Minggu, 25 Desember 2016

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA MASA COLONIAL JEPANG



ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA MASA COLONIAL JEPANG
Oleh
Imam Syafii                            2052115026

Sejarah telah mencatat lembaga pendidikan Islam yang eksistensinya sudah dikenal masyarakat luas dan mempunyai kualitas yang tidak diragukan lagi. Ternyata ada sejarah yang panjang. Lahirnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia semua tidak terlepas dari tekad dan semangat bangsa Indonesia. Kesatuan tekat dari kalangan ulama Indonesia memotivasi mereka untuk mendirikan lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Bahkan tidak menutup diri untuk merangkul semua elemen masyarakat agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Mengingat pada zaman penjajahan bangsa Eropa ke Indonesia sangat dipengaruhi lembaga pendidikan yang dapat melahirkan pejuang-pejuang muslim untuk memerangi penjajahan.
Pendidikan Islam dari masa ke masa mengalami perubahan, mulai dari masa awal lahirnya, yaitu pada masa Rasulullah SAW, kemudian pada masa Khulafa’urrasyidin dan dilanjutkan masa-masa berikutnya. Hingga Islam pun mengalami masa keemasan, kemunduran dan perbaikan yang dikenal dengan masa pembaharuan. Di sini yang akan dibahas yaitu kebijakan pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan Jepang di Indonesia.

A.      Kebijakan Umum Pendidikan Agama Islam
Setelah Belanda ditaklukkan oleh Jepang di Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari Indonesia. Semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di Indonesia.[1] Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita menjadi pemimpin Asia Timur Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun 1940 untuk mendirikan kemakmuran baersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut, Jepang ingin menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah Mansyuria, daratan Cina, Kepulauan Filipina, Indonesia, Malasyia, Thailand, Indo Cina dan Rusia.[2]
Sistem pendidikan Belanda yang selama ini berkembang di Indonesia, semuanya diganti oleh bangsa Jepang sesuai dengan sistem pendidikan yang berorientasi kepada kepentingan perang.[3] Tujuan pendidikan secara umum pada masa Jepang tersebut “hakko ichiu”, yakni mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Oleh karena itu, setiap hari pelajar terutama pada pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemilitiran. Sistem persekolahan pada zaman pendudukan Jepang banyak yang berbeda dengan penjajahan Belanda. Sekolah-sekolah yang ada diganti dengan sistem Jepang, hampir setiap hari mereka mengikuti kegiatan latihan perang atau bekerja.
Kegiatan-kegiatan sekolah antara lain:
1.         Mengumpulkan batu, pasir untuk kepentingan perang
2.         Membersihkan bengkel-bengkel, sarana-sarana militer
3.         Menanam ubi-ubian, sayur-sayuran dipekarangan sekolah untuk persediaan makan
4.         Menanam pohon jarak untuk bahan pelumas
Karakteristik sistem pendidikan Jepang:
1.         Dihapusnya “Dualisme Pendidikan”
Pada masa Belanda terdapat dua jenis pengajaran, yaitu pengajaran kolonial dan pengajaran Bumi Putra oleh Jepang, sistem ini dihilangkan. Hanya satu jenis sekolah rendah saja yang diadakan bagi semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun, sekolah-sekolah desa masih tetap ada namun namanya diganti menjadi Sekolah Pertama.
2.         Berubahnya tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk menyediakan tenaga Cuma-Cuma (Romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, murid-murid diharuskan latihan fisik, latihan kemiliteran.
3.         Pendidik dilatih agar mempunyai semangat perang
Seorang pendidik sebelum mengajar diwajibkan terlebih dahulu mengikuti didikan dan latihan dalam rangka penanaman ideologi dan semangat perang, yang pelaksanaannya ini dipusatkan di Jakarta selama tiga bulan. Para guru yang sudah mengikuti diklat diwajibkan meneruskan materi yang diterimanya itu kepada teman-temannya.
4.         Pendidikan pada masa Jepang sangat memperhatikan
Kondisi pendidikan bahkan lebih buruk dari pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Sebagai gambarannya dapat dilihat dari segi kuantitatif trennya mengalami kemunduran. Dan diketahui jumlah Sekolah Dasar dari 21.500 menurun menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan dari 850 menjadi 20 buah, perguruan tinggi terdiri dari 4 buah sama sekali tidak dapat melakukan kegiatannya.
5.         Pemakaian Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi
Pemakaian bahasa Indonesia baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada rakyat.
B.       Karakteristik Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu siasat untuk kepentingan Perang Dunia ke II. Untuk mendekati umat Islam Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain:
1.         Kantor urusan Agama yang ada pada zaman Belanda disebut “kantor Voor Islamictische Zaken yang dipimpin oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin oleh ulama Islam yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2.         Pondok pesantren yang besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar Jepang.
3.         Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4.         Di samping itu pemerintah Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar kemilitiran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainul Arifin.
5.         Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakar dan Bung Hatta.
6.         Para ulama Islam bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis diizinkan untuk membentuk barisan Pembela Tanah Air (Peta).
7.         Umat Islam diizinkan meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[4]
C.      Analisis Formulasi Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Sikap penjajahan Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak sehingga gerakan pendidikan Islam lebih bebas ketimbang pada zaman pemerintahan colonial Belanda terlebih-lebih pada tahapan permulaan, pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam.
Jepang memandang bahwa agar Islam sebagai salah satu sarana yang terpenting untuk menyusupi lubuk rohaniah terdalam dari kehidupan masyarakat Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh pikiran serta cita-cita mereka ke bagian masyarakat yang paling bawah dan konteks ini paling tidak ada beberapa hal yang perlu di sebutkan di antaranya:
1.         Kantor Urusan Agama (KUA)
KUA yang dalam bahasa Jepangnya Shumubu (sebagai pengganti kantor Voor Herislanddsche Zaken) yang sudah ada sejak zaman colonel Belanda yang dipimpin oleh ulama Islam yaitu: K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di daerah-daerah yang dibentuk Shumubu. Kantor itu kemudian dikembangkan bidang tugasnya, sehingga mengurusi berbagai masalah yang sebelumnya terbagi antara Departemen dalam Negeri, Kehakiman, Pendidikan dan Peribadatan Umum.
Jabatan tertinggi yang pertama dipercayakan Jepang kepada orang Indonesia dalam pemerintahan dan kedudukannya adalah jabatan kepada Kantor Urusan Agama ini. Oleh karena itu BJ. Bolan menyatakan bahwa eksisnya KUA ini merupakan salah satu manfaat dari pendudukan Jepang di Indonesia. Sebelumnya kantor ini dipimpin oleh kolonel Heri dari tentara Jepang dimulai dari bulan Maret 1942. Tanggal 1 Oktober 1943 jabatan itu diserahkan kepada Hoesein Djajadiningrat namun yang lebih penting dari itu adalah penunjukan kepala pejabat yang baru sejak tanggal 1 Agustus 1944 yaitu K.H. Hasyim Asy’ari, pemimpin pesantren Tebuireng yang dikenal sejak 1 April 1944 dimulai pembentukan KUA di setiap Karesidenan.
2.         Pembentukan Masyumi
Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) dipandang sebagai pengganti MIAI pada bulan oktober 1943 dilakukan Jepang karena organisasi ini didirikan atas prakarsa kaum muslim sendiri sebagai suatu federasi organisasi-organisasi Islam. Para pemimpin organisasi itu mempunyai latar belakang sikap anti kolonial, dipihak lain Masyumi mulai aktif tanggal 1 desember 1943 dalam kenyataannya merupakan ciptaan pejabat-pejabat Jepang.
Masyumi lebih bersifat politik yaitu memperkuat kesatuan seluruh organisasi Islam dan membantu dari Nippon untuk kepentingan Asia Timur Raya sementara itu alasan yang lebih jelas untuk menggantikan MIAI dengan Masyumi adalah karena dua organisasi Islam terpenting tidak menjadi anggota MIAI, yaitu NU dan Muhammadiyah dengan terbentuknya dua organisasi Islam pada zaman Jepang ini yaitu KUA dan Masyumi umat Islam telah diberi sautu aparatur yang akan menjadi sangat penting bagi masa depan umat Islam, terlepas dari apapun tujuan semula dari Jepang ketika membentuk kedua organisasi tersebut dan ini merupakan cikal bakal terbentuknya Departemen Agama di kemudian hari.
3.         Terbentuknya Hizbullah
Hizbullah merupakan jenis organisasi militer bagi pemuda-pemuda muslim. Pembentukan hizbullah pada akhir tahun 1944 ini sangat penting artinya karena banyak anggotanya yang kemudia menjadi tentara nasional. Pendidikan Islam khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya di masa pendudukan  Jepang mengalami kemerosotan dan kemunduran yang luar biasa terutama di bidang pendidikan secara umum.
Namun di balik kekejaman Jepang terdapat pula hal-hal yang sangat menguntungkan Drs. H. Gunawan merinci keuntungan-keuntungan pada zaman Jepang, khususnya dalam bidang pendidikan, antara lain:
1.         Bahasa Indonesia hidup dan berkembang secara luas di seluruh Indonesia baik sebagai bahasa pergaulan maupun bahasa ilmiah.
2.         Buku-buku dalam bahasa asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan memakai hak cipta Internasional.
3.         Kreativitas guru-guru semakin berkembang dalam memenuhi kekuarangan buku pelajaran dengan manyadur atau mengarang sendiri termasuk kreativitas menciptakan alat peraga dan model dengan bahan dan alat yang tersedia.
4.         Diskriminasi menurut golongan penduduk, keturunan, dan agama ditiadakan sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama dalam bidang kependidikan.
5.         Karena pengaruh indoktrinasi yang ketat untuk menjepangkan rakyat Indonesia, perasaan rindu kepada kebudayaan sendiri dan kemerdekaan Nasional.
6.         Bangsa Indonesia dididik dan dilatih untuk memegang jabatan walaupun di bawah pengawasan orang-orang Jepang.[5]
D.      Analisis Implementasi Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Pada masa pendudukan Jepang ada satu keistimewaan dalam dunia pendidikan. Sekolah-sekolah telah diseragamkan dan dinegerikan. Adapun sekolah-sekolah swasta seperti Muhammadiyah, Taman Siswa, dan lain-lain diizinkan terus berkembang, tetapi masih diatur dan diseragamkan oleh penduduk Jepang.
Tujuan pendidikan Islam ketika zaman penjajahan Jepang antara lain; mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan azaz perjuangan dakwah Islamiah dan Amar Makruf Nahi Mungkar (azaz tujuan Muhammadiyah); mendidik anak untuk berfikir rasional, bekerja sungguh-sungguh, membentuk manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan (Indonesische Nadelanshe School); memegang teguh empat madzhab dan menjadi kemaslahatan umat Islam itu sendiri.[6]
E.       Analisis Monitoring Dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Monitoring  kebijakan  pendidikan adalah suatu proses pemantauan  untuk  mendapatkan informasi  tentang pelaksanaan kebijakan pendidkan.[7]  Dalam hal ini  menyangkut komponen  proses kebijakan  pendidikan , baik menyangkut proses pengambilan  keputusan , pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program maupun  pengelolaan proses belajar mengajar.  Jadi monitoring merupakan  usaha terus menerus untuk  memehami perkembangan pelaksanaan  kebijakan  pedidikan,mulai dari program,  proyek ,  maupun kegiatan ydalam usha menjawabang sedang  dilaksanakan.
Monitoring ditujukan  untuk menghasilkan  informasi dalam usaha menjawab pertanyaan  mengapa kebijakan  atau program itu pada suatu tahap tertentu  dapat menghasilkan  konsekwensi  yang demikian .  Dunn , mengemukakan  bahwa monitoring berfungsi  sebagai berikut:
a.         Ketaatan (complience) , yaitu menentukan apakah tindakan administrator, staf dan semua  yang terlibat  mengikuti standar  dan prosedur yang telah ditetapkan .
b.         Pemeriksaan ( auditing), yaitu menetapkan apakah  sumber dan layanan  yang diperuntukkan  bagi target group telah mencapai sasaran.
c.         Laporan ( accunting), yaitu menghasilkan informasi yang membantu menghitung hasil perubahan  sosial dan masyarakat sebagai  akibat implementasi kebijakan sebuah periode  waktu tertentu.
d.        Penjelasan ( explanation ).yaitu menghasilkan informasi  yang membantu menjelaskan bagaimana akibat kebijakan dan mengapa tidak ada kecocokan  antara perencanaan dan pelaksaan.[8]
Evaluasi merupakan tahapan akhir dari sebuah proses kebijakan, merupakan penialaian mengenai apa yang telah terjadi sebagai akibat pilihan  dan implementasi kebijakan, dan apabila dipandang perlu, dapat dilakukan  perubahan terhadap kebijakan yang telah dilakukan. Menurut Hasbullah  karakteristik evaluasi kebijakan pendidikan  adalah sebagai berikut;
a.         Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan  kinerja kebijakan pendidikan.
b.         Evaluator mampu mengambil  jarak dari pembuat kebijakan , pelaksana kebijakan, dan target kebijakan pendidikan.
c.         Prosedur dapat dipertanggungjawabkan  secara metodologi.
d.        Evaluasi mencakup formlasi, implementasi, lingkungan  dan kinerja kebijakan pendidikan.
e.         Dilaksanakan tidak dalam  suasana permusuhan  atau kebencian, yang menyebabkan  penilaian  jadi subyektif.[9]
Gambaran utama eveluasi adalah  bahwa evaluasi menghasilkan  tuntutan  yang bersifat evaluasif, maksudnya  pertanyaan utama bukan  mengenai  fakta ( apakah sesuatu ada )  atau aksi ( apakah yang harus dilakukan ), akan tetapi nilai (berapa nilainya).
Nanang Fatttah menyebutkan 4 karakteristik evaluasi , yaitu
a.         Fokus Nilai
Evalusi merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program dan bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan, dalam hal ini dipertanyakan ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan, prosedur untuk mengevaluasi tujuan dan sasaran itu sendiri.
b.         Interdependensi fakta nilai
Tuntutan evaluasi bergantung pada baik “fakta“ maupun “nilai” untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja yang tinggi atau rendah, yang didukung dengan bukti  hasil-hasil kebijakan  secara aktual, yang merupakan konsekwensi dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.
c.         Orientasi masa kini dan masa lampau
Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan  ( ex  post ), rekomendasi yang juga mncakup premis-premis  nilai, bersifat prospektif  dan dibuat sebelum aksi–aksi dilakukan .
d.        Dualitas nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda karena mereka dipandang sebagai tujuan sekaligus caranya.[10]
Menurut Hasbullah, antara monitoring dan evaluasi memiliki keterkaitan dan hubungan  yang tidak dapat dipisahkan, diantaranya adalah :
a.         Pada dasarnya monitoring adalah salah satu bentuk pengawasan. Apabila  pengawasan dilaksanakan  dengan baik, maka  hasil pengawasan  dapat langsung menjadi evaluasi.
b.         Monitoring tidak selalu  menjadi bagian dari evaluasi apabila monitoring dilaksanakan secara khuusus.
c.         Ada perbedaan mendasar secara metodologis, baik teknik maupun standar kriteria dan pengukuran antara monitoring dan evaluasi, sehingga monitoring dan evaluasi  tidak dapat dicampuradukkan kedudukannya.
d.        Penetapan tenggang waktu antara monitoring dan evaluasi juga berbeda, namun pada saat tertentu dapat pula monitoring dilaksanakan berjalan seiring dengan evaluasi yang sifatnya formatif.
e.         Obyek monitoring adalah proses dan sebagia  dari koridor implementasi, misalnya penyerapan anggaran, kesesuaian aspek, sedangkan obyek evaluasi menyeluruh dan luas, mulai dari perumusan, implementasi, kinerja (hasil dan dampak), serta lingkungan kebijakan pendidikan.
f.          Format dan sistem monitoring dan evaluasi berbeda, baik secara substansi maupun secara fisik.[11]

DAFTAR PUSTAKA

H. Ramayulis. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

K. Rukianti. Dkk. Enung. 2006. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Zuhairini. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasbullah. 2015. Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nanang  Fattah, Nanang. Tt. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.


[1] Prof. Dr. H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2012), hlm. 339.
[2] Dra. Hj. Enung K. Rukianti. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), hlm. 60.
[3] Prof. Dr. H. Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, . . . hlm. 340.
[4] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 45.
[5] Dra. Hj. Enung K. Rukianti. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, . . . hlm. 62-64.
[6] Dra. Hj. Enung K. Rukianti. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, . . . hlm. 65.
[7] Hasbullah, Kebijakan Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 111.
[8] Hasbullah, Kebijakan Pendidikan, . . . hlm. 112.
[9] Hasbullah, Kebijakan Pendidikan, . . . hlm. 119.
[10] Nanang  Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya), hlm. 236.
[11] Nanang  Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan, . . . hlm. 237.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar