ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PADA
MASA COLONIAL JEPANG
Oleh
Imam
Syafii 2052115026
Sejarah
telah mencatat lembaga pendidikan Islam yang eksistensinya sudah dikenal
masyarakat luas dan mempunyai kualitas yang tidak diragukan lagi. Ternyata ada
sejarah yang panjang. Lahirnya lembaga pendidikan Islam di Indonesia semua
tidak terlepas dari tekad dan semangat bangsa Indonesia. Kesatuan tekat dari
kalangan ulama Indonesia memotivasi mereka untuk mendirikan lembaga pendidikan
Islam di Indonesia.
Bahkan
tidak menutup diri untuk merangkul semua elemen masyarakat agar tujuan yang
diharapkan dapat tercapai. Mengingat pada zaman penjajahan bangsa Eropa ke
Indonesia sangat dipengaruhi lembaga pendidikan yang dapat melahirkan
pejuang-pejuang muslim untuk memerangi penjajahan.
Pendidikan
Islam dari masa ke masa mengalami perubahan, mulai dari masa awal lahirnya,
yaitu pada masa Rasulullah SAW, kemudian pada masa Khulafa’urrasyidin
dan dilanjutkan masa-masa berikutnya. Hingga Islam pun mengalami masa keemasan,
kemunduran dan perbaikan yang dikenal dengan masa pembaharuan. Di sini yang
akan dibahas yaitu kebijakan pendidikan Islam di Indonesia pada masa penjajahan
Jepang di Indonesia.
A.
Kebijakan Umum
Pendidikan Agama Islam
Setelah Belanda ditaklukkan oleh Jepang
di Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942, maka Belanda angkat kaki dari
Indonesia. Semenjak itu mulailah penjajahan Jepang di Indonesia.[1]
Jepang muncul sebagai negara kuat di Asia. Bangsa Jepang bercita-cita menjadi
pemimpin Asia Timur Raya, dan hal ini sudah direncanakan Jepang sejak tahun
1940 untuk mendirikan kemakmuran baersama Asia Raya. Menurut rencana tersebut,
Jepang ingin menjadi pusat suatu lingkungan yang berpengaruh atas daerah-daerah
Mansyuria, daratan Cina, Kepulauan Filipina, Indonesia, Malasyia, Thailand,
Indo Cina dan Rusia.[2]
Sistem pendidikan Belanda yang selama
ini berkembang di Indonesia, semuanya diganti oleh bangsa Jepang sesuai dengan
sistem pendidikan yang berorientasi kepada kepentingan perang.[3] Tujuan
pendidikan secara umum pada masa Jepang tersebut “hakko ichiu”, yakni mengajak
bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia
Raya. Oleh karena itu, setiap hari pelajar terutama pada pagi hari harus
mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemilitiran. Sistem
persekolahan pada zaman pendudukan Jepang banyak yang berbeda dengan penjajahan
Belanda. Sekolah-sekolah yang ada diganti dengan sistem Jepang, hampir setiap
hari mereka mengikuti kegiatan latihan perang atau bekerja.
Kegiatan-kegiatan sekolah antara lain:
1.
Mengumpulkan batu, pasir
untuk kepentingan perang
2.
Membersihkan
bengkel-bengkel, sarana-sarana militer
3.
Menanam ubi-ubian,
sayur-sayuran dipekarangan sekolah untuk persediaan makan
4.
Menanam pohon jarak untuk
bahan pelumas
Karakteristik sistem pendidikan Jepang:
1.
Dihapusnya “Dualisme
Pendidikan”
Pada masa Belanda terdapat dua jenis
pengajaran, yaitu pengajaran kolonial dan pengajaran Bumi Putra oleh Jepang,
sistem ini dihilangkan. Hanya satu jenis sekolah rendah saja yang diadakan bagi
semua lapisan masyarakat, yaitu: Sekolah Rakyat 6 tahun, sekolah-sekolah desa
masih tetap ada namun namanya diganti menjadi Sekolah Pertama.
2.
Berubahnya tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk
menyediakan tenaga Cuma-Cuma (Romusha) dan prajurit-prajurit untuk membantu
peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu, murid-murid diharuskan
latihan fisik, latihan kemiliteran.
3.
Pendidik dilatih agar
mempunyai semangat perang
Seorang pendidik sebelum mengajar
diwajibkan terlebih dahulu mengikuti didikan dan latihan dalam rangka penanaman
ideologi dan semangat perang, yang pelaksanaannya ini dipusatkan di Jakarta
selama tiga bulan. Para guru yang sudah mengikuti diklat diwajibkan meneruskan
materi yang diterimanya itu kepada teman-temannya.
4.
Pendidikan pada masa Jepang
sangat memperhatikan
Kondisi pendidikan bahkan lebih buruk
dari pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Sebagai gambarannya dapat dilihat
dari segi kuantitatif trennya mengalami kemunduran. Dan diketahui jumlah
Sekolah Dasar dari 21.500 menurun menjadi 13.500 buah. Sekolah lanjutan dari
850 menjadi 20 buah, perguruan tinggi terdiri dari 4 buah sama sekali tidak
dapat melakukan kegiatannya.
5.
Pemakaian Bahasa Indonesia
sebagai bahasa resmi
Pemakaian bahasa Indonesia baik sebagai
bahasa resmi maupun sebagai bahasa pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah,
telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu dipergunakan juga sebagai alat
untuk memperkenalkan budaya Jepang kepada rakyat.
B.
Karakteristik
Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Pada babak pertamanya pemerintah Jepang
menampakkan diri seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan suatu
siasat untuk kepentingan Perang Dunia ke II. Untuk mendekati umat Islam
Indonesia mereka menempuh kebijaksanaan antara lain:
1.
Kantor urusan Agama yang
ada pada zaman Belanda disebut “kantor Voor Islamictische Zaken yang dipimpin
oleh orang-orang orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi
yang dipimpin oleh ulama Islam yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang dan di
daerah-daerah dibentuk Sumuka.
2.
Pondok pesantren yang
besar-besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar
Jepang.
3.
Sekolah negeri diberi
pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama.
4.
Di samping itu pemerintah
Jepang mengizinkan pembentukan barisan Hisbullah untuk memberikan latihan dasar
kemilitiran bagi pemuda Islam. Barisan ini dipimpin oleh K.H. Zainul Arifin.
5.
Pemerintah Jepang mengizinkan
berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh K.H. Wahid
Hasyim, Kahar Muzakar dan Bung Hatta.
6.
Para ulama Islam bekerja
sama dengan pemimpin-pemimpin Nasionalis diizinkan untuk membentuk barisan
Pembela Tanah Air (Peta).
7.
Umat Islam diizinkan
meneruskan organisasi persatuan yang disebut Majelis Islam ‘Ala Indonesia
(MIAI) yang bersifat kemasyarakatan.[4]
C.
Analisis Formulasi
Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Sikap penjajahan Jepang terhadap
pendidikan Islam ternyata lebih lunak sehingga gerakan pendidikan Islam lebih
bebas ketimbang pada zaman pemerintahan colonial Belanda terlebih-lebih pada
tahapan permulaan, pemerintahan Jepang menampakkan diri seakan-akan membela
kepentingan Islam.
Jepang memandang bahwa agar Islam
sebagai salah satu sarana yang terpenting untuk menyusupi lubuk rohaniah
terdalam dari kehidupan masyarakat Indonesia dan untuk meresapkan pengaruh
pikiran serta cita-cita mereka ke bagian masyarakat yang paling bawah dan
konteks ini paling tidak ada beberapa hal yang perlu di sebutkan di antaranya:
1.
Kantor Urusan Agama (KUA)
KUA yang dalam bahasa Jepangnya Shumubu
(sebagai pengganti kantor Voor Herislanddsche Zaken) yang sudah ada sejak zaman
colonel Belanda yang dipimpin oleh ulama Islam yaitu: K.H. Hasyim Asy’ari dari
Jombang dan di daerah-daerah yang dibentuk Shumubu. Kantor itu kemudian
dikembangkan bidang tugasnya, sehingga mengurusi berbagai masalah yang
sebelumnya terbagi antara Departemen dalam Negeri, Kehakiman, Pendidikan dan
Peribadatan Umum.
Jabatan tertinggi yang pertama
dipercayakan Jepang kepada orang Indonesia dalam pemerintahan dan kedudukannya
adalah jabatan kepada Kantor Urusan Agama ini. Oleh karena itu BJ. Bolan
menyatakan bahwa eksisnya KUA ini merupakan salah satu manfaat dari pendudukan
Jepang di Indonesia. Sebelumnya kantor ini dipimpin oleh kolonel Heri dari
tentara Jepang dimulai dari bulan Maret 1942. Tanggal 1 Oktober 1943 jabatan
itu diserahkan kepada Hoesein Djajadiningrat namun yang lebih penting dari itu
adalah penunjukan kepala pejabat yang baru sejak tanggal 1 Agustus 1944 yaitu
K.H. Hasyim Asy’ari, pemimpin pesantren Tebuireng yang dikenal sejak 1 April
1944 dimulai pembentukan KUA di setiap Karesidenan.
2.
Pembentukan Masyumi
Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia)
dipandang sebagai pengganti MIAI pada bulan oktober 1943 dilakukan Jepang
karena organisasi ini didirikan atas prakarsa kaum muslim sendiri sebagai suatu
federasi organisasi-organisasi Islam. Para pemimpin organisasi itu mempunyai
latar belakang sikap anti kolonial, dipihak lain Masyumi mulai aktif tanggal 1
desember 1943 dalam kenyataannya merupakan ciptaan pejabat-pejabat Jepang.
Masyumi lebih bersifat politik yaitu
memperkuat kesatuan seluruh organisasi Islam dan membantu dari Nippon untuk
kepentingan Asia Timur Raya sementara itu alasan yang lebih jelas untuk
menggantikan MIAI dengan Masyumi adalah karena dua organisasi Islam terpenting
tidak menjadi anggota MIAI, yaitu NU dan Muhammadiyah dengan terbentuknya dua organisasi
Islam pada zaman Jepang ini yaitu KUA dan Masyumi umat Islam telah diberi sautu
aparatur yang akan menjadi sangat penting bagi masa depan umat Islam, terlepas
dari apapun tujuan semula dari Jepang ketika membentuk kedua organisasi
tersebut dan ini merupakan cikal bakal terbentuknya Departemen Agama di
kemudian hari.
3.
Terbentuknya Hizbullah
Hizbullah merupakan jenis organisasi
militer bagi pemuda-pemuda muslim. Pembentukan hizbullah pada akhir tahun 1944
ini sangat penting artinya karena banyak anggotanya yang kemudia menjadi
tentara nasional. Pendidikan Islam khususnya dan pendidikan Islam di Indonesia
pada umumnya di masa pendudukan Jepang
mengalami kemerosotan dan kemunduran yang luar biasa terutama di bidang
pendidikan secara umum.
Namun di balik kekejaman Jepang terdapat
pula hal-hal yang sangat menguntungkan Drs. H. Gunawan merinci
keuntungan-keuntungan pada zaman Jepang, khususnya dalam bidang pendidikan,
antara lain:
1.
Bahasa Indonesia hidup dan
berkembang secara luas di seluruh Indonesia baik sebagai bahasa pergaulan
maupun bahasa ilmiah.
2.
Buku-buku dalam bahasa
asing yang diperlukan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan memakai
hak cipta Internasional.
3.
Kreativitas guru-guru
semakin berkembang dalam memenuhi kekuarangan buku pelajaran dengan manyadur
atau mengarang sendiri termasuk kreativitas menciptakan alat peraga dan model
dengan bahan dan alat yang tersedia.
4.
Diskriminasi menurut
golongan penduduk, keturunan, dan agama ditiadakan sehingga semua lapisan
masyarakat mendapat kesempatan yang sama dalam bidang kependidikan.
5.
Karena pengaruh
indoktrinasi yang ketat untuk menjepangkan rakyat Indonesia, perasaan rindu
kepada kebudayaan sendiri dan kemerdekaan Nasional.
6.
Bangsa Indonesia dididik
dan dilatih untuk memegang jabatan walaupun di bawah pengawasan orang-orang
Jepang.[5]
D.
Analisis
Implementasi Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Pada masa pendudukan Jepang ada satu
keistimewaan dalam dunia pendidikan. Sekolah-sekolah telah diseragamkan dan
dinegerikan. Adapun sekolah-sekolah swasta seperti Muhammadiyah, Taman Siswa,
dan lain-lain diizinkan terus berkembang, tetapi masih diatur dan diseragamkan
oleh penduduk Jepang.
Tujuan pendidikan Islam ketika zaman
penjajahan Jepang antara lain; mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarnya dan
azaz perjuangan dakwah Islamiah dan Amar Makruf Nahi Mungkar (azaz tujuan
Muhammadiyah); mendidik anak untuk berfikir rasional, bekerja sungguh-sungguh,
membentuk manusia yang berwatak dan menanamkan persatuan (Indonesische
Nadelanshe School); memegang teguh empat madzhab dan menjadi kemaslahatan umat
Islam itu sendiri.[6]
E.
Analisis Monitoring
Dan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Agama Islam
Monitoring
kebijakan pendidikan adalah suatu
proses pemantauan untuk mendapatkan informasi tentang pelaksanaan kebijakan pendidkan.[7] Dalam hal ini
menyangkut komponen proses
kebijakan pendidikan , baik menyangkut
proses pengambilan keputusan ,
pengelolaan kelembagaan, pengelolaan program maupun pengelolaan proses belajar mengajar. Jadi monitoring merupakan usaha terus menerus untuk memehami perkembangan pelaksanaan kebijakan
pedidikan,mulai dari program,
proyek , maupun kegiatan ydalam
usha menjawabang sedang dilaksanakan.
Monitoring ditujukan
untuk menghasilkan informasi
dalam usaha menjawab pertanyaan mengapa
kebijakan atau program itu pada suatu
tahap tertentu dapat menghasilkan konsekwensi
yang demikian . Dunn ,
mengemukakan bahwa monitoring
berfungsi sebagai berikut:
a.
Ketaatan (complience) , yaitu menentukan apakah
tindakan administrator, staf dan semua
yang terlibat mengikuti
standar dan prosedur yang telah
ditetapkan .
b.
Pemeriksaan ( auditing), yaitu menetapkan
apakah sumber dan layanan yang diperuntukkan bagi target group telah mencapai sasaran.
c.
Laporan ( accunting), yaitu menghasilkan
informasi yang membantu menghitung hasil perubahan sosial dan masyarakat sebagai akibat implementasi kebijakan sebuah
periode waktu tertentu.
d.
Penjelasan ( explanation ).yaitu menghasilkan
informasi yang membantu menjelaskan
bagaimana akibat kebijakan dan mengapa tidak ada kecocokan antara perencanaan dan pelaksaan.[8]
Evaluasi merupakan tahapan akhir dari sebuah proses
kebijakan, merupakan penialaian mengenai apa yang telah terjadi sebagai akibat
pilihan dan implementasi kebijakan, dan
apabila dipandang perlu, dapat dilakukan
perubahan terhadap kebijakan yang telah dilakukan. Menurut
Hasbullah karakteristik evaluasi
kebijakan pendidikan adalah sebagai
berikut;
a.
Tujuannya menemukan hal-hal
yang strategis untuk meningkatkan kinerja
kebijakan pendidikan.
b.
Evaluator mampu
mengambil jarak dari pembuat kebijakan ,
pelaksana kebijakan, dan target kebijakan pendidikan.
c.
Prosedur dapat
dipertanggungjawabkan secara metodologi.
d.
Evaluasi mencakup formlasi,
implementasi, lingkungan dan kinerja
kebijakan pendidikan.
e.
Dilaksanakan tidak
dalam suasana permusuhan atau kebencian, yang menyebabkan penilaian
jadi subyektif.[9]
Gambaran utama
eveluasi adalah bahwa evaluasi
menghasilkan tuntutan yang bersifat evaluasif, maksudnya pertanyaan utama bukan mengenai
fakta ( apakah sesuatu ada ) atau
aksi ( apakah yang harus dilakukan ), akan tetapi nilai (berapa nilainya).
Nanang Fatttah
menyebutkan 4 karakteristik evaluasi , yaitu
a.
Fokus Nilai
Evalusi merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau
kegunaan sosial kebijakan atau program dan bukan sekedar usaha untuk
mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan, dalam hal ini
dipertanyakan ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan, prosedur untuk mengevaluasi
tujuan dan sasaran itu sendiri.
b.
Interdependensi fakta nilai
Tuntutan evaluasi bergantung pada baik “fakta“ maupun
“nilai” untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai
tingkat kinerja yang tinggi atau rendah, yang didukung dengan bukti hasil-hasil kebijakan secara aktual, yang merupakan konsekwensi
dari aksi-aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu.
c.
Orientasi masa kini dan
masa lampau
Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi
dilakukan ( ex post ), rekomendasi yang
juga mncakup premis-premis nilai,
bersifat prospektif dan dibuat sebelum
aksi–aksi dilakukan .
d.
Dualitas nilai
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda karena mereka dipandang sebagai tujuan sekaligus caranya.[10]
Menurut Hasbullah, antara monitoring dan evaluasi memiliki
keterkaitan dan hubungan yang tidak
dapat dipisahkan, diantaranya adalah :
a.
Pada dasarnya monitoring
adalah salah satu bentuk pengawasan. Apabila
pengawasan dilaksanakan dengan
baik, maka hasil pengawasan dapat langsung menjadi evaluasi.
b.
Monitoring tidak
selalu menjadi bagian dari evaluasi
apabila monitoring dilaksanakan secara khuusus.
c.
Ada perbedaan mendasar
secara metodologis, baik teknik maupun standar kriteria dan pengukuran antara
monitoring dan evaluasi, sehingga monitoring dan evaluasi tidak dapat dicampuradukkan kedudukannya.
d.
Penetapan tenggang waktu
antara monitoring dan evaluasi juga berbeda, namun pada saat tertentu dapat
pula monitoring dilaksanakan berjalan seiring dengan evaluasi yang sifatnya
formatif.
e.
Obyek monitoring adalah
proses dan sebagia dari koridor
implementasi, misalnya penyerapan anggaran, kesesuaian aspek, sedangkan obyek
evaluasi menyeluruh dan luas, mulai dari perumusan, implementasi, kinerja
(hasil dan dampak), serta lingkungan kebijakan pendidikan.
f.
Format dan sistem
monitoring dan evaluasi berbeda, baik secara substansi maupun secara fisik.[11]
DAFTAR
PUSTAKA
H. Ramayulis. 2012. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
K. Rukianti. Dkk. Enung. 2006. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Zuhairini. 2004. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hasbullah. 2015. Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Nanang Fattah, Nanang. Tt. Analisis
Kebijakan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
[2] Dra. Hj. Enung K. Rukianti. Dkk, Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2006), hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar