PEMBAHASAN
Mahkum Fih
A.Pengertian Mahkum Fih (Perbuatan Mukallaf / Objek Hukum)
Menurut al-Syaukani yang dimaksud
dangan Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf. Dengan demikian, Muta’alliq
(keterkaitan) ijab disebut wajib, keterkaitan
nadb disebut Mandub. Keterkaitan ibadah disebut mubah, keterkaitan
karahah disebut makruh, dan keterkaitan
tahrim disebut haram.[1]
Para ulama sepakat bahwa seluruh
perintah syara’ ada objeknya, yaitu perbuatan Mukallaf. Terhadap perbuatan
mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah
: 43.
وَ
اَقِيْمُوْاالصَّلوةَ وَاتُالزَّكوةَ وَارْكَعُو مَعَ الرّكِعِيْنَ
Artinya : dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.
Ayat itu berkaitan dangan mukallaf,
yaitu tuntunan untuk mengerjakan sholat. Begitu juga firman Allah dalam Q.S.
al-An’am : 151.
قُلْ
تَعَالَوْا اَتْلَ مَ حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُم أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِهِ
شَيْئاََ وَّ بِالْوَا لِدَيْنِ اِحْسَانََا ج وَلاَ تَقْتُلُوا
اَوْلاَدَكُمْ مِنْ اِمْلاَقِِ قلى نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ اِيَّاهُمْ ج
وَلاَ تَقْرَبُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ ج
وَلاَ تَقْتُلُواالنَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ قلى
ذلِكُمْ وَصّكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya
: Katakanlah (Muhammad), “marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan
kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu
bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka ; janganlah kammu mendekati perbuatan keji,
baik yang terliahat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu ,membunuh orang
yang diharamkan Allah kecuali dengan alsan yang benar. Demikianlah Dia
memerintahkan kepadamu agar kamu
mengerti.
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan yang terkait dengan perbuatan orang Mukallaf, yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak, sehuingga membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
Mahkum berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara’. Misalnya, dalam ayat 1 surat al-Maidah Alloh
berfirman,
يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ قلى اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الاَنْعَامِ اِلاَّ مَا يُتْلَى
عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمُ قلى اِنَّ
اللهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu.(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji, sesungguhnya Alloh menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendakinya. (QS. al-Maidah : 1)
Aqad
(perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan
orang mukallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat
tersebut.[2]
B.Syarat-syarat Makhkum Fih
Ada beberapa
persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum:[3]
a.
Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang
mukalaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan
secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena
itu seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari
Rosul-Nya. Misalnya ayat al-Qur’an yang mewajibkan sholat secara global tanpa
merinci syarat dan hukumnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan
secara rinci dari Rosululloh. Demikian pula ayat yang memerintahkan untuk
melaksanakan haji, puasa, dan zakat.
b.
Diketahui secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang
dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Alloh dan
Rosul-Nya. Itulah sebabnya setiap upacara mencari pemecahan hukum, yang paling
pertama dilakukan adalah pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber
hukum.
c.
Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkanya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau
larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam
al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang mustakhil menurut akal untuk
dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah untuk terbang tanpa memakai alat.
Makhkum ‘Alaih
A.Pengertian Makhkum ‘Alaih (Subyek Hukum)
Menurut Abu
Zahrai, mahkum ‘alaih adalah mukallaf,karena mukalaf lah yang akan dihukumi
perbutan-perbuatannya, apakah diterima atau tidak,dan apakah perbuatan itu
termasuk yang diperintahkan atau yang terlarang, atau tidak masuk kedua-duanya.
Yang menjadi dasar dibebani mukallaf adalah karena akal dan pemahaman, akal
yang mengetahui, sedangkan pemahaman adalah tiangnya taklif (pembebanan).
Demikian pendapat Al-Amidi, kata Abu Zahrah.[4]
Subjek
hukum atau pelaku hukum ialah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan
segala tingkah lakunya telah diperhitungkan oleh Allah itu. Dalam ushul fiqih,
subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebeni hukum,
atau Mahkum ‘alaih yaitu orang yang
kepadanya diperlakukan hukum.
Makhkum ‘Alaih berarti orang mukallaf
(orang yang layak dibebani hukum taklifi), seseorang baru dianggap layak
dibebani hukum taklifi, bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:[5]
a.
Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan
bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari
ayat atau hadits Rosululloh saw. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu
disebabkan seseorang mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan
pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi
dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas
tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas
tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
b.
Mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara
hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang
disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum islam,
dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhgi segala
larangan. Kecakapan seperti ini baru dimilikiseseorang secara sempurna bilamana
ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi
kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan
lain-lain bagi yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku ushul fiqh.
Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang
baru dianggap sah disamping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu
kemampuan untuk mengendalikan hartanya.Seseorang yang telah mencapai umur
baligh berakal, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubadzir,
tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya, dan oleh karena itu ia perlu dibimbing oleh penanggung
jawabnya.
B.Syarat
– syarat Mahkum ‘Alaih
1. Ia memahami titah Alllah yang menyatakan
bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan
dangan akal, karena akal itu adalah alat untuk mangetahui dan memahami.seperti
dalam sabda Nabi SAW :
Artinya
:
“Agama
itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal”.
Seorang
manusia akan mencapai kesempurnaan akal bila telah mencapai batas dewasa atau
baligh, kecuali orang mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari
taklif. Dari uraian di atas dapat di
smpulkan bahwa syarat subjek hukum yang pertama adalah ” baligh dan berakal”.
Artinya :
“Diangkatkan kalam (tuntutan) dari tiga hal
yaitu dari anak-anak sampai ia dewasa, dari orang tidur sampe ia terjaga, dari
orang gila sampai ia waras”.
2. Ahlun li al-taklif (orang yang mampu
menerima beban taklif atau beban hukum).
Kecakapan
menerima taklif disebut ahliyah. Ahliyah
adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua yaitu
kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.[6]
Kecakapan
yang dikenai hukum (ahliyah wujub) di bagi menjadi dua :[7]
a. Ahliyah wujub naqish adalah kecakapan
seorang manusia untuk menerima hak tetepi tidak menerima kewajiban atau
kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas untuk menerima hak.
b. Ahliyan wujub kamilah adalah kecakapan
seorang untuk dikenai kewajiban dan jga
untuk menerima hak.
Kepantasan
untuk menjalankan hukum (Ahliyah al-Ada’) dibagi menjadi tiga tingkat :[8]
a. Adim al-Ahliyah adalah manusia sejak
lahir sampai umur tamyiz (sekitar umur tujuh tahun). Dalam batas umur ini
seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal.
b. Ahliyah al-Ada’ naqishoh adalah manusia
yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira umur tujuh tahun) samapi batas
dewasa.Penamaan naqishoh dalam bentuk ini oleh karena akal masih lemah dan
belum sempurna sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini daalam
hubungannya dengan hukum sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian
lagi belum dikenai hukum.
Dalam hal ini tindakan manusia dan ucapannya terbagi
menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai akibat hukum sendiri :[9]
1. Tindakan yang semata-mata menguntungkan
dirinya sendiri, baik ucapan maupun perbuatan adalah sah tanpa memerlukan
peretujuan dari walinya.
2. Tindakan yang semata-mata merugikannya
atau mengurangi hak-hak yang ada padanya, baik ucapan maupun perbuatan yang
dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berupa hukum atau
batal yang memungkin yang tidak disetuju oleh walinya.
3. Tindakan yang mengandung keuntungan dan
kerugian seperti jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang di
satu pihak mengurangi haknya dan pihak lain menambah hak yang ada
padanya.tindakan yang dilaikukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak
dan kesahannya tergantung persetujuan oleh walinya sesudah tindakan itu
dilakukan.
c. Ahliyah al-Ada’ kamilah adalah manusia
yang cakap berbuat hukum secara sempuurna atau seorang yang telah mencapai usia
dewasa.
Menurut
jumhur ulama umur dewasa itu 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Abu
hanifah berpendapat bahwa usia dewasa untuk lakik-laki 18 tahun sedangkan untuk
perempuan 17 tahun.
Menurut
ulama fiqih batas dewasa bagi laki-laki sudah mimpi bersetubuh sedangkan bagi
perempuan sudah haid. Apakah sesudah mencapai umur itu, seseorang dapat
bertindak hukum pada hartanya?
وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن آنستم منهم رشدا فادفعوا
إليهم أموالهم ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكبروا ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان
فقيرا فليأكل بالمعروف فإذا دفعتم إليهم أموالهم فأشهدوا عليهم وكفى بالله حسيبا
Artinya
: “Ujilah anak yatim (anak-anak) sampai ia mencapai umur dewasa, bila kamu
mengetahui
ada tanda cerdas padanya berikanlah hartanya kepadanya. (An-Nisa : 6)
Ayat
ini menjelaskan harta anak yatim diberiakan kepadanya bsesudah mencapai usia
dewasa diketahui ia telah cerdas.
Menurut
Imam Syafi’i penyerahan harta diberikan sesudah baligh setelah mncapai tingkat
Rusyd (cerdas). Harta tidak akan diberikan kepadanya apabila ia belum rusyd
(cerdas) meskipun ia sudah berusia lanjut. Beliau beralasan bahwa rusyd itu
tidak terkait pda usia tetapi menyangkut pada kemampuan bertindak atas harta.
Menurut
Abu Hanifah penyerarahan harta diserahkan setelah mencapai umur 25 tahun,
meskipun belum cerdas. Beliau berargumentasi bahwa rusyd pada ayat itu
disebutkan dalam bentuk nakirah. Bila syarat itu telah ada secara nyata dalam
satu bentuk maka wajiblah berlaku pa yang di persyaratkan. Awal dari keadaan
daewasa itu kadang kala di ikuti oleh sifat bodah dengan melihat pada bekas
tingkah laku keanak-anakan. Bila msa itu telah berlalu dan tampak aada
pengalaman serta telah terlatih dan tidak ad lagi pengaruh keanak-anakn, maka
terjadilah sifat rusyd itu.[10]
C.Pengertian Taklif
Hukum taklif secara
bahasa taklif berarti beban. Maksudnya, adalah beban-beban yang diturunkan
Allah kepada hambanya yang disebut dengan mukallaf (yang di bebani). Diantara
tujuan taklif ini adalah untuk mengukur sejauh mana ketaatan hamba Allah kepada
aturan-aturanNya sebagai khaliqnya. Syarat taklif orang itu mampu memahami
khittab syar’i (tuntutan syara’).
Taklif (beban hukum) terhadap orang kafir, sebagaimana
telah di jelaskan bahwa syarat mahkum alaih adalah baligh dan berakal,
selanjutnya yang di permasalahkan, apakah islam merupakan syarat telah dikenai
tuntutan hukum dengan kata lain non muslim dengan kekafirannya itu di tuntut
untuk melakuakan beban hukum atau tidak ?
Pendapat
pertama, menurut Imam Syafi’i , ulama Irak yang bermadzab hanafi dan mayoritas
ulama mu’tazilah bahwa tidak ada hubungan antara syarat taklif dengan
tercapainya syarat sya’I. mereka berbendapat bahwa oreang-oarang kafir dikenai
beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syaria’at seperti ibadah shalat, puasa dan
haji.[11]
Dalil-dalil yang
menguatkan argument meraka antara lain : Ayat –ayat Al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan ibadah
secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, seperti dalam : 1.Surat
Al-Baqarah : 21
يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya
: “Hai manusia sembahlah tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dan orang-orang
yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
2.Surat
Al-Imran : 93
كل الطعام
كان حـلا لبني إسرائيل إلا ما حرم إسرائيل على نفسه من قبل أن تنزل التوراة قل
فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين
Artinya : “kewajiban
manusia atas Allah, haji ke baitullah”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar