STRATEGI PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
(Studi Kecerdasan Spiritual pada Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(2052115026)
Kelas: B
Mahasiswa Pascasarjana STAIN Pekalongan
Tahun 2016
ABSTRAK
Era globalisai yang melanda dunia saat
ini sangat memerlukan SDM yang unggul dan handal. Kenyataan yang dijumpai
mengindikasikan bahwa fungsi pendidikan sebagai pembentuk kepribadian telah
mengalami degradasi nilai atau sikap di dalam praktik pendidikan. Taksonomi
untuk mencapai tujuan pendidikan sebagai bingkai wilayah kepribadian manusia
yakni membentuk sikap (affective domain), mengembangkan pengetahuan (cognitive
domain), serta melatih ketrampilan (psychomotor domain), tampaknya
belum menjadi domain yang utuh dalam tataran outcomes pendidikan. Bahkan
dalam praktik domain cognitive lebih dipentingkan dari pada domain yang
lainnya. Seolah kepribadian manusia hanya berhubungan dengan kecerdasan
intelektualnya semata-mata. Padahal, seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin
mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali ia juga memiliki
piranti kecerdasan, yaitu kecerdasan emosional dan spiritual, atau bentuk
kecerdasan jamak lainnya yang tinggi.
Kata
Kunci: Strategi, Pendidiakan, Kecerdasan Spiritual, dan Pendidikan Agama Islam.
Pendidikan adalah cermin kepribadian bangsa, hal ini
tentunya esensial dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang
mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “menciptakan manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Yuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Tapi apa yang terjadi pada penerapannya sistem pendidikan
pada saat ini yang lebih berorientasi pada pengembangan kecerdasan intelektual
(IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) saja, dimensi kecerdasan yang lain seperti
kecerdasan spiritual (SQ) di marginalkan. Padahal, Kecerdasan Intelektual (IQ)
dan Kecerdasan Emosional (EQ) sudah kita pahami pengertiannya serta bagaiamana
keduanya apabila bersinergi. Namun apabila kedua kecerdasan terebut tidak
disinergikan dengan SQ maka bisa berakibat fatal. SQ sendiri bukanlah menjadi
“ahli petapa”, duduk termenung dan diam menikmati indahnya spiritualitas.
Seseorang bisa saja sukses dengan mempunyai kecerdasan IQ dan
SQ, seorang penipu atau yang lebih popular saat ini adalah para koruptor,
tentunya dia harus cerdas dan jago bersrategi, untuk itu diperlukan IQ.
Sementara untuk uji “timing” dalam pelaksanaan strategi, bernegosiasi,
berkomunikasi, dan mampu merebut hati orang agar mau di ajak berspekulasi dan
berkompromi dengannya di perlukanlah EQ. semangat juang tinggi, mereka selalu
tampak prima dan percaya diri namun niat dan ahklaknya sangat buruk, itulah
bentuk IQ, EQ bila tidak memiliki SQ.
Bahkan menurut sebuah penelitian, kunci terbesar seseorang
adalah dalam EQ yang dijiwai dengan SQ. Banyak orang yang di PHK bukan karna
tidak mampu melakukan pekerjaan dengan baik, bukan karna tidak mampu
mengoprasikan sesuatu dan bukan karna tidak mampu berkomunikasi dengan baik
namun karna mereka tidak memiliki intergritas, tidak jujur, tidak bertangung
jawab dan tidak amanah pada pekerjaanya. Itu karena mereka tidak mempunyai
keseimbangan dalam tiga kecerdasan IQ , EQ, dan SQ. Ketiga kecerdasan ini,
terutama Kecerdasan Spiritual (SQ) harus di sinergikan dengan kondisi
pendidikan pada saat ini sehingga kepribadian peserta didik dapat terbentuk
dengan baik.
A.
Pengertian
Strategi, Pembelajaran, Kecerdasan Spiritual
Strategi dapat diartikan sebagai a
plan, method, or series of activietis designed to achieves a particular
educational goal.[1]
Kata “strategi” dalam kamus Bahasa Indonesia mempunyai arti rencana yang cermat
mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.[2]
Strategi juga dapat diartikan sebgai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[3]
Jadi dapat disimpulkan bahwa Strategi
adalah suatu perencanaan, metode atau berbagai aktivitas yang dirancang khusus
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kemudian pembelajaran merupakan
aktivitas atau proses yang sistematis dan sistemik yang terdiri atas beberapa
komponen. Komponen tersebut antara lain: tujuan pembelajaran, guru, siswa,
perencanaan pembelajaran sebagai segmen kurikulum, strategi pembelajaran, media
pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.[4]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi bahwa pembelajaran berarti proses,
cara, perbuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar.[5]
Jadi pembelajaran merupakan suatu upaya
yang dilakukan oleh seorang guru atau yang lain untuk membelajarkan siswa yang
belajar.
Sedangkan kecerdasan spiritual secara
bahasa adalah batin, kejiwaan, moral dan rohani. Spiritual berasal dari kata
spirit, yang mempunyai beberapa arti yaitu arwah, hantu, peri, orang,
kelincahan, makna, moral, cara berpikir, semangat keberanian, sukma dan
tabi’at, dari kedua belas arti tersebut dapat dipersempit lagi menjadi tiga
macam arti yaitu berkaitan dengan “moral”, “semangat”, dan “sukma”.[6]
Menurut al-Ghazali kata spiritual dapat diartikan menjadi empat istilah yaitu
al-Qalb, al-Ruh, an-Nafs, al-Aql.[7]
Selain itu Danah Zohar dan Ian Marshall
mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapai
persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk
menempatkan prilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.[8]
Jadi kecerdasan spiritual dapat
disimpulkan sebagai cara berpikir seseorang yang berkaitan dengan value dalam
menempatkan perilaku dalam kehidupan yang lebih bermakna.
B.
Perbedaan
SQ, IQ dan EQ
Kecerdasan spiritual lebih merupakan
sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang “cerdas” dalam
mengelola dan mempergunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas
kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual di sini meliputi hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk
senantiasa mencari makna hidup (the meaning of life) dan mendambakan hidup
bermakna (the meaningful life).[9] SQ
adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. SQ
merupakan kecerdasan tertinggi kita.[10]
Para ahli menyatakan bahwa tingkat
perkembangan IQ berbeda dengan perkembangan SQ. Tingkat kecerdasan IQ relatif
tetap sedangkan kecerdasan SQ dapat meningkat sepanjang hidup manusia.[11]
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin
agama yang mengajak umat manusia untuk ‘cerdas’ dalam memilih atau memeluk
salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah
konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang ‘cerdas’ dalam mengelola dan
mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan
spiritualnya.
Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari
psikologi memandang bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki
kecerdasan spiritual. Acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme,
dan intoleranansi terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan
permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa jadi seseorang yang humanis-non-agamis
memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, sehingga sikap hidupnya insklusif,
setuju dalam perbedaan (agree in disagreement), dan penuh toleran. Hal itu
menunjukkan bahwa makna “spirituality” (keruhanian) di sini tidak selalu
berarti agama atau bertuhan.[12]
Melalui penggunaan kecerdasan spiritual
kita secara lebih terlatih dan melalui kejujuran serta keberanian diri yang
dibutuhkan bagi pelatihan semacam itu, kita dapat berhubungan kembali dengan
sumber dan makna terdalam di dalam diri kita. Kita dapat menggunakan
penghubungan itu untuk mencapai tujuan dan proses yang lebih luas dari diri
kita. Dalam pengabdian semacam itu, kita akan menemukan keselamatan kita.
Keselamatan terdalam kita mungkin terletak pada pengabdian imajinasi kita
sendiri yang dalam.[13]
Menurut saran Ian Marshall dan Danah
Zohar, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan SQ, antara
lain:
1.
Selalu menyadari di mana
saat ini saya berada (menyadari keadaan diri). Ketahuilah diri anda di mana
saat ini berada dan kemana arah yang anda tuju
2.
Punya kemauan keras untuk
berubah kearah yang lebih bagus. Munculkan berbagai ide untuk memperbaiki diri
anda
3.
Selalu menggali sumber
motivasi ke dalam diri. Misalnya memperjelas visi hidup, menghayati misi hidup,
memperjelas tujuan hidup
4.
Selalu mengusahakan solusi
atas setiap masalah yang muncul
5.
Selalu mengeksplorasi
kemungkinan dan peluang untuk meraih kemajuan
6.
Milikilah komitmen untuk
berjalan di atas jalan yang sudah kita pilih (jalan yang tidak melanggar
kebenaran atau jalan yang lurus)
7.
Selalu sadar bahwa di dunia
tidak hanya ada satu jalan untuk meraih keinginan
Selain
ketujuh hal di atas, ada juga yang perlu kita lakukan untuk mengembangkan SQ
ini, yaitu memunculkan motivasi positif dan melawan motivasi negatif.[14]
Kita
harus memahami bahwa ada banyak jalan untuk menjadi cerdas secara spiritual.
Semua aktivitas yang kita lakukan pasti lebih efektif jika dikerjakan dengan SQ
tinggi, sehingga kita akan lebih puas dalam menjalani hidup. Memanfaatkan dan meningkatkan SQ bukan pula sekadar salah satu
jenis aktivitas. Sebaliknya, SQ suatu aktivitas diukur melalui kedalaman dari
motivasi bagi aktivitas tersebut, apapun itu, selama aktivitas itu timbul dari
suatu hasrat yang terpusat, dari motivasi dan nilai-nilai kehidupan kita yang paling
dalam.[15]
Kemudian
kecerdasan intelektual dapat diartikan sebagai kecerdasan yang berhubungan
dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, dan menilai atau
memperhitungkan sesuatu atau kecerdasan yang berhubungan dengan strategi
pemecahan masalah dengan menggunakan logika.[16]
Ada
beberapa indikator yang menunjukkan hadirnya kecerdasan intelektual dalam diri
seseorang, diantaranya:
a.
Kerja akal/pikir senantiasa
dalam koordinasi nurani
b.
Buah pemikiran mudah
dipahami dan diamalkan.
c.
Buah pikiran bersifat
kausalitatif, artinya memiliki kemampuan mengetahui, memahami, dan menganalisis
hakikat dari suatu masalah, kejadian atau peristiwa.
d.
Buah pikiran bersifat
solutif, artinya memiliki kemampuan menggunakan akal pikiran dalam memecahkan
masalah yang dihadapi, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.[17]
EQ
adalah kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi adalah pada kejujuran
seseorang pada suara hati.[18]
Emotional Quotient (EQ) merupakan kecerdasan emosional, artinya kemampuan untuk
menggunakan otak (berpikir atau menalar) dengan melibatkan emosi, indera, untuk
menggerakkan diri sendiri menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang harus
dihadapi, dan dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman.
Goleman
mendefinisikan emosi dengan perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.[19] Menurut
Goleman, yang dimaksud kecerdasan emosional itu adalah: kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan
dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan
menjaga agar bebas stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan
berdoa.[20]
Kecerdasan
emosional merupakan hasil kerja dari otak kanan, sedang kecerdasan intelektual
merupakan hasil kerja otak kiri. Menurut DePorter dan Hernacki, otak kanan
manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik,
sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional, dan
linier. Kedua belahan otak ini harus diperankan sesuai dengan fungsinya, sebab
jika tidak maka masing-masing belahan akan menganggu pada belahan lain.[21]
EQ
memiliki empat pilar utama yang bisa kita jadikan pedoman. Keempat pilar itu
oleh Steve Hein disingkat dengan sebutan B.A.R.E yang isinya adalah:
B
= balance (keseimbangan diri)
A
= awareness (kesadaran diri)
R
= responsibility (tanggung jawab)
E
= emphaty (empati)
Dari
keempat hal di atas yang perlu kita lakukan untuk meningkatkan EQ, yaitu:
1.
Belajar menjaga
keseimbangan
2.
Belajar mempertebal
kesadaran diri
3.
Belajar meningfkatkan rasa
tanggung jawab
4.
Belajar berempati[22]
C.
Komponen/
Karakteristik Kecerdasan Spiritual
Prof. Dr. KH. Jalaluddin Rahmat
mengutip lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual menurut Robert
A. Emmons, dalam bukunya “The Psychology of Ultimate Concern” :
1.
Mampu untuk
mentransendensikan yang fisik dan material.
2.
Mampu untuk mengalami
tingkat kesadaran yang memuncak.
3.
Mampu untuk
menyakralkan pengalaman sehari-hari.
4.
Mampu untuk
menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah.
5.
Kemampuan untuk
berbuat baik.
Dua
karakteristik yang pertama sering di sebut sebagai komponen inti kecerdasan
spiritual. Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hanya
secara rasional atau emosional saja. Dia menghubungkannya dengan makna
kehidupan secara spiritual. Dia merujuk pada warisan spiritual seperti
teks-teks kitab suci untuk memberikan penafsiran pada situasi yang dihadapinya,
untuk melakukan definisi situasi.
Pengembangan
kecerdasan spiritual dalam proses pendidikan anak dapat dilakukan sedini agar
dapat memperoleh kelima kemampuan di atas tersebut. Prof. Dr. KH. Jalaluddin
Rahmat menyarankan kepada orang tua dan guru dengan memberikan sepuluh kiat
mengembangkan SQ anak sebagai berikut:
1.
Jadilah kita “Gembala
Spiritual” yang baik untuk anak.
2.
Bantulah anak untuk
merumuskan “misi” hidupnya.
3.
Baca kitab suci
bersama-sama dan jelaskan maknanya dalam kehidupan.
4.
Ceritakan kisah-kisah
agung dari tokoh-tokoh spiritual.
5.
Diskusikan berbagai
persoalan dari segala perspektif.
6.
Libatkan anak dalam
kegiatan-kegiatan ritual keagamaan.
7.
Bacakan puisi-puisi
atau lagu-lagu yang spiritualis dan inspirasional.
8.
Bawa anak untuk
menikmati keindahan alam.
9.
Bawa anak ke
tempat-tempat yang menderita.
10.
Ikut sertakan anak
dalam kegiatan-kegiatan sosial.[23]
D.
Urgensi
Kecerdasan Spiritual
Orang yang memiliki SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa,
masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang poisitif
itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tingkatan
positif. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual selalu diliputi oleh
kebahagiaan karena penerimaan dan pemaknaan terhadap dirinya.[24]
Jadi melalui penggunaan kecerdasan
spiritual peserta didik secara utuh terlatih dan melalui kejujuran dan
keberanian diri yang dibutuhkan bagi pelatih semacam itu, kita dapat
terhubung kembali dengan sumber dan makna terdalam dalam diri peserta didik,
peserta didik dapat menggunakan perhubungan itu untuk mencapai tujuan dan
proses yang jauh lebih luas.
E.
Rancangan
Pembelajaran dan Strategi Kecerdasan Spiritual
Proses pembelajaran kecerdasan
spiritual dapat dikembangkan dengan metode dan praktik sederhana misalnya diskusi
interaktif, menghindarkan celaan kepada siswa, bila ada masalah diselesaikan
dengan solusi menang-menang (win-win solution), mengembangkan toleransi
yang tulus (belajar menerima orang lain apa adanya), dan banyak cara lagi.
Semuanya dapat diserap melalui proses pembelajaran pada setiap bidang studi,
guru tidak terlalu letih berceramah sepanjang jam pelajaran, karena dalam
kenyataan masih ada guru yang merasa sebagai satu-satunya sumber belajar. Dalam
konsep belajar yang berpusat pada siswa, guru berfungsi sebagai fasilitator,
motivator, dan sebagai model.[25]
Strategi pembelajaran kecerdasan
spiritual dapat dimodifikasi sedimian rupa melalui berbagai kegiatan yang
aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik.
Pengembangan “kantin kejujuran” di sejumlah sekolah misalnya, adalah bentuk
terobosan kegiatan pendidikan spiritual. Di sejumlah madrasah bahkan telah pula
dikembangkan “kelas kejujuran” dimana siswa terbiasa mengerjakan soal-soal
ujian tanpa pengawasan guru. Semua upaya tersebut akan bermanfaat bagi
pengembangan kecerdasan spiritual peserta didik. Tentu saja masih perlu
pengembangan model pendidikan dan pembelajaran spiritual yang terintegrasi
dalam kurikulum pendidikan.[26]
F.
Daftar
Pustaka
Agustian, Ary
Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ:
Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta:
Arga Wijaya Persada.
Ali, Mohammad. Tt. Pendidikan
untuk Pembangunan Nasional: menuju Bangsa Indonesi yang mandiri dan berdaya
saing tinggi, (Jakarta: PT. Grasindo.
AN. Ubaedy. 2010. Jangan
Cuma berserah diri: Temukan Takdir Anda dengan Menggali dan Melesatkan Bakat
serta Potensi Diri. Yogyakarta: Sakanta Publisher.
Baharuddin, 2005. Aktualisasi
Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bakran, Hamdani
Adz-Zakiey. 2005. Prophetik Intelligent: menumbuhkan Potensi Hakiki Insani
melalui Pengembangan Kesehatan Rohani. Yogyakarta: Islamika.
David, JR. dalam
Wina Sanjaya. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. cet. V. Jakarta: Kencana.
Hamalik, Oemar.
2008. Proses Belajar Mengajar. cet. VII. Jakarta: Bumi Aksara.
Imam al-Ghazali,
1995. Minhajul Abdidin (Petunjuk Ahli Ibadah). Surabaya: Mutiara Ilmu.
Kurniasih, Imas. 2010.
Mendidik SQ Anak menurut Nabi Muhammad SAW. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Mujib, Abdul dan
Mudzakir, Yusuf. Tt. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam.
Salati, Suriansyah.
2009. Hakikat IQ, EQ, dan SQ dalam Perspektif Pendidikan Agama Islam. Banjarmasin:
Antasari Press.
Syamsuddin, Abin.
2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Rosda Karya Remaja.
Zohar,
Danah dan Marshal, Ian. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual
dalam berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan terj.
Rahmani Astuti, dkk. Bandung: Mizan.
Zohar,
Danah dan Marshal, Ian. 2003. Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.
[1]
J.R. David dalam Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar
Proses Pendidikan, cet. V; (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 126.
[2]
Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar, (Jakarta:
PT. Indahjaya Pratama, 2009), hlm. 751.
[3]
Abin Syamsuddin, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT. Rosda Karya Remaja,
2003), hlm. 69.
[4]
Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, cet. VII, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), hlm. 77.
[5]
KBBI Offline, Versi 1.1, Freeware @2010, Ebta Setiawan.
[6] Qonita
Alya, Op. cit., hlm. 748.
[7]
Imam al-Ghazali, Minhajul Abdidin (Petunjuk Ahli Ibadah), (Surabaya:
Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 117.
[8] Danah
Zohar dan Ian Marshal, Kecerdasan Spiritual.
(Bandung: Mizan, 2003).
[9]
Suriansyah Salati, Hakikat IQ, EQ, dan SQ dalam Perspektif Pendidikan Agama
Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2009), hlm. 28.
[10]
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5
Rukun Islam, (Jakarta: Arga Wijaya Persada, 2001), hlm. 9.
[11]
Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 215.
[12]
Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, hlm. 325.
[13]
Danah Zohar dan Ian Marshal, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan terj. Rahmani
Astuti, dkk. (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 15.
[14]
AN. Ubaedy, Jangan Cuma berserah diri: Temukan Takdir Anda dengan Menggali
dan Melesatkan Bakat serta Potensi Diri, (Yogyakarta: Sakanta Publisher,
2010), hlm. 87-92.
[15] Danah
Zohar dan Ian Marshal, Op. cit., hlm. 199.
[16]
Suriansyah Salati, Op. cit., hlm. 15.
[17]
Hamdani Bakran Adz-Zakiey, Prophetik Intelligent: menumbuhkan Potensi Hakiki
Insani melalui Pengembangan Kesehatan Rohani, (Yogyakarta: Islamika, 2005),
hlm. 660-675.
[18]
Ary Ginanjar Agustian, loc. cit., …
[19]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Op. cit., hlm. 320.
[20]
Suriansyah Salati, Op. cit., hlm. 23.
[21]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Op. cit., hlm. 321.
[22]
AN. Ubaedy, loc. cit., …
[23]
Imas Kurniasih, Mendidik SQ Anak menurut Nabi Muhammad SAW, (Yogyakarta:
Pustaka Marwa, 2010), hlm. 43-47.
[24]
Mohammad Ali, Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: menuju Bangsa Indonesi
yang mandiri dan berdaya saing tinggi, (Jakarta: PT. Grasindo, tt), hlm.
142.
[25] Ibid.,
hlm. 143.
[26] Ibid.,
hlm. 143-144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar