INTERKONEKSI
STUDI HADITS DAN ASTRONOMI
(Studi Dasar Pijak Teoritis)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(2052115026)
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Pendidikan Agama Islam)
Abstract
Hadits merupakan suatu sumber pokok ajaran Islam.
Oleh karena itu hadits tidak hanya menjadi bidang kajian ekslisif ahli-ahli
hadits, namun juga memberikan kontribusi substansial. Interkoneksi studi hadits
dan astronomi tidak hanya penting bagi pengembangan studi hadits, tetapi juga
memberikan kontribusi penting kepada ushul fiqih sebagai metode pemahaman
hadits-hadits terkait hukum.
Dalam interkoneksi studi hadits dan astronomi yang
disini adalah penggunaan dalam pengertian sempit yaitu sebagai practical astronomy.
Kajian yang dimaksudkan adalah suatu bagian dari astronomi yang mempelajari
gerak dan posisi geometris benda-benda langit tertentu seperti matahari, bulan
dan bumi guna menentukan arah tempat dan waktu di atas bumi.
Pendekatan integrasi dan interkoneksi memiliki dua
sisi terpisah yaitu sisi integrasi dan sisi interkoneksi. Dalam integrasi
terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsisp-prinsip yang menyangkut
paradigma, teori, metode dan prosedur-prosedur tehnis dalam ilmu yang
bersangkutan.
Kata Kunci: Interkoneksi, Hadits, dan Astronomi
Beberapa teori yang menjadi landasan pijakan
meliputi dua aspek yang berbeda yaitu; Pertama, teori yang menyangkut
otentikasi hadits seperti penentuan shahih atau dhaifnya hadits. Kedua,
teori yang menyangkut visibilitas hilal guna meramalkan kapan kiranya Nabi saw
bersama para Sahabatnya dapat merukyat hilal.[1]
Sedangkan pendekatan interkoneksi dapat dirumuskan
sebagai proses pengkajian dalam suatu bidang ilmu dengan memanfaatkan data dan
analisis dalam ilmu lain terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu
bersangkutan sendiri dalam rangka komplementasi, kofirmasi, kontribusi dan
komparasi.[2]
Beberapa Landasan Teoritis
A. Sanad Hadits dalam Keserjanaan Islam dan Orientalisme
Dalam metodologi hadits umat Islam,
unsur sanad merupakan tonggak semua analisis hadits. Analisis matan tidak dapat
dilakukan sebelum analisis sanad dapat membuktikan otentisitas sanad hadits.
Setelah dibuktikan bahwa sanad sebuah hadits adalah shahih baru analisis matan
dilakukan.[3]
Masalah sanad merupakan titik singgung
tolak belakang pandangan tentang hadits antara tradisi keilmuan Islam dan
kesarjanaan Barat sebagai diwakili oleh beberapa Orientalis. Yang terakhir ini
melakukan pengkajian tentang hadits dalam konteks penyelidikan tentang asal
mula hukum Islam, dan teori mereka tentang awal mula munculnya hadits adalah
konsekuensi dari teori tentang awal mula kelahiran hukum Islam.
Ignaz Goldziher, menyatakan bahwa hukum
Islam tidak lahir dari dan tidak merupakan penerapan terhadap sumber pokok
berupa al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang mengimplikasikan bahwa Sunnah Nabi
saw sudah ada sejak masa yang amat dini. Menurutnya hukum Islam berawal dari
kayu rakyu yang memiliki peran penting pada abad pertama/ ke tujuh sebagai
akibat dari kurangnya bahan-bahan hukum di dalam al-Qur’an dan ketidakcukupan
presenden-presenden historis. Penggunaan rakyu yang arbitrer dan tidak
definitif menimbulkan reaksi penentangan dengan cara mengutip tradisi-tradisi
palsu, akan tetapi tradisi palsu ini sesungguhnya tidak tidak lain dari rakyu
juga yang dibungkus dengan baju hadits.[4]
Harald Motzki mencatat tentang
pandangan sarjana asal Austria ini dengan komentar bahwa sikap kritis yang
berlebihan dan sesungguhnya tergesa-tergesa dari Goldziher terhadap informasi
sejarah menyangkut zaman Nabi saw dan Sahabat dalam sumber-sumber biografis
menyebabkannya tidak dapat menyatakan apa-apa tentang perkembangan hukum Islam
pada abad pertama Hijriah. Oleh karena itu pendapatnya tentang awal mula hukum
Islam tampak spekulatif dan hanya sedikit hal yang dapat dikatakannya tentang
parohan pertama abad ke-2 H. Oleh karena itu tidak heran apabila ia mencari
awal mula perkembangan hukum Islam pada parohan kedua abad ke-2 H, yakni di
masa Abbasiah.[5]
Harald Motzki, pengkritik Schacht
paling tajam dan paling argumentatif, sebelum melakukan analisis lebih mendalam
untuk membuktikan keshahihan hadits dan otentisitas sanadnya secara umum,
memberikan beberapa catatan tentang kelemahan metode schacht, ia menegaskan
bahwa:
1.
Tidak semua teks yang
dibandingkan schacht merupakan elemen diskusi hukum yang mengharuskan
penyebutan semua hadits yang digunakan.
2.
Sejumlah kompilasi hadits
hanya merupakan seleksi tekstual.
3.
Muatan dari sumber-sumber
yang tersisa hanyalah sebagian saja dari keseluruhan stok yang sesungguhnya
ada.[6]
Terkait dengan hadits adalah sanad karena sanad
merupakan bagian dari hadits. Bertolak belakang dengan sarjana-sarjana Muslim
yang berdasarkan pernyataan Ibn Sirn yang dikutip di muka berpandangan bahwa
sanad telah digunakan sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya khalifah Usman tahun
35/ 656).[7]
Metode yang digunakan Motzki disebutnya sebagai
analisis kriteria otentisitas (Criteria of Autenticity), yaitu analisis
untuk menemukan unsur-unsur yang menjadi dasar bagi penentuan apakah sumber dan
materi yang dilaporkan adalah otentik atau palsu. Analisis kriteria otentisitas
ala Motzki ini lebih ditujukan kepada bentuk daripada kepada isi teks al-Musannaf,
misalnya; analisis tentang distribusi teks di kalangan sumber-sumber teks
itu. Perbandingan rakyu dan hadits, nisbah riwayat yang berasal dari Nabi saw,
Sahabat dan Tabi’in, penggunaan dan kualitas rangkaian rawi, terminologi
periwayatan, keberadaan pendapat pribadi. komentar-komentar berbeda dan
berlawanan terhadap teks, keberadaan periwayatan tak langsung bersama dengan
periwayatan langsung, ketidakpastian mengenai kata-kata yang digunakan sumber,
laporan tentang adanya perubahan pendapat tentang kontradiksi-kontradiksi,
tentang ketidakpastiansumber tentang suatu hukum dan lain-lain.[8]
Motzki menekankan bahwa sanad sesungguhnya secara
umum bukan suatu yang secara keseluruhan adalah fiktif dan merupakan hasil
rekayasa ceroboh dalam rangka proyeksi doktrin hukum kepada sumber-sumber lebih
tua. Penemuan Motzki menunjukkan bahwa rantai sanad adalah alami sealami
perjalanan perkembangan materi itu sendiri. Perlu diketahui bahwa penemuan
Motzki tidak mengeneralisasi bahwa semua sanad adalah otentik.[9]
B. Kriteria Otentitas Hadits
Penelitian hadits di lingkungan
kesarjanaan Islam meliputi penelitian tentang otentisitas sanad dan penelitian
tentang otentisitas matan. Oleh karena itu kriteria otentisitas hadits meliputi
kriteria otentisitas matan.
Para ahli hadits telah menyepakati
bahwa untuk dinyatakan shahih (otentik), suatu hadits harus memenuhi 5
kriteria, yaitu; 1. Sanadnya bersambung, 2. rawinya adil, 3. rawinya dhabit, 4.
bebas dari syuzuz (anomali) dan 5. Bebas dari ilat (cacat tersembunyi).[10]
Apabila kita mencermati penelitian
hadits di lingkungan para ahli hadits, maka kritik matan yang mereka lakukan
sesungguhnya lebih terfokus kepada kritik format matan dengan melihat apakah
matan terbalik, terkontaminasi dengan unsur sisipan, mendapat tambahan,
mengalami perubahan dan seterusnya. Di lain pihak fukaha dan ahli ushul fiqh
Hanafiah mengajukan suatu model kritik matan yang lebih tertuju pada substansi
makna dengan dasar epistemologi koherensi.[11]
Keterkaitan unsur kriteria formal
dengan macam-macam hadits terkait dengan unsur bebas dari pertengahan adalah
hadits maklub, hadits syaz, hadits mazid, dan hadits mutarib. Terkait dengan
unsur pencemaran adalah hadits mudraj. Terkait dengan unsur kekeliruan adalah
hadits musahaf dan hadits muharaf. Terkait dengan unsur kontradiksi dan
interpenetrasi hadits satu sama lain adalah hadits maklul (mualal). Perlu
dicatat bahwa menurut ahli-ahli hadits semua hadits ini adalah dhaif.[12]
C. Formula Laporan Hadits
Sering timbul pertanyaan tentang
laporan Sahabat seperti apa yang dapat dianggap sebagai hadits Nabawi dan bukan
qaul sahabi. Para ahli hadits dan ahli ushul fiqih telah membuat
rumusan-rumusan untuk menentukan apakah suatu laporan Sahabat itu adalah hadits
atau hanya pendapat sahabat belaka. Para ahli hadits dan ushul fiqih membuat
kategorisasi dengan melihat formula laporan yang digunakan para Sahabat.
Al-Ghazali (w. 505/1111) menyebutkan 5 formula untuk suatu laporan Sahabat
dapat dianggap sebagai hadits, yaitu:
1.
Sahabat menyatakan secara
tegas bahwa ia mendengar Nabi saw mengatakan sesuatu;
2.
Sahabat menyatakan bahwa Nabi
saw berkata;
3.
Sahabat menyatakan Nabi saw
memerintahkan atau melarang mereka melakukan sesuatu;
4.
Sahabat menyatakan mereka diperintah
atau dilarang melakukan sesuatu (tanpa menyebut otoritas yang
memerintahkan atau melarang);
Sahabat
menyatakan bahwa mereka pernah melakukan sesuatu di zaman Nabi atau
mereka menegaskan bahwa praktik tertentu adalah sunnah.[13]
[1]
Syamsul Anwar, “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 7.
[2] Ibid,
hlm. 2-3.
[3]
Dalam otentikasi hadits, suatu hadits dinyatakan shahih apabila terbukti bahwa
hadits itu shahih sanad dan shahih matannya. Penelitian keshahihan hadits
dimulai dengan penelitian sanad. Apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu
hadits adalah shahih, maka kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian matan.
Apabila sebaliknya, maka penelitian matan tidak perlu dilanjutkan karena hadits
itu tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu telah dinyatakan dhaif sekalipun
sesungguhnya matan itu baik sesuai dengan ajaran islam dan asas umum syari’ah.
[4] Ibid,
hlm. 9.
[5]
Motzki, “The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical
Schools (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2002) hlm. 11-12.
[6]
Schach: The Origin of Muhammadan Jurispundence (Oxford: Oxford
University Press, 1959).
[7] Op.,
Cit., Motzki, hlm 14.
[8] Op.,
Cit., hlm. 14.
[9] Op.,
Cit., Syamsul Anwar, hlm. 26.
[10]
Nuruddin, “Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits (Beirut: Daar al-Fikr
al-Mu’asiru”, (Damaskus Dar al-Fiqr, 1997), nlm 242-243.
[11]
Syamsul Anwar, “Manhaj Tausiq Mutun al-Hadits ‘Indi Usuliyyi al-Ahnaf”,
dalam al-Jami’ah Jurnal of Islamic Studies, Vol 65/VI/2000, hlm. 132-166.
[12] Op.,
Cit., Syamsul Anwar, hlm. 33.
[13]
Lihat masalah ini dalam kitab-kitab Ilmu Hadits dan Ushul Fiqih, misalnya;
al-Ghazali,“al-Mustafa min ilm al-Ushul (Beirut: Daar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1413 H), 104-105; Syuhudi Isamil, Kaidah-kaidah Kesahihan
Hadits (Jakarat: Bulan Bintang, 1988) hlm.65-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar