SEJARAH DAN KONTRIBUSI PESANTREN
(Studi Historis dan Aplikatif)
Oleh:
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister
Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
2015
ABSTRAK
Praktik pendidikan Islam di Nusantara
telah berlangsung lama, tepatnya sejak Islam masuk ke Nusantara sekitar abad
ke-15 yang lalu. Kajian tentang pendidikan Islam di Nusantara masih sangat
terbatas dibanding kajian ke-Islaman lainnya. Tulisan ini akan menyajikan studi
historis dan aplikatif pendidikan Islam di Nusantara, khususnya pada masa
kolonial Belanda. Kajian ini dilakukan dengan survey terhadap sejumlah buku
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Kajian ini diarahkan terhadap buku-buku
yang memberikan informasi ilmiah tentang sejarah dan kontribusi pesantren dalam
pendidikan Islam di Nuasantara.
Kajian ini menggunakan metode
deskriptif-analistis-kritis terhadap kajian sejarah dan kontribusi pesantren
dalam pendidikan di Nusantara dengan menggunakan sumber primernya adalah buku karya
Zamakhzyari Dhofier yang berjudul “Tradisi Pesantren”.
Hasil kajian ini dapat
memberikan gambaran tentang sejarah, sistem pendidikan dan pengajaran,
karakteristik dan metode pembelajaran serta kontribusi dari pesantren yang ada
di Nusantara. kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan yang
bersifat universal serta dikritisi agar dapat dimanfaatkan kelebihan dan
mengganti kekurangan yang ada di pesantren dengan sesuatu yang lebih baik demi
kemaslahatan ummah.
Kata Kunci: Sejarah, Kontribusi, Pesantren dan
Pendidikan Islam di Nusantara.
Keberadaan pondok pesantren dan masyarakat
merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling
mempengaruhi. Sebagian besar pesantren berkembang dari adanya dukungan
masyarakat dan secara sederhana muncul
atau berdirinya pesantren merupakan inisiatif masyarakat baik secara individual
maupun kolektif. Begitu pula sebaliknya perubahan sosial dalam masyarakat
merupakan dinamika kegiatan pondok pesantren dalam pendidikan dan masyarakat.[1]
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali
adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan bentuk
pesantren bukan berarti sebagai pondok pesantren yang telang hilang
kekhasannya. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga
pendididikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari rakyat untuk masyarakat.[2]
A.
Pengertian Pondok
Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata
santri dengan awalan pe akhiran an yang berarti tempat tinggal
santri (Dhofier, 1984:18). Dengan nada yang sama Soegarda Poerbakawatja
menjelaskan bahwa pesantren asal katanya adalah santri, yaitu seorang yang
belajar agama Islam, sehingga dengan demikian, pesantren mempunyai arti tempat
orang berkumpul untuk belajar agama Islam (Poerbakawatja, 1967:233). Manfred
Ziemek juga menyebutkan santri”. Santri atau murid (umumnya sangat
berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kiai) dan oleh para
guru (ulama atau ustadz), pelajaran mencakup berbagai bidang tentang
pengetahuan Islam (Ziemek, 1986:16).[3]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) bahwa pengertian pesantren yaitu asrama tempat santri atau tempat
murid-murid belajar mengaji dsb; pondok.[4]
Sedangkan menurut Profesor John
berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji.[5]
Dan C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri
yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu,
atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu.[6]
Kata shastri juga berasal dari kata shastra yang brarti buku-buku
suci, buku-buku Agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.[7]
Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa pesantren adalah suatu tempat yang digunakan untuk proses belajar
mengajar dalam mengakaji ilmu Agama maupun ilmu pengetahuan.
B.
Sejarah Pondok
Pesantren
Ditinjau dari segi sejarah, belum
ditemukan data sejarah, kapan pertama sekali berdirinya pesantren, ada pendapat
mengatakan bahwa pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Nusantara,
yang mana menurut Hugronye abad ke-12 adalah periode paling mungkin dari permulaan
penyebaran Islam di Nusantara.[8] Sementara
yang lain berpendapat bahwa pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan
Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan
pesantren.[9]
Asal usul pesantren tidak bisa
dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad XV-XVI (abad ke 15-16) di Jawa.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Nusantara. Lembaga pendidikan
ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad. Sebagai bukti bahwa
Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419 di Gresik, Jawa Timur) yang telah
mendapat sebutan sebagai Spiritual Father Walisongo, dalam masyarakat
santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di Tanah
Jawa.[10]
Namun lembaga pendidikan ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada
abad XVIII dan XIX (abad 18 dan 19).[11]
Sebagai contoh yaitu Pesantren Tegalsari yang didirikan menjelang tahun 1870 di
kelurahan Sidoarjo, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah dan Pesantren
Tebuireng didirikan tahun 1899 di Kelurahan Cukir, kira-kira 8 km sebelah
tenggara Kota Jombang, Jawa Timur.[12]
Peta Pusat Pesantren di Jawa abad ke-19 dan 20
Suatu survei yang diselenggarakan oleh
kantor Shumubu (Kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer
Jepang di Jawa 1942-1945) tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren, dan
murid-muridnya seperti terlihat dalam Tabel di bawah ini:[13]
No
|
Keterangan
|
Jakarta
|
Jabar
|
Jateng
|
Jatim
|
1
|
Pesantren dan Madrasah
|
167
|
1.046
|
351
|
307
|
2
|
Kyai[14]
|
|
7.652
|
4.466
|
6.150
|
3
|
Murid
|
14.513
|
69.954
|
21.957
|
32.931
|
Jumlah
Pesantren dan Madrasah
|
1.871[15]
|
||||
Jumlah Murid
|
139.415[16]
|
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di
Jawa, sebelum datangnya agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa kuno yang
praktik kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa kuno itu
bernama periwayatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan Cantrik.
Ki Ajar adalah orang yang mengajar dan Cantrik adalah orang yang diajar. Kedua
kelompok ini tinggal di satu komplek dan di sini terjadilah proses belajar
mengajar.[17]
Secara terminologis dapat dijelaskan
bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal
dari India.[18]
Sebelum proses penyebaran Islam di Nusantara, sistem tersebut dipergunakan
secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa.
Setelah Islam masuk dan tersebar di
Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri
seperti halnya “mengaji” bukanlah berasal dari Istilah Arab melainkan dari
India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, surau di Minangkabau dan
Rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah arab, tetapi dari istilah yang
terdapat di India.[19]
C.
Karakteristik Pondok
Pesantren
Pondok pesantren sebagai Lembaga
Pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan lainnya baik dari segi aspek sistem
pendidikannya maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Perbedaan dari segi
sistem pendidikannya terlihat dari proses belajar-mengajarnya yang cenderung
sederhana dan tradisional.[20]
Kemudian pendekatan dan kebijakan yang
ada telah terlembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan
ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan
filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi
masyarakat santri. Melalui konsep modeling keagungan Muhammad SAW. Serta
karisma Walisongo yang dipersonifikasikan oleh para auliya’ dan kiai
telah terjunjung tinggi dari masa ke masa, karena modeling ini pula
gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan Syech Maulana Malik Ibrahim
mampu eksis dan berkembang dari abad ke abad bahkan sampai kini.
Sebagai contoh yang mana pendirian
pesantren ini dibarengi dengan keberhasilan tokoh ini dalam merebut simpati
massa, dan melengkapi diri dengan modal materi pribadi yang digunkan untuk
dakwah Islamiah sebagai traveling muslim merchant, dan guru panutan.
Pada siang hari sang guru membawa anak didik ke sawah, dan pada malam hari
mengajarkan kepada mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca al-Qur’an.[21]
Suasana kehidupan belajar dan mengajar
berlangsung sepanjang hari dan malam berada dalam proses belajar. Demikian pula
kiai berada dalam suasana mengajar. Hubungan antara kiai dan santri sama halnya
hubungan antara orang tua dengan anak. Hubungan tersebut tidak hanya berlaku
selama santri berada dalam lingkungan pesantren, hubungan itu berlanjut
kendatipun santri tidak lagi berada secara formal di pesantren. Pada
waktu-waktu tertentu alumni santri masih dapat mendatangi kiai (sowan). Selain
itu hubungan santri dengan kiai tidak hanya menyangkut dalam hal yang berkenaan
dengan proses belajar mengajar, tetapi lebih dari pada itu lagi. Dalam hal-hal
yang amat bersifat pribadi pun selalu ditanyakan santri kepada kiai, dan kiai
pun selalu memberikan pandangan-pandangan tentang berbagai kesulitan yang
dialami oleh santri.[22]
Ada beberapa ciri yang secara umum
dimiliki oleh pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai
lembaga sosial yang secara informal itu terlibat dalam pengembangan masyarakat
pada umumnya, antara lain; pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik,
santri dan kyai.[23]
1.
Pondok
Setiap pesantren pada umumnya memiliki
pondokan. Pondok dalam pesantren pada dasarnya merupakan dua kata yang sering
penyebutannya tidak dipisahkan menjadi “Pondok Pesantren”, yang berarti
keberadaan pondok dalam pesantren merupakan wadah penggemblengan, pembinaan dan
pendidikan serta pengajaran ilmu pengetahuan.
Selain itu fungsi pondok sendiri antara
lain; sebagai tempat tinggal santri, belajar dan ditempa diri pribadinya dengan
kontrol seorang ketua asrama atau kyai yang memimpin pesantren itu, sebagai
tempat mendidik dan mengajarkan segala bentuk jenis ilmu yang telah
ditetapkannya, sebagai tempat melatih ilmu-ilmu praktis seperti kepandaian
berbahasa, menghafal dan ketrampilan yang lain, sebagai tempat saling
kenal-mengenal dan membina kesatuan dalam melengkapi diri dengan ilmu
pengetahuan.[24]
2.
Masjid
Masjid pada hakikatnya merupakan
sentral kegiatan muslimin baik dalam dimensi ukhrawi maupun duniawi dalam
ajaran Islam, karena pengertian yang lebih luas dan maknawi masjid memberikan
indikasi sebagai kemampuan seorang abdi dalam mengabdi kepada Allah yang
disimbolkan sebagai adanya masjid (tempat sujud).[25]
Masjid merupakan elemen yang tak dapat
dipisahkan dengan pesantren dan dianggap
sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam
praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang jama’ah serta pengajaran
kitab-kitab Islam klasik. Di mana pun kaum muslimin berada, mereka selalu
menggunakan masjid sebagai tempat pertemuan, pusat pendidikan, aktivitas
administrasi dan kultural, hal ini telah berlangsung selam 13 abad. Para kyai
selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat
yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan
kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban
agama yang lain.[26]
3.
Pengajaran kitab-kitab
Islam klasik
Kitab-kitab Islam klasik biasanya
dikenal dengan istilah kitab kuning, yang terpengaruh oleh warna kertas.
Kitab-kitab itu ditulis oleh ulama zaman dahulu yang berisikan tentang ilmu
keislaman seperti; kitab fiqih, hadits, tafsir maupun tentang akhlaq.[27]
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang
diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok; nahwu dan shorof,
fiqh, usul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-cabang
lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang
sangat pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal. Tujuan utama
pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama dan untuk menguasai
berbagai cabang pengetahuan Islam serta mengembangkan keahliaanya dalam bahasa
Arab.[28]
4.
Santri
Istilah santri hanya terdapat di
pesantren sebagai pengejawantahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh kyai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena
itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kyai dan pesantren.[29]
Menurut tradisi pesantren terdapat dua
kelompok santri, yaitu:
a.
Santri Mukim
Yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal di
pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang
tanggungjwab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari dan mereka juga
memikul tanggungjawab mengajar santri-santri muda.[30]
b.
Santri Kalong
Yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling
pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren untuk mengikuti
pelajarannya di pesantren, mereka bolak balik (nglajo) dari rumahnya
sendiri.[31]
5.
Kyai
Kyai merupakan elemen yang paling
esensial dari suatu pesantren. Ia seringkali atau bahkan merupakan pendirinya.
Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis
gelar yang saling berbeda:
a.
Sebagai gelar kehormatan
bagi barang-barang yang dianggap keramat, umpamanya; “Kyai Garuda Kencana”
dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.
b.
Gelar kehormatan untuk
orang-orang tua pada umumnya.
c.
Gelar yang diberikan oleh
masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan
pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain
gelar kyai, ia juga sering disebut seorang ‘alim (orang yang dalam pengetahuan
Islamnya).
Para
kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, sering kali dilihat sebagai
orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga
dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau,
terutama oleh kebanyakan orang awam. Dalam beberapa hal, mereka menunjukkan
kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman
yaitu kopiah dan surban.[32]
D.
Sistem Pendidikan
dan Pengajaran Pondok Pesantren
Pada zaman pemerintahan Sultan Agung
kerajaan Islam di Jawa, yaitu Mataram dalam bidang pendidikan Islam memberikan
perhatian yang cukup besar, karena pada zaman ini pesantren telah dibagi
menjadi beberapa tingkatan, antara lain:
1.
Tingkat pengajian
al-Qur’an, tingkatan ini terdapat pada setiap desa, yang diajarkan meliputi
huruf hijaiyyah, membaca al-Qur’an, barzanji, rukun Islam dan rukun Iman.
2.
Tingkat pengajian kitab,
para santri belajar pada tingkat ini bagi mereka yang telah khatam al-Qur’an.
Tempat belajar biasanya di serambi masjid dan mereka umumnya mondok. Guru yang
mengajar di sini diberi gelar Kiai Anom. Kitab yang mula-mula dipelajari adalah
kitab-kitab 6 Bis, yaitu sebuah kitab yang berisi 6 kitab dengan 6 basmallah.
Kemudian dilanjutkan dengan matan taqrib dan Bidayatul Hidayah karangan
Imam al-Ghazali.
3.
Tingkat pesantren besar.
Tingkat ini didirikan di daerah kabupaten sebagai lanjutan dari pesantren desa.
Kitab-kitab yang diajarkan di sini adalah kitab-kitab besar dalam bahasa Arab,
lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Cabang-cabang ilmu yang diajarkan
adalah fiqih, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya.
4.
Pondok pesantren tingkat
keahlian (takhassus). Ilmu yang dipelajari pada tingkat ini adalah satu cabang ilmu
dengan secara mendalam. Tingkat ini adalah tingkat spesialis (Yunus, 1979:
223-224).[33]
Sebagai
tambahan bahwa Sultan Agung menawarkan “tanah pendidikan”[34]
kepada komunitas santri supaya mereka berhasil mengembangkan lembaga-lembaga
pendidikan mereka yang meliputi 300 pesantren.
Pesantren
ini terbagi menjadi pesantren besar dan “pesantren induk”, yakni pesantren takhssus
dengan spesiali pada pengetahun Islam khusus dan pesantren tharekat.[35]
Muhammad Yunus, spesialis sejarah pendidikan Islam di Indonesia, menganggap
aktivitas belajar selama periode Mataram sebagai “masa keemasan” sistem
pendidikan Islam. Dia membagi sistem pendidikan Islam pada periode Sultan Agung
sebagai berikut:[36]
1.
Pesantren Takhassus (Tingkat
Tertinggi) dengan spesifikasi pengetahuan keislaman dan tarekat.
Mempelajari pelajaran khusus secara mendalam serta belajar tarekat
tertentu khususnya Qadiriyah, Naqsyabandiyah dan Syathiriyah.
2.
Pesantren Besar dan Umum
(Tingkat Tinggi); mata pelajaran fiqih, tafsir, hadits, tauhid, astronomi,
tata bahasa Arab, dan tasawuf.
3.
Pesantren Daerah (Tingkat
Menengah) dengan kitab-kitab elementer; mata pelajaran kitab-kitab fiqih dengan
penenekanan pada madzhab al-Syafi’I seperti; fath al-Qarib, dan
dasar-dasar akhlaq sepert; Bidayah al-Hidayah yang ditulis oleh
al-Ghazali.
4.
Tingkat Dasar (Kelas-kelas
al-Qur’an di berbagai tempat bagi anak-anak usia 7 tahun ke-atas); tujuannya
untuk membekali para santri dengan kemampuan membaca al-Qur’an hingga tamat.
Sistem pendidikan pesantren baik metode,
sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional. Administrasi
pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh pemerintah kolonial
Belanda, non-klasikal, menurut Zamaksyari Dhofier terdapat lima unsur pokok
pesantren yang meliputi; Kiai, santri, pondok, masjid dan pengajaran
kitab-kitab klasik.[37]
Tuntunan pokok yang mesti dikuasai oleh
santri adalah ilmu-ilmu agama Islam, maka tidak boleh tidak para santri mesti
memahami ilmu-ilmu agama Islam itu dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan
Sunnah yang telah dijabarkan oleh ulama-ulama terdahulu dalam kitab-kitab
klasik berbahasa Arab dengan segala cabang-cabangnya yang merupakan unsur pokok
dalam suatu pesantren.[38]
Kitab-kitab klasik ini juga
diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Muhammad Yunus
membagi pesantren pada tahap-tahap awal itu kepada empat tingkatan, yaitu:
tingkat dasar, menengah, tinggi dan takhassus.[39] Untuk
mengajarkan kitab-kitab klasik tersebut sang kiai menempuh metode: wetonan,
sorogan, dan hafalan.
1.
Metode Wetonan atau
bandongan
Wetonan atau bandongan adalah
metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling kiai. Kiai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, dan santri
menyimak kitab masing-masing serta membuat catatan.[40]
Dalam sistem ini juga menekankan sekelompok murid (anatara 5 sampai 500)
mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan seringkali
mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya
sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti maupun keterangan) tentang
kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompok kelas dari sistem bandongan
ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok
siswa yang belajar di bawah bimbingan seorang guru.[41]
Dalam sistem bandongan, seorang
murid tidak harus menunjukkan bahwa ia mengerti pelajaran yang sedang dihadapi.
Para kyai biasanya membaca dan menerjemahkan kalimat-kalimat secara cepat dan
tidak menerjemahkan kata-kata yang mudah. Dengan cara ini kyai dapat
menyelesaikan kitab-kitab pendek dalam beberapa minggu saja. Karena sistem bandongan
dimaksudkan untuk murid-murid tingkat menengah dan tingkat tinggi, hanya
efektif bagi murid-murid yang telah mengikuti sistem sorogan secara
intensif.
Kebanyakan pesantren, terutama
pesantren-pesantren besar, biasanya menyelenggarakan bermacam-macam khalaqah
(kelas bandongan), yang mengajarkan mulai dari kitab-kitab elementer
sampai ke tingkatan tinggi, yang diselenggarakan setiap hari (kecuali hari
jum’at), dari pagi-pagi buta setelah sembahyang subuh, sampai larut malam.
Penyelenggaraan bermacam-macam kelas bandongan ini dimungkinkan oleh
suatu sistem yang berkembang di pesantren di mana kyai seringkali memerintahkan
santri-santri senior untuk mengajar dalam halaqah. Santri senior yang
melakukan praktek mengajar ini mendapat titel ustad (guru). Para asatid
(guru-guru) ini dapat dikelompokkan ke dalam kelompok, yaitu yang masih
yunior (ustad muda), dan yang sudah senior, yang biasanya sudah menjadi anggota
kelas musyawarah. Satu-dua ustad senior yang sudah matang dengan pengalaman
mengajarkan kitab-kitab besar akan memperoleh gelar “kyai muda”.[42]
2.
Metode Sorogan
Sorogan adalah metode kuliah
dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab
yang akan dipelajari. Kitab-kitab yang akan dipelajari itu diklasifikasikan
berdasarkan tingkatan-tingkatan. Ada tingkat awal, menengah dan atas. Seorang
santri pemula terlebih dahulu mempelajari kitab-kitab awal barulah kemudian
diperkenankan mempelajari kitab-kitab pada tingkat berikutnya, dan demikian
seterusnya. Karena itulah pesantren tradisional tidak mengenal sistem kelas.
Kemampuan santri tidak dilihat dari kelas berapanya, namun dilihat dari kitab
apa yang telah dibacanya. Orang-orang pesantren telah dapat mendudukkan derajat
ilmu seorang santri atas dasar tingkatan kitab yang telah dibacanya.[43]
Sistem individual ini dalam sistem pendidikan Islam tradisional di sebut sistem
sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah
menguasai pembacaan al-Qur’an. Murid diharuskan menguasai pembacaan dan
terjemahan tersebut secara tepat dan hanya bisa menerima tambahan pelajaran
bila telah berulang-ulang mendalami pelajaran sebelumnya. Para guru pengajian
dalam taraf ini selalu menekankan kualitas dan tidak tertarik untuk mempunyai
murid lebih dari 3 atau 4 orang. Jika dalam seluruh hidup guru tersebut ia berhasilkan
menelorkan sekitar 10 murid yang dapat menyelesaikan pengajian dasar ini, dan
kemudian melanjutkan, maka ia akan dianggap sebagai seorang guru yang berhasil.
Sistem sorogan dalam pengajian
ini merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan Islam
tradisional. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan
disiplin pribadi dari murid. Kebanyakan murid-murid pengajian di pedesaan gagal
dalam pendidikan dasar ini. Sebab pada dasarnya hanya murid-murid yang telah
menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari
sistem bandongan di pesantren.
Sistem sorogan terbukti efektif
sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang
alim. Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing
secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.[44]
3.
Metode Hafalan
Di samping itu metode hafalan pun
menempati kedudukan yang penting di dunia pesantren. Pelajaran-pelajaran
tertentu dengan materi-materi tertentu diwajibkan untuk dihafal. Misalnya, dalam
pelajaran al-Qur’an dan Hadits, ada sejumlah ayat-ayat dan hadits yang wajib
dihafal oleh santri. Demikian juga dalam bidang pelajaran lainnya: fiqih,
bahasa Arab, tafsir, tasawuf, akhlak dan lain-lain. Hafalan tersebut biasanya
berbentuk nadzam (sya’ir). Misalnya, kaidah-kaidah nahwu, seperti alfiyah,
jurumiyyah, maqsud, I’ilal, ‘amrithi, hidayatus sibyan, dan ‘aqidatul awam dan
lain-lain.[45]
4.
Metode Musyawarah
Selain metode di atas, pesantren juga
melaksanakan dalam bentuk musyawarah, yakni mendiskusikan pelajaran yang
sudah dan yang akan dipelajari. Musyawarah bertujuan untuk memahami materi
pelajaran yang telah diberikan oleh ustadz atau musytahiq.[46]
Dalam kelas musyawarah, sistem
pengajarannya sangat berbeda dari sistem sorogan dan bandongan.
Para siswa harus mempelajari sendiri kitab-kitab yang ditunjuk. Kyai memimpin
kelas musyawarah seperti dalam suatu seminar dan lebih banyak dalam
bentuk tanya-jawab, biasanya hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa
Arab, dan merupakan latihan bagi para siswa untuk menguji ketrampilannya dalam
menyadap sumber-sumber argumentasi dalam kitab-kitab Islam klasik. Sebelum
mengahadap kyai, para siswa biasanya menyelenggarakan diskusi terlebih dahulu
antara mereka sendiri dan menunjuk salah seorang juru bicara untuk menyampaikan
kesimpulan dari masalah yang disodorkan oleh kyainya. Baru setelah itu diikuti
dengan diskusi bebas. Mereka yang akan mengajukan pendapat diminta untuk
menyebutkan sumber sebagai dasar argumentasi. Mereka yang dinilai oleh kyai
cukup matang untuk menggali sumber-sumber referensi, memilki keluasan
bahan-bahan bacaan dan mampu menemukan atau menyelesaikan problem-problem
terutama menurut sistem jurisprudensi madzhab Syafi’i akan diwajibkan menjadi
pengajar untuk kitab-kitab tingkat tinggi. Para kyai muda ini biasanya akan
menulis komentar-komentar atau pendapat-pendapat dalam bahasa Arab di
ruang-ruang terluang di pinggir.[47]
Teks Arab dan penjelasannya dengan bahasa Arab, sebagai
jawaban dalam metode musyawarah:[48]
Dari sistem di atas dapat dipahami
bahwa dalam komplek pesantren, dari kyai (sebagai pimpinan tertinggi
pesantren), kyai muda, asatid, santri senior, sampai kepada santri
yunior, tercipta suatu kelompok masyarakat yang berjenjang-jenjang yang
didasarkan pada kematangan dalam bidang pengetahuan Agama Islam.
E.
Kontribusi Pondok
Pesantren dalam Pendidikan Islam
Sesuai dengan latar belakang sejarah
pesantren, dapat dilihat tujuan utama didirikannya suatu pesantren adalah untuk
mendalami ilmu-ilmu agama (tauhid, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, akhlak,
tasawuf, bahasa Arab dan lain-lain). Diharapkan seorang santri yang keluar dari
pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan
merujuk kepada kitab-kitab klasik.[49]
Setelah datangnya kaum penjajah barat
(Belanda), peranan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin kokoh. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam yang reaksional terhadap penjajah. Karena
itu di zaman Belanda sangat kontras sekali pendidikan di Pesantren dengan
pendidikan sekolah-sekolah umum. Pesantren semata-mata megajarkan ilmu-ilmu
agama lewat kitab-kitab klasik, sedangkan sekolah umum Belanda sama sekali
tidak mengajar pendidikan agama.[50]
Secara luas, kekuatan pendidikan Islam
di Jawa masih berada pada sistem pesantren. Posisi dominan yang dipegang oleh
pesantren ini sebagian disebabkan oleh suksesnya lembaga tersebut mengahsilkan
sejumlah besar “ulama” yang berkualitas tinggi yang dijiwai oleh
semangat untuk menyebarluaskan dan memantapkan keimanan orang-orang Islam,
terutama di pedesaan di Jawa. Sebagai pusat-pusat pendidikan Islam tingkat
tinggi, pesantren juga mendidik guru-guru madrasah, guru-guru lembaga pengajian
dan para khotib jum’at. Keberhasilan pemimpin-pemimpin pesantren dalam
mengkaderisasi sejumlah besar “ulama” yang berkualitas tinggi adalah
karena metode pendidikan yang dikembangkan oleh para kyai.
Tujuan pendidikan tidak semata-mata
untuk memperkaya pikiran murid dengan penjelasan-penjelasan, tetapi juga untuk
meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai
spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan
bermoral, dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Setiap murid diajar agar menerima etik Agama di atas etik-etik yang lain.
Tujuan pendidikan pesantren bukan pula untuk mengejar kepentingan kekuasaan,
uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar
adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.[51]
DAFTAR PUSTAKA
Chatuverdi dan
Tiwari, B.N. 1970. A Practical Hindi-English Dictionary. Delhi:
Rashtra Printers.
Dhaby, Darban. 1988.
Kiai dan Politik pada Zaman Kerajaan Islam Jawa, dalam Pesantren.
Dhofier,
Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai). Jakarta: LP3ES anggota IKAPI.
Ebta Setiawan, “Aplikasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia” , Off line.
Ghazali, Bhari.
2004. Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta: CV. Prasasti.
Mas’ud, Abdurrahman.
2006. Dari Haramain ke Nusantara (Jejak Intelektual Arsitek Pesantren).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Putra Daulay,
Haidar. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Saifuddin Zuhri,
Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Bandung: al-Ma’arif Bandung.
Steenbrink, Karel A.
1994. Pesantren Madrasah Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen).
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES.
Steenbrink. Beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19.
Yunus, Muhammad.
1983. Sejarah Pendidikan a Islam Indonesia. Jakarta.
[1]
Prof. Dr. M. Bhari Ghazali, “Pesantren Berwawasan Lingkungan”, (Jakarta:
CV. Prasasti, 2004), hlm. 13.
[2] M.
Bhari Ghazali, Ibid, hlm. 14.
[3]
Dalam Prof. Haidar Putra Daulay, “Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 61.
[4]
Ebta Setiawan, “Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia” , Off line.
[5]
Diskusi pribadi (tanggal 1 Desember 1980) dalam Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi
Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai)”, (Jakarta: LP3ES
anggota IKAPI, 1994), cet. Ke-6, hlm. 18.
[6]
C.C Berg. dalam Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 18.
[7] M.
Chatuverdi dan Tiwari, B.N., “A Practical Hindi-English Dictionary”, (Delhi:
Rashtra Printers, 1970), hlm. 627. Dalam Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm.
18.
[8]
Prof. Haidar Putra Daulay, ibid., hlm. 11.
[9]
Prof. Haidar Putra Daulay, ibid., hlm. 21.
[10]
K.H. Saifuddin Zuhri, “Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia”, (Bandung: al-Ma’arif Bandung, 1979), hlm. 263. Dalam Abdurrahman Mas’ud, “Dari Haramain ke
Nusantara (Jejak Intelektual Arsitek Pesantren)”, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), hlm. 56.
[11]
Abdurrahman Mas’ud, ibid., hlm. 89.
[12]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 2.
[13]
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 40.
[14]
Jumlah kyai Jawa Barat ini meliputi Jakarta.
[15]
Survei tahun 1942 ini tidak membedakan pesantren dan madrasah.
[16]
Jumlah murid ini tentunya lebih kecil dari yang sebenarnya karena dalam laporan
banyak madrasah yang tidak mencantumkan jumlah murid.
[17]
Prof. Haidar Putra Daulay, ibid., hlm. 21.
[18]
Herinneringen dalam Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah
(Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen), (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1994),
hlm. 20.
[19]
Karel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen), (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1994), hlm. 21.
[20]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 17.
[21]
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 69.
[22]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 70.
[23]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 18-24.
[24]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 19-20.
[25]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 18.
[26]
Zamakhsyari Dhofier, “Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan
Hidup Kyai)”, (Jakarta: LP3ES anggota IKAPI, 1994), cet. ke-6, hlm. 49.
[27]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 24.
[28]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 50.
[29]
M. Bhari Ghazali, op. cit., hlm. 22-23.
[30]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 51.
[31]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 52.
[32]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 56.
[33]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 19.
[34] Yaitu
yang bebas dengan keistimewaan tertentu, biasanya berhubungan dengan lokasi
keagamaan di mana pajak dan beban dari negara ditiadakan oleh penguasa. Pada
masa berikutnya tenah pendidikan berkembang menjadi sebuah desa khusus dengan
fungsi-fungsi keagamaan tertentu; seperti menjaga tempat-tempat suci,
memelihara pesantren-pesantren, serta masjid-masjid. Lihat Steenbrink, “Beberapa
Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19”, hlm. 165-172. Dalam
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 69.
[35]
A. Dhaby, Darban, “Kiai dan Politik pada Zaman Kerajaan Islam Jawa, dalam
Pesantren”, 5, No.2 (1988), hlm. 32-38. Dalam Abdurrahman Mas’ud, op.
cit., hlm. 93.
[36]
Muhammad Yunus, “Sejarah Pendidikan a Islam Indonesia”, (Jakarta:
1983), hlm. 226-227).
[37]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 22.
[38]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 69.
[39]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 22.
[40]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 69.
[41]
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 21.
[42]
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 31.
[43]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 69.
[44]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 28-29.
[45]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 69.
[46]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 70.
[47]
Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 31.
[48]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 32.
[49]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 68.
[50]
Haidar Putra Daulay, op. cit., hlm. 22.
[51]
Zamakhsyari Dhofier, op. cit., hlm. 20-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar