Sabtu, 27 Februari 2016

Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari


INTERKONEKSI STUDI HADITS DAN ASTRONOMI
(Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari)
Oleh:
Imam Syafi’i
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam)

Abstract
Hadits merupakan suatu sumber ajaran Islam. Oleh karena itu hadits tidak hanya menjadi bidang kajian ekslisif ahli-ahli hadits, namun juga memberikan kontribusi substansial. Interkoneksi studi hadits dan astronomi tidak hanya penting bagi pengembangan studi hadits, tetapi juga memberikan kontribusi penting kepada ushul fiqih sebagai metode pemahaman hadits-hadits terkait hukum.
Dalam interkoneksi studi hadits dan astronomi yang disini adalah penggunaan dalam pengertian sempit yaitu sebagai practical astronomy. Kajian yang dimaksudkan adalah suatu bagian dari astronomi yang mempelajari gerak dan posisi geometris benda-benda langit tertentu seperti matahari, bulan dan bumi guna menentukan arah tempat dan waktu di atas bumi.
Pendekatan integrasi dan interkoneksi memiliki dua sisi terpisah yaitu sisi integrasi dan sisi interkoneksi. Dalam integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsisp-prinsip yang menyangkut paradigma, teori, metode dan prosedur-prosedur tehnis dalam ilmu yang bersangkutan.

Kata Kunci: Interkoneksi, Hadits, dan Astronomi

Pada zaman Nabi saw pernah terjadi gerhana matahari dan peristiwa itu dilaporkan dalam banyak riwayat hadits yang ditakhrij oleh para ahli hadits. Hanya saja riwayat-riwayat hadits itu tidak mencatat tanggal dan hari terjadinya gerhana itu. Riwayat-riwayat tersebut tampaknya lebih terfokus pada aspek tuntunan ibadah saat terjadinya gerhana, yaitu shalat gerhana.
Masalah rukyat versus hisab telah sejak lama menjadi pertikaian ketika hendak memasuki bulan-bulan ibadah seperti Ramadhan, Idul Fitri, dan Dzulhijah. Terdapat hadits-hadits yang secara tegas memerintahkan agar dilakukan rukyat dan melarang memulai Ramadhan dan Idul Fitri sebelum melakukan rukyat. Namun rukyat itu sendiri tidak lepas dari berbagai kesulitan antara lain karena tidak bisa memberikan kepastian waktu sebelum H-1. Dilihat dari sudut manajemen waktu yang baik, keadaan seperti ini tidak dapat dihandalkan karena sebelum H-1 tidak bisa dibuat perencanaan jauh ke depan.
Beberapa teori yang menjadi landasan pijakan meliputi dua aspek yang berbeda yaitu; Pertama, teori yang menyangkut otentikasi hadits seperti penentuan shahih atau dhaifnya hadits. Kedua, teori yang menyangkut visibilitas hilal guna meramalkan kapan kiranya Nabi saw bersama para Sahabatnya dapat merukyat hilal.[1]

Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari
A.  Biografi
Nama lengkap; Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. lahir dari pasangan H. Abbas dan Hj. Maryam di Midai, Kepulauan Riau pada tahun 1956. Pendidikan dasar dijalani di kampung halaman (1962-1968). Pendidikan menengah di Tanjung Pinang (1969-1974). Pendidikan Tinggi di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang menjadi UIN) yaitu Sunan Kalijaga Yogyakarta: Sarjana Muda 1978, Sarjana 1981, S2 1991 dan APROSIA 2001. Tahun 1989 menikah dengan Dra. Suryani. Tahun 1989-1990 kuliah di Universitas Leiden, dan tahumn 1999 di Hartford, Connecticut, USA.
Sehari-hari bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sejak tahun 1983 hingga sekarang. Tahun 2004 diangkat sebagai guru besar. Selain itu juga memberi kuliah pada Pasca Sarjana Sejumlah Perguruan Tinggi, seperti S.2 dan S.3 Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, Program S.3 Ilmu Hukum UII, S.3 IAIN Ar-Reniry Banda Aceh di samping PPS UIN Sunan Kalijaga sendiri. Dan sekarang aktif di Pimpinan Pusat Muhammadiyyah dengan jabatan terakhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid periode 2005-2010 dan 2010-2015.[2]
Karya-karya beliau antara lain berjudul; Interkoneksi (Studi Hadits dan Astronomi), Pembaruan dalam Srudi Hadits dan Astronomi (tahun 2011).
B.  Pemikiran yang ditawarkan
Gerhana matahari dalam istilah fikih lazimnya disebut dengan istilah kusuf asy-syams, sedangkan gerhana Bulan disebut dengan istilah khusuf al-qamar. Kata kusuf dalam fikih biasanya digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan kata khusuf digunakan untuk menyebut gerhana Bulan. Akan tetapi dalam kitab-kitab hadits, kedua kata itu dapat dipertukarkan; gerhana matahari terkadang disebut khusuf disamping disebut kusuf,begitu pula gerhana Bulan disebut juga kusuf di samping disebut khusuf.[3]
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa matahari dan bulan adalah dua di antara tanda alam yang menunjukkan kebesaran Allah. Sejalan dengan itu hadits Nabi saw menjelaskan bahwa peristiwa gerhana itu adalah peristiwa alam yang natural yang menunjukkan kebesaran Allah dan tidak ada kaitannya dengan kematian dan hidup seseorang.[4]
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa gerhana matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan bulan jika dilihat dari bumi karena bulan saat itu berada persis di tengah-tengah antara bumi dan matahari. Akibatnya beberapa kawasan tertentu di muka bumi tidak terkena sinar matahari dan saat itu dikatakan terjadi gerhana matahari. Dengan cara lain dikatakan bahwa gerhana adalah suatu peristiwa gastronomis di mana suatu benda langit ymasuk ke dalam bayangan benda langit lainnya. Gerhana matahari berarti bumi masuk ke dalam bayangan gelap bulan sehingga orang yang berada pada bagian bumi yang terkena bayangan gelap itu mengalami gerhana matahari.[5]
Gerhana matahari ada tiga macam, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari cincin dan gerhana matahari sebagian. Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa ada jenis keempat dari gerhana matahari, yaitu yang disebut dengan gerhana hibrid, atau disebut juga gerhana anular-total. Artinya gerhana yang dari suatu tempat di muka bumi terlihat sebagai gerhana total, sementara pada tempat lain terlihat sebagai gerhana cincin. Gerhana matahari setidaknya dapat terjadi dua kali setahun dan sebanyak-banyaknya bisa mencapai lima kali. Hanya saja sebagian gerhana matahari itu mungkin cuma merupakan gerhana sebagian karena umbra bulan tidak mengenai bumi, melainkan meleset ke sebelah atas kutub utara bumi atau ke sebelah bawah kutub selatan. Atau bisa juga umbra tidak sampai ke bumi dan yang mencapai permukaan bumi hanyalah antumbra yang menyebabkan gerhana cincin.[6]
Bagi para sejarawan rekaman peristiwa gerhana menjadi suatu dokumen penting. Hal itu berguna untuk mengetahui tanggal suatu peristiwa atau kejadian penting di sekitar peristiwa gerhana itu. Misalnya dalam sejarah Islam dan Hadits, peristiwa gerhana zaman Nabi saw direkam dalam riwayat hadits dan tarikh. Terkait dengan peristiwa itu adalah kematian putera Rasulullah saw yaitu Ibrahim. Dengan mengetahui peristiwa gerhana dapat ditentukan secara pasti tanggal wafatnya putera beliau itu sekaligus dapat dilakukan koreksi atau konfirmasi terhadap berbagai laporan riwayat tentang tanggal wafatnya Ibrahim tersebut.[7]
Hadits-hadits tentang ru’yah, dan juga hadits kuraib termasuk hadits yang dibahas pada bukunya, keduanya berkaitan dengan tema penentuan awal mula bulan Qamariyah. Menariknya beliau membahas hal tersebut dari sisi ilmu hadits (termasuk analisis sanad dan status haditsnya) lalu membahasnya dari sisi fiqih yang juga nantinya membahas dari sisi astronomi. Termasuk dari bahasan astronomi yang beliau lakukan adalah beliau membahas perhitungan prediksi kapan peristiwa itu berlangsung. Dengan cara yang serupa, beliau juga membahas tentang hadits-hadits ‘id, hadits haji wada’ dan hadits gerhana.
Dan bagusnya lagi sebelum membahas tema-tema tersebut, beliau membuat suatu bab tersendiri tentang dasar pijakan teoritis, yang bisa dijadikan pengantar sebelum membahas bagian inti. Pada bab tersebut, terdapat sekitar 50 halaman dalam membahas seputar ilmu hadits seperti kriteria hadits shahih dari sisi sanad dan matan, dan beberapa jenis hadits yang lain (mursal dan syaz). Juga terdapat belasan halaman tentang hal yang berkaitan astronomi seperti kriteria visibilitas hilal dan gerhana.
Kemudian dalam bukunya beliau juga membahas perhitungan prediksi kapan suatu peristiwa penting terjadi pada zaman Rasulullah dan zaman Shahabat, beliau menggunakan hisab imkanur ru’yah dengan kriteria ‘Audah, artinya dalam menghitung hal tersebut beliau tidak menggunakan hisab wujudul hilal, metode yang digunakan oleh Muhammadiyyah. Sayangnya beliau tidak menjelaskan alasan kenapa beliau tidak menggunakan hisab wujudul hilal dalam menghitung hal tersebut, akibatnya orang yang membaca bukunya. Sehingga akan timbul pertanyaan mengapa beliau malah menggunakan hisab imkanur rukyah bukan dengan hisab wujudul hilal dalam menghitung prediksi kapan suatu peristiwa penting yang terjadi pada zaman Rasulullah dan Zaman Nabi.
Gerhana matahari dapat terjadi beberapa kali dalam setahun. Menurut para ahli gerhana matahari dapat terjadi sekurang-kurangnya dua kali dan sebanyak-banyaknya bisa mencapai lima kali dalam setahun. Namun ketika terjadinya gerhana matahri tidak semua tempat di muka bumi dapat menyaksikannya. Hal itu karena bayangan pekat Bulan (umbra) yang menyebabkan gerhana matahari total hanya menutupi satu jalur sempit di muka buni selebar sekitar 250 kilometer. Sedangkan bayangan semu Bulan (penumbra), meskipun mengenai kawasan muka buni yang amat luas, namun juga tidak menutupi keseluruhan permukaan bumi. Gerhana matahari dialami oleh bagian bumi yang sedang mengalami siang.sedangkan bagian yang sedang mengalami malam maka tidak akan mengalami gerhana matahari karena ia tidak menghadap kepada matahari.[8]
Di bawah ini adalah salah satu hadits tentang gerhana matahari:
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ أَبُو عَمْرٍو وَغَيْرُهُ سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِيَّ يُخْبِرُ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ فَاجْتَمَعُوا وَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Artinya:
(MUSLIM - 1501) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran Ar Razi telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim ia berkata, telah berkata Al Auza'i Abu Amru dan yang lainnya, saya mendengar Ibnu Syihab Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya; Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka beliau mengutus seseorang untuk menyerukan, "ASH SHALAATU JAAMI'AH (marilah kita shalat berjama'ah) " sehingga kaum muslimin pun berkumpul. Beliau maju (mengimami shalat), lalu bertakbir dan shalat empat raka'at. Pada tiap raka'at terdapat empat kali sujud.
Dalam metodologi hadits umat Islam, unsur sanad merupakan tonggak semua analisis hadits. Analisis matan tidak dapat dilakukan sebelum analisis sanad dapat membuktikan otentisitas sanad hadits. Setelah dibuktikan bahwa sanad sebuah hadits adalah shahih baru analisis matan dilakukan.[9]
Masalah sanad merupakan titik singgung tolak belakang pandangan tentang hadits antara tradisi keilmuan Islam dan kesarjanaan Barat sebagai diwakili oleh beberapa Orientalis. Yang terakhir ini melakukan pengkajian tentang hadits dalam konteks penyelidikan tentang asal mula hukum Islam, dan teori mereka tentang awal mula munculnya hadits adalah konsekuensi dari teori tentang awal mula kelahiran hukum Islam.[10]

C.  Signifikasni Pemikiran terhadap Studi Islam
Dari sudut pandang astronomis memang terbukti bahwa penggunaan rukyat fisik sebagai dasar penetapan awal bulan kamariah mengandung banyak problem dan mustahil dapat menyatukan penanggalan global umat Islam. Bahkan untuk membuat kalender apapun meski hanya lokal mustahil dapat digunakan rukyat. Hal itu karena tampakan hilal saat visibilitas pertama tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Tampakan hilal itu membelah dua muka bumi sehingga sebagian (sebelah barat) muka bumi dapat melihat bilal saat visibilitas pertama dan sebagian lain (sebelah timur) muka bumi tidak dapat melihat hilal saat visibilitas pertama pada suatu sore sesaat setelah matahari terbenam. Akibatnya bagian dunia yang dapat melihat hilal pada sore hari konjungsi memasuki bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan kawasan yang belum dapat merukyat, menggenapkan bulan berjalan 30 hari dan memasuki bulan baru lusa. Dengan demikian terjadi perbedaan memulai bulan baru. Bilamana perbedaan itu terjadi pada bulan Zulhijjah antara Mekah dan kawasan timur dunia atau kawasan barat dunia. Maka akan berakibat terjadinya perbedaan hari Arafah antara Mekah dan bagian lain dunia sehingga timbul problem kapan melaksanakan puasa Arafah.[11]

D.  Penutup
Apabila hadits-hadits rukyat dilihat di dalam keseluruhan semangat al-Qur’an dan mempertimbangkan bahwa hukum Islam adalah, pada pokoknya, tedas makna serta memperhatikan ilat (kuasa hukum) dari perintah rukyat dalam hadits-hadits Nabi saw, yaitu keadaan sosio-budaya umayah pada waktu itu yang masih umi, maka hisab dapat diterima dan sesuai dengan semangat umum al-Qur’an dan inilah pilihan banyak ulama besar zaman modern serta menjadi keputusan Temu Pakar II di Maroko tahun 2008. Alasan penentangan fukaha terkemuka seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Hajar adalah karena pada zaman itu perkembangan astronomi belum begitu maju dan masih terkait dan berbau astrologi.
Penggunaan rukyat di zaman modern di mana Islam telah tersebar di seluruh pelosok dunia dapat menyebabkan kawasan zona waktu barat pada Zulhijah tertentu tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di zaona ujung barat. Begitu pula problem juga bisa timbul bagi mereka yang berada di zona ujung timur di mana hari Arafah di Mekah bisa jatuh pada Zulhijjah tertentu pada tanggal 8 Zulhijjah menurut penanggalan zona bersangkutan. Ini artinya rukyat tidak dapat menempatkan waktu pelaksanaan puasa Arafah di seluruh dunia secara serentak.
Dalam rangka penyatuan penanggalan (kalender) Hijriah internasional dan bahkan untuk membuat kalender apapun rukyat tidak mungkin digunakan, dan hanya hisab satu-satunya sarana yang mungkin untuk menyatukan kalender Islam sedunia.[12]





















DAFTAR PUSTAKA

Syamsul Anwar. 2011. “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.


http: //en.wikipidia.org/wiki/Solar_eclipse.


[1] Syamsul Anwar, “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 7.
[3] Dalam “Shahih Bukhari” misalnya terdapat bab berjudul “al-Salah fi Kusuf al-Qamar”, dan hadits di bawah no. 1063 berbunyi “khasafat asy-syams ‘ala ‘ahdi Rosulillah….” Lihat al-Bukhari, ibid, II, hlm. 37.
[4] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 61.
[5] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 64.
[6]Solar Eclipse”, dari Wikipidia, < http: //en.wikipidia.org/wiki/Solar_eclipse>, akses 05-06-2009 dalam Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 68.
[7] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 72.
[8] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 169.
[9] Dalam otentikasi hadits, suatu hadits dinyatakan shahih apabila terbukti bahwa hadits itu shahih sanad dan shahih matannya. Penelitian keshahihan hadits dimulai dengan penelitian sanad. Apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu hadits adalah shahih, maka kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian matan. Apabila sebaliknya, maka penelitian matan tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu telah dinyatakan dhaif sekalipun sesungguhnya matan itu baik sesuai dengan ajaran islam dan asas umum syari’ah.
[10] Op., Cit., Motzki, hlm 14.
[11] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 195-196.
[12] Op., cit., Syamsul Anwar, hlm. 206-207.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar