Selasa, 28 Februari 2017

BAB II Teori Pendidikan Akhlak



BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK
1.        Pendidikan Akhlak
a.    Definisi Pendidikan Akhlak
Menurut bahasa (etimologi) perkataan akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.[1] Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika.[2]
Dalam kamus Al-Munjid, khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.[3] Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama,[4] ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.
Dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut dapat dihimpun sebagai berikut:
1.         Abdul Hamid mengatakan bahwa akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan.[5]
2.         Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.[6]
3.         Ibn Maskawaih mendefinisikan bahwa akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).[7]
4.         Ahmad Amin mengatakan bahwa akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya, apabila kebiasaan memberi sesuatu yang baik, maka disebut akhlâqul karîmah dan bila perbuatan itu tidak baik disebut akhlâqul madzmûmah.[8]
5.         Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.[9]
6.         Asmaran AS mengatakan akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk sekelilingnya.[10]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya khuluq (budi pekerti) atau akhlak yaitu suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian, sehingga dari sini dapat timbul berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran baik perbuatan manusia terhadap Tuhan, manusia terhadap manusia, dan manusia terhadap makhluk yang lainnya. Selain itu, dari definisi tersebut terdapat sebuah anjuran bahwa akhlak merupakan hasil dari adanya suatu proses pendidikan karena akhlak tidak terbentuk secara tiba-tiba namun perlu adanya bimbingan dan arahan.
Pendidikan akhlak merupakan usaha-usaha dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Pendidikan akhlak ini dilakukan berdasarkan asumsi bahwa anak adalah hasil usaha pembinaan, pendidikan bukan terjadi dengan sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, patah hati, hati nurani, dan instuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.[11]
Selain itu pendidikan akhlak juga merupakan usaha dalam mendidik dan melatih berbagai potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia dengan program rancangan pendidikan dan pembinaan akhlak yang baik dan sistematik serta dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, sehingga akan menghasilkan anak didik yang baik akhlaknya.[12]
Dalam Al-Qur’ân Surah Ar-Ra’d ayat 11, disebutkan bahwa:
 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)[13]

Sedangkan dalam salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Perbaikilah akhlak kamu”. Ini menunjukkan bahwa akhlak yang buruk dapat dirubah dan dididik sehingga menjadi akhlak yang baik. Karena seandainya akhlak itu tetap seperti awal penciptaannya tanpa dapat mengalami perubahan apapun, maka sudah tentu Rasul tidak akan menyuruh umat Islam untuk memperbaiki akhlak mereka.[14]
Pendidikan akhlak dalam penelitian ini yaitu nilai suatu konsep akhlak sebagai proses untuk mengubah sikap dan tata laku pelajar dalam mendewasakan dirinya agar mampu hidup bersosial dengan baik di masyarakat demi mendapatkan kemuliaan yang setinggi-tingginya.
b.   Sumber-Sumber Pendidikan Akhlak
Sumber pendidikan akhlak ialah Al-Qur’ân dan Al-Hadits. Tingkah laku Nabi Muhammad merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia semua, hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmannya:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzâb: 21).[15]

Tentang akhlak pribadi Rasulullah dijelaskan pula oleh ‘Aisyah ra. diriwayatkan oleh Imam Muslim. Dari ‘Aisyah ra. berkata: “Sesungguhnya Akhlak Rasulullah itu adalah Al-Qur’ân.” (HR. Muslim). Hadits Rasulullah meliputi perkataan dan tingkah laku beliau, merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’ân. Segala uacapan dan perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah, dalam firmannya:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
Artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’ân) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)[16]

Jika telah jelas bahwa Al-Qur’ân dan Al-Hadits adalah pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber pendidikan akhlâqul karîmah dalam ajaran Islam yang paling mulia untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
c.    Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yaitu melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, yang dikenal dengan al-Ghunyah, dalam bahasa Inggris disebut, the high goal, dalam bahasa Indonesia disebut dengan ketinggian akhlak. Ketinggian akhlak diartikan sebagai meletakkan kebahagiaan pada pemuasan nafsu makan minum dan syahwat dengan cara yang halal. Al-Ghazali menyebutkan bahwa ketinggian akhlak merupakan kebaikan tertinggi. Kebaikan-kebaikan dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat macam yaitu:
1.         Kebaikan jiwa yaitu ilmu, bijaksana, suci diri, berani dan adil.
2.         Kebaikan dan keutamaan badan yakni sehat, kuat, tampan dan usia panjang.
3.         Kebaikan eksternal yaitu harta, keluarga, pangkat dan nama baik.
4.         Kebaikan bimbingan (taufiq dan hidayah) yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan dan penguatannya.
Jadi tujuan pendidikan Akhlak diharapkan untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat bagi pelakunya sesuai ajaran al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat juga dilihat dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan takwa. Dalam bertaqwa mengandung arti perintah dan larang. Ini menunjukkan adanya akhlaqul karimah (akhlak yang mulia), perbuatan yang baik, dan budi yang luhur dalam jiwa yang bertaqwa..[17]
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit dasar, fungsi dan tujuan dinyatakan pada Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional anatara lain adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang berakhlak mulia atau bermoral tinggi. Akan tetapi, rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun kebijakan pendidikan nasional kita. Dalam ketidakjelasan sosok pendidikan moral dalam struktur kurikulum, masyarakat pada umumnya memandang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai representasi pendidkan moral.
Tujuan pendidikan berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif, dan spiritual.[18]
Tujuan pendidikan akhlak yang dimaksud dalam penelitian ini ialah akhlak atau karakter yang terbentuk atas dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga mampu tertanam di dalam jiwa para pencari ilmu atau pelajar.
d.   Urgensi Pendidikan Akhlak
Akhlak merupakan garis pemisah antara yang berakhlak dengan yang tidak berakhlak, akhlak juga merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad yang tidak bernyawa. Dan yang paling penting lagi akhlak adalah nilai yang menjamin keselamatan kita dari siksa api neraka.
Ahmad Syauqy dalam sya’irnya;
إِنَّمَا الْأُمَمُ الْأخْلَاقُ مَابَقِيَتْ         *        فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلَاقُهُمْ ذَهَبُوْا
Artinya: “Suatu bangsa akan abadi dan jaya bila budi akhlak masih ada padanya, bangsa itu akan hancur dan binasa bila akhlak dan budi telah tiada”.[19]

Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan berbudi luhur. Namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk mengetahui yang baik dan buruk. Orang yang baik akhlaknya biasanya banyak memiliki teman sejawat dan sedikit musuhnya, seperti ungkapan ahli: “seribu kawan masih kurang, akan tetapi satu musuh terlalu banyak”.[20]
Adanya fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi. Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni, tetapi di sisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi pemuda-pemudi dan mencari sasaran pasangan sesaat dengan imbalan materi maupun kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk menanamkan akhlak karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.[21]
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Dalam masyarakat, tuntutan akan guru yang berprilaku ideal dan paripurna merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan mendesak, seiring keinginan dan tuntutan pendidikan yang melahirkan anak bangsa dan generasi penerus bangsa yang berakhlak dan bertaqwa. Hal ini disebabkan pada era sekarang kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan profesional juga berakhlak mulia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di sisi lain Sumber Daya Manusia yang akan diciptakan bukan sekedar robot yang bisa melakukan apa saja, tanpa melihat siapa yang dihadapinya. Namun, dituntut punya akhlak, keteladanan dan kewibawaan dalam semua aktivitas dari seluruh perilaku SDM-nya dalam melakukan sasaran pelayanan sehingga benar-benar tepat dan berdaya guna.[22]
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sungguh Aku (Nabi Muhammad) diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak.”[23]

e.    Macam-Macam Pendidikan Akhlak
Dengan tiga langkah metode sufistik itulah, dapat dijelaskan secara lebih rinci bahwa akhlak secara umum terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut:[24]
1.         Akhlak terpuji atau akhlak mulia yang disebut dengan al-Akhlak al-Mahmudah atau al-Akhlaq al-Karimah; yaitu akhlak yang dikehendaki oleh Allah SWT. dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan sebagai akhlak orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Orang-orang yang terpuji adalah yang memulai setiap tindakan dan perilaku dengan membaca bismillah, selalu bertekad kuat hanya untuk beribadah dan meminta pertolongan kepada Allah SWT. agar dibimbing ke jalan yang lurus, jalan yang penuh nikmat dan ridha-Nya.
2.         Akhlak tercela atau akhlak yang dibenci, yakni disebut al-Akhlak al-Madzmumah; yaitu akhlak yang dibenci oleh Allah SWT. sebagaimana akhlak orang-orang kafir, orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Akhlak orang-orang tercela adalah orang-orang yang berperilaku atas nama selain Allah SWT. orang-orang yang menghambakan diri pada hawa nafsunya. Orang-orang yang selalu berada di jalan yang bengkok, yaitu jalan yang menuju neraka, jalan yang nikmatnya sementara, dan jalan yang dibenci oleh Allah SWT.
Sedangkan Ahmad Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam. Dalam islam, akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu konsep akhlak islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:[25]
1.         Hubungan antara manusia dengan Allah seperti akhlak terhadap Tuhan.
2.         Hubungan manusia dengan sesamanya.
Hubungan manusia dengan sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan seseorang terhadap masyarakat, seperti akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak keluarga.
3.         Hubungan manusia dengan lingkungannya.
Akhlak terhadap makhluk lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan akhlak terhadap alam sekitar.
4.         Akhlak terhadap diri sendiri.
Akhlak terhadap diri sendiri seperti akhlak terhadap jasmani yaitu dengan menjaga kesehatan tubuh agar dapat digunakan untuk hal-hal kebaikan, dan akhlak terhadap rohani yaitu agar senantiasa menjaga nama baik diri sendiri.
2.        Langkah-langkah Implementasi Pendidikan Akhlak
a.    Konsep Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang dalam pendidikan akhlak, yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Hal ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.[26]
Orang-orang yang menganut aliran tasawuf akhlaqi lebih mengutamakan pendekatan-pendekatan tertentu untuk menggapai kecintaan kepada Allah SWT pada dirinya. Sebagai langkah awal adalah dengan takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela serta memerdekakan jiwa dari hawa nafsu duniawi yang akan menjerumuskan manusia ke dalam kerakusan dan bertingkah layaknya binatang.[27]
Yang dimaksud dengan takhalli itu sendiri ialah mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi dengan dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan berusaha menguasai hawa nafsu. Takhalli (membersihkan diri dari sifat tercela) oleh sufi dipandang penting karena semua sifat-sifat tercela merupakan dinding-dinding tebal yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami tasawuf seseorang harus mampu melepaskan diri dari sifat tercela dan mengisinya dengan akhlak-akhlak terpuji untuk dapat memperoleh kebahagiaan yang hakiki.[28]
Dalam proses penyucian jiwa, secara psikologis ada dua macam ketidaksadaran, yang pertama berasal dari qalb dan yang kedua bersumber dari hawa nafsu atau nafs amarah. Ketidaksadaran dalam hati manusia, menurut sufisme adalah cermin Ilahi yang di dalamnya termuat rahmat. Cermin tersebut harus dibersihkan dari godaan alamiyah dan dunia materi, sehingga benar-benar bersih dan dapat memancarkan cahaya kebenaran.
b.   Konsep Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli ini dilakukan setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak jelek.[29]
Tahalli juga sebagai upaya mengisi jiwa dengan akhlak yang terpuji. Setelah jiwa dikosongkan, otak dicuci, tindakan nafsu setan dibombardir agar manusia kembali pada fitrahnya. Saat itulah jiwa dan otaknya diisi dengan pesan Ilahi dengan mempertahankan tingkah laku yang terpuji. Hidup penuh dengan tuntunan dan tuntutan Ilahi sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Cara terbaik untuk melakukan tahalli adalah tidak berhenti bertobat dari segala perbuatan nista. Manusia harus menyesali perbuatannya, berjanji dalam jiwanya tidak akan mengulangi perbuatan nista, dan memperbanyak perbuatan baikyang dikehendaki oleh Allah SWT. Manusia yang bertobat sebaiknya melakukan hijrah nafsiah yaitu suatu perpindahan kejiwaan yang cenderung berbuat mengikuti ajakan setan menuju kejiwaan yang cenderung pada seruan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Bertobat adalah melakukan proses inabah, yaitu selalu memposisikan diri pada tempat yang dipenuhi keberkahan Allah SWT. Bertobat juga merupakan proses aubah, yaitu menguatkan rasa cinta dan kerinduan kepada Allah SWT. dengan meninggalkan semua bentuk perbuatan yang haram dan dibenci Allah SWT. Sebuah penyesalan yang didasarkan pada kecintaan yang sejati untuk Al-Khaliq.
Setelah manusia bertobat dan menyesali perbuatannya, kehidupannya harus lebih berhati-hati. Akhlaknya terus dibangun oleh rasa takut dan rasa cemas kalau-kalau ia akan kembali berbuat dosa. Sebaliknya, ia akan terus-menerus berharap dapat meningkatkan kehidupannya menuju pada kehidupan yang lebih baik, meningkatkan akhlakul karimah-nya dengan menjalankan seluruh perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Rasa takut dan penuh harap oleh seorang sufi, yaitu Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) disebut dengan khouf dan raja’. Kecemasan atau rasa takut dan penuh harap sebaiknya dilengkapi oleh sifat zuhud, yaitu sifat manusia yang tidak mau diperbudak oleh hawa nafsu dan kehidupan duniawi semata. Nafsu duniawi banyak menyilaukan mata manusia. Ada tiga hal yang perlu dikendalikan dan diatur dengan baik, yaitu: harta, tahta dan wanita.[30]
Tahalli di sini maksudnya adalah menghiasi/mengisi diri dari sifat dan sikap serta perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan kata lain, sesudah mengosongkan diri dari sifat yang tercela (takhalli), maka usaha itu harus berlanjut terus ke tahap tahalli (pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi).
Adapun sikap-sikap yang dapat dibiasakan ialah sebagai berikut:[31]
1.         Taubat (at-Taubah)
Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan, yaitu:
a.         Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan dan takut akan siksa Allah.
b.        Beralih dari situasi baik ke situasi yang lebih baik lagi.
c.         Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
2.         Cemas dan Harap (khauf dan raja’)
Dengan adanya rasa takut akan menjadi pendorong bagi seseorang untuk meningkatkan pengabdiannya dengan harapan ampunan dan anugerah dari Allah.
3.         Zuhud
Zuhud ialah melepaskan diri dari kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Sikap zuhud ternyata terdapat perbedaan penafsiran dalam sufisme, ada yang moderat dan ada yang ekstrim. Aliran moderat berpendapat, bahwa zuhud yaitu sebatas tidak sampai lupa terhadap tujuan hakiki dari hidupnya, tidak perlu meninggalkan kehidupan duniawi secara total. Persoalan kehidupan sosial kemasyarakatan tetap dapat digeluti secara aktif, asal jangan mengurangi perhatian terhadap tujuan akhir dari kehidupan.[32]
4.         Al-Faqr
Yaitu puas dan bahagia dengan apa yang dimiliki. Al-Faqr juga dapat diartikan sebagai satu sikap yang paling mendukung dalam upaya pengendalian hawa nafsu, karena dengan sikap ini orang akan merasa tidak memiliki harta dan tidak memiliki siapapun, sekalipun ia memiliki harta kekayaan. Artinya, walaupun ia memiliki sesuatu yang bersifat bendawi, tetapi dianggapnya sebagai titipan dari Allah, bukan sebagai alat kenikmatan atau alat pemuas hawa nafsu yang cenderung merusak.[33]
5.         Ash-Shabru
Al-Ghazali membedakan sabar ke dalam beberapa nama, yaitu:
a.         Iffah, yaitu ketahanan mental terhadap hawa nafsu perut dan seksual.
b.        Hilm, yaitu kesanggupan menguasai diri agar tidak marah.
c.         Qana’ah, yaitu ketabahan hati menerima nasib sebagaimana adanya.
d.        Saja’ah, yaitu sikap pantang menyerah dalam menghadapi masalah.
6.         Ridha
Adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja yang datang dari Allah.
7.         Muraqabah
Muraqabah bisa diartikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan selalu ada perhitungan, seberapa jauh ia dapat menunaikan kewajiban dan sampai di mana ia telah melakukan pelanggaran hukum Allah.
c.    Konsep Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli. Tahap tajalli ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.[34]
Tajalli dapat dikatakan terungkapnya nur ghaib untuk hati.[35] Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: “ada saat-saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu”. Oleh karena itu, setiap calon sufi mengadakan latihan jiwa (riyadhah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat keji ataupun dari hal-hal duniawi, lalu mengisinya dengan sifat-sifat terpuji seperti: beribadah, dzikir, menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesucian diri dan seluruh jiwa (hati) semata-mata hanya untuk memperoleh tajalli yaitu menerima pancaran Ilahi.
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur-Nya, maka berlimpah ruahlah rahmat dan karunianya. Pada tingkatan ini, hati hamba akan bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas, dan terangkat tabir rahasia alam malakut dengan karunia rahmat Tuhan tersebut.[36]
Manusia yang telah melakukan kesadaran tertinggi dengan cara membiasakan kehidupannya dengan akhlak terpuji. Kehidupannya tidak ada kecuali rasa cinta, rindu dan bahagia karena dekat dengan Allah SWT. kebersihan diri dengan tobat, kehati-hatian hidup karena waspada, ketakutan akan dosa, penuh harapan, dan sabar menghadapi berbagai cobaan, akan terus melatih jiwa manusia untuk lebih stabil dan berani menghadapinya dengan ridha dan senantiasa mengembalikan seluruh urusan kepada Allah SWT. Iradah terbesar dari kekuatan manusia hanyalah pemberian Allah SWT. agar manusia berakhlak dengan akhlak yang menjadi cahaya Ilahi. Semua tindakan didasarkan pada alasan yang dibenarkan oleh syari’at Allah SWT.[37]
Adapun untuk memperdalam rasa cinta kepada Allah dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:[38]
1.         Munajat
Adapun yang dimaksud dengan munajat ialah menyampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Hal ini dapat dilakukan sewaktu selesai shalat tahajud. Latihan dengan ibadah seperti: perenungan, do’a dan air mata adalah metode memperdalam penghayatan rasa ketuhanan, sekali berjumpa ingin selalu bersama.[39]
2.         Muraqabah dan Muhasabah yaitu usaha mendekatkan diri kepada Allah dan senantiasa instropeksi diri atas apa yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya dalam bermasyarakat dan bermuamalah sesama makhluk ciptaanya.
3.         Memperbanyak wirid dan dzikir.
4.         Tafakkur yaitu berfikir secara mendalam atas semua yang telah Allah karuniakan kepada para hambanya, sehingga dapat mengambil nilai positif dari setiap yang telah ditentukan-Nya.
5.         Dzikrul maut yaitu mengingat kepada Allah akan kematian yang pasti akan terjadi.
3.        Konsep Pendidikan Akhlak Tokoh-Tokoh Modern
a.         Kevin Ryan dari Boston University mengatakan bahwa jika Anda ingin ingin melakukan sesuatu untuk meningkatkan makna dari keberadaan para guru maka jadikan pendidikan moral termasuk dalam pembentukan sikap bermasyarakat dengan kerendah hatian sebagai obagian dari materi utama pendidikan di sekolah.[40]
b.         Seorang filsuf Yunani bernama Aristoteles mendefinisikan karakter sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain.[41]
c.         Menurut seorang filsuf kontemporer bernama Michael Novak karakter merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.[42]
Dengan mendidik orang agar memiliki rasa saling menghormati, dan bertanggung jawab, yaitu dengan membuat siswa mengimplementasikan nilai-nilai dalam kehidupannya, berarti guru telah mendidik karakter yang terdiri dari:
a.         Pengetahuan moral (kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, memiliki perspektif, memiliki alasan moral, membuat keputusan, dan berpengetahuan)
b.         Perasa (berhati nurani, percaya diri, berempati, menyukai kebaikan, dapat mengontrol diri, dan rendah hati)
c.         Tindakan bermoral (berkemampuan, memiliki kemauan, dan memiliki kebiasaan baik)
Sekolah-sekolah yang membangun karakter siswanya harus mengambil pendekatan komprehensif yaitu pendekatan yang dekat terhadap nilai-nilai pendidikan yang menggunakan semua fase kehidupan sekolah untuk membantu perkembangan karakter. Di dalam kelas, sebuah pendekatan komprehensif menuntut guru untuk:[43]
a.         Bertindak sebagai seorang penyayang, model, dan mentor yang memperlakukan siswa dengan kasih sayang dan respek, memberikan sebuah contoh yang baik, mendukung kebiasaan yang bersifat sosial, dan memperbaiki jika ada yang salah.
b.         Menciptakan sebuah komunitas bermoral di dalam ruang kelas, membantu siswa untuk saling mengenal, saling menghormati dan menjaga satu sama lain, dan merasa bagian dari kelompok tersebut.
c.         Berlatih memiliki disiplin moral, menggunakan aturan-aturan sebagai kesepakatan untuk membantu menegakkan moral, kontrol terhadap diri sendiri, dan sebuah generalisasi rasa hormat pada orang lain.
d.        Menciptakan sebuah lingkungan kelas yang demokratis, melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan dan berbagi tanggung jawab untuk menciptakan ruang kelas yang baik, serta nyaman untuk belajar.
e.         Mengajarkan nilai-nilai yang baik melalui kurikulum, menggunakan pelajaran akademik sebagai kendaraan untuk membahas permasalahan etika.
f.          Menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif dalam mengajar anak-anak untuk bersikap dan dapat saling membantu, serta bekerja sama.
g.         Mengembangkan seni hati nurani dengan membantu mereka mengembangkan tanggung jawabnya secara akademik dan rasa hormat terhadap nilai-nilai belajar dan bekerja.
h.         Menyenangi siswa untuk merfleksikan moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan membuat keputusan dan beragumen.
i.           Mengajarkan mereka mencari resolusi dari sebuah konflik sehingga para siswa memiliki kapasitas dan komitmen untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan.
Sedangkan pendekatan komprehensif menuntut sekolah untuk:[44]
a.         Meiliki sifat penyayang di luar lingkungan kelas dengan menggunakan peran model yang inspiratif, memberikan pelayanan sekolah dan komunitas kepada para siswa untuk membantu mereka mempelajari bagaimana cara peduli terhadap orang lain dengan cara memberikan kepedulian yang nyata kepada mereka.
b.         Menciptakan kebudayaan moral yang positif, mengembangkan lingkungan sekolah secara menyeluruh (melalui kepemimpinan seorang kepala sekolahnya, disiplin dari seluruh warga sekolah, memiliki rasa kebersamaan, pemimpin para siswa yang adil, bermoral antar orang-orang dewasa, dan menyediakan waktu untuk membahas tentang moral) yang mendukung dan memperkuat nilai-nilai pengajaran di dalam kelas.
c.         Mengikutsertakan wali murid dan masyarakat sekitar sebagai rekan kerja untuk mengajarkan nilai-nilai pendidikan karena wali murid merupakan guru moral pertama bagi anak-anak, mengajak wali murid untuk mendukung sekolah dan segala upayanya untuk menanamkan nilai-nilai yang baik, dan mencari dukungan dari kalangan keagamaan, bisnis-bisnis dan media.
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa guru menggunakan pendekatan kooperatif dalam proses belajar terhadap siswanya. Proses belajar kooperatif adalah proses belajar yang mengajarkan nilai moral dan akademik sekaligus. Proses belajar ini bekerja melalui proses intruksional. Proses ini memberikan arahan pada guru: “Ambillah apa yang biasanya anda ajarkan dan ajarkan nilai moral dan akademik pada waktu yang bersamaan. Proses belajar kooperatif ini macamnya antara lain: partner belajar, pengaturan duduk berkelompok, proses belajar tim, proses belajar jigsaw, ujian berkelompok, proyek kelompok kecil, kompetisi tim, dan proyek satu kelas.[45]
Adapun keuntungan yang spesifik dari pembelajaran kooperatif:[46]
a.         Proses belajar kooperatif mengajarkan nilai-nilai kerja sama, Membangun komunitas di dalam kelas.
b.         Membangun komunitas di dalam kelas.
c.         Mengajarkan ketrampilan dasar kehidupan.
d.        Memperbaiki pencapaian akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap sekolah.
e.         Menawarkan alternatif dalam pencatatan.
f.          Memiliki potensi untuk mengontrol efek negatif dari persaingan.
4.        Hubungan Pendidikan Akhlak terhadap Spiritualisme, Sikap, Pengetahuan dan Skill Pelajar
Dalam perspektif ilmu, akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio. Oleh karena itu, manusia berakhlak harus rasional. Pemahaman ini melahirkan aliran rasionalisme yang awalnya merupakan aliran dalam filsafat. Selain harus rasional, berakhlak menjadi bagian dari membuat percobaan dan pengalaman. Oleh sebab itu, akhlak manusia akan berkembang jika bersifat positif dan objektif dengan pendekatan empiris.[47]
Akhlak terpuji memiliki beberapa akibat bagi individu tersebut, seperti meningkatkan wibawa, mendapat kehormatan di masyarakat, banyak disenangi sesamanya, mudah mendapat perlindungan, serta mendapat ketentraman dan kebahagiaan hati, karena akhlak yang terpuji sesuai dengan fitrah manusia yang menyukai kebaikan. Melalui akhlak terpuji pula, derajat manusia di sisi Allah akan semakin meningkat, karena hanya dengan kebaikan (ihsan), seseorang dapat semakin mendekatkan diri dengan Allah, serta terhindar dari hukuman yang bersifat manusiawi.[48]
Akhlak terpuji juga mampu membina dan menjaga kerukunan antar tetangga yang terwujud dalam sikap saling menghormati, saling melindungi, saling menjaga, dan saling peduli satu sama lainnya (toleransi), sehingga seluruh lapisan masyarakat akan menjadi tenang, aman, damai dan sejahtera.[49]
Sedangkan akhlak tercela memiliki beberapa kerugian, di antaranya kerugian bagi diri sendiri yang bersangkutan meliputimerendahkan diri, sulit bergaul dengan sesamanya (karena kurang diterima), sering mendapat hukuman yang bersifat manusiawi (seperti dipenjara, dicambuk), mengurangi kehormatan (harga diri) yang dimilikinya, serta mendapat tempat yang buruk di masyarakat. Secara batin menyebabkan individu tersebut menjadi jauh dengan Allah, karena perbuatan tersebut telah menyalahi aturan yang telah digariskan oleh Allah.
Selain itu akhlak tercela yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, maka akan menjadi kekacauan, kerusuhan dan ketidaknyamanan di masyarakat. Bahkam lebih jauh lagi, akhlak tercelak dapat menciptakan kehancuran lingkungan. Hal tersebut dapat terjadi karena satu sama lain saling mencurigai, saling membenci, dan saling menjauhi.[50]


[1] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 11.
[2] Sahilun A. Nasir, Tinjauan Akhlak, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), hlm. 14.
[3] Luis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Al-Maktabah Al-Kâtûlikiyah, tt), hlm. 194.
[4] Husain Al-Habsyi, Kamus Al-Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt), hlm. 87.
[5] Abdul Hamid, Da’irab Al-Ma’ârif, (Kairo: Asy-Syâ’ib, tt), 936.
[6] Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm Ad-Dîn, (Kairo: Al-Masyhad Husain, tt), hlm. 56.
[7] A. Mustofa, op., cit., hlm. 13-14.
[8] Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, (Kairo: Dârul Kutub Al-Mishriyah, tt), hlm. 15.
[9] Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Dârul Ma’ârif, 1972), hlm. 202.
[10] Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1.
[11] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. iv, hlm. 153-156.
[12] Nasrul, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 14.
[13] Departemen Agama RI, Al-Qur’ân Al-Fatih (Al-Qur’ân Tafsir Per Kata di Sarikan dari Tafsir Ibn Katsir), (Jakarta: PT. Rilis Grafika, 2009), hlm. 250.
[14] Nasrul, op., cit., hlm. 16.
[15] Departemen Agama RI, ibid, hlm. 420.
[16] Departemen Agama RI, ibid, hlm. 526.
[17] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 4.
[18] Muchson dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 83-84.
[19] Abi Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak, (Beirut: Lebanon, 2011), hlm. 12, Pdf. Dalam Nasrul, op., cit., hlm. 5.
[20] Nasrul, op., cit., hlm. 6.
[21] Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 35.
[22] Nasrul, op., cit., hlm. vi.
[24] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 199-200.
[25] Alwan Khoiri, dkk, op., cit., hlm. 19.
[26] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 31.
[27] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 195.
[28] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 72.
[29] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 31.
[30] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 195-196.
[31] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 73.
[32] Nasrul, op., cit., hlm. 146.
[33] Qamar Kailani, Fit Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), hlm. 27. Dalam Nasrul, op., cit., hlm. 146.
[34] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 31.
[35] Qomar Kailani, Tasawuf Islam, (Dar al-Ma’rifah, 1976), hlm. 2. Dalam Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 75.
[36] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 74.
[37] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 199.
[38] Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 74-75.
[39] Al-Syuhrawardi al-Baghdadi, Awarif al-Ma’arif, vol.1, tp, (Kairo, 1939), hlm. 20. Dalam Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya), . . . , hlm. 75.
[40] Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, (Terjemahan dari Juma Abdu Wamaungo), (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2013), hlm. 35.
[41] Thomas Lickona, ibid., hlm. 81.
[42] Thomas Lickona, loc., cit., hlm. 81.
[43] Thomas Lickona, ibid., hlm. 107.
[44] Thomas Lickona, ibid., hlm. 108.
[45] Thomas Lickona, ibid., hlm. 292.
[46] Thomas Lickona, ibid., hlm. 276-277.
[47] Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 217.
[48] Nasrul, op., cit., hlm. 49.
[49] Zahrunndin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158-159.
[50] Nasrul, op., cit., hlm. 49-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar