Sabtu, 22 Maret 2014

Ibnu Khadun



BIOGRAFI
IBNU KHALDUN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah  :   STUDI TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Dosen Pengampu  : LABIB SAJAWANDI, M.Pd


Disusun Oleh :
IMAM SYAFI’I       (2021 111 071)

Kelas: C



JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2013


Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
A.    Biografi Ibnu Khaldun
Nama asli Ibnu Khaldun ialah wali ad-din Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Idhbili, disingkat Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M/ 1 Romadhon 732 H dan wafatnya di Kairo 25 Romadlon / 19 Maret 1406 M. N. J Dawood menyebutkan sebagai negarawan, ahli hokum, sejarawan dan sarjana.
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad 8 setelah semenanjung itu dikuasai Arab Muslim. Keluarga yang dikenal pro umayyah ini selama berabad-abad menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol sampai akhir hijrah ke Maroko beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa kristen. Pada 1248 setelah itu mereka menetap  di Tunisia. Di kota ini mereka dihormati pihak istana, diberi tanah milik Dinasti Hafsiah. Sewaktu kecil Ibnu Khaldun sudah menghafal al-Qur’an dan Tajwid, gurunya yang pertama adalah ayahnya sendiri, waktu itu Tunisia menjadi pusat Hijrah, Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka bersamaan dengan naiknya Abul Hasan pemimpin bani Marin (1347). Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan belajar dari para ulama’ itu selain dari ayahnya yaitu dari ulama’ yang hijrah dari Andalusia. Ayah Ibnu Khaldun bernama Muhammad, beliau menguasai ilmu mendalam mengenai al-Qur’an dan ilmu fiqih, gramatika dan sastra.
Pada usia 17 tahun Ibnu Khaldun telah menguasai disiplin ilmu Islam klasik termasuk Ulum Aqliyah (ilmu kefilsafatan, tasawuf, metafisika), beliau mengikuti madzhab Maliki di samping itu semua, beliau juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain.[1]
Otaknya memang tidak puas dengan satu dua disiplin ilmu saja, disinilah terletak kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu Khaldun sehingga dari catatan sejarah beliau tidak dikenal menguasai satu bidang disiplin ilmu yang spesifik.
Dalam usia 21 tahun Ibnu Khaldun telah diangkat menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs al-Fadl yang berkedudukan di Tunisia tahun 751 H atau 1350 M, tetapi kemudian beliau berhenti karena penguasa yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran. Pada tahun 753 H beliau ke Baskarah (Al-Jazair) dari sana beliau berusaha bertemu dengan Abu Anan penguasa bani Marin yang sedang berada di Tilmisan. Pada tahun 775 H beliau diangkat menjadi anggota Majelis ilmu pengetahuan dan setahun kemudian beliau diangkat menjadi sekretaris sultan sampai tahun 763 H (1361-1362 M) ketika wazir Umar bin Abdillah murka kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan negeri itu.
Pada tahun 764 H beliau berangkat ke Granada oleh Sultan bani Ahmar, beliau diberi tugas menjadi duta negara di Castillah dan berhasil tetapi kemudian hubungannya dengan sultan mengalami keretakan. Tahun 766 H beliau pergi ke Bijayah atas undangan penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad yang mengangkatnya menjadi perdana menteri.
Tetapi kemudian beliau pergi ke Baskarah beliau berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad kepada sultan beliau memberikan dukungan, Sultan memberikan jabatan penting tetapi beliau menolak karena beliau ingin melanjutkan studinya secara autodidak, tatkala Abu Hammu diusir oleh Sultan Abdul Aziz (Bani Marin) Ibnu Khaldun beralih pihak kepadanya tetapi akhirnya Tilmisan direbut kembali oleh Abu Hammu, meskipun pernah bersalah kepada penguasa Tilmisan itu beliau berjanji pada diri sendiri untuk tidak terjun lagi dalam dunia politik. Beliau akhirnya menyepi di Qol’at Ibnu Salamah dan menetap di sana sampai 780 H/ 1378 M disinilah beliau mengarang kitab monumentalnya: “Al-I’bar wa diwan Al-Mubtada’ wa al-khabar fi Ayyam Al-‘Arab wa al-Ajam wa al-Barbar”.
Pada tahun 780 H (1378) Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya Tunisia, untuk menelaah beberapa kitab yang diperlukan sebagai bahan refisi kitab “al-‘Ibar”, pada tahun 784 H/ 1382 M beliau berangkat ke Iskandaria Mesir dengan maksud menghindari kekacauan politik-politik di Maghrib setelah sebulan beliau ke Kairo.
B.     Setting Sosial
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Khaldun berasal dari keluarga terpelajar, neneknya pernah menjabat mentri keuangan Tunisia, sementara ayahnya sendiri seorang Administrator dan perwira militer dan moyangnya itu juga pemimpin politik di Siville dan pada waktu itu keilmuan dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin Seville berada di tangan keluarga Khaldun dan keluarga bangsawan lainnya serta pengaruh dan kekuasaan lainnya berada di tangan Khaldun.
Dari sejarah dan pengalaman hidupnya serta berbagai rintangan yang dihadapinya maka dari berbagai pengalaman itulah timbul konsep-konsep baru baik mengenai sosiolog sejarah dan pendidikan, jika dilihat dari berbagai pengalaman dalam berbagai pemerintahan yang berbeda dan selalu berganti-ganti maka beliau adalah seorang diplomat ulung yang dapat bekerja sama dengan berbagai penguasa yang sedang berkuasa saat itu sehingga beliau mampu menarik hati penguasa.
Al-Faruqi menggambarkan situasi yang dihadapi Ibnu Khaldun dengan baik yaitu sebagai berikut: “Ini adalah abad tentang intrik politik, tentang suksesi kekuasaan yang cepat dank eras antara negara-negara muslim yang keadaan umumnya dalam kejatuhan dan kehancuran. Muslim berkomplot jahat satu sama lain demi pemenuhan kepentingan pribadi Ibnu Khaldun sepenuhnya sesuai dengan lingkungan semacam itu seakan-akan beliau dilahirkan bukan hanya di dalamnya tetapi untuk keadaan semacam itu.[2]
C.    Pendekatan/ Ide Pokok/ Pemikiran
1.      Methodologi
Dari pengalaman Ibnu Khaldun dalam perjalanan hidupnya yang mengalami silih bergantinya kekuasaan, akhirnya beliau mengadakan pendekatan kepada penguasa dan pejabat, dengan pendidikan untuk/ sebagai suatu proses untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkebudayaan serta masyarakat seutuhnya.
Dari sini dapat kita lihat metode Ibnu Khaldun untuk merumuskan konsep pendidikan melalui pengalaman dan keahliannya sebagai ahli filsafat sejarah yaitu beliau menggunakan pendekatan filsafat sejarah atau “HISTORICAL PHILOSOPHI APROACH” dengan menghubungkan anatara konsep dan realita, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi system bergilir dan pemikirannya dalam pembahasan setiap permasalahan karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interprestasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui, yang dimaksud dengan pendekatan filsafat sejarah atau historical filosofi approach adalah suatu pendekatan sejarah yang mencoba menggali berbagai konsepsi para filosof tersebut telah ditemukan jawabannya oleh para filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil kajian tersebut akan menimbulkan fenomena baru atau konsep baru dari berbagai sudut tinjauan atau aliran pemikiran.[3]
2.      Ide-ide Pokok tentang Pendidikan
Selain ahli dalam bidang filsafat dan sosiologi Ibnu Khaldun juga ahli dalam soal kependidikan. Hal ini karena beliau tidak mengkhususkan dirinya dalam satu disiplin ilmu saja.
Konsep pemikiran atau ide pokok Ibnu Khaldu mengenai dasar-dasar pendidikan dan pengajarannya dikemukakan oleh Mustofa Amin dalam bukunya “Tarikh At-Tarbiyah” sebagai berikut:
1.      Dalam pengajaran agar disampaikan secara global pada tingkat permulaan kemudian secara terperinci, dalam hal ini dilakukan dengan tiga kali pengulangan.
2.      Pemakaian alat-alat peraga dalam pengajaran pada masa permulaan.
3.      Jangan mengulur-ngulur waktu ketika murid sedang belajar vak/ materi tertentu, dengan jalan memutuskan proses belajar dengan istirahat.
4.      Jangan mengajarkan definisi-definisi atau kaidah-kaidah umum pada pertama kali.
5.      Jangan membiarkan murid belajar dua macam ilmu dalam satu waktu.
6.      Pengajaran al-Qur’an dilakukan sejak dini.
7.      Agar tidak memperluas pembahasan dalam pelajaran ilmu alat.
8.      Guru jangan meringkaskan ilmu-ilmu dengan seringkas-ringkasnya, dalam kitab kecil yang dinamai matan, perkataannya ringkas dan sempit tetapi isinya luas dan dalam, sehingga sulit bagi siswa untuk memahaminya.
9.      Hendaknya guru jangan menugaskan murid-muridnya mempelajari bermacam-macam aliran dan guru hendaknya jangan membebani murid-muridnya untuk meneliti buku-buku serta ilmu apa yang ditulis dalam buku-buku.
10.  Bepergian ke negeri-negeri lain untuk mencari ilmu menambah pengalaman dan pengetahuan karena kita memerlukan wawasan yang mungkin tidak dapat diperoleh dalam kampong sendiri.
11.  Cinta kasih kepada anak-anak, membina mereka dengan penuh keakraban, lemah lembut jangan keras dan kasar.
12.  Mendidik anak remaja berdasarkan pemberian contoh suri tauladan yang baik.[4]
3.      Pemikiran
Dalam melakukan aktifitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat sendiri mengenai definisi ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan adalah kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran atau berpikir. Kesanggupan berpikir menurutnya ada 3 tingkatan yaitu:
1.      Peahaman intelektualmanusia terhadap sesuatu yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tatanan yang berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat melaksanakan seleksi dengan kemampuan ia sendiri. Bentuk pembeda (Al-Aqlu al-Tamyiszi) yang membantu manusia memperoleh penghidupannya dan menolak segala sesuatu yang sia-sia bagi dirinya.
2.      Berpikir yang melengkapi manusia dengan ide-ide dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang bawaan dan mengatur mereka (anak buah). Pemikiran ini kebanyakan persepsi (tashdiqot) yang dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan manfaatnya, inilah yang dinamakan akal eksperimental (al-Aqlu al-Tajribi).
3.      Pemikiran yang melengkapi manusia dengan ilmu dan pengetahuan hipotesis (dzat) mengenai sesuatu yang berada di belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya, inilah akal spekulatif (al-Aqlu al-Nadzri).
Jika tingkatan berpikir itu menyatu dalam diri manusia maka akan mencapai kesempurnaan sebagai realitasnya, sebagai manusia intelektual murni serta memiliki jiwa-jiwa perseptif yang disebutnya sebagai realitas manusia (haqiqoh al-Insaniah).
Untuk memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru, untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan teori dan praktek.[5]
D.    Analisis Pemikiran
Ilmu adalah sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini karena melalui tingkatan ilmulah akan terlihat seseorang itu berada pada tingkatan yang mana baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia. Ilmu dianugerahkan oleh Allah sebagai modal dasar bagi manusia untuk mengolah sumber daya alam agar manusia lebih mengembangkan potensi dalam mengenal dan mengabdikan dirinya dihadapan Allah SWT. Maka Ibnu Khaldun, adalah salah satu seorang yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Ibnu Khaldun memiliki kecermelangan pemikiran-pemikiran sebagai seorang ahli sejarah dan penemu ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1.      Beliau mendapatkan kecerdasan fitrah yang luar biasa.
2.      Mempunyai kemampuan dalam mengadakan pengamatan dan pengaitan antara sebab dan musabab.
3.      Mempunyai pengalaman yang luas dalam kehidupan politiknya yang penuh dengan kegoncangan dan revolusi.
4.      Sering mengembara antara barat dan timur, antara Eropa, Asia dan Afrika Utara.
5.      Memiliki ilmu pengetahuan yang luas yang di satu sisi diperolehnya dari membaca serta mempelajari kitab-kitab, dan di sisi yang lain dari pengamatannya yang cermat selama mengembara dan bergaul dengan bermacam-macam bangsa dan warga negara.
Dari beberapa uraian tersebut di atas maka pemikiran Ibnu Khaldun mengenai ilmu pengetahuan berorientasi pada:
1.      Tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dan ilmu praktis.
2.      Orientasi pada pengadaan ilmu agama yang diseimbangkan dengan ilmu aqliyah.
3.      Orientasi pada anggapan bahwa tugas mengajar adalah alat terpuji untuk memperoleh rizki.
4.      Orientasi menjadikan pengajaran bersifat umum mencakup aspek-aspek dalam berbagai ilmu pengetahuan, serta jauh dari spesialisasi sempit sambil meperdalam ilmu alam seperti ilmu bahasa dan mantiq.
Dilihat dari tujuan dan orientasi pendidikan Ibnu Khaldun dan Al-Ghozali terdapat perbedaan yang menonjol, pendapat dan rumusan pendidikan Ibnu Khaldun merupakan reformasi terhadap pendapat Imam Ghozali yang mencolok adalah dari segi dari tujuan pendidikan dan mengenai gaji guru pendidikan agama.
Menurut Al-Ghozali menuntut ilmu pengetahuan itu bukanlah untuk memperoleh akan tetapi tujuan yang paling tinggi adalah untuk memperoleh ridlo Allah dan untuk menikmati kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Ilmu pengetahuan haruslah dilengkapi dengan amal. Dia menagatakan seorang manusia pastilah akan binasa kecuali orang yang berilmu dan orang yang berilmupun akan binasa kecuali orang yang beramal dan orang yang beramalpun akan binasa kecuali orang yang ikhlas.[6]
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun tujuan pendidikan yaitu sebagai berikut:
1.      Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja.
2.      Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.
3.      Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Pandangan pemikiran Ibnu Khaldun banyak diikuti oleh pemikir timur dan barat dan menjadi seolah satu tonggak kemajuan pendidikan dunia.



DAFTAR PUSTAKA

Mahdi, Muhsin, Ibnu Khaldun’s Philosopi Of Histori, Chicago: The Universiti of Chicago Perss, 1971
Ma’arif, Ahmad, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Pemikir Timur Dan Barat, Jakarta: Gama Insani Pers, 1996
Kholik, Abdul, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, Jakarta: Al-Amin Perss, 1977


[1] Muhsin Mahdi, Ibnu Khaldun’s Philosopi Of Histori, (Chicago The Universiti of Chicago Perss, 1971), hlm. 27
[2] Ahmad Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Pemikir Timur Dan Barat, (Jakarta: Gama Insani Pers, 1996) hlm.13
[3] Abdul Kholik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 16
[4] Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Jakarta: Al-Amin Perss, 1977) hlm. 133
[5] Abdul Kholik, Pemikiran Pendidikan Islam ….., hlm.20
[6] Abdul Kholik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam ….., hlm. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar