TELAAH PRAKTIR PEMBELAJARAN KARAKTER
(Telaah Kitab Ta’limul
Muta’allim)
Oleh:
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister
Pendidikan Agama Islam
IAIN Pekalongan
2016
ABSTRAK
Pengarang kitab Ta’limul
Muta’allim melihat kebanyakan penuntut ilmu di zamannya mempelajari ilmu
dengan tekun, tetapi mereka tidak dapat mencapai target bahkan terhalangi dari
manfaat dan buahnya karena mereka menyalahi prosedurnya dan meninggalkan
syarat-syaratnya, barangsiapa yang salah jalan ia tersesat dan tidak akan
meraih keinginannya sedikit maupun banyak, timbullah keinginanku untuk
menerangkan kepada mereka cara belajar sesuai yang telah aku lihat di buku-buku
dan yang telah aku dengar dari guru-guruku yang berilmu dan bijaksana dengan
harapan aku mendapat do’a dari orang-orang yang tulus menginginkannya agar aku
selamat di hari kiamat.
Kitab Ta’limul Muta’allim
sebagai materi pembelajaran karakter pencari ilmu di dalamnya dibagi menjadi
beberapa pasal, antara lain: definisi ilmu dan fiqih serta keutamaannya, niat
ketika belajar, memilih bidang ilmu, guru, teman dan ketekunan, mengagungkan
ilmu dan ulama, tekun dan semangat, memulai belajar, pengaturannya dan
urutannya, tawakkal, waktu mencari ilmu, kasih sayang dan nasihat, mengambil
faidah, bersikap wara’ saat belajar, hal-hal yang dapat memperkuat hafalan dan
yang menyebabkan kelupaan, serta hal-hal yang dapat mendatangkan rizqi dan yang
dapat mencegahnya, yang dapat menambah umur dan yang dapat menguranginya.
Kata Kunci: Kitab Ta’limul Muta’allim,
Pembelajaran Karakter.
Saat ini kita berada
di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan
sejumlah kemudahan dan kenyataan hidup bagi manusia modern, melainkan juga
mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia
misalanya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat
didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk
dinikmati. Namun di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup
seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang
semula sarat norma susila.[1]
Kemudian
meningkatnya perhatian terhadap pendidikan akhlak itu disebabkan ketidakmampuan
negara dalam mengatasi masalah minuman keras, kriminaliatas, kekerasan,
disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja
putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya
pertentangan rasial dan etnis.[2]
Disinilah akhlak
harus berbicara, sehingga mampu menyaring ampas negatif teknologi dan menjaring
saripati informasi positf. Dengan otoritas yang ada dalam akhlakul karimah,
seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang
dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan pondasi utama sejumlah
komitmen nilai adalah akidah yang kokoh. Akhlak, pada hakikatnya merupakan manifestasi
akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Sehingga pendidikan
nilai-nilai akhlak diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk
anak didik beretika baik dan mulia. Padahal tujuan pendidikan di anataranya
adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat, beriman dan bertakwa, serta
beretika.
Akhlak maupun etika
menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup
berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul
karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang
berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu,
dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation
and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan
memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa
manapun di dunia ini.[3]
A.
Biografi
Nama lengkap beliau adalah Tajudin
Nu’man bin Ibrahim bin Kholil al-Zarnuji. Zarnuj adalah sebuah bilangan di
daerah mā warāan nahar atau yang dikenal dengan transoxania.
Beliau menimba ilmu pada Ali bin Abu Bakar al-Farghani al-Marghinani dan
Zakiyyudin al-Qorokhi. Beliau termasuk ulama’ besar madzhab Hanafi. Di antara
buah karyanya adalah kitab al-Mudhih Syarah kitab al-Maqomat al-Haririah
dan Ta’limul Muta’allim Fi Thariqit Ta’allum. Beliau wafat pada hari
jum’at 10 Muharram 640 H/1242 M di Bukhara.[4]
B.
Latar Belakang Penyusunan
Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam muqodimah Ta’lim Muta’allim
beliau menceritakan bahwa latar belakang beliau menyusun kitab tersebut adalah
rasa keprihatinan beliau melihat banyak sekali santri yang tidak berhasil
dengan gemilang dan bahkan tidak merasakan buah dan manfaatnya ilmu karena sebab
jalan yang mereka pilih dalam menuntut ilmu salah. Di dalamnya beliau
menyebutkan barmacam-macam bekal yang harus dipersiapkan dan selalu dibawa
dalam menempuh perjalanan mencari ilmu agar para santri dan pelajar pada
umumnya sampai pada tujuan mereka, yaitu menempuh benderang cahaya ilmu.[5]
Setelah penulis beristikharah kepada
Allah mengenai hal ini, penulis memberi judul kitab ini: Ta’limul Muta’allim
Fi Thariqit Ta’allum dan penulis membaginya menjadi beberapa pasal, yaitu:[6]
1.
Hakikat ilmu dan fiqih
2.
Niat ketika belajar
3.
Memilih bidang ilmu, guru,
teman dan ketekunan/ketabahan
4.
Mengagungkan ilmu dan ahli
ilmu (ulama’)
5.
Tekun dan semangat belajar
serta tujuan yang mulia
6.
Waktu memulai belajar,
pengaturannya dan urutannya
7.
Tawakkal
8.
Waktu mencari ilmu
9.
Sikap kasih sayang dan
nasihat menasihati dengan tujuan kebaikan
10.
Mengambil faidah
11.
Bersikap wara’ saat belajar
(menjaga dari barang yang haram ketika mencari ilmu
12.
Hal-hal yang dapat
memperkuat hafalan dan yang menyebabkan kelupaan
13.
Hal-hal yang dapat
mendatangkan rizqi dan yang dapat mencegahnya, yang dapat menambah umur dan
yang dapat menguranginya
14.
Menjelaskan sejatinya ilmu
dan fiqih dan keutamaannya ilmu
C.
Nilai-Nilai
Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim Thorīqat
Ta’allum dijelaskan bahwa penulis melihat sebagian besar santri pada
zamannya banyak yang mencari ilmu dengan bersemangat namun mereka tidak bisa menghasilkan
ilmu, mengambil buahnya ilmu dan manfaatnya ilmu yaitu amal dan menyebarkan
ilmunya. Sebab orang tersebut salah pada jalannya dan meninggalkan
syarat-syaratnya ilmu dan setiap salah jalannya pasti tersesat dan tidak akan
mendapatkan apa yang menjadi tujuannya baik sedikit maupun banyaknya. Ibarat
orang yang berjalan pada jalan yang salah. Maka penulis menginginkan sekali
menjelaskan caranya mencari ilmu sesuai atas apa yang penulis lihat dan ketahui
dalam kitab-kitab dan keterangan-keterangan yang telah penulis dengar dari para
guruku yang memiliki ilmu dan hikmah. Penulis berharap do’a dari orang yang
mencintai ilmu dan ikhlas supaya bisa menjadi orang yang beruntung dan selamat
pada hari kiamat.
Penulis meminta kebaikan dari Allah
dalam menyusun kitab ini yang diberi nama Ta’līmul Muta’allim Thorīqat
Ta’allum. Dan penulis membagi isi materinya menjadi beberapa bab sebagai
berikut:[7]
1.
Menjelaskan ilmu dan
keutamaannya ilmu fiqih
Ketahuilah, diwajibkannya seorang muslim
untuk mencari ilmu, bukan pada setiap ilmu melainkan hanya pada ilmu khaal,
yaitu ilmu ushûluddim (ilmu agama dan ilmu fiqih). Seorang muslim
diwajibkan untuk menuntut ilmu yang berkenaan dengan agamanya pada setiap saat,
baik saat sehat, sakit, bepergian ataupun pada saat di rumah. Misalnya,
diperintah shalat maka wajib mengetahui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan shalat.
Hal itu karena untuk bisa terlaksananya perkara yang hukumnya wajib dituntut
dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.[8]
Adapun penjelasan hakikatnya ilmu adalah
suatu sifat yang memperjelas orang yang memilikinya, sedangkan fiqih adalah
ilmu untuk mengetahui dalamnya ilmu. Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa fiqih
adalah ilmu/pengetahuan jiwa tentang sesuatu yang baik atau tidak baik untuk
dirinya. Beliau juga berkata bahwa tidak ada ilmu kecuali untuk diamalkan,
sedangkan amal adalah meninggalkan dunia untuk akhirat.[9]
Keutamaan ilmu tidak asing lagi bagi
siapaun karena ilmu hanyalah dikhususkan bagi manusia sedangkan sifat-sifat
lainnya juga dimiliki oleh manusia dan binatang, seperti keberanian, kekuatan
kemurahan hati, kasih sayang dan sifat-sifat selain ilmu.[10]
2.
Menjelaskan niat dalam
belajar
Hendaknya seorang pelajar berniat dalam
menuntut ilmu adalah untuk mencari ridha Allah, bekal di akhirat, membasmi
kebodohan dari dirinya dan orang lain, menghidupkan agama dan menegakkan Islam
karena Islam akan tegak dengan ilmu, selain itu tidak dibenarkan zuhud dan
taqwa yang disertai dengan kebodohan.[11]
3.
Menjelaskan dalam memilih
guru, teman dan ketekunan
Hendaknya seorang murid memilih bidang
ilmu yang terbaik yang ia butuhkan untuk menjalankan agamanya saat itu, kemudia
ia memilih apa yang ia akan butuhkan kelak, dalam hal ini yang perlu ia
dahulukan adalah ilmu tauhid dan ma’rifah untuk mengenali Allah dengan
dalillnya, karena keimanan seorang muqalid meskipun kami anggap sah
tetapi ia akan berdosa bila tidak mempelajari dalil-dalilnya, dan memilih buku
yang lama dari pada buku-buku yang baru, guru-guru berkata: “berpedomanlah
pada buku-buku lama dan jauhilah buku-buku baru”.[12]
4.
Mengagungkan ilmu dan orang
yang mempunyai ilmu
Ketahuilah bahwa seorang yang mencari
ilmu tidak akan mendapat ilmu dan tidak akan manfaat dari ilmunya kecuali
dengan mengagungkan ilmu dan orang-orang yang berilmu, mengagungkan dan
menghormati guru. Tidaklah engkau melihat seseorang tidak menjadi kafir karena
bermaksiat, tetapi ia kafir karena meremehkannya dan tidak menghormatinya, di
antara penghormatan terhadap ilmu adalah menghormati guru.[13]
5.
Bersungguh-sungguh, tidak
pernah bosan dan bercita-cita yang mulia
Kunci utama memperoleh segala sesuatu
adalah kesungguhan dan semangat yang tinggi, barangsiapa yang bersemangat
menghafal buku-buku karya Muhammad bin al-Hasan Rahimahullah dan disertai
dengan kesungguhan dan ketekunan, kelihatannya ia akan menghafal sebagian besar
kitabnya atau setengahnya, sedangkan jika ia bersemangat tinggi tetapi tidak
sungguh-sungguh atau sebaliknya, maka ia tidak akan memperoleh ilmu kecuali
sedikit.[14]
6.
Menjelaskan waktunya
memulai belajar, ukuran dan urutannya belajar
Guru kami Syaikhul Islam menetapkan
dimulainya belajar pada hari rabu. Adapun mengenai ukuran memulai belajar bagi
yang baru belajar disebutkan oleh Abu Hanifah nasihat gurunya agar memulai
memahami isi kitab dengan mengulanginya sebanyak dua kali dengan perlahan, setiap
harinya ditambah materi pelajaran. Namun bila materinya banyak maka bila
diperlukan untuk diulangi maka diulangi pelajaran sebelumnya.[15]
7.
Tawakkal
Seorang santri harus bertawakkal dalam
menuntut ilmu, tidak perlu memusingkan masalah rizqi dan tidak perlu menyibukkan
hatinya akan masalah dunia, karena orang yang sibuk memikirkan urusan rizqi
baik itu sandang dan pangan, jarang sekali ia berusaha untuk mencari akhlak
yang baik dan hal-hal yang luhur.[16]
8.
Menjelaskan waktu yang
dapat menghasilkan ilmu
Hendaknya seorang murid menghabiskan
seluruh waktunya untuk belajar, bila ia telah bosan dari satu bidang ilmu ia
bisa berpindah ke bidang ilmu lainnya. Dan waktu belajar adalah sejak dari
ayunan sampai ke liang lahat dan sebaik-baik waktu adalah masa muda, menjelang waktu
subuh dan antara maghrib dan isya’.[17]
9.
Menjelaskan kelembutan
kasih sayang dan nasihat
Orang yang berilmu harus bersifat kasih
sayang, memberi nasihat dan tidak iri karena iri hanya merusak dan tidak
bermanfaat. Ia tidak boleh bermusuhan denga siapapun karena hal ini
menyia-nyiakan waktunya.[18]
10.
Menjelaskan dalam mencari
keutamaan ilmu
Hendaknya seorang santri selalu siap
setiap saat untuk mengambil ilmu agar ia mendapatkan kemuliaan. Cara
memperolehnya setiap saat ia harus membawah pena agar ia bisa menulis ilmu yang
ia dengar. Seorang santri hendaknya mengambil manfaat ilmu dari guru-guru
karena bukanlah segala yang hilang bisa dapat kembali.[19]
11.
Wira’i ketika
belajar/mencari ilmu
Selama seorang santri semakin wara’,
ilmunya akan semakin bermanfaat, belajarnya semakin mudah dan banyak mendapat
ilmu. Di antara sifat wara’ yang sempurna ialah tidak makan banyak, tidak
banyak tidur, tidak banyak berbicara yang tidak berguna, dan menjaga diri dari
makanan pasar sebisanya karena makanan pasar lebih dekat dengan najis dan
pengkhianatan, lebih jauh dari menyebut nama Allah dan lebih dekat kepada
kelalaian, selain itu mata orang-orang miskin meliriknya tetapi mereka tidak
mampu untuk membelinya, dengan demikian hati mereka sakit dan hilanglah
keberkahannya.[20]
12.
Menjelaskan perkara yang
menjadikan hafal ilmu dan lupa ilmu
Penyebab utama memperkuat hafalan adalah
kesungguhan, ketekunan, makan sedikit, shalat malam dan membaca al-Qur’an serta
memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi SAW., karena beliau adalah rahmat
bagi alam semesta, menggunakan siwak, meminum madu, memakan kemenyan yang
dicampur gula, dan memakan 21 kismis merah setiap hari yang dikunyah dapat
memperkuat hafalan dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Adapun yang menyebabkan kelupaan adalah
banyaknya maksiat, banyaknya pikiran dan kesedihan tentang urusan duniawi,
serta apa saja yang dapat menambah dahak. Kesusahan akan urusan duniawi dapat
menggelapkan hati sedangkan memikirkan ahkhirat dapat menerangi hati, hal ini
akan nampak sewaktu shalat.[21]
13.
Menjelaskan sesuatu yang
mendatangkan rizqi, yang menghalanginya dan sesuatu yang bisa menambah dan
mengurangi umur
Seorang santri perlu mengkonsumsi
makanan dan mengetahui hal-hal yang dapat menambah rizqi, yang menambah umur
dan kesehatan agar ia dapat lebih konsentrasi menuntut ilmu. Melakukan
kemaksiatan dapat menyebabkan terhambatnya rizqi terutama berbohong, karena hal
ini menyebabkan kefakiran, dan banyak tidur juga menjadi salah satu
penyebabnya.
Penyebab utama yang dapat mendatangkan
rizqi adalah menjalankan shalat dengan penuh khusyu’, lengkap dengan
rukun-rukunnya, kewajibannya, sunnah-sunnahnya, dan adab-adabnya, mendatangi
masjid sebelum adzan, selalu dalam keadaan suci, menunaikan shalat sunnah
subuh, dan shalat witir juga dapat mendatangkan rizqi.[22]
D.
Literatur Pembanding
Pembandingnya adalah kitab adabud
dunnya waddin, karangan Abi Hasan Ali bin Muhammad, pada tahun 364 M, yang
mana dalam kitab ini pembahasannya terdapat akhlak pencari ilmu dan akhlak yang
mengajarkan ilmu. kemudian dalam kitab itu tidak fokus pada akhlak, karena di
dalamnya juga terdapat pembahasan akal, adab agama (membahas usuluddin, puasa,
zakat dll), adab dunia (seperti dalam hal mu’amalah dll), adab terhadap diri
sendiri, akhlak yang baik dan lain-lain yang sebagian besar lebih bersifat
universal, sungguhpun demikian didalamnya bab terdapat tema-tema kecil seperti
pembahasan tentang ilmu, adab orang yang belajar, adab pengajar, syarat-syarat
dalam mencari ilmu.[23]
E.
Analisis Kitab Ta’limul
Muta’allim
Berdasarkan data-data di atas penulis
mengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Ta’līmul
Muta’allim Thorīqat Ta’allum, menjadi 4 macam:
1.
Hubungan antara manusia
dengan Allah, yang meliputi:
a.
Berdo’a sebelum dan sesudah
belajar.
Pelajar memulai dan mengakhiri
belajar dengan membaca basmallah, hamdallah, shalawat kepada Nabi dan
keluarganya serta para sahabat kemudian meminta pertolongan Allah tentang ilmu.[24]
Jabir bin Abdullah R.A., mengatakan
bahwa pada saat turun ayat bismillahirrahmanirrahim, maka awan lari ke timur,
angin berhenti, laut bergelombang, binatang-binatang mendengarkan dengan
telinganya, dan syaitan-syaitan dilempari dari langit. Allah SWT. bersumpah
dengan kemuliaan-Nya bahwa jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan
menjadi obat baginya. Jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan
menjadikan keberkahan baginya. Dan barang siapa membaca
bismillahirrahmanirrahim dijamin masuk surga.”[25]
Kemudian ada riwayat lain dari
Ikrimah mengatakan bahwa Allah menciptakan qalam dan lauh yang pertama kali dan
Allah memerintahkan qalam menulis di atas lauh segala sesuatu yang akan terjadi
sampai hari kiamat. Maka sesuatu yang pertama kali yang ditulis di atas lauh
adalah bismillahirrahmanirrahim. Kemudian Allah SWT. menjadikan ayat ini
sebagai jaminan keamanan bagi hamba-Nya yang membacanya. Karena kalimat itu merupakan
bacaan seluruh penghuni tujuh langit dan bacaan orang-orang yang selalu
menyucikan Allah SWT., yaitu orang yang telah mendapatkan keagungan.”[26]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kalimat bismillahirrahmanirrahim, shalawat atau do’a-do’a
dapat menjadikan suatu keberkahan tersendiri bagi para pembacanya dan menjadikan
diangkat derajat kemuliaannya serta dapat menjadikannya mudah dalam segala
urusannya.
b.
Menjauhi perkara dosa
Kemudian pelajar hendaknya menjauhi
beberapa perkara dosa, karena satu dosa merupakan kotoran yang melekat di hati.[27]
Perbuatan dosa membuat hati manusia
merasa bersalah dan tidak tenang bahkan bisa membuat hati putus asa sehingga
bingung tidak tahu akan lari kemana. Kondisi tersebut membuat pikiran tidak
dapat berfungsi dengan sempurna, sebab kondisi kejiwaan sangat mempengaruhi
kinerja pikiran.[28]
Imam al-Syafi’i dalam gubahan
sya’irnya mengatakan, bahwa: “Aku mengeluh pada Imam Waqi’ akan lemahnya
hapalanku, maka beliau menyuruhku untuk meninggalkan maksiat dan beliau
memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan
pada ahli maksiat.”[29]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa hati manusia sering kali berubah, terkadang berangsur-angsur
menjadi terang, terasa lapang, ibadah menjadi ringan sehingga belajar juga
semakin kuat. Namun terkadang hati berubah menjadi terasa sesak, dunia terasa
sempit, ibadah jadi kendor dan akhirnya belajarpun menjadi malas. Hal itu
disebabkan karena hatinya telah menjadi gelap dan keras yang merupakan akibat
dari dosa yang menumpuk dan nafsu yang memegang kendali kemauan dan gerakan
manusia.
c.
Disiplin waktu
Pelajar dapat membagi waktu agar
dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu yang kosong dan
sia-sia dengan memperbanyak untuk mengulang pelajaran di waktu malam terlebih
lagi pada waktu sahur agar dapat mengejar para ahli ilmu. Dan Pelajar yang
tidak bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu yang pendek,
maka pelajar akan berada di kehinaan kebodohan pada waktu yang lama.[30]
Menurut al-Ghazali dalam kitab ihya’
ulumiddin membagi waktu 24 jam menajdi tiga bagian:
1.
8 jam untuk ilmu
2.
8 jam untuk urusan dunia
3.
8 jam untuk urusan akhirat[31]
Kemudian pelajar menghidupkan waktu
malam, karena waktu malam itu lebih mulia dari waktu siang. Ibadah yang
dilakukan di malam hari jauh lebih besar pahalanya dari ibadah yang dilakukan
di siang hari. Pada waktu malam juga terdapat waktu mustajabah. Nabi SAW.
bersabda: ”sesungguhnya di malam hari terdapat waktu yang tiada satupun yang
saat itu meminta hal dunia maupun akhirat kecuali diberinya. Setiyap malam
rahmat Allah turut ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga akhir dari malam
dia berkata adakah yang berdo’a, sehingga kukabulkan? Adakah yang meminta
sehingga kuberi? Adakah yang meminta ampunan sehingga kuampuni?. Barang siapa
mengisi malamnya dengan tidur, maka di hari kiamat ia datang dalam keadaan
fakir.”[32]
Malam adalah waktu yang luar biasa.
Menurut kyai Nawawi Banten belajar di waktu malam adalah salah satu sebab
terbukanya hati dalam memahami ilmu. Waktu malam juga termasuk waktu yang
senggang, sepi, dan tenang sehingga sangat cocok untuk mengulang-ulang membaca
pelajaran dan menghafalkan.[33]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa menjadi seorang yang alim membutuhkan waktu yang tidak
sebentar sebab ilmu pengetahuan sangat luas sekali sehingga butuh waktu yang
panjang. Tiada yang tahu luasnya ilmu kecuali Allah al-Alim. Sehebat apapun
manusia dan selama apapun dia hidup, tidak akan mampu mengumpulkan semuanya.
d.
Niat dan tujuan
Pelajar membaguskan/ memurnikan
niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan harta benda dan menjauhi
dari mencintai kedudukan, dimuliakan manusia serta dipuji oleh manusia agar ia
menjadi orang yang mulia, karena pelajar yang mencari ilmu karena Allah, maka
ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali perkara dunia dan ia tidak akan
mencium baunya surga.[34]
Setiap orang yang menuntut ilmu
harus punya niat, karena sahnya amal dengan niat. Niat menuntut ilmu yang utama
adalah mencari ridlanya Allah SWT. kemudian di antara niat mencari ilmu yang
lain adalah untuk mendapatkan pahala di akhirat, untuk menghidupkan agama Allah
yaitu agama islam, untuk melanggengkan agama islam, untuk menghilangkan
kebodohan dirinya dan kebodohan orang-orang yang bodoh serta untuk bersyukur
kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan Allah berupa nikmat akal dan
kesehatan badan. Dan janganlah berniat untuk mendapatkan perhatian manusia dan
untuk mendapatkan harta benda serta dengan niat agar dimuliakan pejabat atau
penguasa.[35]
Sebelum berangkat mencari ilmu
hendaknya pelajar mengatur niat terlebih dahulu, merenungkan tujuannya mencari
ilmu dan menghayati manfaat ilmu yang kelak akan diperolehnya. Dengan demikian
niatnya akan menjadi kukuh dan kuat sehingga tidak mudah goyah dan roboh ketika
badai cobaan dan ujian menerpanya. Setelah niatnya terasa sangat kuat mengucap
di dada kemudian atur dan rencanakan urutan, cara, dan metode dalam belajar.[36]
Pelajar mengamalkan sesuatu yang
pernah didengarnya dari beberapa golongan ilmu ibadah dan ilmu akhlak yang
utama serta mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu kalimat
karena Allah Ta’ala, agar ia tidak termasuk orang yang menyembunyikan
ilmu sehingga mendapatkan laknat dari Allah.[37]
Mengamalkan atau mempraktekkan ilmu
termasuk cara yang paling efektif untuk menancapkan ilmu dengan kokoh dalam
hati. Ilmu akan terasa berkesan dalam hati setelah diamalkan sehingga tidak
mudah hilang. Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa “ilmu memanggil amal, jika ia
datang (maka ia akan tetap) namun jika tidak datang ilmu akan pergi.”[38]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa niat dan tujuan dalam mencari ilmu sangatlah penting bagi
pelajar agar selama perjalanannya dapat menuai kesempurnaan hidupnya dan
mengangkat derajat juga martabat kemanusiaannya.
2.
Hubungan antara manusia
dengan sesamanya, yang meliputi:
a.
Akhlak terhadap keluarga,
yaitu berbuat baik dan mendo’akan kedua orang tua.
Pelajar berbuat baik terhadap kedua
orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akan kedua orang tua serta
mengirimkan pahala kebaikan setelah wafatnya.[39]
Abdullah bin Umar RA., dia berkata, “seorang
lelaki telah datang kepada Nabi SAW. lalu berkata, “sesungguhnya aku ingin
berjihad.” Beliau bersabda, “apakah kamu mempunyai kedua orang tua?” dia
menjawab, “ya.” Beliau bersabda, berjihadlah dengan melayani mereka.” Adapun
cara berbakti kepada mereka adalah dengan mencukupi keperluan mereka,
menghindarkan mereka dari hal yang menyakitkan, dan merawat mereka seperti
merawat anak kecil. Janganlah bersikap kasar terhadap mereka, janganlah menolak
apa yang mereka inginkan, dan menjadikan pelayanan kepada mereka sebagai ganti
memperbanyak shalat sunnah dan puasa.
Kemudian memohonkan ampun untuk
mereka seusai shalat. Jangan membuat mereka lelah, jangan membebani dan
menyakiti mereka, jangan mengeraskan suara melebihi mereka, jangan membantah
perintah mereka selama tidak melanggar agama, misalnya perintah untuk
meninggalkan suatu perintah yang wajib seperti haji bagi yang mampu, shalat
lima waktu, puasa, zakat, nadzar dan tidak pula melanggar dosa seperti zina,
minum arak, membunuh, menuduh palsu, dan mengambil harta tanpa sepengetahuan
pemiliknya.[40]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa berbuat baik dan mendo’akan terhadap kedua orang tua itu
wajib karena pahalanya seperti orang yang berjihad dan dilarang membantah
kecuali dalam hal ajakan melaksanakan perbuatan yang tidak baik menurut ajaran
agama.
b.
Akhlak terhadap masyarakat,
antara lain:
1.
Memuliakan dan mengagungkan
guru
Pelajar menyakini kemuliaan dan
keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung pada zaman
yang akan dihadapinya, sehingga ia mampu bersungguh-sungguh mencari ridhanya
guru dan mengagungkan guru dengan hati yang bersih supaya termasuk golongan
orang yang utama.[41]
Seorang murid harus memiliki kenyakinan
bahwa gurunya sangat ahli dan yang paling unggul di antara sekian ulama’
lainnya agar ia lebih antusias dengan apapun yang ia dengar dari gurunya. Dan
murid harus selalu berprasangka baik pada gurunya, jika ada yang menggunjingnya
ia harus menghentikannya dan jika tidak bisa, maka segera pergi dan
meninggalkan mereka untuk menjaga iktikad pada guru. Selain itu jangan pernah
berburuk sangka pada gurunya walaupun yang dilakukan gurunya tidak cocok
dengannya, bahkan walaupun tidak sesuai dengan sunnah, beliau lebih paham dan
lebih mengetahui rahasia dibalik yang dikerjakannya. Cukuplah kisah Nabi Musa
dengan gurunya Nabi Khidhir sebagai contoh pentingnya menjaga hati dari
prasangka buruk pada guru.[42]
Memuliakan guru merupakan kewajiban
seorang murid, Nabi SAW. telah bersabda yang artinya “pelajarilah ilmu serta
belajarlah tenang dan berwibawa dan rendah dirilah pada orang yang kamu belajar
darinya.”
Tujuan menghormati guru adalah untuk
mengagungkan ilmu beliau dan untuk mendapatkan ridlo beliau. Dalam buku karangan
Sayyid Ahmad al-Hasyimi yang berjudul Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah disebutkan
bahwa “sesungguhnya guru dan dokter tidak akan tulus jika mereka tidak
dimuliakan, maka sabarlah dengan penyakitmu jika kamu meninggalkan dokternya
dan terimalah kebodohanmu jika kamu tinggalkan guru.”[43]
Syeikh Ahmad al-Maihiy al-Syaibani
dalam kitab Hasyiah Syaibani menyebutkan bahwa “lebih kudahulukan guruku
atas diriku sendiri dan orang tuaku walaupun aku memperoleh keutamaan dan
kemuliaan dari orang tuaku sebab guruku mendidik jiwaku (ruh) dan ayahku
mendidik ragaku sedangkan ruh bagaikan mutiara dan jisim bagaikan wadahnya.”[44]
Kemudian sayyidina Ali bin Abi
Thalib berkata dalam sya’irnya yaitu “aku menyakini bahwa hak yang paling
penting adalah hak seorang guru dan merupakan hak yang paling wajib dipenuhi
bagi semua umat dan sungguh sangat layak jika seorang guru diberi seribu dirham
sebagai penghormatan untuk satu huruf yang beliau ajarkan.[45]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa menyakini kemuliaan dan keluhuran sang guru serta menghormati
guru merupakan suatu kewajiban bagi pelajar, karena dalam hal ini menyebabkan
ridlanya guru dan salah satu cara dalam mengagungkan pemilik ilmu.
2.
Taat dan tawadlu’
Pelajar duduk dengan tenang, takut
terhadap guru dan ilmu serta patuh pada guru dengan menghadap pada guru dan
menundukkan kepala saat guru menerangkan sesuatu serta mencatat apa-apa yang
belum diketahui agar dapat dipahaminya.[46]
Kemudian di dalam kitab al-Bayan
disebutkan bahwa seorang pelajar harus bersikap tawadlu’ (rendah hati) dan
sopan kepada guru walaupun gurunya lebih muda, kurang tersohor dan lebih rendah
nasab dan kebaikannya daripada dirinya, dengan tawadlu’, maka ia bisa
mendapatkan ilmu.[47]
Pelajar menggunakan pekerti yang
baik dan budi yang mulia serta sopan santun terhadap orang yang mengajarinya
agar mencapai kemuliaan yang tinggi dengan tidak membuat kebosanan pada guru,
karena hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat mencegah dalam
mengambil kemanfaatan ilmu. Kemudian ia meminta ijin kepada guru ketika ada
halangan untuk tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan halangannya.[48]
Orang yang mengajarimu walau satu
huruf yang penting dalam agama, maka dia adalah bapakmu dalam agama, jangan
pernah mengatakan, dia mantan guruku, maka ilmumu tidak akan bermanfaat dan
tidak akan bisa mendapatkan barokah ilmu dan guru, Jangan pula berjalan di muka
guru, jangan menduduki tempat duduknya guru, jangan bertanya sesuatu yang
membosankan, jangan mengetuk-ngetuk pintu guru, tetapi bersabarlah hingga guru
keluar. Barang siapa yang menyakiti hati guru, maka ia tidak akan bisa
mendapatkan barokahnya dan manfaatnya ilmu kecuali sedikit.[49]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa taat dan rendah hati terhadap orang yang mengajari merupakan
suatu syarat yang harus dipenuhi pelajar dalam mencari ilmu, karena hal ini
dapat meningkatkan kemuliaan yang tinggi bagi pelajar dan dapat menjaga
kepahamannya selama mencari ilmu serta dapat memberi keberkahan dan kemanfaatan
ilmu.
3.
Tidak sombong dan tidak
minder
Pelajar tidak merasa malu dan
sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya serta lainnya
seperti berselisih tentang ilmu dan unggul-unggulan dalam hal ilmu serta
menganggap remeh ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah, karena orang yang malu
dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu sebagaimana air yang tidak
akan mengalair ke atas gunung.[50]
Imam as-Syafi’i mengatakan “tidak
akan berhasil orang yang mencari ilmu dengan keangkuhan, orang yang akan
berhasil mendapatkannya adalah yang mencarinya dengan kerendahan diri dan serba
diliputi keterbatasan.”[51]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa sifat sombong dan minder yang dimiliki oleh pelajar dapat
mencegah rusaknya ilmu dan mempersulit kepahamannya selama mencari ilmu, karena
ilmu hanya akan diberikan kepada orang yang memiliki sifat rendah hati dan
memiliki sifat percaya diri yang tidak berlebihan.
3.
Akhlak terhadap
lingkungannya, yang meliputi:
Pelajar dianjurkan memakan makanan
yang halal, memakai pakaian yang bersih dan menggunkan alat belajar yang halal
serta menata semua perkara dengan rajin seperti meletakkan sesuatu pada tempat
yang tetap agar hatinya menjadi terang dan bersinar.[52]
Abu Hurairah RA. Telah meriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa mencari harta secara halal,
dengan menjaga harga diri dan tidak meminta-minta untuk mencukupi keluarganya
dan mengasihi tetangganya, maka Allah SWT. akan membangkitkannya pada hari
kiamat dengan wajah seperti bulan purnama. Barang siapa mencari harta secara
halal untuk ditumpuk-tumpuk karena sombong dan pamer, maka dia akan berjumpa
dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan Dia murka kepadanya.”[53]
Sungguh, jika salah seorang di
antara kamu mengambil tali kemudian menuju ke suatu lembah untuk mencari kayu
lalu datang ke pasarmu untuk menjualnya dengan satu mud kurma, itu lebih
baik baginya daripada meminta manusia, baik mereka memberinya atau tidak
memberinya.”[54]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa terang dan bersinarnya hati disebabkan oleh penggunaan
apa-apa yang ada dalam diri pelajar yaitu dengan sesuatu yang bersifat halal
dan baik serta bersih juga rapi, sehingga ilmu mudah diterima dengan baik.
4.
Akhlak terhadap diri
sendiri, yang meliputi:
a.
Menjaga kebersihan dengan
bersuci
Apabila hendak masuk pada tempat
belajar, maka pelajar dianjurkan bersuci dengan berwudlu, menggunakan pakaian
yang bersih dan suci serta berbau harum serta bersiwak agar sesampainya di
tempat belajar sudah bagus dan rapi. Kemudian ia mempersiapkan apa-apa yang
diperlukan saat di tempat belajar seperti buku, bolpoin dan sebagainya dalam
belajar agar tidak mengganggu dalam proses belajar mengajar.[55]
Hal ini sesuai dengan yang
disabdakan Rasulullah SAW. yaitu bahwa wudlu itu sebagian dari
iman. Begitu pula hati harus dikosongkan dari akhlak tercela, kemudian diisi
dengan akhlak terpuji. Begitu pula mengenai anggota tubuh. Ia harus dikosongkan
dari dosa-dosa, kemudian diisi dengan ketaatan. Masing-masing dari tingkatan
ini adalah syarat untuk masuk dalam tingkatan selanjutnya. Maka penyucian
diawali dengan penyucian lahir, kemudian penyucian roh, hati dan batin.[56]
Tugas pertama pelajar ialah
mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah berdasarkan sabda
Rasulullah SAW. bahwa “Agama didirikan di atas kebersihan.” Bukanlah
yang dimaksud kebersihan baju saja, tetapi di dalam hati. Hal itu ditunjukkan
oleh firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS.
Al-Taubah: 28), sedangkan najasah tidak khusus mengenai baju.
Maka, selama batin tidak dibersihkan
dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama
dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu
karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke
dalam hati.”[57]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa berwudlu, bersiwak dan menjaga kebersihan baik jasmani maupun
rohani sangat dianjurkan bagi pelajar, karena hal ini menyebabkan diterimanya
ilmu yang bermanfaat dalam hati bagi pelajar.
b.
Muthola’ah (mengulang
pelajaran)
Apabila sepulang dari tempat belajar,
sesampainya di rumah pelajar mengulang pelajaran yang baru saja ia dapatkan di
tempat belajar sampai pada pelajaran yang berikutnya, begitu pula ketika akan
masuk pada pelajaran yang baru agar ilmunya menetap di hati dengan kuat.[58]
Mengasah kemampuan hafalan dengan
terus akan meningkatkan volume hafalan secara bertahap. Dalam manaqib Imam
Syafi’i yang disebutkan dalam pembukuan kitab al-Umm dikisahkan bahwa Imam
Syafi’i ketika beliau telah berkembang beliau dikirim ibunya untuk belajar
menulis, namun karena sang ibu tidak mampu membiayainya, maka Syafi’i kecil
tidak diurus oleh guru.
Sikap guru tersebut membuat Syafi’i
selalu mendekatkan jaraknya dari guru, beliau berusaha menghafal semua yang
diajarkan sang guru pada murid-murid. Luar biasa secara bertahap daya ingat
al-Syafi’i meningkat sampai pada lefel yang amat mengagumkan, bahkan ketika
gurunya pergi Syafi’ilah yang mengajari teman-temanya karena mereka belum hafal
apa yang diajarkan oleh sang guru.[59]
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa muthalaah (mengulang pelajaran) sebelum dan sesudah belajar
sangatlah diperlukan, karena hal ini dapat meningkatkan daya ingat pelajar
terhadap ilmu yang telah didapat selama melaksanakan proses belajar mengajar
dan akan membuatnya mudah dalam memahami ilmu.
c.
Berkerja keras dan
bermusyawarah
Dalam sya’ir kitab ta’lim muta’allim
disebutkan bahwa “kemalasan disebabkan sedikitnya membaca tentang keutamaan
ilmu.” Oleh karena itu, hendaknya seorang murid menimbulkan kesungguhan dan
ketekunan dalam dirinya dengan menelaah keutamaan ilmu, karena ilmu akan tetap
kekal selama pengetahuan itu masih ada, sedangkan harta akan habis, seperti
yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahwa “kami rela
ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa pada diri kami, kami memperoleh ilmu dan
musuh memperoleh harta, karena harta akan hancur dalam waktu dekat sedangkan
ilmu akan kekal selamanya.” Dengan ilmu yang manfaat seseorang mendapat pujian
yang indah dan akan terus melekat padanya meski setelah ia wafat karena ilmu
itu hidup kekal.[60]
Ada tiga tingkatan bagi manusia
dalam bermusyawarah, bertanya dan mengutarakan pendapat:
1.
Seorang yang sempurna,
yaitu orang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar dan mau mengutarakannya.
Ia sempurna karena meluruskan temannya yang melenceng pemahamannya.
2.
Seorang yang setengah
sempurna, yaitu orang yang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar namun
tidak mau mengutarakannya dan orang yang mengutarakan pendapatnya namun
pendapatnya tidak benar, akhirnya dengan musyawarah ia mendapatkan kebenaran.
3.
Orang yang tiada sempurna
sama sekali, yaitu orang yang tidak mau mengutarakan pendapatnya dan
pendapatnya salah, akhirnya ia tidak memperoleh kebenaran.[61]
Pelajar bersungguh-sungguh dengan sekuat
tenaga dalam menghasilkan ilmu seperti bermusyawarah dengan para ahli ilmu agar
dapat memperoleh ilmu karena ilmu tidak akan didapat dengan bersanatinya badan
dan banyak menganggur dan hidupnya ilmu adalah dengan bermusyawarah. Setelah
itu pelajar menghafalkan ilmu per bab/ tiap satu permasalahan samapai ke bab/
permasalahan yang lain dengan pelan-pelan seperti memahami lafadznya,
bahasanaya, i’robnya, dan beberapa makna yang diucapkan guru, sehingga ilmu itu
akan mudah diingat dan menjadi jelas serta nyata, karena orang yang mencari
ilmu dengan borongan/ semua bab, maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya
dan akan menjadi sia-sia atas apa yang telah dilakukannya.[62]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa bekerja keras sangatlah perlu bagi pelajar, karena dalam menjalani hidup
ini dianjurkan untuk berusaha sesuai kemampuan dengan kata lain harus berusaha
semaksimal tanpa mengeluh dan bosan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara
bermusyawarah terhadap orang yang lebih pandai ilmunya agar kemampuan yang
dimiliki dapat meningkat.
1.
Kelebihan Kitab Ta’limul
Muta’allim
Adapun kelebihan dari kitab Ta’limul Muta’allim menurut
penulis adalah sebagai berikut:
a.
Kitab disusun dari sebuah
latar belakang yang bersumber dari permasalahan dalam mencari ilmu
b.
Kitab ini dimulai dari
menata hati yaitu dengan pembahasan niat atau tujuan dalam mencari ilmu, yang
merupakan dasar utama dalam menentukan visi dan misi dalam mencari ilmu.
c.
Lebih fokus membahas pada
akhlak orang yang mencari ilmu (peserta didik)
d.
Kitab Ta’limul
Muta’allim dimulai dan diakhiri dengan kalimat rasa syukur kepada Allah
SWT. dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW., sehingga hal itu dapat memberikan
keberkahan (bertambahnya kebaikan) bagi penulis, guru, pencari ilmu dan
pembaca.
e.
Kitab Ta’limul
Muta’allim merupakan sebuah kitab klasik yang memuat pendidikan akhlak
dalam proses belajar mengajar secara ringkas dan specifik.
f.
Kitab Ta’limul
Muta’allim ditulis dalam bentuk syair-syair yang bersifat nadhaman sehingga
memudahkan anak-anak dan para pencari ilmu untuk menghafalkan dan
mempelajarinya.
g.
Kitab Ta’limul Muta’allim
disusun secara sistematis dengan meletakkan beberapa bab yang runtut
sehingga memudahkan para pencari ilmu dalam memahami kitab tersebut.
h.
Dengan kemudahan dalam
memahami kitab Ta’limul Muta’allim, hal itu menjadikan para pencari ilmu
mampu mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada di kitab Ta’limul
Muta’allim dalam kehidupan sehari-hari, terutama terhadap kepribadian
pencari ilmu.
i.
Isi dari kitab Ta’limul
Muta’allim dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi pendidikan dalam
membentuk pribadi pencari ilmu (peserta didik) yang memiliki akhlak dan sikap
yang baik dalam proses belajar mengajar.
j.
Ada pesan singkat yang
memberikan motifasi kepada pencari ilmu yaitu sebagai salah satu langkah yang
ditempuh penulis untuk memberikan peringatan agar dapat melaksanakan dan
mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah dihafalkan dan dipelajari dalam kehidupan
sehari-harinya pada saat proses belajar mengajar maupun bermasyarakat.
2.
Kekurangan Kitab Ta’limul
Muta’allim
a.
Penyampaian isi materi
masih bersifat universal namun dalam beberapa baitnya sudah menjurus pada
specifikasi dalam suatu pembelajaran dan pendidikan
b.
Tidak disamapaikan secara
urut metode dalam penyampaian materi atau metode pembelajarannya
c.
Tidak menyampaikan adab
seorang guru pada khususnya
d.
Lebih fokus akhlak pada
perilaku santri atau pencari ilmu
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Aufa al-Dimawi, tt. Terjemah Ta’limul
Muta’allim, (Pekalongan: Hasan bin Idrus.
Ahmad, Masrohan. 2010. Terjemah al-Ghunyah,
Jakarta: Citra Risalah.
Baalawi al-Hadad, Abdullah. Tt. Nashaihul
Diniyah, Maktabah Toha Putra.
Burhan al-Islam, Imam. Terjemah Ta’limul
Muta’allim, Jakarta: CV. Megah Jaya.
Ghazali, Imam. 1995. Mukhtashar Ihya’
Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid). Jakarta : Pustaka Amani.
Hadi, Nur. 1978. Terjemah Cara Jawa Kitab
Ta’limul Muta’allim, Surabaya: Perpustakaan Ahmad bin Sa’id bin Nabhan.
Khoiri, Alwan, 2005. dkk, Akhlak/ Tasawuf.Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Maisur Sindi al-Thursidi, Ahmad, 1987. Ta’limul
Muta’allim. Semarang: Karya Thoha Putra.
Maulana al-Tarobani, Ibnu. 2014. Zadul
Muta’allim (Pengantar memahami Nadham Ta’limul Muta’allim). Bojonegoro:
al-Aziziyyah.
Muchson dan Samsuri. 2013. Dasar-Dasar
Pendidikan Moral, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid.
Tt. Ihya’ Ulumiddin, Beirut: Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah.
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Muhammad. Tt.
Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul Hidayah, Surabaya: tt.
Niam, Shohibun. 2014. Zadul Muta’allim. Bojonegoro:
al-Aziziyyah.
Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan
Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di
bidang Pendidikan)”. Malang: Aditya Media.
Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Sayyid Ahmad. Tt. Muhtarul
Ahadits al-Nabawiyyah, Surabaya: Maktabah Nurul Huda.
Sunarto, Ahmad. 2012. Etika menuntut Ilmu
(Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia). Surabaya:
al-Miftah.
[1] Alwan
Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN
Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 25.
[2] Muchson
dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), hlm. 86.
[3]
Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif
Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan)”, (Malang :
Aditya Media, 2010), hlm. 2-4.
[4]
Al-Zarkali, al-‘Alam, Vol. VIII, hlm. 44.
[5] Ibnu
Maulana al-Tarobani, Zadul Muta’allim (Pengantar memahami Nadham Ta’limul
Muta’allim), (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm. v.
[6] Abu
Aufa al-Dimawi, Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Pekalongan: Hasan bin
Idrus, tt), hlm. 3-5.
[7] Nur
Hadi, Terjemah Cara Jawa Kitab Ta’limul Muta’allim, (Surabaya:
Perpustakaan Ahmad bin Sa’id bin Nabhan, 1978), hlm. 4-5.
[8] Imam
Burhan al-Islam, Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Jakarta: CV. Megah Jaya,
2012), hlm. 1.
[9] Imam
Burhan al-Islam, Terjemah Ta’limul Muta’allim…, hlm. 5.
[10] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia), (Surabaya: al-Miftah, 2012), hlm. 25.
[11] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 35.
[12] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 49.
[13] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 70.
[14] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 106.
[15] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 140.
[16] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 154.
[17] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 158.
[18] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 166.
[19] Ahmad Sunarto,
Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa
Indonesia)…, hlm. 174.
[20] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 185.
[21] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 196.
[22] Ahmad
Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan
Bahasa Indonesia)…, hlm. 211-212.
[23]
Abi Hasan Ali bin Muhammad, Adabud Dunya Waddin, (Indonesia: Kharomain,
1421 H), hlm. 348-350.
[24] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, Tanbihul Muta’allim, (Semarang: Karya Thoha
Putra, 1987), hlm. 6.
[25]
Masrohan Ahmad, Terjemah al-Ghunyah, (Jakarta: Citra Risalah, 2010),
hlm. 301.
[26]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 303.
[27] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 9.
[28]
Shohibun Niam, Zadul Muta’allim, (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm.
15.
[29] Ahmad
Sunarto, Etika Menuntut Ilmu terjemah Ta’limul Muta’allim, (Surabaya:
al-Miftah, 2012), hlm. 195.
[30] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 17-18, 20.
[31] Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut:
Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah, tt), vol.1, hlm. 80.
[32]
Abdullah Baalawi al-Hadad, Nashaihul Diniyah, (Maktabah Toha Putra, tt),
hlm. 30-31.
[33]
Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul
Hidayah, (Surabaya: tt), hlm. 40.
[34] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 20-21.
[35]
Taufiqul Hakim, op., cit., hlm . 6-11.
[36]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 1.
[37] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 22-23.
[38] Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op., cit., hlm. 88.
[39] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 10.
[40]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 112-113.
[41] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 11-12.
[42]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 94-95.
[43] Sayyid
Ahmad al-Hasyimi, Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah, (Surabaya: Maktabah
Nurul Huda, tt), hlm. 71.
[44] Ahmad
al-Maihi al-Syaibani, Hasyiah al-Syaibani Ala Syarhis Sittin,
(Sangkapura: Maktabah Usaha Keluarga, tt), hlm. 2.
[45] Ahmad
Sunarto, op., cit., hlm. 71.
[46] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 5.
[47]
Taufiqul Hakim, op., cit., hlm. 40-41.
[48] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 12, 18.
[49] Tafiqul
Hakim, op., cit., hlm. 15-16.
[50] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 19.
[51] Yahya
bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab, vol. 1, hlm. 35.
[52] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 8-9.
[53]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 94.
[54]
Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 95.
[55] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 4.
[56] Imam
Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid), (Jakarta
: Pustaka Amani, 1995), hlm. 24.
[57] Imam
Ghazali, ibid., hlm. 8.
[58] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 7.
[59]
Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 18.
[60] Ahmad
Sunarto, op., cit., hlm. 108.
[61] Syeikh
al-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, hlm. 14.
[62] Ahmad
Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 14-16.