INTERKONEKSI
STUDI HADITS DAN ASTRONOMI
(Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari)
Oleh:
Imam Syafi’i
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi
Pendidikan Agama Islam)
Abstract
Hadits merupakan suatu sumber
ajaran Islam. Oleh karena itu hadits tidak hanya menjadi bidang kajian ekslisif
ahli-ahli hadits, namun juga memberikan kontribusi substansial. Interkoneksi
studi hadits dan astronomi tidak hanya penting bagi pengembangan studi hadits,
tetapi juga memberikan kontribusi penting kepada ushul fiqih sebagai metode
pemahaman hadits-hadits terkait hukum.
Dalam interkoneksi studi hadits
dan astronomi yang disini adalah penggunaan dalam pengertian sempit yaitu
sebagai practical astronomy. Kajian yang dimaksudkan adalah suatu bagian
dari astronomi yang mempelajari gerak dan posisi geometris benda-benda langit
tertentu seperti matahari, bulan dan bumi guna menentukan arah tempat dan waktu
di atas bumi.
Pendekatan integrasi dan
interkoneksi memiliki dua sisi terpisah yaitu sisi integrasi dan sisi
interkoneksi. Dalam integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan
prinsisp-prinsip yang menyangkut paradigma, teori, metode dan prosedur-prosedur
tehnis dalam ilmu yang bersangkutan.
Kata Kunci: Interkoneksi, Hadits, dan Astronomi
Pada zaman Nabi saw pernah terjadi gerhana
matahari dan peristiwa itu dilaporkan dalam banyak riwayat hadits yang
ditakhrij oleh para ahli hadits. Hanya saja riwayat-riwayat hadits itu tidak
mencatat tanggal dan hari terjadinya gerhana itu. Riwayat-riwayat tersebut
tampaknya lebih terfokus pada aspek tuntunan ibadah saat terjadinya gerhana,
yaitu shalat gerhana.
Masalah rukyat versus hisab telah sejak lama
menjadi pertikaian ketika hendak memasuki bulan-bulan ibadah seperti Ramadhan,
Idul Fitri, dan Dzulhijah. Terdapat hadits-hadits yang secara tegas
memerintahkan agar dilakukan rukyat dan melarang memulai Ramadhan dan Idul
Fitri sebelum melakukan rukyat. Namun rukyat itu sendiri tidak lepas dari berbagai
kesulitan antara lain karena tidak bisa memberikan kepastian waktu sebelum H-1.
Dilihat dari sudut manajemen waktu yang baik, keadaan seperti ini tidak dapat
dihandalkan karena sebelum H-1 tidak bisa dibuat perencanaan jauh ke depan.
Beberapa teori yang menjadi landasan pijakan
meliputi dua aspek yang berbeda yaitu; Pertama, teori yang menyangkut
otentikasi hadits seperti penentuan shahih atau dhaifnya hadits. Kedua,
teori yang menyangkut visibilitas hilal guna meramalkan kapan kiranya Nabi saw
bersama para Sahabatnya dapat merukyat hilal.[1]
Studi Hadits Rukyat Gerhana Matahari
A. Biografi
Nama
lengkap; Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. lahir dari pasangan H. Abbas dan Hj.
Maryam di Midai, Kepulauan Riau pada tahun 1956. Pendidikan dasar dijalani di
kampung halaman (1962-1968). Pendidikan menengah di Tanjung Pinang (1969-1974).
Pendidikan Tinggi di Fakultas Syari’ah IAIN (sekarang menjadi UIN) yaitu Sunan
Kalijaga Yogyakarta: Sarjana Muda 1978, Sarjana 1981, S2 1991 dan APROSIA 2001.
Tahun 1989 menikah dengan Dra. Suryani. Tahun 1989-1990 kuliah di Universitas
Leiden, dan tahumn 1999 di Hartford, Connecticut, USA.
Sehari-hari
bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum di UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, sejak tahun 1983 hingga sekarang. Tahun 2004 diangkat sebagai guru
besar. Selain itu juga memberi kuliah pada Pasca Sarjana Sejumlah Perguruan
Tinggi, seperti S.2 dan S.3 Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, Program S.3
Ilmu Hukum UII, S.3 IAIN Ar-Reniry Banda Aceh di samping PPS UIN Sunan Kalijaga
sendiri. Dan sekarang aktif di Pimpinan Pusat Muhammadiyyah dengan jabatan
terakhir Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid periode 2005-2010 dan 2010-2015.[2]
Karya-karya
beliau antara lain berjudul; Interkoneksi (Studi Hadits dan Astronomi), Pembaruan
dalam Srudi Hadits dan Astronomi (tahun 2011).
B. Pemikiran yang ditawarkan
Gerhana matahari dalam istilah fikih
lazimnya disebut dengan istilah kusuf asy-syams, sedangkan gerhana Bulan
disebut dengan istilah khusuf al-qamar. Kata kusuf dalam fikih
biasanya digunakan untuk menyebut gerhana matahari dan kata khusuf digunakan
untuk menyebut gerhana Bulan. Akan tetapi dalam kitab-kitab hadits, kedua kata
itu dapat dipertukarkan; gerhana matahari terkadang disebut khusuf
disamping disebut kusuf,begitu pula gerhana Bulan disebut juga kusuf di
samping disebut khusuf.[3]
Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa
matahari dan bulan adalah dua di antara tanda alam yang menunjukkan kebesaran
Allah. Sejalan dengan itu hadits Nabi saw menjelaskan bahwa peristiwa gerhana
itu adalah peristiwa alam yang natural yang menunjukkan kebesaran Allah dan
tidak ada kaitannya dengan kematian dan hidup seseorang.[4]
Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
gerhana matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan bulan jika
dilihat dari bumi karena bulan saat itu berada persis di tengah-tengah antara
bumi dan matahari. Akibatnya beberapa kawasan tertentu di muka bumi tidak
terkena sinar matahari dan saat itu dikatakan terjadi gerhana matahari. Dengan
cara lain dikatakan bahwa gerhana adalah suatu peristiwa gastronomis di mana
suatu benda langit ymasuk ke dalam bayangan benda langit lainnya. Gerhana
matahari berarti bumi masuk ke dalam bayangan gelap bulan sehingga orang yang
berada pada bagian bumi yang terkena bayangan gelap itu mengalami gerhana
matahari.[5]
Gerhana matahari ada tiga macam, yaitu
gerhana matahari total, gerhana matahari cincin dan gerhana matahari sebagian.
Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa ada jenis keempat dari gerhana matahari,
yaitu yang disebut dengan gerhana hibrid, atau disebut juga gerhana
anular-total. Artinya gerhana yang dari suatu tempat di muka bumi terlihat
sebagai gerhana total, sementara pada tempat lain terlihat sebagai gerhana
cincin. Gerhana matahari setidaknya dapat terjadi dua kali setahun dan
sebanyak-banyaknya bisa mencapai lima kali. Hanya saja sebagian gerhana
matahari itu mungkin cuma merupakan gerhana sebagian karena umbra bulan tidak
mengenai bumi, melainkan meleset ke sebelah atas kutub utara bumi atau ke
sebelah bawah kutub selatan. Atau bisa juga umbra tidak sampai ke bumi dan yang
mencapai permukaan bumi hanyalah antumbra yang menyebabkan gerhana cincin.[6]
Bagi para sejarawan rekaman peristiwa
gerhana menjadi suatu dokumen penting. Hal itu berguna untuk mengetahui tanggal
suatu peristiwa atau kejadian penting di sekitar peristiwa gerhana itu.
Misalnya dalam sejarah Islam dan Hadits, peristiwa gerhana zaman Nabi saw
direkam dalam riwayat hadits dan tarikh. Terkait dengan peristiwa itu adalah
kematian putera Rasulullah saw yaitu Ibrahim. Dengan mengetahui peristiwa
gerhana dapat ditentukan secara pasti tanggal wafatnya putera beliau itu
sekaligus dapat dilakukan koreksi atau konfirmasi terhadap berbagai laporan
riwayat tentang tanggal wafatnya Ibrahim tersebut.[7]
Hadits-hadits tentang ru’yah, dan juga
hadits kuraib termasuk hadits yang dibahas pada bukunya, keduanya berkaitan
dengan tema penentuan awal mula bulan Qamariyah. Menariknya beliau membahas hal
tersebut dari sisi ilmu hadits (termasuk analisis sanad dan status haditsnya)
lalu membahasnya dari sisi fiqih yang juga nantinya membahas dari sisi
astronomi. Termasuk dari bahasan astronomi yang beliau lakukan adalah beliau
membahas perhitungan prediksi kapan peristiwa itu berlangsung. Dengan cara yang
serupa, beliau juga membahas tentang hadits-hadits ‘id, hadits haji wada’ dan
hadits gerhana.
Dan bagusnya lagi sebelum membahas
tema-tema tersebut, beliau membuat suatu bab tersendiri tentang dasar pijakan
teoritis, yang bisa dijadikan pengantar sebelum membahas bagian inti. Pada bab
tersebut, terdapat sekitar 50 halaman dalam membahas seputar ilmu hadits
seperti kriteria hadits shahih dari sisi sanad dan matan, dan beberapa jenis
hadits yang lain (mursal dan syaz). Juga terdapat belasan halaman tentang hal
yang berkaitan astronomi seperti kriteria visibilitas hilal dan gerhana.
Kemudian dalam bukunya beliau juga
membahas perhitungan prediksi kapan suatu peristiwa penting terjadi pada zaman
Rasulullah dan zaman Shahabat, beliau menggunakan hisab imkanur ru’yah dengan
kriteria ‘Audah, artinya dalam menghitung hal tersebut beliau tidak menggunakan
hisab wujudul hilal, metode yang digunakan oleh Muhammadiyyah. Sayangnya beliau
tidak menjelaskan alasan kenapa beliau tidak menggunakan hisab wujudul hilal
dalam menghitung hal tersebut, akibatnya orang yang membaca bukunya. Sehingga
akan timbul pertanyaan mengapa beliau malah menggunakan hisab imkanur rukyah
bukan dengan hisab wujudul hilal dalam menghitung prediksi kapan suatu
peristiwa penting yang terjadi pada zaman Rasulullah dan Zaman Nabi.
Gerhana matahari dapat terjadi beberapa
kali dalam setahun. Menurut para ahli gerhana matahari dapat terjadi
sekurang-kurangnya dua kali dan sebanyak-banyaknya bisa mencapai lima kali
dalam setahun. Namun ketika terjadinya gerhana matahri tidak semua tempat di
muka bumi dapat menyaksikannya. Hal itu karena bayangan pekat Bulan (umbra)
yang menyebabkan gerhana matahari total hanya menutupi satu jalur sempit di
muka buni selebar sekitar 250 kilometer. Sedangkan bayangan semu Bulan
(penumbra), meskipun mengenai kawasan muka buni yang amat luas, namun juga
tidak menutupi keseluruhan permukaan bumi. Gerhana matahari dialami oleh bagian
bumi yang sedang mengalami siang.sedangkan bagian yang sedang mengalami malam
maka tidak akan mengalami gerhana matahari karena ia tidak menghadap kepada
matahari.[8]
Di
bawah ini adalah salah satu hadits tentang gerhana matahari:
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِهْرَانَ الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ قَالَ الْأَوْزَاعِيُّ أَبُو عَمْرٍو وَغَيْرُهُ
سَمِعْتُ ابْنَ شِهَابٍ الزُّهْرِيَّ يُخْبِرُ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَعَثَ مُنَادِيًا الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ
فَاجْتَمَعُوا وَتَقَدَّمَ فَكَبَّرَ وَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي
رَكْعَتَيْنِ وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
Artinya:
(MUSLIM - 1501) :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mihran Ar Razi telah menceritakan
kepada kami Al Walid bin Muslim ia berkata, telah berkata Al Auza'i Abu Amru
dan yang lainnya, saya mendengar Ibnu Syihab Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah
bahwasanya; Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Maka beliau mengutus seseorang untuk menyerukan, "ASH
SHALAATU JAAMI'AH (marilah kita shalat berjama'ah) " sehingga kaum
muslimin pun berkumpul. Beliau maju (mengimami shalat), lalu bertakbir dan
shalat empat raka'at. Pada tiap raka'at terdapat empat kali sujud.
Dalam
metodologi hadits umat Islam, unsur sanad merupakan tonggak semua analisis
hadits. Analisis matan tidak dapat dilakukan sebelum analisis sanad dapat
membuktikan otentisitas sanad hadits. Setelah dibuktikan bahwa sanad sebuah
hadits adalah shahih baru analisis matan dilakukan.[9]
Masalah sanad merupakan titik singgung
tolak belakang pandangan tentang hadits antara tradisi keilmuan Islam dan
kesarjanaan Barat sebagai diwakili oleh beberapa Orientalis. Yang terakhir ini
melakukan pengkajian tentang hadits dalam konteks penyelidikan tentang asal
mula hukum Islam, dan teori mereka tentang awal mula munculnya hadits adalah
konsekuensi dari teori tentang awal mula kelahiran hukum Islam.[10]
C. Signifikasni Pemikiran terhadap Studi Islam
Dari sudut pandang astronomis memang
terbukti bahwa penggunaan rukyat fisik sebagai dasar penetapan awal bulan
kamariah mengandung banyak problem dan mustahil dapat menyatukan penanggalan
global umat Islam. Bahkan untuk membuat kalender apapun meski hanya lokal
mustahil dapat digunakan rukyat. Hal itu karena tampakan hilal saat visibilitas
pertama tidak meliputi seluruh permukaan bumi. Tampakan hilal itu membelah dua
muka bumi sehingga sebagian (sebelah barat) muka bumi dapat melihat bilal saat
visibilitas pertama dan sebagian lain (sebelah timur) muka bumi tidak dapat
melihat hilal saat visibilitas pertama pada suatu sore sesaat setelah matahari
terbenam. Akibatnya bagian dunia yang dapat melihat hilal pada sore hari
konjungsi memasuki bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan kawasan
yang belum dapat merukyat, menggenapkan bulan berjalan 30 hari dan memasuki
bulan baru lusa. Dengan demikian terjadi perbedaan memulai bulan baru. Bilamana
perbedaan itu terjadi pada bulan Zulhijjah antara Mekah dan kawasan timur dunia
atau kawasan barat dunia. Maka akan berakibat terjadinya perbedaan hari Arafah
antara Mekah dan bagian lain dunia sehingga timbul problem kapan melaksanakan
puasa Arafah.[11]
D. Penutup
Apabila hadits-hadits rukyat dilihat di
dalam keseluruhan semangat al-Qur’an dan mempertimbangkan bahwa hukum Islam
adalah, pada pokoknya, tedas makna serta memperhatikan ilat (kuasa hukum) dari
perintah rukyat dalam hadits-hadits Nabi saw, yaitu keadaan sosio-budaya umayah
pada waktu itu yang masih umi, maka hisab dapat diterima dan sesuai dengan
semangat umum al-Qur’an dan inilah pilihan banyak ulama besar zaman modern
serta menjadi keputusan Temu Pakar II di Maroko tahun 2008. Alasan penentangan
fukaha terkemuka seperti Ibn Taimiyah dan Ibn Hajar adalah karena pada zaman
itu perkembangan astronomi belum begitu maju dan masih terkait dan berbau
astrologi.
Penggunaan rukyat di zaman modern di
mana Islam telah tersebar di seluruh pelosok dunia dapat menyebabkan kawasan
zona waktu barat pada Zulhijah tertentu tidak dapat melaksanakan puasa Arafah
karena hari Arafah di Mekah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di zaona
ujung barat. Begitu pula problem juga bisa timbul bagi mereka yang berada di
zona ujung timur di mana hari Arafah di Mekah bisa jatuh pada Zulhijjah
tertentu pada tanggal 8 Zulhijjah menurut penanggalan zona bersangkutan. Ini
artinya rukyat tidak dapat menempatkan waktu pelaksanaan puasa Arafah di
seluruh dunia secara serentak.
Dalam rangka penyatuan penanggalan
(kalender) Hijriah internasional dan bahkan untuk membuat kalender apapun
rukyat tidak mungkin digunakan, dan hanya hisab satu-satunya sarana yang
mungkin untuk menyatukan kalender Islam sedunia.[12]
DAFTAR PUSTAKA
Syamsul Anwar. 2011. “Interkoneksi
Studi Hadits dan Astronomi”. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
[1]
Syamsul Anwar, “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”, (Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 7.
[2] http://www.goodreads.com/author/show/6469255.Syamsul_Anwar.
(diakses: 2 Des 2015, Pukul 08.00).
[3]
Dalam “Shahih Bukhari” misalnya terdapat bab berjudul “al-Salah fi Kusuf
al-Qamar”, dan hadits di bawah no. 1063 berbunyi “khasafat asy-syams ‘ala
‘ahdi Rosulillah….” Lihat al-Bukhari, ibid, II, hlm. 37.
[4] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 61.
[5] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 64.
[6] “Solar
Eclipse”, dari Wikipidia, < http:
//en.wikipidia.org/wiki/Solar_eclipse>, akses 05-06-2009 dalam Op., cit.,
Syamsul Anwar, hlm. 68.
[7] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 72.
[8] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 169.
[9]
Dalam otentikasi hadits, suatu hadits dinyatakan shahih apabila terbukti bahwa
hadits itu shahih sanad dan shahih matannya. Penelitian keshahihan hadits
dimulai dengan penelitian sanad. Apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu
hadits adalah shahih, maka kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian matan.
Apabila sebaliknya, maka penelitian matan tidak perlu dilanjutkan karena hadits
itu tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu telah dinyatakan dhaif sekalipun
sesungguhnya matan itu baik sesuai dengan ajaran islam dan asas umum syari’ah.
[10] Op.,
Cit., Motzki, hlm 14.
[11] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 195-196.
[12] Op.,
cit., Syamsul Anwar, hlm. 206-207.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar