
Kemudian secara terminologi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan, proses, cara, dan perbuatan mendidik.[v]
Sedangkan pengertian pendidikan secara umum mengacu pada dua sumber
pendidikan Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits yang memuat kata-kata rabba dari
kata tarbiyah, ‘alama, kata kerja dari ta’lim, dan addaba
dari kata kerja ta’dib.[vi]
Ketiga istilah itu mengandung makna amat mendalam karena pendidikan adalah tindakan
yang dilakukan secara sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah
serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan
kamil).
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup
tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun kekuatan kodrat
yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota
masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya.[vii]
Menurut Prof. Dr. Omar Muhammad al-Touny al-Syaebani, bahwa pendidikan
yang bernapaskan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam
kehidupan pribadinya atau dalam kehidupan masyarakat. Selain itu pendidikan
juga merupakan upaya pengembangan proses pembelajaran yang berlangsung tanpa
henti dan berjalan sampai akhir hidup manusia.[viii]
Pendidikan yang dimaksud di sini yaitu nilai suatu konsep yang digunakan
sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang pencari ilmu atau
pelajar sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan bersosial pada saat
melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan yang
setinggi-tingginya.
Pendidikan adalah sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi
manusia, baik menyangkut aspek ruhaniah dan jasmaniah. Tidak heran bila suatu
kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan jiwa manusia,
baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses ke arah tujuan akhir
perkembangan kepribadian manusia.[ix] Dari
pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan lebih mengacu pada
pembinaan tingkah laku agar mampu meraih kesuksesan dalam kehidupan
sehari-hari.
Kemudian kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa
Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan.
Kata akhlaq merupakan jama’ taksir dari kata khuluq, yang sering
juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama. Secara
etimologi, definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai,
kebiasaan, watak, peradaban yang baik atau agama.[x] Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia akhlak diartikan sebagai moral, budi pekerti, atau
susila, kelakuan.[xi]
Sebagaimana pengertian akhlak yang telah dinukil oleh Muchson dan
Samsuri, bahwa Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata
moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia
dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan
ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.[xii] Jadi
secara terminologi, akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa
manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan apabila dibutuhkan, tanpa
memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan
dorongan dari luar.
Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang
bersinonim dengan akhlak, yaitu istilah etika, moral dan susila.[xiii]
Etika adalah ilmu tentang tingkah laku manusia yang berkenaan dengan ketentuan
tentang kewajiban yang menyangkut masalah kebenaran kesalahan, atau keputusan,
serta ketentuan tentang nilai yang menyangkut kebaikan maupun keburukan.[xiv] Moral
adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas
manusia dengan nilai ketentuan baik atau buruk, benar atau salah.[xv] Pengertian
dari susila adalah sopan, beradab, baik budi bahasanaya. Istilah tersebut
hampir sama dengan moral, yaitu pedoman untuk membimbing orang agar berjalan
dengan baik juga berdasarkan pada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat
serta mengacu kepada sesuatu yang dipandang baik oleh masyarakat.[xvi]
Akhlak yang dimaksud di sini ialah akhlak atau karakter yang terbentuk
atas dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga mampu tertanam
di dalam jiwa para pencari ilmu. Dengan demikian, posisi akhlak, etika, moral
dan susila sangat dibutuhkan yaitu dalam rangka menjabarkan dan menerapkan
ketentuan akhlak yang terdapat dalam Alquran dan Hadits.[xvii]
Sedangkan definisinya, dapat dilihat beberapa pendapat dari pakar ilmu
akhlaq, antara lain:
1.
Al-Qurthubi mengatakan:
Perbuatan yang bersumber dari diri manusia yang
selalu dilakukan, maka itulah yang disebut akhlaq, karena perbuatan tersebut
bersumber dari kejadiannya.[xviii]
2.
Muhammad bin ‘Ilan
al-Sadiqi mengatakan:
Akhlaq adalah suatu pembawaan yang tertanam dalam
diri, yang dapat mendorong (seseorang) berbuat baik dengan gampang.[xix]
3.
Ibnu Maskawih mengatakan:
Akhlak adalah kondisi jiwa yang selalu mendorong (manusia)
berbuat sesuatu, tanpa ia memikirkan (terlalu lama).[xx]
4.
Abu Bakar Jabir al-Jaziri
mengatakan:
Khlak adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam
diri manusia, yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk, terpuji dan
tercela.[xxi]
5.
Imam Ghazali mengatakan:
Akhlaq adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa
(manusia), yang dapat melahirkan suatu perbuatan yang gampang dilakukan; tenpa
melalui maksud untuk memikirkan (lebih lama). Maka jika sifat tersebut
melahirkan suatu tindakan terpuji menurut ketentuan rasio dan norma agama,
dinamakn akhlaq baik. Tetapi manakala ia melahirkan tindakan buruk, maka
dinamakan akhlak buruk.[xxii]
Sedangkan pendidikan karakter adalah
pendidikan budi pekerti yang dijadikan sebagai pendidikan nilai moralitas
manusia yang disadari dan dilakukan dalam tindakan nyata.[xxiii]
Dengan demikian, pembentukan akhlak dapat diartikan sebagai usaha
sungguh-sungguh dalam rangka membentuk anak dengan menggunakan sarana
pendidikan dan pembinaan yang terprogarm dengan baik dan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan konsisten. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan
asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan
sendirinya. Potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia, termasuk didalamnya
akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, kata hati, hati nurani dan intuisi
dibina secara optimal dengan cara pendekatan yang tepat.[xxiv]
Metode-Metode Pendidikan Akhlak
1. Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah proses
pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang
telah ada. Pembiasaan selain menggunakan perintah, suri tauladan, dan
pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa
memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih tepat dan
positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual).
Selain itu, arti tepat dan positif ialah selaras dengan norma dan tata nilai
moral yang berlaku, baik yang bersifat religius maupun tradisional dan
kultural.[xxv]
Kemudian, ayat-ayat dalam
al-Qur’an yang menekankan pentingnya pembiasaan bisa terlihat pada teks “amilus
shalihat”. Teks ini diungkap dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali. Bisa
diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan” atau
“membiasakan beramal saleh”. Jumlah term “amilus shalihat” yang banyak
tersebut memperlihatkan bahwa pentingnya pembiasaan suatu amal kebaikan dalam
proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam.[xxvi]
Dalam teori perkembangan anak didik, dikenal ada teori konvergensi, di mana
pribadi dapat dibentuk oleh lingkungannya dengan mengembangkan potensi dasar
yang ada padanya. Potensi dasar ini dapat menjadi penentu tingkah laku (melalui
proses). Oleh karena itu, potensi dasar harus selalu diarahkan agar tujuan
pendidikan tercapai dengan baik. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan potensi dasar tersebut adalah melalui kebiasaan yang baik.
Menurut Burghardt, sebagaimana
dikutip oleh Muhibbin Syah dalam bukunya Psikologi Pendidikan, kebiasaan itu
timbul karena proses penyusutan kecenderungan respon dengan menggunakan
stimulasi yang berulang-ulang, dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi
pengurangan prilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan atau pengurangan inilah muncul suatu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.[xxvii]
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan dengan metode
pembiasaan ini adalah termasuk prinsip utama dalam pendidikan dan merupakan metode
paling efektif dalam pembentukan aqidah dan pelurusan akhlak anak didik,
sehingga tujuan daripada diadakannya pembelajaran dengan metode pembiasaan ini
adalah untuk melatih serta membiasakan anak didik secara konsisten dan kontinyu
dengan sebuah tujuan, sehingga benar-benar tertanam dalam diri anak didik dan
akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan di kemudian hari.
2. Metode Keteladanan
Metode keteladanan
merupaka suatu cara atau jalan yang ditempuh seseorang dalam
proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru (modeling).
Namun
yang dikehendaki dengan metode keteladanan dijadikan sebagai alat pendidikan Islam dipandang keteladanan merupakan bentuk prilaku
individu yang
bertanggung
jawab yang bertumpu
pada praktek secara
langsung. Dengan
menggunakan
metode praktek secara langsung
akan
memberikan hasil
yang efektif
dan maksimal.
Keteladanan dijadikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan pendidikan Islam karena hakekat
pendidikan
Islam
ialah
mencapai keredhaan kepada
Allah dan mengangkat tahap akhlak dalam bermasyarakat
berdasarkan pada agama serta membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang dibuat oleh
Allah SWT. untuk manusia.[xxviii]
3. Metode Mau’idhah Hasanah
Mau’idhah hasanah
adalah
ucapan yang
berisi
nasihat-nasihat
yang baik
dimana
ia
dapat bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya,
atau menurut penafsiran,
mau’idhah hasanah adalah
argument-argumen yang memuaskan
sehingga
pihak yang mendengarkan dapat
membenarkan apa
yang disampaikan oleh pembawa argumen itu.[xxix]
Metode mau’idhah hasanah atau
ceramah adalah suatu teknik atau metode dawah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara
oleh seorang da’i atau mubaligh pada suatu aktifitas dakwah, ceramah dapat
pula bersifat
kampanye, berceramah (retorika),
khutbah, sambutan, mengajar, dan sebagainya.
Metode ceramah
juga merupakan
suatu
teknik dakwah yang
banyak diwarnai oleh ciri-ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i
pada suatu aktifitas
dakwah.
Metode
ini
harus
diimbangi
dengan kepandaian khusus
tentang retorika,
diskusi, factor-faktor lain yang
membuat pendegar merasa simpatik dengan ceramahnya.[xxx]
4. Metode Cerita
Bercerita merupakan salah satu
metode untuk mendidik anak didik. Berbagai nilai-nilai moral, pengetahuan, dan
sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita. Cerita ilmiah maupun
fiksi yang disukai anak didik dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan.
Cerita dengan tokoh yang baik, kharismatik, dan heroik menjadi alat untuk
mengembangkan sikap yang baik kepada anak didik. Sebaliknya tokoh yang jelek,
jahat dan kejam mendidik anak untuk tidak berperilaku seperti itu karena pada
umumnya tokoh jahat di akhir cerita akan kalah dan sengsara. Cerita tentang
kepahlawanan, heroisme dan pemikiran yang cerdas dari para pahlawan dapat
mendidik anak agar kelak memiliki jiwa kepahlawanan. Jadi cerita amat potensial
untuk mendidik akhlak anak didik. Oleh karena itu, pendidik sebaiknya pandai
bercerita.[xxxi]
Metode Pendidikan sebagai Islamic Character Building
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
akhlak adalah hasil dari pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras
dan sungguh-sungguh. Kelompok yang mendukung pendapat ini umumnya datang dari
Ulama-ulama Islam yang cenderung pada akhlak. Ibnu Maskawaih, Ibn Sina,
al-Ghazali dan lain-lain termasuk kepada kelompok yang mengatakan bahwa akhlak
adalah hasil usahar (Muktasabah). Imam Ghazali misalnya mengatakan
sebagai berikut:
لَوْ كَانَتِ الْأَخْلَاقُ لَاتَقْبَلُ
التَّغَيُّرَ لَبَطَلِ الْوَصَايَا وَالْعَوَاعِظَ وَالتَّأْدِيْبَاتُ وَلِمَا
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَسِّنُوْاأَخْلَاقُكُمْ
“Seandainya
akhlak itu tidak dapat menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat
dan pendidikan dan tidak ada pula fungsinya hadits nabi yang mengatakan
“perbaikilah akhlak kamu sekalian”.[xxxii]
Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha
pembinaan akhlak melalui berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam
metode terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina,
dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi
muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasulnya, hormat kepada ibu
bapak, sayang kepada sesama makhluk Allah dan seterusnya. Sebaliknya keadaan
sebaliknya juga menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibina akhlaknya, atau
dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, ternyata menjadi anak-anak
yang nakal, mengganggu masyarakat, melakukan berbagai kegiatan tercela dan
seterusnya. Ini menynjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina.
Keadaan pembinaan ini semakin terasa
diperlukan terutama pada saat ini di mana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai
dampak dari kemajuan di bidang IPTEK. Misalnya, orang akan dengan mudah
berkomunikasi dengan mudah berkomunikasi dengan apapun yang ada di dunia ini,
yang baik atau yang buruk, karena ada alat telekomunikasi. Peristiwa yang baik
atau yang buruk dengan mudah dapat dilihat melalui pesawat televisi, internet,
faximile, dan seterusnya. Film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang
menyuguhkan adegsn maksiat juga banyak. Demikian pula produk obat-obat
terlarang, seperti minuman keras dn pola hidup materialistik dan hedonistik
semakin menggejala. Semua ini jelas membutuhkan pembinaan akhlak.[xxxiii]
Perhatian Islam dalam pembinaan akhlak
ini dapat dilihat dari perhatian Islam terhadap pembinaan jiwa yang harus
didahulukan dari pada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan
yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah mengahasilkan kebaikan
dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan manusia, lahir dan batin.[xxxiv]
Dari uraian di atas kita dapat
mengatakan bahwa akhlak merupakan hasil usaha dalam mendidik dan melatih dengan
sungguh-sungguh terhadap berbagai potensi ruhaniah yang terdapat dalam diri
manusia. Jika program pendidikan dan pembinaan akhlak itu dirancang dengan
baik, sistematik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan
menghasilkan anak-anak atau orang-orang yang baik akhlaknya. Di sinilah letak
peran dan fungsi lembaga pendidikan dalam penerapan suatu metode pendidikan
dalam kegiatan belajar mengajar.
Penerapan metode yang sistematis,
dinamis, dan praktis, pada gilirannya dapat menjadi langkah primordial dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Metode dalam pendidikan berfungsi untuk
memberikan motivasi yang berlipat ganda kepada anak didik. Bila metode
diartikan sebagai “cara”, meka pengertian tersebut sangat sesuai dengan peran
antara pendidik dengan anak didik, yang mana keduanya memiliki pengaruh yang
besar dalam kelancaran proses pembelajaran. Metode pendidikan yang digunakan
pendidik tentu akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi peningkatan
semangat belajar anak didik dalam mencapai cita-citanya. Jika ini bisa
diterapkan, metode pendidikan yang digunakan pasti berjalan maksimal.
Salah satu tujuan penggunaan metode
pendidikan yang tepat adalah untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi dalam
keberhasilan belajar anak didik sehingga terciptalah hubungan yang harmonis
antara pendidik dan anak didik. Sebab, pendidik berperan penting dalam
menerapkan metode yang tepat agar potensi anak didik dapat berkembang dengan
cepat. Dengan demikian, pendidik benar-benar memahamin kedudukan metode sebagai
alat motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar.
Penggunaan dan penerapan metode
sesungguhnya dimaksudkan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran sehingga
dambaan kualitas pendidikan yang diharapkan tidak hanya menjadi impian semata.
Jadi dalam penerapan metode, yang paling penting yaitu memahami kondisi dan
perkembangan anak didik dari awal sampai akhir pembelajaran. Dengan kata lain,
dalam menerapkan sebuah metode harus juga dulihat pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan dalam sebuah lembaga sekolah.[xxxv]
Kesimpulan
Metode pendidikan akhlak yang dimaksud di sini adalah nilai suatu konsep
yang digunakan sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku seorang
pencari ilmu atau pelajar sehingga mampu mendewasakan dirinya dalam hidup dan
bersosial pada saat melakukan pencarian suatu ilmu demi mendapatkan kemuliaan
yang setinggi-tingginya.
Adapun macam-macam metode pendidikan akhlak antara lain: (1) metode
pembiasaan, yang mana proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau
perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada; (2) metode keteladanan, yang merupakan proses pendidikan melalui
perbuatan atau tingkah laku yang patut ditiru
(modeling); (3) metode mau’idhah
hasanah, yaitu ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik dimana ia dapat
bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya,
atau menurut penafsiran,
sehingga dapat membenarkan apa yang telah disampaikan; (4) metode bercerita,
merupakan salah satu metode untuk mendidik anak didik, seperti nilai-nilai
moral, pengetahuan, dan sejarah dapat disampaikan dengan baik melalui cerita.
Penerapan dan penggunaan metode pendidikan sebagai islamic
character building merupakan suatu cara atau alat yang sangat penting dalam
melakukan pembinaan akhlak di sebuah lembaga sekolah, hal ini dikarenakan
metode pendidikan tersebut memiliki beberapa fungsi dan tujuan pendidikan
tertentu antara lain untuk mengoptimalkan proses pembelajaran; untuk memperoleh
efektifitas dan efisiensi dalam keberhasilan belajar anak didik; untuk
menciptakan hubungan yang harmonis antara pendidik dan anak didik; untuk
menjadikan potensi anak didik dapat berkembang dengan cepat;untuk meningkatan
semangat belajar anak didik dalam mencapai cita-citanya; untuk memberikan
motivasi yang berlipat ganda kepada anak didik.
[i] Ramli, Hs, Dkk, “Memahami Konsep Dasar Islam”,
(Semarang: UPT MKU UNNES, 2003), hlm. 143.
[ii] Nur Uhbiyati, dan H. Abu Ahmadi, “Ilmu Pendidikan
Islam”, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998), hlm.31.
[iii] Muzayyin Arifin, “Filsafat Pendidikan Islam”,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 89.
[iv] Agus Wibowo, “Pendidikan Karakter (Strategi
membangun Karakter Bangsa berperadaban), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hlm. 17.
[v] Ebta Setiawan, “KBBI-Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI Off line Versi 1,.5)”, Freewere, 2010.
[vi] Achmadi, “Islam sebagai Paradigma Pendidikan Islam”,
(Yogyakarta: Aditya Media, 1992), hlm. 113.
[vii] Agus Wibowo, ibid., hlm. 17.
[viii] Muhammad Takdir Ilahi, “Revitalisasi Pendidikan
berbasis Moral”, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012), hlm. 30.
[ix] Muhammad Takdir Ilahi, op., cit., hlm. 25-26.
[x] Agus Wibowo, op., cit., hlm. 27.
[xi] Ebta Setiawan, op., cit., …
[xii] Muchson dan Samsuri, “Dasar-dasar Pendidikan Moral”,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 1.
[xiii] Nur Hidayat, “Akhlak Tasawuf”, (Yogyakarta:
Penerbit Ombak, 2013), hlm. 8.
[xiv] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 11.
[xv] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 14.
[xvi] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 17.
[xvii] Nur Hidayat, op., cit., hlm. 19.
[xviii] Al-Qurtubi, “Tafsir al-Qurtubi”, Juz VIII,
(Qairo: Dar al-Sya’bi, 1913 M), 6706.
[xix] Muhammad bin ‘Ilan al-Sadiqi, “Dalil al-Fatihin”, Juz
III, (Mesir: Mustafa al-Babi’ al-Halabi, 1391 H/ 1971), hlm.76.
[xx] Muhammad Yusuf Musa, “Falsafah Akhlaq Fi-al-Islam
Wa-Silatuha Bi-al-Falsafah al-Igriqiyyah”, (Qairo: Muassasah al-Khanji,
1963 M), hlm. 81.
[xxi] Abu Bakar Jabir al-Jaziri, “Minhaj al-Muslim”, (Madinah:
Dar Umar bin Khattab, 1396 H/ 1976 M), hlm. 154.
[xxii] Al-Ghazali, “Ihya ‘Ulumi al-Din”, (Bayrut: Dar
al-Fikr, tt), hlm. 52.
[xxiii] Masnur Muslih, “Pendidikan Karakter (menjawab
tantangan krisis multidimensi)”, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011), hlm. 67.
[xxiv] Abudin Nata, “Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia”,
(Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 134-135.
[xxv] Muhibbin Syah, “Psikologi Pendidikan”, (Bandung
: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 123.
[xxvi] Ulil Amri Syafri, “Pendidikan
Karakter Berbasis Al
Qur’an”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 137-138.
[xxvii] Muhibbin Syah, op., cit., hlm.
118.
[xxviii] Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibany, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 420.
[xxix] Ali Mustafa Yaqub,
“Sejarah dan Metode Dakwah
Nabi”,
(Pejaten Barat : Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 122.
[xxxi] Slamet Suyanto, Strategi Pendidikan Anak, (Yogyakarta
: Hikayat Publishing, 2008), hlm. 46.
[xxxii] Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulum al-Din, Juz. III,
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 54.
[xxxiii] Abudin Nata, op., cit., hlm. 134-135.
[xxxiv] Muhammad al-Ghazali, “Akhlak Seorang Muslim”,
(terj.) Moh. Rifa’i, dari judul asli Khuluk al-Muslim, (Semarang:
Wicaksana, 1993), cet. IV, hlm. 13.
[xxxv] Muhammad Takdir Ilahi, op., cit., hlm. 54-55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar