BAB II
PENDIDIKAN AKHLAK
1.
Pendidikan Akhlak
a.
Definisi Pendidikan
Akhlak
Menurut bahasa (etimologi)
perkataan akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq (khuluqun) yang
berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.[1]
Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan
gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut
wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq
ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab
kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos
kemudian berubah menjadi etika.[2]
Dalam kamus Al-Munjid,
khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at.[3]
Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama,[4] ilmu
yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai kepada
perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.
Dilihat dari sudut
istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama
yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat ahli tersebut dapat dihimpun
sebagai berikut:
1.
Abdul Hamid mengatakan
bahwa akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara
mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan, dan tentang keburukan
yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk
keburukan.[5]
2.
Imam Al-Ghazali mengatakan
bahwa akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.[6]
3.
Ibn Maskawaih
mendefinisikan bahwa akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa
manusia, yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau
pertimbangan (kebiasaan sehari-hari).[7]
4.
Ahmad Amin mengatakan bahwa
akhlak ialah kebiasaan baik dan buruk. Contohnya, apabila kebiasaan memberi
sesuatu yang baik, maka disebut akhlâqul karîmah dan bila perbuatan itu
tidak baik disebut akhlâqul madzmûmah.[8]
5.
Ibrahim Anis mengatakan
bahwa akhlak ialah ilmu yang objeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan
dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya.[9]
6.
Asmaran AS mengatakan
akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan
jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk sekelilingnya.[10]
Dari beberapa definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya khuluq (budi pekerti)
atau akhlak yaitu suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan
menjadi kepribadian, sehingga dari sini dapat timbul berbagai macam perbuatan
dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran baik
perbuatan manusia terhadap Tuhan, manusia terhadap manusia, dan manusia
terhadap makhluk yang lainnya. Selain itu, dari definisi tersebut terdapat
sebuah anjuran bahwa akhlak merupakan hasil dari adanya suatu proses pendidikan
karena akhlak tidak terbentuk secara tiba-tiba namun perlu adanya bimbingan dan
arahan.
Pendidikan akhlak
merupakan usaha-usaha dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana
pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh dan konsisten. Pendidikan akhlak ini dilakukan berdasarkan
asumsi bahwa anak adalah hasil usaha pembinaan, pendidikan bukan terjadi dengan
sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di dalamnya
akal, nafsu amarah, nafsu syahwat, fitrah, patah hati, hati nurani, dan
instuisi dibina secara optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat.[11]
Selain itu pendidikan
akhlak juga merupakan usaha dalam mendidik dan melatih berbagai potensi
rohaniah yang terdapat dalam diri manusia dengan program rancangan pendidikan
dan pembinaan akhlak yang baik dan sistematik serta dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, sehingga akan menghasilkan anak didik yang baik akhlaknya.[12]
Dalam Al-Qur’ân
Surah Ar-Ra’d ayat 11, disebutkan bahwa:
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak
ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.” (QS. Ar-Ra’d: 11)[13]
Sedangkan dalam salah
satu hadits Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Perbaikilah akhlak kamu”.
Ini menunjukkan bahwa akhlak yang buruk dapat dirubah dan dididik sehingga
menjadi akhlak yang baik. Karena seandainya akhlak itu tetap seperti awal penciptaannya
tanpa dapat mengalami perubahan apapun, maka sudah tentu Rasul tidak
akan menyuruh umat Islam untuk memperbaiki akhlak mereka.[14]
Pendidikan akhlak
dalam penelitian ini yaitu nilai suatu konsep akhlak sebagai proses untuk
mengubah sikap dan tata laku pelajar dalam mendewasakan dirinya agar mampu hidup
bersosial dengan baik di masyarakat demi mendapatkan kemuliaan yang
setinggi-tingginya.
b.
Sumber-Sumber
Pendidikan Akhlak
Sumber pendidikan
akhlak ialah Al-Qur’ân dan Al-Hadits. Tingkah laku Nabi Muhammad
merupakan contoh suri teladan bagi umat manusia semua, hal ini ditegaskan oleh Allah
dalam firmannya:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang
mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS. Al-Ahzâb: 21).[15]
Tentang akhlak pribadi
Rasulullah dijelaskan pula oleh ‘Aisyah ra. diriwayatkan oleh
Imam Muslim. Dari ‘Aisyah ra. berkata: “Sesungguhnya Akhlak
Rasulullah itu adalah Al-Qur’ân.” (HR. Muslim). Hadits Rasulullah meliputi
perkataan dan tingkah laku beliau, merupakan sumber akhlak yang kedua setelah Al-Qur’ân.
Segala uacapan dan perilaku beliau senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah,
dalam firmannya:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
Artinya: “Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Qur’ân) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan
itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm:
3-4)[16]
Jika telah jelas bahwa
Al-Qur’ân dan Al-Hadits adalah pedoman hidup yang menjadi asas
bagi setiap muslim, maka teranglah keduanya merupakan sumber pendidikan akhlâqul
karîmah dalam ajaran Islam yang paling mulia untuk memperoleh kebahagiaan
yang hakiki.
c.
Tujuan Pendidikan
Akhlak
Tujuan pendidikan
akhlak yaitu melakukan sesuatu atau tidak melakukannya, yang dikenal dengan al-Ghunyah,
dalam bahasa Inggris disebut, the high goal, dalam bahasa Indonesia
disebut dengan ketinggian akhlak. Ketinggian akhlak diartikan sebagai
meletakkan kebahagiaan pada pemuasan nafsu makan minum dan syahwat dengan cara
yang halal. Al-Ghazali menyebutkan bahwa ketinggian akhlak merupakan kebaikan
tertinggi. Kebaikan-kebaikan dalam kehidupan semuanya bersumber pada empat
macam yaitu:
1.
Kebaikan jiwa yaitu ilmu,
bijaksana, suci diri, berani dan adil.
2.
Kebaikan dan keutamaan
badan yakni sehat, kuat, tampan dan usia panjang.
3.
Kebaikan eksternal yaitu
harta, keluarga, pangkat dan nama baik.
4.
Kebaikan bimbingan (taufiq
dan hidayah) yaitu petunjuk Allah, bimbingan Allah, pelurusan dan
penguatannya.
Jadi tujuan pendidikan
Akhlak diharapkan untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat bagi
pelakunya sesuai ajaran al-Qur’an dan Hadits. Hal ini dapat juga dilihat dari
segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan takwa. Dalam bertaqwa
mengandung arti perintah dan larang. Ini menunjukkan adanya akhlaqul karimah
(akhlak yang mulia), perbuatan yang baik, dan budi yang luhur dalam jiwa yang
bertaqwa..[17]
Dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit dasar,
fungsi dan tujuan dinyatakan pada Pasal 3 bahwa tujuan pendidikan nasional
anatara lain adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang berakhlak mulia atau bermoral tinggi. Akan tetapi, rumusan yang bersifat
normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun
kebijakan pendidikan nasional kita. Dalam ketidakjelasan sosok pendidikan moral
dalam struktur kurikulum, masyarakat pada umumnya memandang Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai representasi pendidkan moral.
Tujuan pendidikan
berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian
secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak
didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam aspek skill,
kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan
mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri
berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi
pribadi saleh, pribadi berkualitas secara skill, kognitif, dan spiritual.[18]
Tujuan pendidikan
akhlak yang dimaksud dalam penelitian ini ialah akhlak atau karakter yang
terbentuk atas dasar prinsip ketundukan, kepasrahan dan kedamaian sehingga
mampu tertanam di dalam jiwa para pencari ilmu atau pelajar.
d.
Urgensi Pendidikan
Akhlak
Akhlak merupakan garis
pemisah antara yang berakhlak dengan yang tidak berakhlak, akhlak juga
merupakan roh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad yang
tidak bernyawa. Dan yang paling penting lagi akhlak adalah nilai yang menjamin
keselamatan kita dari siksa api neraka.
Ahmad Syauqy dalam sya’irnya;
إِنَّمَا الْأُمَمُ
الْأخْلَاقُ مَابَقِيَتْ * فَإِنْ هُمْ ذَهَبَتْ أَخْلَاقُهُمْ
ذَهَبُوْا
Artinya:
“Suatu bangsa akan abadi dan jaya bila budi akhlak masih ada padanya, bangsa
itu akan hancur dan binasa bila akhlak dan budi telah tiada”.[19]
Ilmu akhlak tidak memberi jaminan seseorang menjadi baik dan
berbudi luhur. Namun mempelajari akhlak dapat membuka mata hati seseorang untuk
mengetahui yang baik dan buruk. Orang yang baik akhlaknya biasanya banyak
memiliki teman sejawat dan sedikit musuhnya, seperti ungkapan ahli: “seribu
kawan masih kurang, akan tetapi satu musuh terlalu banyak”.[20]
Adanya fenomena yang harus dicermati dan dicarikan solusi.
Munculnya mall di kota-kota besar, satu sisi membuat orang betah berbelanja di
ruang-ruang sejuk yang sarat dengan dagangan tertata rapi dan warna-warni,
tetapi di sisi lain sebagian mall mulai difungsikan untuk mejeng bagi
pemuda-pemudi dan mencari sasaran pasangan sesaat dengan imbalan materi maupun
kepuasan badani. Menghadapi kenyataan ini gerakan bina moral serentak untuk
menanamkan akhlak karimah serasa tidak dapat ditunda lagi.[21]
Kedudukan akhlak dalam
kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun
masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada
bagaimana akhlaknya. Dalam masyarakat, tuntutan akan guru yang berprilaku ideal
dan paripurna merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan mendesak, seiring
keinginan dan tuntutan pendidikan yang melahirkan anak bangsa dan generasi
penerus bangsa yang berakhlak dan bertaqwa. Hal ini disebabkan pada era
sekarang kebutuhan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal dan profesional juga
berakhlak mulia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Di sisi lain Sumber Daya Manusia
yang akan diciptakan bukan sekedar robot yang bisa melakukan apa saja, tanpa
melihat siapa yang dihadapinya. Namun, dituntut punya akhlak, keteladanan dan
kewibawaan dalam semua aktivitas dari seluruh perilaku SDM-nya dalam melakukan
sasaran pelayanan sehingga benar-benar tepat dan berdaya guna.[22]
Hal ini sejalan dengan
sabda Rasulullah:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمِ
الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Sungguh Aku (Nabi Muhammad)
diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak.”[23]
e.
Macam-Macam
Pendidikan Akhlak
Dengan tiga
langkah metode sufistik itulah, dapat dijelaskan secara lebih rinci bahwa
akhlak secara umum terdiri atas dua macam, yaitu sebagai berikut:[24]
1.
Akhlak terpuji atau akhlak
mulia yang disebut dengan al-Akhlak al-Mahmudah atau al-Akhlaq
al-Karimah; yaitu akhlak yang dikehendaki oleh Allah SWT. dan
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akhlak ini dapat diartikan sebagai
akhlak orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
Orang-orang yang terpuji adalah yang memulai setiap tindakan dan perilaku
dengan membaca bismillah, selalu bertekad kuat hanya untuk beribadah dan
meminta pertolongan kepada Allah SWT. agar dibimbing ke jalan yang
lurus, jalan yang penuh nikmat dan ridha-Nya.
2.
Akhlak tercela atau akhlak
yang dibenci, yakni disebut al-Akhlak al-Madzmumah; yaitu akhlak yang
dibenci oleh Allah SWT. sebagaimana akhlak orang-orang kafir,
orang-orang musyrik dan orang-orang munafik. Akhlak orang-orang tercela adalah
orang-orang yang berperilaku atas nama selain Allah SWT. orang-orang
yang menghambakan diri pada hawa nafsunya. Orang-orang yang selalu berada di
jalan yang bengkok, yaitu jalan yang menuju neraka, jalan yang nikmatnya
sementara, dan jalan yang dibenci oleh Allah SWT.
Sedangkan Ahmad
Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia
sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk
penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai
makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak
keluarga, akhlak sosial, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam. Dalam
islam, akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial, namun
juga menyangkut kepada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia. Oleh karena itu
konsep akhlak islam mengatur pola kehidupan manusia yang meliputi:[25]
1.
Hubungan antara manusia
dengan Allah seperti akhlak terhadap Tuhan.
2.
Hubungan manusia dengan
sesamanya.
Hubungan manusia dengan
sesamanya meliputi hubungan seseorang terhadap keluarganya maupun hubungan
seseorang terhadap masyarakat, seperti akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap
tamu, akhlak terhadap suami, akhlak terhadap anak, dan akhlak terhadap sanak
keluarga.
3.
Hubungan manusia dengan
lingkungannya.
Akhlak terhadap makhluk
lain seperti akhlak terhadap binatang, akhlak terhadap tumbuh-tumbuhan, dan
akhlak terhadap alam sekitar.
4.
Akhlak terhadap diri
sendiri.
Akhlak terhadap
diri sendiri seperti akhlak terhadap jasmani yaitu dengan menjaga kesehatan
tubuh agar dapat digunakan untuk hal-hal kebaikan, dan akhlak terhadap rohani
yaitu agar senantiasa menjaga nama baik diri sendiri.
2.
Langkah-langkah
Implementasi Pendidikan Akhlak
a.
Konsep Takhalli
Takhalli
merupakan langkah pertama yang harus dijalani seseorang dalam pendidikan
akhlak, yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela. Hal
ini dapat dicapai dengan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala
bentuknya dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu.[26]
Orang-orang yang
menganut aliran tasawuf akhlaqi lebih mengutamakan pendekatan-pendekatan
tertentu untuk menggapai kecintaan kepada Allah SWT pada dirinya. Sebagai
langkah awal adalah dengan takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak
tercela serta memerdekakan jiwa dari hawa nafsu duniawi yang akan menjerumuskan
manusia ke dalam kerakusan dan bertingkah layaknya binatang.[27]
Yang dimaksud dengan takhalli
itu sendiri ialah mengosongkan diri dari sikap ketergantungan terhadap
kelezatan hidup duniawi dengan dengan cara menjauhkan diri dari maksiat dan
berusaha menguasai hawa nafsu. Takhalli (membersihkan diri dari sifat
tercela) oleh sufi dipandang penting karena semua sifat-sifat tercela merupakan
dinding-dinding tebal yang membatasi manusia dengan Tuhannya. Oleh karena itu,
untuk dapat mendalami tasawuf seseorang harus mampu melepaskan diri dari sifat
tercela dan mengisinya dengan akhlak-akhlak terpuji untuk dapat memperoleh
kebahagiaan yang hakiki.[28]
Dalam proses penyucian
jiwa, secara psikologis ada dua macam ketidaksadaran, yang pertama berasal dari
qalb dan yang kedua bersumber dari hawa nafsu atau nafs amarah. Ketidaksadaran
dalam hati manusia, menurut sufisme adalah cermin Ilahi yang di dalamnya
termuat rahmat. Cermin tersebut harus dibersihkan dari godaan alamiyah dan
dunia materi, sehingga benar-benar bersih dan dapat memancarkan cahaya
kebenaran.
b.
Konsep Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri
dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli ini dilakukan setelah jiwa dikosongkan dari akhlak-akhlak
jelek.[29]
Tahalli juga sebagai upaya mengisi jiwa dengan akhlak
yang terpuji. Setelah jiwa dikosongkan, otak dicuci, tindakan nafsu setan
dibombardir agar manusia kembali pada fitrahnya. Saat itulah jiwa dan otaknya
diisi dengan pesan Ilahi dengan mempertahankan tingkah laku yang
terpuji. Hidup penuh dengan tuntunan dan tuntutan Ilahi sebagaimana
dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Cara terbaik untuk melakukan tahalli adalah tidak
berhenti bertobat dari segala perbuatan nista. Manusia harus menyesali
perbuatannya, berjanji dalam jiwanya tidak akan mengulangi perbuatan nista, dan
memperbanyak perbuatan baikyang dikehendaki oleh Allah SWT. Manusia yang
bertobat sebaiknya melakukan hijrah nafsiah yaitu suatu perpindahan
kejiwaan yang cenderung berbuat mengikuti ajakan setan menuju kejiwaan yang
cenderung pada seruan Allah SWT. dan Rasulullah SAW. Bertobat
adalah melakukan proses inabah, yaitu selalu memposisikan diri pada
tempat yang dipenuhi keberkahan Allah SWT. Bertobat juga merupakan
proses aubah, yaitu menguatkan rasa cinta dan kerinduan kepada Allah
SWT. dengan meninggalkan semua bentuk perbuatan yang haram dan dibenci Allah
SWT. Sebuah penyesalan yang didasarkan pada kecintaan yang sejati untuk Al-Khaliq.
Setelah manusia bertobat dan menyesali perbuatannya,
kehidupannya harus lebih berhati-hati. Akhlaknya terus dibangun oleh rasa takut
dan rasa cemas kalau-kalau ia akan kembali berbuat dosa. Sebaliknya, ia akan
terus-menerus berharap dapat meningkatkan kehidupannya menuju pada kehidupan
yang lebih baik, meningkatkan akhlakul karimah-nya dengan menjalankan
seluruh perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. Rasa takut dan penuh
harap oleh seorang sufi, yaitu Hasan al-Bashri (wafat tahun 110 H) disebut
dengan khouf dan raja’. Kecemasan atau rasa takut dan penuh harap
sebaiknya dilengkapi oleh sifat zuhud, yaitu sifat manusia yang tidak
mau diperbudak oleh hawa nafsu dan kehidupan duniawi semata. Nafsu duniawi
banyak menyilaukan mata manusia. Ada tiga hal yang perlu dikendalikan dan
diatur dengan baik, yaitu: harta, tahta dan wanita.[30]
Tahalli di sini maksudnya adalah menghiasi/mengisi
diri dari sifat dan sikap serta perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan kata
lain, sesudah mengosongkan diri dari sifat yang tercela (takhalli), maka
usaha itu harus berlanjut terus ke tahap tahalli (pengisian jiwa yang
telah dikosongkan tadi).
Adapun sikap-sikap yang dapat dibiasakan ialah sebagai
berikut:[31]
1.
Taubat (at-Taubah)
Al-Ghazali
mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan, yaitu:
a.
Meninggalkan kejahatan
dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan dan takut akan siksa Allah.
b.
Beralih dari situasi baik
ke situasi yang lebih baik lagi.
c.
Rasa penyesalan yang
dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
2.
Cemas dan Harap (khauf
dan raja’)
Dengan adanya rasa
takut akan menjadi pendorong bagi seseorang untuk meningkatkan pengabdiannya
dengan harapan ampunan dan anugerah dari Allah.
3.
Zuhud
Zuhud ialah
melepaskan diri dari kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
Sikap zuhud ternyata terdapat perbedaan penafsiran dalam sufisme, ada
yang moderat dan ada yang ekstrim. Aliran moderat berpendapat, bahwa zuhud yaitu
sebatas tidak sampai lupa terhadap tujuan hakiki dari hidupnya, tidak perlu
meninggalkan kehidupan duniawi secara total. Persoalan kehidupan sosial
kemasyarakatan tetap dapat digeluti secara aktif, asal jangan mengurangi
perhatian terhadap tujuan akhir dari kehidupan.[32]
4.
Al-Faqr
Yaitu puas dan bahagia
dengan apa yang dimiliki. Al-Faqr juga dapat diartikan sebagai satu
sikap yang paling mendukung dalam upaya pengendalian hawa nafsu, karena dengan
sikap ini orang akan merasa tidak memiliki harta dan tidak memiliki siapapun,
sekalipun ia memiliki harta kekayaan. Artinya, walaupun ia memiliki sesuatu
yang bersifat bendawi, tetapi dianggapnya sebagai titipan dari Allah,
bukan sebagai alat kenikmatan atau alat pemuas hawa nafsu yang cenderung
merusak.[33]
5.
Ash-Shabru
Al-Ghazali membedakan
sabar ke dalam beberapa nama, yaitu:
a.
Iffah, yaitu
ketahanan mental terhadap hawa nafsu perut dan seksual.
b.
Hilm, yaitu
kesanggupan menguasai diri agar tidak marah.
c.
Qana’ah, yaitu ketabahan
hati menerima nasib sebagaimana adanya.
d.
Saja’ah, yaitu sikap
pantang menyerah dalam menghadapi masalah.
6.
Ridha
Adalah menerima dengan
lapang dada dan hati terbuka apa saja yang datang dari Allah.
7.
Muraqabah
Muraqabah bisa
diartikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan selalu ada perhitungan,
seberapa jauh ia dapat menunaikan kewajiban dan sampai di mana ia telah
melakukan pelanggaran hukum Allah.
c.
Konsep Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui
pada fase tahalli, rangkaian pendidikan akhlak disempurnakan pada fase tajalli.
Tahap tajalli ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi
sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan
satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.[34]
Tajalli dapat dikatakan terungkapnya nur ghaib
untuk hati.[35]
Rasulullah SAW. bersabda yang artinya: “ada saat-saat tiba karunia dari
Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu”. Oleh karena itu, setiap calon sufi
mengadakan latihan jiwa (riyadhah), berusaha membersihkan dirinya dari
sifat-sifat tercela, mengosongkan hati dari sifat keji ataupun dari hal-hal
duniawi, lalu mengisinya dengan sifat-sifat terpuji seperti: beribadah, dzikir,
menghindarkan diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesucian diri dan seluruh
jiwa (hati) semata-mata hanya untuk memperoleh tajalli yaitu menerima
pancaran Ilahi.
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur-Nya,
maka berlimpah ruahlah rahmat dan karunianya. Pada tingkatan ini, hati hamba
akan bercahaya terang benderang, dadanya terbuka luas, dan terangkat tabir
rahasia alam malakut dengan karunia rahmat Tuhan tersebut.[36]
Manusia yang telah melakukan kesadaran tertinggi dengan cara
membiasakan kehidupannya dengan akhlak terpuji. Kehidupannya tidak ada kecuali
rasa cinta, rindu dan bahagia karena dekat dengan Allah SWT. kebersihan
diri dengan tobat, kehati-hatian hidup karena waspada, ketakutan akan dosa,
penuh harapan, dan sabar menghadapi berbagai cobaan, akan terus melatih jiwa
manusia untuk lebih stabil dan berani menghadapinya dengan ridha dan
senantiasa mengembalikan seluruh urusan kepada Allah SWT. Iradah terbesar
dari kekuatan manusia hanyalah pemberian Allah SWT. agar manusia
berakhlak dengan akhlak yang menjadi cahaya Ilahi. Semua tindakan
didasarkan pada alasan yang dibenarkan oleh syari’at Allah SWT.[37]
Adapun untuk memperdalam rasa cinta kepada Allah dapat
dilakukan dengan cara sebagai berikut:[38]
1.
Munajat
Adapun yang dimaksud dengan munajat ialah
menyampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah
seraya memuji keagungan Allah. Hal ini dapat dilakukan sewaktu selesai shalat
tahajud. Latihan dengan ibadah seperti: perenungan, do’a dan air mata adalah
metode memperdalam penghayatan rasa ketuhanan, sekali berjumpa ingin selalu
bersama.[39]
2.
Muraqabah dan Muhasabah yaitu
usaha mendekatkan diri kepada Allah dan senantiasa instropeksi diri atas
apa yang telah dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya dalam bermasyarakat dan
bermuamalah sesama makhluk ciptaanya.
3.
Memperbanyak wirid dan
dzikir.
4.
Tafakkur yaitu berfikir
secara mendalam atas semua yang telah Allah karuniakan kepada para
hambanya, sehingga dapat mengambil nilai positif dari setiap yang telah
ditentukan-Nya.
5.
Dzikrul maut yaitu mengingat
kepada Allah akan kematian yang pasti akan terjadi.
3.
Konsep Pendidikan
Akhlak Tokoh-Tokoh Modern
a.
Kevin Ryan dari Boston
University mengatakan bahwa jika Anda ingin ingin melakukan sesuatu untuk
meningkatkan makna dari keberadaan para guru maka jadikan pendidikan moral
termasuk dalam pembentukan sikap bermasyarakat dengan kerendah hatian sebagai
obagian dari materi utama pendidikan di sekolah.[40]
b.
Seorang filsuf Yunani
bernama Aristoteles mendefinisikan karakter sebagai kehidupan dengan melakukan
tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain.[41]
c.
Menurut seorang filsuf
kontemporer bernama Michael Novak karakter merupakan campuran kompatibel dari
seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.[42]
Dengan mendidik orang agar memiliki rasa saling menghormati,
dan bertanggung jawab, yaitu dengan membuat siswa mengimplementasikan
nilai-nilai dalam kehidupannya, berarti guru telah mendidik karakter yang
terdiri dari:
a.
Pengetahuan moral
(kesadaran moral, mengetahui nilai-nilai moral, memiliki perspektif, memiliki
alasan moral, membuat keputusan, dan berpengetahuan)
b.
Perasa (berhati nurani,
percaya diri, berempati, menyukai kebaikan, dapat mengontrol diri, dan rendah
hati)
c.
Tindakan bermoral
(berkemampuan, memiliki kemauan, dan memiliki kebiasaan baik)
Sekolah-sekolah yang
membangun karakter siswanya harus mengambil pendekatan komprehensif yaitu
pendekatan yang dekat terhadap nilai-nilai pendidikan yang menggunakan semua
fase kehidupan sekolah untuk membantu perkembangan karakter. Di dalam kelas,
sebuah pendekatan komprehensif menuntut guru untuk:[43]
a.
Bertindak sebagai seorang
penyayang, model, dan mentor yang memperlakukan siswa dengan kasih sayang dan
respek, memberikan sebuah contoh yang baik, mendukung kebiasaan yang bersifat
sosial, dan memperbaiki jika ada yang salah.
b.
Menciptakan sebuah
komunitas bermoral di dalam ruang kelas, membantu siswa untuk saling mengenal,
saling menghormati dan menjaga satu sama lain, dan merasa bagian dari kelompok
tersebut.
c.
Berlatih memiliki disiplin
moral, menggunakan aturan-aturan sebagai kesepakatan untuk membantu menegakkan
moral, kontrol terhadap diri sendiri, dan sebuah generalisasi rasa hormat pada
orang lain.
d.
Menciptakan sebuah
lingkungan kelas yang demokratis, melibatkan siswa dalam pengambilan keputusan
dan berbagi tanggung jawab untuk menciptakan ruang kelas yang baik, serta
nyaman untuk belajar.
e.
Mengajarkan nilai-nilai
yang baik melalui kurikulum, menggunakan pelajaran akademik sebagai kendaraan
untuk membahas permasalahan etika.
f.
Menggunakan pendekatan
pembelajaran kooperatif dalam mengajar anak-anak untuk bersikap dan dapat
saling membantu, serta bekerja sama.
g.
Mengembangkan seni hati
nurani dengan membantu mereka mengembangkan tanggung jawabnya secara akademik
dan rasa hormat terhadap nilai-nilai belajar dan bekerja.
h.
Menyenangi siswa untuk
merfleksikan moral melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan membuat
keputusan dan beragumen.
i.
Mengajarkan mereka mencari
resolusi dari sebuah konflik sehingga para siswa memiliki kapasitas dan
komitmen untuk memecahkan masalah tanpa kekerasan.
Sedangkan pendekatan
komprehensif menuntut sekolah untuk:[44]
a.
Meiliki sifat penyayang di
luar lingkungan kelas dengan menggunakan peran model yang inspiratif,
memberikan pelayanan sekolah dan komunitas kepada para siswa untuk membantu
mereka mempelajari bagaimana cara peduli terhadap orang lain dengan cara
memberikan kepedulian yang nyata kepada mereka.
b.
Menciptakan kebudayaan
moral yang positif, mengembangkan lingkungan sekolah secara menyeluruh (melalui
kepemimpinan seorang kepala sekolahnya, disiplin dari seluruh warga sekolah,
memiliki rasa kebersamaan, pemimpin para siswa yang adil, bermoral antar
orang-orang dewasa, dan menyediakan waktu untuk membahas tentang moral) yang
mendukung dan memperkuat nilai-nilai pengajaran di dalam kelas.
c.
Mengikutsertakan wali murid
dan masyarakat sekitar sebagai rekan kerja untuk mengajarkan nilai-nilai
pendidikan karena wali murid merupakan guru moral pertama bagi anak-anak,
mengajak wali murid untuk mendukung sekolah dan segala upayanya untuk
menanamkan nilai-nilai yang baik, dan mencari dukungan dari kalangan keagamaan,
bisnis-bisnis dan media.
Sebagaimana penjelasan
di atas bahwa guru menggunakan pendekatan kooperatif dalam proses belajar
terhadap siswanya. Proses belajar kooperatif adalah proses belajar yang
mengajarkan nilai moral dan akademik sekaligus. Proses belajar ini bekerja
melalui proses intruksional. Proses ini memberikan arahan pada guru: “Ambillah
apa yang biasanya anda ajarkan dan ajarkan nilai moral dan akademik pada waktu
yang bersamaan. Proses belajar kooperatif ini macamnya antara lain: partner belajar,
pengaturan duduk berkelompok, proses belajar tim, proses belajar jigsaw,
ujian berkelompok, proyek kelompok kecil, kompetisi tim, dan proyek satu kelas.[45]
Adapun keuntungan yang
spesifik dari pembelajaran kooperatif:[46]
a.
Proses belajar kooperatif mengajarkan
nilai-nilai kerja sama, Membangun komunitas di dalam kelas.
b.
Membangun komunitas di
dalam kelas.
c.
Mengajarkan ketrampilan
dasar kehidupan.
d.
Memperbaiki pencapaian
akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap sekolah.
e.
Menawarkan alternatif dalam
pencatatan.
f.
Memiliki potensi untuk
mengontrol efek negatif dari persaingan.
4.
Hubungan Pendidikan
Akhlak terhadap Spiritualisme, Sikap, Pengetahuan dan Skill Pelajar
Dalam perspektif ilmu,
akhlak yang benar adalah yang didasarkan pada rasio. Oleh karena itu, manusia
berakhlak harus rasional. Pemahaman ini melahirkan aliran rasionalisme yang
awalnya merupakan aliran dalam filsafat. Selain harus rasional, berakhlak
menjadi bagian dari membuat percobaan dan pengalaman. Oleh sebab itu, akhlak
manusia akan berkembang jika bersifat positif dan objektif dengan pendekatan
empiris.[47]
Akhlak terpuji memiliki
beberapa akibat bagi individu tersebut, seperti meningkatkan wibawa, mendapat
kehormatan di masyarakat, banyak disenangi sesamanya, mudah mendapat perlindungan,
serta mendapat ketentraman dan kebahagiaan hati, karena akhlak yang terpuji
sesuai dengan fitrah manusia yang menyukai kebaikan. Melalui akhlak terpuji
pula, derajat manusia di sisi Allah akan semakin meningkat, karena hanya dengan
kebaikan (ihsan), seseorang dapat semakin mendekatkan diri dengan Allah,
serta terhindar dari hukuman yang bersifat manusiawi.[48]
Akhlak terpuji juga
mampu membina dan menjaga kerukunan antar tetangga yang terwujud dalam sikap
saling menghormati, saling melindungi, saling menjaga, dan saling peduli satu
sama lainnya (toleransi), sehingga seluruh lapisan masyarakat akan menjadi
tenang, aman, damai dan sejahtera.[49]
Sedangkan akhlak
tercela memiliki beberapa kerugian, di antaranya kerugian bagi diri sendiri
yang bersangkutan meliputimerendahkan diri, sulit bergaul dengan sesamanya
(karena kurang diterima), sering mendapat hukuman yang bersifat manusiawi
(seperti dipenjara, dicambuk), mengurangi kehormatan (harga diri) yang
dimilikinya, serta mendapat tempat yang buruk di masyarakat. Secara batin
menyebabkan individu tersebut menjadi jauh dengan Allah, karena perbuatan
tersebut telah menyalahi aturan yang telah digariskan oleh Allah.
Selain itu akhlak
tercela yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang, maka akan menjadi
kekacauan, kerusuhan dan ketidaknyamanan di masyarakat. Bahkam lebih jauh lagi,
akhlak tercelak dapat menciptakan kehancuran lingkungan. Hal tersebut dapat
terjadi karena satu sama lain saling mencurigai, saling membenci, dan saling
menjauhi.[50]
[1] A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 11.
[2]
Sahilun A. Nasir, Tinjauan Akhlak, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1991), hlm. 14.
[3]
Luis Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Al-Maktabah Al-Kâtûlikiyah,
tt), hlm. 194.
[4]
Husain Al-Habsyi, Kamus Al-Kautsar, (Surabaya: Assegaf, tt), hlm. 87.
[5]
Abdul Hamid, Da’irab Al-Ma’ârif, (Kairo: Asy-Syâ’ib, tt), 936.
[6]
Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûm Ad-Dîn, (Kairo: Al-Masyhad Husain, tt), hlm.
56.
[7] A.
Mustofa, op., cit., hlm. 13-14.
[8]
Ahmad Amin, Kitab Al-Akhlak, (Kairo: Dârul Kutub Al-Mishriyah,
tt), hlm. 15.
[9]
Ibrahim Anis, Al-Mu’jam Al-Wasith, (Mesir: Dârul Ma’ârif, 1972),
hlm. 202.
[10]
Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 1.
[11]
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet. iv, hlm. 153-156.
[12]
Nasrul, Akhlak Tasawuf, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2015), hlm. 14.
[13]
Departemen Agama RI, Al-Qur’ân Al-Fatih (Al-Qur’ân Tafsir Per Kata di
Sarikan dari Tafsir Ibn Katsir), (Jakarta: PT. Rilis Grafika, 2009), hlm. 250.
[14]
Nasrul, op., cit., hlm. 16.
[15]
Departemen Agama RI, ibid, hlm. 420.
[16]
Departemen Agama RI, ibid, hlm. 526.
[17]
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Amzah,
2007), hlm. 4.
[18]
Muchson dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2013), hlm. 83-84.
[19]
Abi Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak,
(Beirut: Lebanon, 2011), hlm. 12, Pdf. Dalam Nasrul, op., cit.,
hlm. 5.
[20]
Nasrul, op., cit., hlm. 6.
[21]
Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik
UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 35.
[22]
Nasrul, op., cit., hlm. vi.
[24]
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 199-200.
[25]
Alwan Khoiri, dkk, op., cit., hlm. 19.
[26]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya), (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 31.
[27]
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 195.
[28]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
72.
[29]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
31.
[30]
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 195-196.
[31] Ahmad
Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm. 73.
[32]
Nasrul, op., cit., hlm. 146.
[33]
Qamar Kailani, Fit Tasawuf al-Islam, (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969), hlm.
27. Dalam Nasrul, op., cit., hlm. 146.
[34]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
31.
[35]
Qomar Kailani, Tasawuf Islam, (Dar al-Ma’rifah, 1976), hlm. 2. Dalam
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
75.
[36]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
74.
[37]
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 199.
[38]
Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, op., cit., hlm.
74-75.
[39]
Al-Syuhrawardi al-Baghdadi, Awarif al-Ma’arif, vol.1, tp, (Kairo, 1939),
hlm. 20. Dalam Ahmad Bangun Nasution dan Royani Hanum Siregar, Akhlak
Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya), . . . , hlm. 75.
[40]
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect
and Responsibility, (Terjemahan dari Juma Abdu Wamaungo), (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2013), hlm. 35.
[41]
Thomas Lickona, ibid., hlm. 81.
[42]
Thomas Lickona, loc., cit., hlm. 81.
[43]
Thomas Lickona, ibid., hlm. 107.
[44]
Thomas Lickona, ibid., hlm. 108.
[45]
Thomas Lickona, ibid., hlm. 292.
[46]
Thomas Lickona, ibid., hlm. 276-277.
[47]
Beni Ahmad Saebani dan Abdul Hamid, op., cit., hlm. 217.
[48]
Nasrul, op., cit., hlm. 49.
[49]
Zahrunndin dan Hasanuddin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 158-159.
[50]
Nasrul, op., cit., hlm. 49-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar