BIOGRAFI
IBNU KHALDUN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : STUDI TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Dosen
Pengampu : LABIB SAJAWANDI, M.Pd
Disusun
Oleh :
IMAM
SYAFI’I (2021 111 071)
Kelas:
C
JURUSAN TARBIYAH PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PEKALONGAN
2013
Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun
A.
Biografi
Ibnu Khaldun
Nama asli Ibnu Khaldun ialah wali ad-din Abu
Zaid Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun al-Hadrami al-Idhbili, disingkat
Ibnu Khaldun. Lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M/ 1 Romadhon 732 H dan
wafatnya di Kairo 25 Romadlon / 19 Maret 1406 M. N. J Dawood menyebutkan
sebagai negarawan, ahli hokum, sejarawan dan sarjana.
Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang
kemudian bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad 8 setelah semenanjung itu
dikuasai Arab Muslim. Keluarga yang dikenal pro umayyah ini selama berabad-abad
menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol sampai akhir hijrah ke Maroko
beberapa tahun sebelum Seville jatuh ke tangan penguasa kristen. Pada 1248
setelah itu mereka menetap di Tunisia.
Di kota ini mereka dihormati pihak istana, diberi tanah milik Dinasti Hafsiah.
Sewaktu kecil Ibnu Khaldun sudah menghafal al-Qur’an dan Tajwid, gurunya yang
pertama adalah ayahnya sendiri, waktu itu Tunisia menjadi pusat Hijrah,
Andalusia yang mengalami kekacauan akibat perebutan kekuasaan. Kehadiran mereka
bersamaan dengan naiknya Abul Hasan pemimpin bani Marin (1347). Ibnu Khaldun
mendapatkan kesempatan belajar dari para ulama’ itu selain dari ayahnya yaitu
dari ulama’ yang hijrah dari Andalusia. Ayah Ibnu Khaldun bernama Muhammad,
beliau menguasai ilmu mendalam mengenai al-Qur’an dan ilmu fiqih, gramatika dan
sastra.
Pada usia 17 tahun Ibnu Khaldun telah menguasai
disiplin ilmu Islam klasik termasuk Ulum Aqliyah (ilmu kefilsafatan,
tasawuf, metafisika), beliau mengikuti madzhab Maliki di samping itu semua, beliau
juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain-lain.[1]
Otaknya memang tidak puas dengan satu dua
disiplin ilmu saja, disinilah terletak kekuatan dan sekaligus kelemahan Ibnu
Khaldun sehingga dari catatan sejarah beliau tidak dikenal menguasai satu
bidang disiplin ilmu yang spesifik.
Dalam usia 21 tahun Ibnu Khaldun telah diangkat
menjadi sekretaris sultan dinasti Hafs al-Fadl yang berkedudukan di
Tunisia tahun 751 H atau 1350 M, tetapi kemudian beliau berhenti karena
penguasa yang didukungnya kalah dalam suatu pertempuran. Pada tahun 753 H
beliau ke Baskarah (Al-Jazair) dari sana beliau berusaha bertemu dengan Abu
Anan penguasa bani Marin yang sedang berada di Tilmisan. Pada tahun 775 H
beliau diangkat menjadi anggota Majelis ilmu pengetahuan dan setahun kemudian
beliau diangkat menjadi sekretaris sultan sampai tahun 763 H (1361-1362 M)
ketika wazir Umar bin Abdillah murka kepadanya dan memerintahkannya untuk
meninggalkan negeri itu.
Pada tahun 764 H beliau berangkat ke Granada
oleh Sultan bani Ahmar, beliau diberi tugas menjadi duta negara di Castillah
dan berhasil tetapi kemudian hubungannya dengan sultan mengalami keretakan.
Tahun 766 H beliau pergi ke Bijayah atas undangan penguasa Bani Hafs, Abu
Abdillah Muhammad yang mengangkatnya menjadi perdana menteri.
Tetapi kemudian beliau pergi ke Baskarah beliau
berkirim surat kepada Abu Hammu, Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad kepada
sultan beliau memberikan dukungan, Sultan memberikan jabatan penting tetapi
beliau menolak karena beliau ingin melanjutkan studinya secara autodidak,
tatkala Abu Hammu diusir oleh Sultan Abdul Aziz (Bani Marin) Ibnu Khaldun beralih
pihak kepadanya tetapi akhirnya Tilmisan direbut kembali oleh Abu Hammu,
meskipun pernah bersalah kepada penguasa Tilmisan itu beliau berjanji pada diri
sendiri untuk tidak terjun lagi dalam dunia politik. Beliau akhirnya menyepi di
Qol’at Ibnu Salamah dan menetap di sana sampai 780 H/ 1378 M disinilah beliau
mengarang kitab monumentalnya: “Al-I’bar wa diwan Al-Mubtada’ wa al-khabar
fi Ayyam Al-‘Arab wa al-Ajam wa al-Barbar”.
Pada tahun 780 H (1378) Ibnu Khaldun kembali ke
tanah airnya Tunisia, untuk menelaah beberapa kitab yang diperlukan sebagai
bahan refisi kitab “al-‘Ibar”, pada tahun 784 H/ 1382 M beliau berangkat ke
Iskandaria Mesir dengan maksud menghindari kekacauan politik-politik di Maghrib
setelah sebulan beliau ke Kairo.
B.
Setting
Sosial
Telah kita ketahui bahwa Ibnu Khaldun berasal
dari keluarga terpelajar, neneknya pernah menjabat mentri keuangan Tunisia,
sementara ayahnya sendiri seorang Administrator dan perwira militer dan
moyangnya itu juga pemimpin politik di Siville dan pada waktu itu keilmuan
dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi pemimpin Seville berada di tangan
keluarga Khaldun dan keluarga bangsawan lainnya serta pengaruh dan kekuasaan
lainnya berada di tangan Khaldun.
Dari sejarah dan pengalaman hidupnya serta
berbagai rintangan yang dihadapinya maka dari berbagai pengalaman itulah timbul
konsep-konsep baru baik mengenai sosiolog sejarah dan pendidikan, jika dilihat
dari berbagai pengalaman dalam berbagai pemerintahan yang berbeda dan selalu
berganti-ganti maka beliau adalah seorang diplomat ulung yang dapat bekerja
sama dengan berbagai penguasa yang sedang berkuasa saat itu sehingga beliau
mampu menarik hati penguasa.
Al-Faruqi menggambarkan situasi yang dihadapi
Ibnu Khaldun dengan baik yaitu sebagai berikut: “Ini adalah abad tentang intrik
politik, tentang suksesi kekuasaan yang cepat dank eras antara negara-negara
muslim yang keadaan umumnya dalam kejatuhan dan kehancuran. Muslim berkomplot
jahat satu sama lain demi pemenuhan kepentingan pribadi Ibnu Khaldun sepenuhnya
sesuai dengan lingkungan semacam itu seakan-akan beliau dilahirkan bukan hanya
di dalamnya tetapi untuk keadaan semacam itu.[2]
C. Pendekatan/ Ide Pokok/ Pemikiran
1.
Methodologi
Dari
pengalaman Ibnu Khaldun dalam perjalanan hidupnya yang mengalami silih
bergantinya kekuasaan, akhirnya beliau mengadakan pendekatan kepada penguasa
dan pejabat, dengan pendidikan untuk/ sebagai suatu proses untuk mewujudkan
suatu masyarakat yang berkebudayaan serta masyarakat seutuhnya.
Dari
sini dapat kita lihat metode Ibnu Khaldun untuk merumuskan konsep pendidikan
melalui pengalaman dan keahliannya sebagai ahli filsafat sejarah yaitu beliau
menggunakan pendekatan filsafat sejarah atau “HISTORICAL PHILOSOPHI APROACH”
dengan menghubungkan anatara konsep dan realita, karena kedua pendekatan
tersebut akan mempengaruhi system bergilir dan pemikirannya dalam pembahasan
setiap permasalahan karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa
pendapat dan interprestasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah
dilalui, yang dimaksud dengan pendekatan filsafat sejarah atau historical
filosofi approach adalah suatu pendekatan sejarah yang mencoba menggali
berbagai konsepsi para filosof tersebut telah ditemukan jawabannya oleh para
filosof sepanjang jaman, sejarah dari hasil kajian tersebut akan menimbulkan
fenomena baru atau konsep baru dari berbagai sudut tinjauan atau aliran
pemikiran.[3]
2.
Ide-ide
Pokok tentang Pendidikan
Selain
ahli dalam bidang filsafat dan sosiologi Ibnu Khaldun juga ahli dalam soal
kependidikan. Hal ini karena beliau tidak mengkhususkan dirinya dalam satu
disiplin ilmu saja.
Konsep
pemikiran atau ide pokok Ibnu Khaldu mengenai dasar-dasar pendidikan dan
pengajarannya dikemukakan oleh Mustofa Amin dalam bukunya “Tarikh
At-Tarbiyah” sebagai berikut:
1.
Dalam pengajaran agar disampaikan secara global
pada tingkat permulaan kemudian secara terperinci, dalam hal ini dilakukan
dengan tiga kali pengulangan.
2.
Pemakaian alat-alat peraga dalam pengajaran
pada masa permulaan.
3.
Jangan mengulur-ngulur waktu ketika murid
sedang belajar vak/ materi tertentu, dengan jalan memutuskan proses belajar
dengan istirahat.
4.
Jangan mengajarkan definisi-definisi atau
kaidah-kaidah umum pada pertama kali.
5.
Jangan membiarkan murid belajar dua macam ilmu
dalam satu waktu.
6.
Pengajaran al-Qur’an dilakukan sejak dini.
7.
Agar tidak memperluas pembahasan dalam pelajaran
ilmu alat.
8.
Guru jangan meringkaskan ilmu-ilmu dengan
seringkas-ringkasnya, dalam kitab kecil yang dinamai matan, perkataannya ringkas
dan sempit tetapi isinya luas dan dalam, sehingga sulit bagi siswa untuk
memahaminya.
9.
Hendaknya guru jangan menugaskan murid-muridnya
mempelajari bermacam-macam aliran dan guru hendaknya jangan membebani
murid-muridnya untuk meneliti buku-buku serta ilmu apa yang ditulis dalam
buku-buku.
10. Bepergian
ke negeri-negeri lain untuk mencari ilmu menambah pengalaman dan pengetahuan
karena kita memerlukan wawasan yang mungkin tidak dapat diperoleh dalam kampong
sendiri.
11. Cinta
kasih kepada anak-anak, membina mereka dengan penuh keakraban, lemah lembut
jangan keras dan kasar.
12. Mendidik
anak remaja berdasarkan pemberian contoh suri tauladan yang baik.[4]
3.
Pemikiran
Dalam
melakukan aktifitasnya mengenai keilmuan Ibnu Khaldun mempunyai pendapat
sendiri mengenai definisi ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan adalah
kemampuan manusia untuk membuat analisa dan sintesa sebagai hasil pemikiran
atau berpikir. Kesanggupan berpikir menurutnya ada 3 tingkatan yaitu:
1.
Peahaman intelektualmanusia terhadap sesuatu
yang ada di luar alam semesta dalam tatanan alam atau tatanan yang
berubah-ubah, dengan maksud supaya dia dapat melaksanakan seleksi dengan
kemampuan ia sendiri. Bentuk pembeda (Al-Aqlu al-Tamyiszi) yang membantu
manusia memperoleh penghidupannya dan menolak segala sesuatu yang sia-sia bagi
dirinya.
2.
Berpikir yang melengkapi manusia dengan ide-ide
dan perilaku yang dibutuhkan dalam pergaulan dengan orang bawaan dan mengatur
mereka (anak buah). Pemikiran ini kebanyakan persepsi (tashdiqot) yang
dicapai satu demi satu melalui pengalaman hingga benar-benar dirasakan
manfaatnya, inilah yang dinamakan akal eksperimental (al-Aqlu al-Tajribi).
3.
Pemikiran yang melengkapi manusia dengan ilmu
dan pengetahuan hipotesis (dzat) mengenai sesuatu yang berada di
belakang persepsi indra tanpa tindakan praktis yang menyertainya, inilah akal
spekulatif (al-Aqlu al-Nadzri).
Jika
tingkatan berpikir itu menyatu dalam diri manusia maka akan mencapai
kesempurnaan sebagai realitasnya, sebagai manusia intelektual murni serta
memiliki jiwa-jiwa perseptif yang disebutnya sebagai realitas manusia (haqiqoh
al-Insaniah).
Untuk
memperoleh pengetahuan menurut Ibnu Khaldun haruslah mempunyai seorang guru,
untuk pengawasan dengan melalui pengulangan dan pemahaman praktik sehingga
melekat di dalamnya otak dan pikiran harus berorientasi kepada adanya penyatuan
teori dan praktek.[5]
D. Analisis Pemikiran
Ilmu adalah sesuatu yang sangat penting dalam
hidup ini karena melalui tingkatan ilmulah akan terlihat seseorang itu berada
pada tingkatan yang mana baik dihadapan Allah maupun dihadapan manusia. Ilmu
dianugerahkan oleh Allah sebagai modal dasar bagi manusia untuk mengolah sumber
daya alam agar manusia lebih mengembangkan potensi dalam mengenal dan
mengabdikan dirinya dihadapan Allah SWT. Maka Ibnu Khaldun, adalah salah satu
seorang yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Ada beberapa hal yang menyebabkan
Ibnu Khaldun memiliki kecermelangan pemikiran-pemikiran sebagai seorang ahli
sejarah dan penemu ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
1.
Beliau mendapatkan kecerdasan fitrah yang luar
biasa.
2.
Mempunyai kemampuan dalam mengadakan pengamatan
dan pengaitan antara sebab dan musabab.
3.
Mempunyai pengalaman yang luas dalam kehidupan
politiknya yang penuh dengan kegoncangan dan revolusi.
4.
Sering mengembara antara barat dan timur,
antara Eropa, Asia dan Afrika Utara.
5.
Memiliki ilmu pengetahuan yang luas yang di
satu sisi diperolehnya dari membaca serta mempelajari kitab-kitab, dan di sisi
yang lain dari pengamatannya yang cermat selama mengembara dan bergaul dengan
bermacam-macam bangsa dan warga negara.
Dari beberapa uraian tersebut di atas maka
pemikiran Ibnu Khaldun mengenai ilmu pengetahuan berorientasi pada:
1.
Tidak adanya pemisahan antara ilmu teoritis dan
ilmu praktis.
2.
Orientasi pada pengadaan ilmu agama yang
diseimbangkan dengan ilmu aqliyah.
3.
Orientasi pada anggapan bahwa tugas mengajar
adalah alat terpuji untuk memperoleh rizki.
4.
Orientasi menjadikan pengajaran bersifat umum
mencakup aspek-aspek dalam berbagai ilmu pengetahuan, serta jauh dari
spesialisasi sempit sambil meperdalam ilmu alam seperti ilmu bahasa dan mantiq.
Dilihat dari tujuan dan orientasi pendidikan
Ibnu Khaldun dan Al-Ghozali terdapat perbedaan yang menonjol, pendapat dan
rumusan pendidikan Ibnu Khaldun merupakan reformasi terhadap pendapat Imam
Ghozali yang mencolok adalah dari segi dari tujuan pendidikan dan mengenai gaji
guru pendidikan agama.
Menurut Al-Ghozali menuntut ilmu pengetahuan
itu bukanlah untuk memperoleh akan tetapi tujuan yang paling tinggi adalah
untuk memperoleh ridlo Allah dan untuk menikmati kehidupan yang abadi di
akhirat kelak. Ilmu pengetahuan haruslah dilengkapi dengan amal. Dia
menagatakan seorang manusia pastilah akan binasa kecuali orang yang berilmu dan
orang yang berilmupun akan binasa kecuali orang yang beramal dan orang yang
beramalpun akan binasa kecuali orang yang ikhlas.[6]
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun tujuan
pendidikan yaitu sebagai berikut:
1.
Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk
aktif dan bekerja.
2.
Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai
alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat yang maju dan
berbudaya.
3.
Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan
untuk memperoleh rizki.
Pandangan pemikiran Ibnu Khaldun banyak diikuti
oleh pemikir timur dan barat dan menjadi seolah satu tonggak kemajuan
pendidikan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Mahdi, Muhsin, Ibnu Khaldun’s Philosopi Of
Histori, Chicago: The Universiti of Chicago Perss, 1971
Ma’arif, Ahmad, Ibnu Khaldun dalam Pandangan
Pemikir Timur Dan Barat, Jakarta: Gama Insani Pers, 1996
Kholik, Abdul, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam
Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof
Muslim, Jakarta: Al-Amin Perss, 1977
[1]
Muhsin Mahdi, Ibnu Khaldun’s Philosopi Of Histori, (Chicago The
Universiti of Chicago Perss, 1971), hlm. 27
[2] Ahmad
Ma’arif, Ibnu Khaldun dalam Pandangan Pemikir Timur Dan Barat,
(Jakarta: Gama Insani Pers, 1996) hlm.13
[3]
Abdul Kholik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) hlm. 16
[4]
Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim,
(Jakarta: Al-Amin Perss, 1977) hlm. 133
[5]
Abdul Kholik, Pemikiran Pendidikan Islam ….., hlm.20
[6]
Abdul Kholik, dkk, Pemikiran Pendidikan Islam ….., hlm. 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar