BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM KITAB TANBIHUL MUTA’ALLIM
A. Biografi Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
1. Riwayat Hidup Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
dilahirkan pada tanggal 18 juni 1925 M di desa Tursidi RT dan RW : 04,
Kecamatan Pituruh, Kabupaten Purworejo,
Jawa Tengah. Nama al-Thursidi diambil dari nama desa beliau yaitu Tersidi. Ayahnya,
KH. Sarbani adalah seorang yang dikenal oleh masyarakat sebagai ulama’
yang teguh dalam memperjuangkan agama dan bangsa terbukti dengan semangat
beliau melawan penjajah. Kakeknya yaitu KH. Rofi’i juga seorang ulama’
yang wira’i. Beliu dibesarkan dalam keluarga yang berpegang teguh pada
agama dan mementingkan akhlak serta ilmu dalam Islam dengan baik.
Al-Thursidi wafat dalam
usia 72 tahun pada bulan shafar tepatnya bulan Agustus tahun 1997 M di
Kediri, Jawa Timur. Beliau dimakamkan di Pondok Pesantren Mahir al-Riyadl
Ringin Agung, Pare, Jawa Timur, sebuah pesantren yang didirikan oleh Syekh
Nawawi.[65]
2. Pendidikan
Al-Thursidi mendapat
pendidikan di tingkat ibtida’ (pendidikan awal setingkat sekolah dasar)
oleh ayahnya sendiri yaitu KH. Sarbani mulai pada tahun 1931 M. Semenjak kecil
beliau sangat cerdas jadi selama menerima pelajaran selalu mudah untuk
memahaminya.
Ketika sudah cukup
dewasa, pada tahun 1937 M KH. Sarbani mengantarkan putranya, KH. Ahmad Maisur
Sindi ke Pondok Pesantren di Pondok Lirab, Kab. Kebumen, Jawa Tengah, yang mana
pondok tersebut khusus mengkaji ilmu alat yang meliputi Ilmu Nahwu, Ilmu
Sharaf, Ilmu Mantiq, Ilmu Bayan, dan lain-lain.
Setelah beliau menyelesaikan
pendidikan dari pondok pesantren Lirab, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi melanjutkan
pendidikannya ke Pondok Pesantren Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim
Asy’ari pada tahun 1940. Setelah itu, pada tahun 1941 M beliau melanjutkan
pendidikannya di Pondok Pesantren Jampes, Kediri, Jawa Timur, kemudian di
sinilah beliau mendirikan Madrasah Mafatihul Huda.
Setelah mendirikan dan
merintis Madrasah Mafatihul Huda, Kemudian pada tahun 1942 M beliau
melanjutkan pendidikan di Pondok Pesantren Benda, Pare, Kediri, Jawa Timur. Kemudian,
beliau pulang ke kampungnya di desa Tersidi karena pada waktu itu terjadi
penjajahan Jepang.[66]
3. Setting Sosial
KH. Ahmad Maisur Sindi
al-Thursidi yang lahir di Purworejo dan dibesarkan dalam lingkungan yang
agamis. Beliau sangat tekun beribadah dan mengamalkan ilmunya dengan niat tulus
dan ikhlas. Sebagai seorang pendidik di Madrasah, Pondok Pesantren dan
masyarakat, beliau sangat memperhatikan masa depan anak didiknya dan masa depan
umatnya, karena masa depan umat atau bangsa terletak pada pemuda.
Bangsa kita, sepertinya
saat ini kehilangan kearifan lokal yang menjadi karakter budaya bangsa sejak
berabad-abad lalu. Seperti maraknya kasus tawuran antar pelajar, antar
mahasiswa dan antar kampung. Tindak korupsi di semua lini kehidupan dan
institusi. Kebohongan publik yang telah menjadi bahasa sehari-hari. Tidak ada
kepastian hukum, karena pada praktiknya hukum kita bisa diperjualbelikan.
Parahnya lagi, bangsa
ini miskin figur yang bisa jadi contoh kongkret, serta ditauladani oleh
masyarakat. Maka tidak heran jika pembentukan dan pembinaan karakter bangsa
menuju masyarakat yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan menjunjung tinggi
semangat nasionalisme laksana kapal tanpa pedoman di tengah luasnya samudra.[67]
Menurunnya moral bangsa
bukan hanya karena disebabkan minimnya figur panutan namun juga kelemahan
generasi muda seperti kami ini yang tak banyak menguasai bahasa Arab. Sehingga
tidak mampu membaca teks klasik yang sebenarnya terdapat banyak poin akhlak
dalam kehidupan.
KH. Ahamad Maisur Sindi
al-Thursidi melakukan aktivitas mengajar sudah dimulai sejak berada di Pondok
Pesantren hingga sampai akhir hidupnya, Bermula ketika di Tersidi, KH. Ahmad
Maisur Sindi sering mengalami sakit-sakitan terutama sakit mata, akhirnya sang
bapak yaitu KH. Sarbani menganjurkan untuk Tirah atau pindah tempat ke
desa Ringin Agung (Pondok Pesantren ayahnya dahulu yang didirikan oleh Syekh
Nawawi Al-Bantani) di samping untuk kesehatan juga di sini beliau belajar
dan mengajar. Kedatangan KH. Ahmad Maisur Sindi menjadi keberkahan tersendiri,
di samping mengajar, yang mana beliau dijadikan menantu oleh keluarga Pondok
Pesantren Ringin Agung yang akhirnya diamanati untuk mengasuh pondok tersebut. Di
bawah asuhan KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi Pondok Pesantren Mahir al-Riyadl
Ringin Agung berkembang maju begitu pesat, santrinya yang tadinya sekitar 50
orang bertambah hingga menjadi 6000 orang, jumlah tersebut mampu bertahan
hingga sekarang yang diasuh oleh anaknya yang bernama KH. Musib Maisur.[68]
Pada zaman penjajahan
Jepang pada tahun 1942 M, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi mengajar di rumah
tempat kelahirannya yaitu desa Tersidi, setiap waktunya digunakan bersama
santri-santri dari pagi hingga petang, di setiap malam hari beliau memimpin
mujahadah atau dzikir bersama dengan masyarakat.
KH. Ahamad Maisur Sindi
al-Thursidi adalah seorang pejuang yang melawan penjajah Jepang dari tahun
1942-1945 M. Beliau mengajak masyarakatnya untuk berjuang melawan penjajahan
demi kemerdekaan republik Indonesia dengan mendirikan masjid dan majlis ta’lim
bersama masyarakat dengan bergotong-royong di desa Tersidi sehingga mampu
memberantas kebodohan yang melanda rakyat Indonesia sehingga mengantarkan pada
kemerdekaan Indonesia.[69]
4. Akhlak dan Ibadah Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Ketulusan niat disertai
rasa ikhlas dalam segala amal, beliau buktikan pada saat mencari ilmu yang
mana, Beliu berjalan kaki dari rumahnya desa Tersidi, Kec. Pituruh, Kab.
Purworejo menuju Ponpes Tebu Ireng, Kediri, Jawa Timur. Pada waktu itu beliau
tidak membawa bekal apapun kecuali uang benggol dari orang tuanya.
Selama berminggu-minggu dalam perjalanan menuju Ponpes Tebu Ireng, beliau hanya
makan 1 – 2 kali, bahakan hanya minum saja, Demikian itu berlanjut hingga beliau
sering tirakat dan puasa selama bermukim di Pondok Pesantren.
Dalam hal duniawi maupun
ukhrawi, beliau paling tidak suka membanggakan diri baik dengan ilmu, amal, dan
ibadah. Maka, hal itu beliau wasiatkan kepada anak cucu dan santri-santrinya
dengan sifat tawadhu’ atau rendah hati. Dan sifat wara’ beliau
terbukti dari meninggalkan perkara yang meragukan (syubhat) sebagaimana
meninggalkan perkara yang haram, hal itu beliau contohkan dengan tidak makan di
warung dan di pasar. Kemudian sifat ghirah Islamiyah dan fanatisme dalam
beragama beliau buktikan dengan keteguhannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar.
Segala sisi
kehidupannya, KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi mengusahakan untuk selalu
benar-benar sesuai yang disyari’atkan agama. Hal ini terbukti dari rasa cintanya
beliau kepada keluarga dan dzurriyah Nabi (keturunan Nabi), para
sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, ulama’ dan guru-gurunya. Kemudian dalam hal
beribadah, beliau beristiqomah, hal itu terbukti dalam shalat fardhu,
sunnah, rawatib, qiyamu al-lail dan ibadah yang lain beliau hampir tidak
pernah ditinggalkannya walaupun dalam keadaan berpergian maupun sakit.[70]
5. Karya-karya Kyai Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Karya-karya KH. Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi ada 25 kitab, akan tetapi putranya yaitu KH. Munif
Maisur hanya menyebutkan 5 kitab, yaitu
1. Tanbihul Muta’allim (karangan yang pertama dan
terpopuler)
2. Tadzribunnujaba’
3. Nailul ‘Amal Fii Qowa’idul ‘i’lal
4. Tanbidzul Bayan
5. Tamridz
Yang semuanya dalam bahasa arab dan ada yang diterjemahkan
dalam bahasa arab pegon. Semua karangan beliau lebih banyak dikarang saat
berada di Pondok Pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa Timur, termasuk kitab Tanbihul
Muta’allim.[71]
6. Guru-guru KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Dalam menimba ilmu KH.
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi banyak berguru kepada ulama’ antara lain :
1. KH. Sarbani (Orang tua sendiri)
2. KH. Ibrahim (Pengasuh Ponpes Lirab, Kebumen)
3. KH. Hasyim Asy’ari (Pengasuh Ponpes Tebu Ireng, Kediri)
7. Anak-anak KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi
Di dalam mendidik 4
orang anaknya, KH. Ahmad Maisur Sindi Al-Thursidi sangatlah disiplin, sehingga
anak-anaknya menjadi orang yang ‘alim dan menjadi pemuka agama di
masyarakatnya, anak-anak beliau antara lain :
1. Nyai Hj. Sri Rofah
2. KH. Munif Maisur
3. KH. Musib Maisur
4. KH. Khamid Maisur[72]
B. Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Tanbihul
Muta’allim
1. Latar Belakang Penyusunan Kitab Tanbihul Muta’allim
Pentingnya akhlak dalam
kehidupan manusia baik individu maupun masyarakat, KH. Ahmad Maisur Sindi
al-Thursidi berharap kepada orang tua atau wali murid dan para guru untuk
memperhatikan akhlaknya, karena menurut KH. Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi
memelihara pelajar dalam berakhlak (adab) merupakan suatu kewajiban.[73]
Dengan cara mengawasi dan memperhatikan tingkah laku putra-putri dan anak didik
yang menjadi tanggung jawab kita semua, menanamkan tingkah laku yang lahir di
lubuk hati mereka dan menjauhkan mereka dari tingkah laku yang tercela agar
mereka menjadi orang yang terdidik dan beradab, yang berguna bagi nusa dan
bangsa.
Salah satu kitab yang
konsentrasi dalam hal tersebut ialah "Tanbih al-Mutaallim", disusun
oleh Kyai Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi Purworejo. KH. Ahmad Maisur Sindi
al-Thursidi melihat kondisi kebutuhan pada dewasa ini dalam semua kalangan,
khususnya para Tholabul Ilmi, kemudian beliau mengarang kitab Tanbihul
Muta’allim. Beliau mengarang kitab ini atas dukungan dari banyak pihak
terutama gurunya yaitu KH. Hasyim Asy’ari, karena kebanyakan dari isi kitab ini
dinukil dari maqolah-nya KH. Hasyim Asy’ari.
Kitab yang berupa
antologi puisi Bahasa Arab ini merupakan kuliah akhlak guru beliau; Hadratus
Syaikh Hasyim Asy'ari, sebagaimana penjelasan dalam prolog. Kitab ini menjadi
pelengkap khazanah keislaman dalam ranah etika yang sebelumnya pernah dirintis
oleh al-Zarnuji dalam masterpiece-nya "Ta'lim al-Mutaallim",
juga Ibnu Jama'ah "Tadzkirah al-Sami wa al-Mutakallim" , Kiai
Hasyim "Adab al-Alim wa al-Mutaallim" dan "Nazm
al-Ta'lim" Kiai Zaini, Solo.[74]
2. Kandungan Umum (Nilai-nilai Pendidikan Akhlak) dalam Kitab Tanbihul
Muta’allim
Kitab Tanbihul
Muta’allim ini disediakan sesuai untuk pelajar pada umunya, dan pada khususnya
untuk para santri di pondok-pondok pada tingkat kelas awal (pertama)
sesudah kelas shifir kedua agar menjadi keselamatan bagi mereka dalam
belajar ke arah cita-cita yang mulia. Adapun cara pengajarannya yaitu santri
cukup menghafal lafaz (nadzam), ma’na thibaq dan artinya serta
setiyap akan masuk dibaca dengan hafalan bersama (clasikal).[75]
Dalam kitab Tanbihul
Muta’allim penulis mengklasifikasikan pendidikan akhlak yang perlu untuk
dipenuhi oleh para pelajar pada khususnya menjadi 7 bab yang meliputi:[76]
1. Al-Adab qoblal hudlur (adab sebelum hadir di tempat
belajar), antara lain yaitu:
لِطَالِبِ الْعِلْمِ يَنْبَغِيْ إِذَا حَضَرَا # مَجْلِسَ عِلْمٍ
تَطَهُّرٌ كَمَا فَعَلَا
لُبْسَ ثِيَابٍ نَظِيْفَةٍ وَقَدْ طَهُرَتْ # تَطَيُّبٌ وَاسْتِيَاكٌ
جَا وَقَدْ جَمُلَا
Sebelum masuk ke dalam
tempat mencari ilmu (madrasah), pelajar dianjurkan untuk bersuci dengan wudlu’, memakai pakaian yang bersih
dan suci serta memakai parfum, dan menggunakan siwak supaya sampai di madrasah sudah dalam keadaan rapi.
يُعِدَّ مَا هُوَ مُحْتَاجٌ إِلَيْهِ لَدَى # تَعَلُّمٍ كَيْ
يَكُوْنُ حَاضِرًا كَمُلَا
Kemudian ia menyiapkan
peralatan yang akan dibawa ketika belajar, supaya ketika hadir di madrasah
sudah tidak perlu kembali lagi karena ada yang masih kurang.[77]
2. Al-Adab fii majlisi al-ta’allumi (akhlak di tempat
belajar), antara lain, yaitu :
وَلْيَجْلِسَنْ فِى وَقَارٍ هَيْبَةٍ بِمَكَا # نٍ بَارِزٍ
لَائِقٍ يَعْتَادُ قَدْ قَبِلَا
Pelajar
duduk yang tenang (jatmiko), menghormati guru dan ilmu di
tempat yang sesuai dengan adab, maksudnya tidak terlalu dekat, tetap
(istiqomah), serta menghadap ke guru dan arah kiblat.
يَفْتَحُ يَخْتِمُ مَجْلِسًا بِحَمْدَلَةٍ # ثُمَّ صَلَاةِ
النَّبِيِّ تَوْفِيْقَهُ سَأَلَا
Kemudian
ia memulai belajar dengan mengucapkan basmallah, hamdallah, dan shalawat untuk
Nabi Muhammad SAW. sekeluarga dan para sahabat. Begitu pula ketika mengahiri
juga mengucap hamdallah.
يُصْغِى لِمَا شَيْخُهُ يُلْقِيْهِ مُعْتَنِيًا # اَلْفَهْمَ
يَكْتُبُ بِالتَّقْيِيْدِ مَا شَكَلَا
Kemudian
pelajar memperhatikan terhadap pelajaran yang diterangkan oleh
guru supaya faham, dan menandai masalah-masalah yang belum difaham supaya
ditanyakan kepada gurunya sehingga faham.[78]
3. Al-Adab ba’dal inshiraf (akhlak setelah selasai belajar),
antara lain yaitu:
يَعُوْدُ فَالدَّرْسَ آنِفًا يُرَاجِعُهُ # حَتَّى يَكُوْنَ
إِلَى الضَّمِيْرِ مُنْتَقَلَا
كَذَاكَ قَبْلَ حُضُوْرِ الثَّانِ جَدَّدَهُ # حِفْظًا لِأَنْ
حَلَّ فِى الصَّدْرِ قَدِ انْعَقَلَا
Sepulang
dari madrasah sampai di rumah kemudian muroja’ah pelajaran yang baru dipelajari
sampai pindahke hati. Begitu juga muroja’ah saat sebelum masuk lagi supaya ilmu
tetap benar-benar terikat erat dalam hati.[79]
4. Al-Adab al-nafsiyah (akhlak terhadap jasad/badan/dirinya
sendiri), antara lain yaitu:
وَلْيَكُ
مُسْتَعْمِلًا بِحُسْنِ الْخُلُقِ # عَالِى الْمَآدِبِ لِلْمَعَالِ مُرْتَحِلَا
مَنْ طَلَبَ
الْعِلْمَ بِالشَّرْعِ فَقَدْ طَلَبَا # أَعْلَى أُمُوْرِ الدُّنَا وَالدِّيْنِ مُشْتَغِلَا
Pelajar menggunakan
budi pekerti yang luhur. Karena orang yang mencari ilmu syara’ itu benar-benar
sibuk mencari tingginya masalah dunia dan agama.
وَلْيَكُ
مَطْعَمَهُ حِلًا وَمَلْبَسَهُ # آلَاتُهُ يَسْتَنِرْ طَوِيَّهُ صَقِلَا
Pelajar
harus halal makanan dan pakaiannya, begitu juga dengan peralatan belajarnya, karena
hal itu yang menyababkan terang dan beningnya hati yang sesuai untuk tempat
ilmu.
وَلْيُقْلِلَنَّ
مُبَاحَاتٍ وَيَجْتَنِبَا # عَنِ الْمَآثِمِ مَأْثَمٌ صَدَا نَزَلَا
قَالَ ابْنُ
إِدْرِيْسَ لَا يُفْلِحُ مَنْ طَلَبَا # اَلْعِلْمَ مَعْ عِزَّةٍ وَوُسْعَةٍ حَمَلَ
Pelajar
mengurangi hal-hal yang mubah dan menjauhi hal-hal yang bisa menuju ke
perbuatan dosa, karena satu dosa saja sudah menjadi kotoran di hati. Imam
Syafi’i berkata: Tidak sampai kemulyaan yang sempurna seseorang yang menuntut
ilmu dengan memanjakan badan dan hidup bermewah-mewahan.[80]
5. Al-Adab ma’al walidaini (akhlak terhadap kedua orang
tua), antara lain yaitu:
وَلْيَكُ
بُرًّا لِوَاِلدَيْهِ مُجْتَهِدًا # وَدَاعِيًا مَهْدِيًا مِنْ بَعْدِ مَا نْتَقَلَا
Pelajar berbuat baik
terhadap kedua orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akannya serta
mengirim pahala kebaikan setelah wafatnya.[81]
6. Al-Adab ma’a al-syaikh (akhlak terhadap guru), antara
lain yaitu:
وَلْيَعْتَقِدْ
بِجَلَالَةِ الْمُعَلِّمِ مَعْ # رُجْحَانِهِ كَيْ يَكُوْنَ مُفْلِحًا قَبِلَا
Pelajar menyakini
kemuliaan dan keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung
pada zaman yang akan dihadapinya.
وَلْيَتَحَرَّ
رِضَا أُسْتَاذِهِ وَكَذَا # تَعْظِيْمَهُ مُخْلِصًا يَكُنْ مِنَ الْفُضَلَا
اَلْبَيْهَقِى
مِنْ أَبِيْ هُرَيْرَةٍ رَفَعَا # تَوَاضَعُوْا مَنْ تَعَلَّمُوْنَ مِنْهُ عَلَا
وَكَانَ
عِنْدَ الْمُغِيْرَةِ مَهَابَةُ إِبْــ # ــرَاهِيْمَ مِثْلَ مَهَابَةِ الْأَمِيْرِ
وَلَى
Pelajar
bersungguh-sungguh mencari ridlanya guru dan mengagungkan guru dengan hati yang
bersih, maka pencari ilmu termasuk golongan orang yang utama. Imam Baihaqi
menceritakan hadits marfu’ dari sahabat Abi Hurairah RA. : sopan
santunlah kalian semua terhadap orang yang mengajarimu., sebagaimana Syaikh Mughirah
takut kepada Syaikh Ibrahim seprti takut terhadap raja yang menguasainya.
لَا يُضْجِزَنْهُ
فَإِنَّهُ لَهُ خَلَلُ # خَشْيَةَ أَنْ يُحُرَمَ انْتِفَاعِ مَنْ فَعَلَا
Janganlah pelajar berpindah-pindah sehingga membuat
kebosanan pada guru, maka hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat
mencegah dalam mengambil kemanfaatan ilmu.
وَلْيَكُ
مُسْتَأْذِنًا إِذَا تَعَذَّرَ مِنْ # دُخُوْلِهِ مُعْلِنًا عُذْرًا بِهِ نَزَلَا
Pelajar meminta ijin
kepada guru ketika ada halangan tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan
halangannya.[82]
7. Al-Adab ma’al ilmi (akhlak terhadap ilmu), antara lain
yaitu:
وَلْيُفْرِغِ
الْجُهْدَ فِى التَّحْصِيْلِ أَنْ حَصَلَا # وَلَمْ يَنَلْهُ بِرَاحَةٍ أَتَى عَطَلَا
Pelajar
bersungguh-sugguh dengan sekuat tenaga dalam menghasilkan ilmu agar dapat
memperoleh ilmu, karena ilmu tidak akan didapat dengan bersantainya badan dan
banyak menganggur.
وَلْيَعْرِفَنْ
لَفْظَهُ لُغَتَهُ وَكَذَا # إِعْرَابُهُ وَمَعَانِيَ الَّذِيْ شَمِلَا
نُطْقًا
وَفَهْمًا مُحَقِّقَ الْجَمِيْعِ وَمُتْــ # ــقِنًا لِحِفْظِ وَكَتْبَةِ الَّذِيْ
شَكَلَا
مَنْ كَانَ
مُقْتَصِرًا عَلَى كِتَابَتِهِ # سَمَاعِهِ أَتْعَبَ النَّفْسَ وَجَاءَ وَلَا
Hendaknya pelajar
mengetahui pada lafadhnya ilmu dan bahasanya ilmu, serta i’robnya lafadh,
beberapa makna yang diucapkan dan
kepahamannya sehingga menjadi jelas dan nyata atas semua itu supaya
memperkuat hafalannya dan menuliskan perkara yang samar. Karena barang siapa yang
menjaga dalam menulis ilmu dan mendengarkan ilmu saja, maka hanya akan membuat
lelah dan tidak akan mendapatkan kemanfaatannya.
وَلْيَبْحَثَنْ
أَهْلَ عِلْمٍ بِاْلمُذَاكَرَةِ # هِيَ حَيَاةُ الْعُلُوْمِ قَالَهُ الْفُضَلَا
وَلْيَحْفَظَنْهُ
بِتَدْرِيْجٍ بِمَسْأَلَةٍ # مِنْ بَعْدِ مَسْأَلَةٍ مَهْلًا يَنَلْ أَمَلَا
مَنْ طَلَبَ
الْعِلْمَ جُمْلَةً فَقَدْ طَلَبَا # يَفُوْتُهُ الْعِلْمُ جُمْلَةً يَضِعْ عَمَلَا
Hendaknya pelajar
berbicara/ bermusyawarah dengan para ahli ilmu, karena hidupnya ilmu dengan
bermusyawarah. Dan pelajar menghafalkan per bab/ tiap satu permasalahan sampai
ke bab/ permasalahan yang lain dengan pelan-pelan, maka pelajar akan mudah
diingat-ingat per bab tersebut. Karena orang yang mencari ilmu dengan borongan/
semua bab, maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya dan akan menjadi
sia-sia atas apa yang telah dilakukannya.
وَلْيَكُ
أَوْقَاتَهُ مُوَزَّعًا لِيَفِى # بِمَا لَهَا مِنْ حُقُوْقِهَا فَمَا عَطَلَا
مُرَتِّبًا
لِلْأُمُوْرِ جَاعِلًا أَحَدَا # اَلأَشْيَا مَكَانًا يُعَادِىْ كَسَلًا مَلَلًا
Hendaknya pelajar dapat
membagi waktu agar dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu
yang kosong dan sia-sia. Dan pelajar menata semua perkara dengan rajin seperti
meletakkan sesuatu pada tempat yang tetap serta melawan rasa malas dan bosan.
وَلْيُكْثِرِ
الدَّرْسَ لَيْلًا بِمُطَالَعَةٍ # مُغْتَنِمًا سَحَرًا كَيْ يُدْرِكَ الْعُقَلَا
Hendaknya pelajar memperbanyak
untuk mengulang pelajaran di waktu malam terlebih lagi pada waktu sahur agar
dapat mengejar para ahli ilmu.
وَلْيَخْذَرِ
الْخَرْصَ فِى الْحِفْظِ تَحَمُّلِهِ # عَلَى تَسَاُهُلِهِ أَنْ كَانَ قَدْ سَهُلَا
لَا يَمْنَعَنْهُ
الْحَيَاءُ الْكِبْرُ فِى الطَّلَبِ # مِنْ أَخْذِهِ الْعِلْمَ مِمَّنْ دُوْنَهُ نَزَلَا
لَمْ يَنَلِ
الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُتَكَبْــ # بِّــرٌ وَلَا الْمَاءُ سَالَ صَاعِدًا جَبَلَا
Hendaknya pelajar merasa
takut dan tidak meremehkan ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah dan tidak
merasa malu serta sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya
serta lain-Nya, karena orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan
mendapatkan ilmu, sebagaimana tidak ada air yang mengalir ke atas gunung.
مَنْ لَيْسَ
مُحْتَمِلًا ذُلَّ التَّعَلُّمِ سَا # عَةً فَفِى ذِلَلِ الْجَهْلِ بَقِىْ طِوَلَا
Barang siapa yang tidak
bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu yang pendek, maka
orang itu akan berada dalam kebodohan yang hina pada waktu yang lama.
وَلْيُصْلِحَنْ
نِيَّةَ الْعِلْمِ بِحَيْثُ يَكُوْ # نُ مُخْلِصًا لَمْ يُرِدْ عَرْضَ الدُّنَا سَفُلَا
مُبْتَعِدًا
عَنْ مَحَبَّةِ الرِّيَاسَةِ تَعْــ # ــظِيْمِ الْأُنَاسِ وَمَدْحِهِمْ لَهُ جَزُلَ
مَنْ طَلَبَ
الْعِلْمَ لِلهِ وَمَا طَلَبَا # إِلَّا الدُّنَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجِنَانِ جَلَا
Pelajar hendaknya
membaguskan/ memurnikan niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan
harta benda yang mulia dan menjauhi dari mencintai kedudukan, dimuliakan
manusia serta dipuji oleh manusia, maka ia akan menjadi orang yang mulia. Barang
siapa orang yang mencari ilmu itu karena Allah, maka pelajar tidak akan
mendapatkan apa-apa kecuali perkara dunia dan ia tidak akan mendapatkan baunya
surga.
وَلْيَحْذَرَنْ
أَنْ يُمَارِيَ بِهِ وَيُرَا # ئِيَ بِهِ وَيُبِاهِيَ بِهِ خُيَلَا
وَلْيُعْمَلَنَّ
بِمَا سَمِعَ مِنْ جُمَلِ # عِلْمَ الْعِبَادَاتِ وَالْأَدَابِ مَا فَضُلَا
Hendaklah pelajar takut
dengan perselisihan ilmu, unggul-unggulan
ilmu karena sombong dan mengamalkan sesuatu yang pernah didengarnya dari
beberapa bagian ilmu ibadah dan ilmu akhlak yang utama.
فَذَا زَكَاةُ
الْعُلُوْمِ سَبَبٌ وَصَلَا # لِحِفْظِهَا مَنْ أَرَادَهُ أَتَى عَمَلَا
وَلْيُرْشِدَنَّ
إِلَى الْعِلْمِ إِذَا ظَفَرَا # بِهِ وَلَوْ كِلْمَةٍ لِلهِ مَا بَخِلَا
Beberapa amal akan
menjadi pembersih beberapa ilmu yang akan menjadi sebab munculnya hafal
beberapa ilmu, barang siapa mengharapkan hafal ilmu, maka lakukanlah ilmu itu
dan mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu kalimat karena Allah
Ta’ala, maka ia tidak termasuk orang yang bakhil.[83]
3. Kelebihan Kitab Tanbihul Muta’allim
Adapun kelebihan
dari kitab Tanbihul Muta’allim karya Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi menurut
penulis adalah :
a. Kitab Tanbihul Muta’allim dimulai dan diakhiri dengan
kalimat rasa syukur kepada Allah SWT. dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.,
sehingga hal itu dapat memberikan keberkahan (bertambahnya kebaikan) bagi
penulis, guru, pencari ilmu dan pembaca.
b. Kitab Tanbihul Muta’allim merupakan sebuah kitab klasik
yang memuat pendidikan akhlak dalam proses belajar mengajar secara ringkas dan
specifik.
c. Kitab Tanbihul Muta’allim ditulis dalam bentuk
syair-syair yang bersifat nadhaman sehingga memudahkan anak-anak dan para
pencari ilmu untuk menghafalkan dan mempelajarinya.
d. Kitab Tanbihul Muta’allim disusun secara sistematis
dengan meletakkan beberapa bab yang runtut sehingga memudahkan para pencari
ilmu dalam memahami kitab tersebut.
e. Dengan kemudahan dalam memahami kitab Tanbihul Muta’allim, hal
itu menjadikan para pencari ilmu mampu mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan
akhlak yang ada di kitab Tanbihul Muta’allim dalam kehidupan
sehari-hari, terutama terhadap kepribadian pencari ilmu.
f. Isi dari kitab Tanbihul Muta’allim dapat dijadikan salah
satu sumber inspirasi pendidikan dalam membentuk pribadi pencari ilmu (peserta
didik) yang memiliki akhlak dan sikap yang baik dalam proses belajar mengajar.
g. Ada pesan singkat yang memberikan motifasi kepada pencari ilmu
yaitu sebagai salah satu langkah yang ditempuh penulis untuk memberikan
peringatan agar dapat melaksanakan dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah dihafalkan
dan dipelajari dalam kehidupan sehari-harinya pada saat proses belajar mengajar
maupun bermasyarakat.
[65]
Fehlephi Ramadhan. “Konsep Etika Murid dalam
mencari Ilmu menurut KH. Ahmad Maisur Sindy At Tursidy.” http://www.scribd.com/doc/151493457/13-BAB-III#scribd. Diakses, 7 Maret 2015.
[66] Fehlephi
Ramadhan. “Konsep Etika Murid dalam mencari Ilmu menurut KH. Ahmad Maisur Sindy
At Tursidy.” http://www.scribd.com/doc/151493457/13-BAB-III#scribd.
Diakses, 10 Maret 2015.
[67]
M. Yatimin Abdullah, op., cit., hlm. 15.
[68]
Sodri
Mubarok, (Konsep Etika Murid Dalam Mencari Ilmu Menurut KH. Ahmad Maisur Sindy At
Tursidy), (skripsi STAIN Pekalongan, 2013).
[69] Ibid,
hlm. 79. (skrpsi STAIN Pekalongan, 2013).
[70]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, Tadzribunnujaba’, (Semarang: Toha Putra,
tt), hlm. 3.
[71]
Sodri Mubarok, op., cit., hlm. 81. (skrpsi STAIN Pekalongan, 2013).
[72]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, Tanbidzul Bayan, (Semarang: Toha Putra,
tt), hlm. 2.
[73]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 2.
[75]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, loc., cit.,, hlm. 2.
[76]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 32.
[77]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 4.
[78]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 5-6.
[79]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 7.
[80]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 8-10.
[81]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 10.
[82]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 11-13.
[83]
Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, ibid, hlm. 14-23.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar