KONSEP PENDIDIKAN
(Studi Pemikiran Ibn Maskawaih)
Oleh:
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister
Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
2016
I.
Pendahuluan
Dalam sebuah tatanan kemasyarakatan,
selalu ada seorang tokoh yang menjadi pelopor atau pembaharu, atau bahkan
pengubah sejarah. Pada masyarakat yang telah melaju, selalu muncul seorang yang
dianggap sebagai pembaharu. Begitu pula halnya yang terjadi pada masyarakat
yang mengalami degradasi moral.
Pada situasi masyarakat seperti itulah,
lahir seorang Ibn Maskawaih yang lebih dikenal sebagai filosof akhlak atau
filosof moral. Disebut demikian karena beliau mencurahkan perhatiannya pada
masalah akhlak manusia. Lain halnya dengan para filosof sebelumnya, yang lebih
banyak membahas filsafat ke-Tuhan-an. Ibn Maskawaih seolah-olah diutus untuk
memperbaiki situasi masyrakat yang kacau.
Ibn Hayam dalam bukunya “al-Anta”
menggambarkan Ibn Maskawaih adalah seorang fakir diantara orang-orang kaya dan
seorang kaya di antara Nabi-nabi.[1]
Ibn Maskawaih adalah seorang filosof
Islam yang pertama kali membicarakan filsafat akhlak.[2]
Beliau banyak memunculkan konsep-konsep pemikiran beliau tersebut dalam buku TahdzibulbAkhlaq. Selain itu
beliau juga mengungkapkan pikiran-pikirannya tentang pendikdikan kaitannya dengan
akhlaq atau moral Manusia.
II.
Biografi Ibnu
Maskawaih
Nama
lengkap Ibn Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawaih.
Beliau lahir pada tahun 940 M di Rayy, Iran.[3]
Ibn Maskawaih menghabiskan masa kecil dan remajanya di tanah kelahirannya itu,
sebelum kemudian hijrah ke Baghdad, Irak. Di kota ini Ibn Maskawaih bekerja
sebagai pustakawan Daulah Abasid. Beliau bekerja di tempat itu cukup lama,
hingga terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan. Ibn Maskawaih menganggap
perpustakaan serupa sekolah, tempatnya mendalami berbagai macam ilmu
pengetahuan. di sela-sela pekerjaannya sebagai pustakawan, Ibn Maskawaih
menyempatkan diri melakukan berbagai pengkajian, baik di bidang filsafat,
sejarah, kedokteran, maupun kimia. Di antara semua itu, Ibn Maskawaih lebih
tertarik mengkaji filsafat Yunani dan Sejarah.
Seperti
para ilmuwan lain yang hidup pada masa itu, Ibn Maskawaih mempelajari sejarah
dan filsafat, terutama filsafat etika, sebagai alat mencari kebenaran. Dalam
setiap kajian filsafatnya, beliau selalu mencari bagaimana cara membangun moral
yang sehat dan jiwa yang harmonis. Di kemudian hari, para pemikir muslim,
seperti Mohamed Arkoun, menyebut Ibn Maskawaih sebagai seorang muslim yang
humanis jika dilihat dari sudut pandang tradisi intelektual Islam, bukan
tradisi intelektual humanisme Eropa.
Sebagai
ahli filsafat, Ibn Maskawaih sangat terppengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme.
Sehubungan dengan itu, ia telah mengahasilkan sebuah karya Monumental berjudul Tahdib
al-Akhlaq (Pembinaan Ahlak).[4]
III.
Karya-Karya Ibn
Maskawaih
Selama hidupnya, Ibn Maskawaih
menghasilkan banyak karya, diantaranya sebagai berikut:
1.
Al-Fauz al-Akbar (kemenangan
besar);
2.
Al-Fauz al-Asghar(kemenangan
kecil);
3.
Tajarib al-Umam (sebuah
sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M);
4.
Uns al-Farid (koreksi
anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah);
5.
Tartib al-Sa’adah (tentang
akhlak dan politik);
6.
Al-Musthaufa (syair-syair
pilihan);
7.
Jawidan Khirad (koleksi
ungkapan bikak/ hikmah yang tak lekang waktu);
8.
Al-Jami’
9.
Al-Siyar (tentang
tingkah laku kehidupan);
10.
On The Siple Drugs (tentang
kedokteran);
11.
On The Composition of
The Bajats (seni memasak);
12.
Kitab al-Asyrabah (tentang
minuman);
13.
Tahzib al-Akhlaq (tentang
akhlaq);
14.
Risalah fi al-Lazzah wa
al-Alam fi Jauhar al-Nafs;
15.
Ajwibah wa As-Ilah fi
Al-Nafs wa al-Aql al-Siyar (tentang aturan hidup);
16.
Al-Jawab fi
al-Masa’il al-Tsakats;
17.
Risalah fi Jawab fi
Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqah al-Aql;
18.
Thaharah al-Nafs
(suci dari nafsu).[5]
IV.
Setting Sosial
Ibn
Maskawaih hidup di tengah-tengah masyarakat elit Arab di persia pada zaman
Dinasti Buwaihi. Negara Bani Buwaihi merupakan salah satu negara yang
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad, dan kemudian menaklukkan Persia, Ray,
dan Asfahan. Para penguasa Dinasty Buwaihi sangat gemar memajukan ilmu
pengetahuan. mereka banyak meniru apa yang dilakukan oleh para khalifah Bani
Abasiyah terutama Harun Rasyid, al-Amid dan al-Ma’mun.[6]
Ibnu
Maskawaih yang terkenal dengan julukan al-Khazin, digelari juga sebagai
“guru ketiga” setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Sebagai seorang otodidak yang
sukses, ia menggeluti berbagai disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai
“Bapak Filsafat Etika Muslim” dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim”. Selain
itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan, dan pendidik.
Pada
masa Ibn Maskawaih, filsafat dan sains warisan Yunani tumbuh subur sehingga
sangat wajar jika karya-karya Ibn Maskawaih dipengaruhi oleh para filsuf Yunani
klasik. Misalnya, karya yang menyangkut filsafat manusia, jiwa, dan etika, Ibn
Maskawaih banyak merujuk pada karya-karya Galen, Phytagoras, Socrates, terutama
Plato dan Aristoteles.
Bila
diperhatikan daftar karya tulis Ibn Maskawaih, tidak ditemukan satu pun yang
membahas secara khusus tentang pendidikan. Akan tetapi, ada beberapa buku yang
pembahasannya dinilai banyak berkaitan dengan pendidikan, seperti tentang
kejiwaan, akal, dan etika. Salah satu bukunya yang dinilai banyak mengandung
teori dan konsep pendidikan ialah Tahzib.[7]
V.
Metodologi
Dalam
mengungkapkan pemikirannya, Ibn Maskawaih menggunakan beberapa metode sesuai
dengan bidang yang dikajinya. Sebagaimana telah diketahui, Ibn Maskawaih selain
dikenal sebagai filososf moral, beliau juga merupakan tokoh ahli sejarah dan
ahli kimia.
Di
bidang ilmu sejarah, pemikiran Ibn Maskawaih lebih dekat dengan prinsip yang
dianut ahli sejarah barat. Pandangan dan analisis Ibn Maskawaih mengenai
sejarah yang dimuat dalam buku Tajarib al-Umam dinilai sangat filosofis,
ilmiah dan tajam.
Pemikiran
Ibn Maskawaih tentang akhlak merupakan paduan antara kajian teoritis dan
tuntunan praktis.[8]
Dalam hal ini Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir. Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak
atau pembawaan.
Beliau
mengungkapkan bahwa responsi individu terhadap beliau bermacam-macam tingkatan.
Karena alasan itulah dalam mendidik, hendaknya seorang pendidik harus mampu
memperhatikan perbedaan-perbedaan watak tersebut agar tiap orang akan tumbuh
sesuai dengan watak individualnya tersebut.
Berdasarkan
perbedaan individual itulah, maka Ibn Maskawaih menerapkan metode alami dalam
pendidikan (Thoriqun Thobi’yyun). Metode alamiah itu bertolak dari
pengamatan terhadap potensi-potensi insani. Mana yang muncul lahir lebih
dahulu, maka pendidikan diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan potensi yang lahir
lebih dulu itu, kemudian kepada potensi berikutnya yang lahir sesuai dengan
hukum alam.
Sedangkan
dalam buku Reinventing Kepemimpinan karya Dr. M. Sugeng Sholehuddin disebutkan
tentang pendidikan, Ibn Maskawaih menggunakan metode alami yang dikenal dengan Thariqun
Tha’iyyun dalam mendidik. Metode alami ini maksudnya adalah pengamatan
total terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, kemudian
dikembangkan sesuai dengan potensi yang muncul lebih dahulu.[9]
Mengenai
filsafat, terutama pendaoatnya tentang jiwa, beliau bertumpu pada ajaran
spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis.
Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz al-Asghar dan Tahdzib al-Akhlaq.[10]
VI.
Teori
Pada bagian pertama, beliau membahas
tentang jiwa manusia. Seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup jika ia mampu
menciptakan kebahagiaan jiwa, mislanya dengan menuntut ilmu. Ibn Maskawaih
beranggapan bahwa ilmu itu dapat membuat manusia bijak. Pada bagian berikutnya
ia menguraikan beberapa jenis kebahagiaan dan sifat-sifatnya. Ibn Maskawaih
berpendapat ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses
mencapai kebahagiaan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal
adalah kesehatan tubuh dan emosi manusia. Sedangkan faktor eksternal adalah
hubungan sosial dan kondisi lingkungan sekitar.[11]
Beberapa teori yang disampaikan oleh
Ibn Maskawaih adalah sebagai berikut:
1.
Teori tentang Alam
Dalam hal ini, Ibn Maskawaih
mengaungkapkan teori evolusi. Beliau berpendapat bahwa alam berevolusi dari
salah satu tingkatan yang paling rendah kepada tingkatan yang lebih tinggi.
Evolusi ini melalui empat tingkatan. Tingkat yang paling rendah ialah berupa
benda-benda mati (mineral). Berkembang ke arah yang lebih tinggi, yaitu
alam tumbuh-tumbuhan (vegetable). Selanjutnya berevolusi ke alam binatang
(animal), dan yang terakhir dan tinggi berkembang menjadi manusia (The Human).[12]
2.
Teori tentang Akhlak
Mengenai akhalak, Ibn Maskawaih menolak
pendapat para filosof Yunani yang mengatakan bahwa watak itu alami dan tidak
dapat berubah berkat pendidikan dan pengajaran, cepat atau lambat.[13]
Watak itu sendiri terbagi menjadi dua,
yaitu: temperamen, seperti sifat pada seorang manusia yang mudah bereaksi oleh
suatu hal yang sederhana dan watak yang diperoleh dari kebiasaan atau latihan
yang berulang-ulang.[14]
Selain dari pada kedua hal itu, Ibn
Maskawaih berpendapat bahwa orang yang hidup zuhud, mengasingkan diri dari
masyarakat, adalah merupakan suatu pelarian, sekalipun ia menganggap dirinya
baik, tetapi sebenarnya ia tidaklah mengerti arti kehidupan.[15]
Pendapat beliau yang kontroversial ini
lebih dominan disebabkan oleh kondisi masyarakat pada saat itu. Pada saat itu
kondisinya kacau dan perlu adanya seorang yang membenahinya, namun orang-orang
zuhud seakan-akan lari dari permasalahan disekitarnya. Mereka mementingkan
dirinya sendiri dan tidak peduli pada lingkungan sosialnya.[16]
VII.
Ide-Ide Pokok Ibnu
Maskawaih tentang Pendidikan
1.
Filsafat yang
melandasi Pemikiran Pendidikan Ibn Maskawaih
a.
Filsafat Manusia
Ibnu Miskawaih memandang
manusia
terdiri dari dua substansi: pertama, substansi yang berupa tubuh sebagai wawasan materi, dan kedua, jiwa (al-nafs),
yaitu substansi yang tidak berdimensi sebagai wawasan imateri dan inilah yang menjadi esensi manusia.[17]
Dalam karyanya Tahzib, Ibn
Maskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri atas jasmani dan rohani. Ia
mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun hal tersebut
dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu
melalui pendidikan.
Ibn Maskawaih membagi manusia pada tiga
tingkatan, sejalan dengan kemampuan akalnya, yakni:
1.
Manusia tingkat hewan,
yaitu manusia yang tinggal di pelosok-pelosok terpencil dan tidak mempunyai
peradaban;
2.
Manusia indriawi, yaitu
manusia yang sudah mampu memahami dan membedakan sesuatu karena peradabannya
sudah maju, tetapi mereka masih terkungkung oleh kemampuan indrawinya;
3.
Manusia intelektual, yaitu
manusia yang telah berupaya dengan akalnya menemukan keutamaan atau fadilah
dengan segala kemampuan.
4.
Manusia filsuf atau manusia
setingkat nabi, inilah tingkatan yang paling tinggi bagi manusia karena dia
telah menyentuh awal alam malaikat. Pada tingkatan ini, seluruh maujud bersatu
dan bertaut antara awal maujud dan akhir maujud, yang dinamakan lingkaran
eksistensi.[18]
Ibn Maskawaih menjelaskan bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai keistimewaan dan paling mulia. Hal ini karena
dalam kenyataannya, manusia memiliki daya pikir. Dengan menggunakan daya pikir itu,
manusia dapat membedakan dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah,
yang baik dan yang buruk. Manusia yang paling sempurna kemanusiaannya
menurutnya adalah mereka yang paling benar dan tepat cara berpikirnya. Adapun
manusia yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang
tepat, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya.[19]
b.
Filsafat Jiwa
Menurut Ibn Maskawaih, jiwa yang
terdapat pada diri manusia yang merupakan substansi yang tidak dapat diindra,
terdiri atas jiwa rasional (an-natiqoh), apetitif (asy-syabu’iyah),
dan syahwat (al-bahimiyah) dengan dayanya masing-masing (al-quwwa).
Ketika aktivitas ketiga jiwa di atas normal, serasi, dan patuh pada jiwa
rasional, muncullah keutamaan-keutamaan ilmu dan filsafat, kesantunan dan
keberanian, kesederhanaan dan kedermawanan. Dari keutamaan tersebut lahirlah
keadilan (al-‘adalah).[20]
Kesempurnaan manusia akan dicapai
apabila
manusia itu sendiri mampu
menyeimbangkan dari tiga unsur kekuatan jiwa yaitu:[21]
1.
Quwwat
al-Natiqah (daya
pikir)
merupakan fungsi jiwa tertinggi, kekuatan berpikir, melihat fakta, alat yang digunakan adalah otak. Bila kekuatan jiwa ini normal dan tidak bergeser dari hakekatnya akan lahir keutamaan ilmu dan
al-hikmah (kebijakan) jiwa pikir kritis
analitis untuk
mengetahui segala yang ada.
2.
Quwwat al-Ghadabiyah (daya marah) keberanian menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan alat yang digunakan hati. Kekuatan jiwa ini seimbang di bawah kontrol daya aqliyah akan menghasilkan keutamaan
al-Hilm (kesantunan) dan diikuti fadilah al-
saja’ah (keberanian).
3.
Quwwat
al-Shahwiyyah (nafsu) atau bisa disebut
juga quwwat al-bahimiyah (daya hewani) dorongan
nafsu makan,
keinginan
kepada kelezatan
makanan, minuman,
seks
dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan kenikmatan
inderawi, alat
yang digunakan dalam
badan
manusia adalah perut.
Mengenai kekuatan jiwa, Ibn Maskawaih menyebutkan ada tiga
macam kekuatan jiwa, yaitu:[22]
1.
Quwwatun
Natiqoh (daya pikir), merupakan fungsi
jiwa tertinggi, kekuatan berfikir, melihat fakta, dengan alatnya otak.
2.
Quwwatun
Ghodhobiyah (daya marah), yakni keberanian
menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan, dan kehormatan, alatnya
hati.
3.
Quwwatun
Syahwiyyah (nafsu), yakni dorongan nafsu
makan, keinginan kepada kelezatan makanan/minuman/seksualitas dan segala macam
kenikmatan indrawi, alatnya adalah perut, ada yang mengatakan jantung.[23]
Dari ketiga kekuatan
tersebut akan lahir fadhilah-fadhilah sebagai berikut:[24]
1.
Al-Hikmah
(kebijakan), ialah fadhilah sifat
utama dari jiwa natiqoh jiwa pikir kritis analitis untuk mengetahui
(mengenali) segala sesuatu yang ada kerena keberadaannya.
2.
Al-Iffah
(kesucian diri), adalah sifat utama pada
penginderaan nafsu syahwat.
3.
As-Saja’ah
(keberanian), yaitu sifat utama ghodhobiyah.
4.
Al-‘Adalah, merupakan sifat utama pada jiwa.
c.
Filsafat Akhlak
Akhlak adalah keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan aktivitas secara spontan. Keadaan jiwa dapat
berupa naluri atau fitrah sejak lahir, dapat pula latihan dan pembiasaan.
Karakter manusia dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat
ia hidup dan pendidikan yang diterimanya.
Beberapa hal pokok dalam filsafat
akhlak Ibn Maskawaih adalah sebagai berikut:
1.
Kebaikan dan kebahagiaan,
Terma kebaikan menurut Ibn Maskawaih berbeda dengan kebahagiaan. Perbedaannya,
kebaikan menjadi milik semua orang, sedangkan kebahagiaan adalah milik
individu.
2.
Keutamaan (fadhilah),
menurut Ibn Maskawaih terdapat empat keutamaan, yakni hikmah iffah,
syaja’ah, dan ‘adalah. Semua keutamaan tersebut adalah titik-titik tengah
antara dua ujung keburukan, misalnya sederhana adalah titik tengah antara
mengumbar nafsu dan mengekang atau mengabaikan nafsu, berani adalah titik
tengah antara pengecut dan sembrono.
3.
Keadilan (al-‘adalah),
Ibn Maskawaih mengelompokkan keadilan pada tiga kategori, yaitu alami (tabi’iyyu),
konvensional (wada’iyyu), ketuhanan (ilahiyyu). Manusia yang
benar-benar adil ialah manusia yang dapat mengharmoniskan semua daya, aktivitas,
dan kondisi dirinya sehingga salah satunya tidak mendominasi yang lain.
4.
Cinta dan persahabatan
(al-mahabbah wa as-shadaqah), Ibn Maskawaih membagi cinta menjadi dua,
yaitu cinta manusia pada sesamanya dan cinta manusia pada Tuhan.[25]
2.
Pemikiran Pendidikan
Ibn Maskawaih
a)
Karakter Manusia
Ibn Maskawaih berpendapat tentang
karakter manusia menyatakan bahwa manusia memiliki dua macam karakter, pertama,
yang tabi’i dan kedua, karakter yang lain dan diperoleh melalui
kebiasaan dan latihan.
Ibn Maskawaih mengakui hakikat dan
fungsi pendidikan dalam pembentukan kepribadian diri manusia sehingga terbentuk
manusia yang memiliki malakah dan karakter terpuji.[26] Malakah
mempunyai makna sebagai sifat yang berurat akar, sebagai hasil mengerjakan
sesuatu secara berulang-ulang. Jika malakah dihubungkan dengan persoalan
belajar, ia bermakna suatu tingkat capaian dan tingkat tertentu sebagai akibat
proses belajar.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Ibn
Maskawaih mengungkapkan bahwa manusia dalam menerima perubahan karakter itu berbeda-beda
sehingga ia membagi manusia menurut tabi’atnya pada tiga kelompok, yaitu
manusia yang baik, manusia yang jahat, dan manusia pada posisi tengah yang
dapat berubah menjadi baik atau jahat bergantung pada faktor usaha, pendidikan,
dan lingkungan. Pembagian ini memberi gambaran bahwa manusia dapat dididik, dan
inilah menurutnya yang sesuai dengan realitas. Karena pemahamannya yang
demikian, beliau menulis buku Tahzib supaya manusia berakhlak mulia.[27]
b)
Dasar Pendidikan
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya
sesuatu dan ia berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan
dicapai.
1.
Syariat sebagai dasar
pendidikan, Ibn Maskawaih tidak menjelaskan secara pasti apa yang menjadi
dasar pendidikan. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan
faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa
untuk melakukan perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap menerima al-hikmah
dan fadhilah.[28]
Karena rujukan syariat agama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.
Pengetahuan psikologi
sebagai dasar pendidikan, Ibn Maskawaih pada awal tulisannya dalam Tahzib
menegaskan adanya hubungan antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa.
Untuk memiliki karakter yang baik, manusia harus melalui perekayasaan (sina’ah)
dan pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta’limy).[29]
Pembentukan karakter baik tersebut dapat tercapai jika kita memahami makna
jiwa, mulai penciptaan, tujuan, kekuatan atau daya, dan malakah-nya.
Jiwa yang dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebut mencapai
kesempurnaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakuakan melalui pendidikan.
c)
Tujuan Pendidikan
Corak pemikiran pendidikan Ibn
Maskawaih lebih bertendensi etis dan moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya
tentang tujuan pendidikan sebagai berikut.
1.
Tercapainya Akhlak Mulia
Ibn Maskawaih mengisyaratkan bahwa
tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang
disebutnya isabah al-khuluq as-syarif, yakni pribadi yang mulia secara
substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang terporal dan aksidental,
seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.[30]
Hal ini sejalan dengan pandangannya
bahwa kemuliaan dan keistimewaan manusia terletak pada jiwa rasionalnya.
Menurutnya, manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar
rasionalnya, dan terkendali olehnya. Oleh karena itu, pembentukan individu yang
berakhlak mulia terletak pada cara menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dia
bisa menetralisasikan jiwa-jiwa lainnya.
2.
Kebaikan, Kebahagiaan,
dan Kesempurnaan
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan itu
identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya tujuan pendidikan merupakan
langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang terakhir, yaitu kebaikan, kebahagiaan,
dan kesempurnaan.
Manusia menurut Ibn Maskawaih memiliki
keutamaan rohani, dengannya ia dapat menyamai roh-roh yang baik, dan keutamaan
jasmani yang dengannya, ia menyamai hewan. Manusia dengan potensi fisiknya
menempati alam rendah untuk mengaturnya, dan akan pindah ke alam tinggi bersama
para malaikat dan roh yang baik.
Sehubungan dengan kebaikan,
kebahagiaan, dan kesempurnaan di atas. Ibn Maskawaih membagi kedudukan manusia
dalam hubungannya dengan Allah SWT. pada:
a.
Kedudukan orang yang yakin,
yaitu ytingkat filsuf dan ulama
b.
Kedudukan orang yang baik,
yaitu orang yang mengamalkan pengetahuannya
c.
Kedudukan orang yang
beruntung, yakni orang-orang yang saleh
d.
Kedudukan orang yang
menang, yaitu tingkatan orang yang tulus.
Untuk mencapai semua tingkatan di atas,
harus dimiliki empat kualitas, yaitu: (1) kemampuan dan semangat yang kuat, (2)
ilmu-ilmu yang hakiki dan pengetahuan yang esensial-substansial, (3) malu akan
kebodohan dan kekurangwaspadaan, dan (4) tekun melakukan kebajikan.
3.
Pendidik dan Subjek
didik
Ibn Maskawaih mengelompokkan pendidik
kepada orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa.
Ibn Maskawaih menjelaskan bahwa kewajiban orang tua mendidik anak-anak mereka
supaya menaati syari’at dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.
Menurut Ibn Maskawaih, guru atau filsuf
adalah penyebab eksistensi intelektual manusia karena pendidikan yang mereka
berikan dan ilmu yang mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat, yaitu pertama,
meluruskan dan memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih
daya-daya analisis potensinya. Kedua, memandu manusia dengan
keterampilan praktis sesuai dengan kemapuannya.
Pengertian subjek didik bagi Ibn
Maskawaih cukup luas, yaitu semua orang yang memperoleh atau memberikan
bimbingan, bantuan, dan latihan dari orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan
maupun keterampilan guna mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak
yang berbeda. Ada yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak
memiliki sifat tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah,
jika ia memiliki kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika
perbedaan watak ini diabaikan, setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak
individunya yang tabi’i, di sinilah letak pentingnya pendidikan agama.
Ibn Maskawaih mengemukakan bahwa respon
individu dalam menerima pendidikan ada yang harus dengan paksaan. Ada pula
manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia mempunyai watak yang
baik, potensi unggul.
Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan
manusia, menurut Ibn Maskawaih, berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat
yang tinggi. Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk
bertahan hidup lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya
cenderung pada kesenangan. Kemudian, berkembang daya imajinasi melalui
pancaindra, selanjutnya muncul daya ghadhabiyah. Ia mencoba mengatasi
apa-apa yang merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah
itu, muncul secara berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai
dengan rasa malu. Pada tahap ini, manusia akan merasakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Pada saat ini jiwa sudah siap menerima pendidikan.
Hubungan pendidik dengan subjek didik
haruslah didasarkan pada cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan,
dan fadhilah. Hal ini karena menurut Ibn Maskawaih bahwa manusia adalah makhluk
sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan
keadilan, dan kebaikan serta berupaya memperoleh keutamaan. Untuk itu, dalam
pendidikan diperlukan komunikasi dua arah (interaksi) dan multiarah
(transakasi).[31]
4.
Fungsi Pendidikan
Menurut Ibn Maskawaih, fungsi
pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Menanamkan akhlak mulia
Bagi Ibn Maskawaih, pembentukan akhlak
mulia merupakan tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan.
Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada aspek
rohani seperti jujur, tabah, sabar, dan lain-lain. Juga pada aspek jasmani
seperti adab berpakaian, berbicara dan lain-lain.
b.
Memanusiakan manusia
Ibn Maskawaih menyatakan bahwa tugas
pendidikan adalah menundukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai
makhluk yang termulia. Selain itu, pendidikan bertugas mengangkat manusia dari
tingkat terendah pada tingkat tinggi.
c.
Sosialisasi individu
manusia
Ibn
Maskawaih menyatakan bahwa kebajikan dan malakah manusia itu sangat
banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak dapat mencapainya sendirian.
Sejumlah individu harus bersatu untuk mencapai kebahagiaan bersama sehingga
satu sama lainnya saling menyempurnakan. Masing-masing individu menjadikan
dirinya seperti satu tubuh yang saling menunjang.[32]
Manusia
menurut Ibn Maskawaih, tidak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensi dan
subtansinya sebagai insan tanpa berintegrasi dengan individu lainnya. Oleh
karena itu, diperlukan segala bentuk hubungan sosial lainnya, diantaranya
melalui interaksi pendidik-subjek didik dalam proses pendidikan.
5.
Materi Pendidikan
Ibn Maskawaih tidak menjelaskan dengan
tegas materi apa yang harus diajarkan kepada subjek didik. Akan tetapi, dapat
dipahami bahwa ia menekankan meteri pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi
terciptanya akhlak mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta
esensinya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Ibn
Maskawaih membagi ilmu pada dua kelompok: ilmu-ilmu mulia (al-Ulum
asy-Syarifah) dan ilmu-ilmu yang hina (al-ulum ar-radi’ah).
Pembagian martabat ilmu tersebut sesuai dengan substansi dari objek ilmu yang
ada di alam ini. Ilmu-ilmu tentang manusia (seperti ilmu pendidikan, ilmu
kedokteran, dan lain-lain) adalah lebih mulia dari ilmu tentang hewan, dan
ilmu-ilmu tentang hewan lebih mulia dari ilmu-ilmu mengenai benda mineral (al-Jamadat).[33]
Ia lebih menekankan mempelajari al-ulum al-aqliyah karena itu berkaitan
langsung dengan substansi, eksistensi, dan kualitas manusia.
Mengenai urutan yang harus diajarkan
pada subjek didik, yang pertama sekali adalah kewajiban syariat sehingga subjek
didik terbiasa. Kemudian, materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak
dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya, dan terbiasa dengan perkataan yang
benar dan argumentasi yang tepat. Kemudian, meningkat setahap demi setahap pada
materi ilmu lainnya sehingga subjek didik mencapai tingkat kesempurnaan.[34]
Bagi Ibn Maskawaih, ilmu itu tiada
batasnya. Ia berkembang dan harus digali terus-menerus tanpa mengenal lelah
sehingga ditemukan kebenaran hakiki, yakni kebenaran yang bersumber dari
pemilik ilmu-ilmu itu, yaitu Yang Maha Berilmu.[35]
6.
Metode dan Alat
Pendidikan
a.
Metode alami (tabi’iy)
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bagi
Ibn Maskawaih, setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lainnya,
termasuk tahapan perkembangannya. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budi
pekerti harus berjenjang, setahap demi setahap sehingga sampai pada
kesempurnaan.
Dengan demikian, ide pokok dari metode
alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu hendaknya
didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, jasmaniah dan
rohaniah. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan
pemenuhan psiko-fisiologis, dan cara mendidik hendaknya memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan ini sehingga sesuai tuntunan tahapan pertumbuhan dan
perkembangan setiap pribadi.
b.
Nasihat dan tuntunan
sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih menyatakan, supaya anak
menaati syari’at dan berbuat baik, diperlukan dan nasihat dan tuntunan. Subjek
didik tidak terarah pada tujuan pendidikan yang diharapkan jika mereka tidak
diberi nasihat dan pengajaran lainnya.
Dalam al-Qur’an, apa yang dikemukakan
Ibn Maskawaih banyak ditemukan, seperti dalam surat Luqman: 13-19. Ini
menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidik dengan subjek
didik.
c.
Ancaman, hardikan, pukulan,
dan hukuman sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih mengindikasikan banyak
sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik, seperti tertera di atas dan
dilaksanakan secara akurat sesuai dengan tuntutan yang diperlukan.[36]
Artinya, jika subjek didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan,
mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai
yang ada. Akan tetapi, pemberian sanksi harus bertahap dalam pelaksanaannya,
yaitu ancaman, hardikan, kemudian pukulan (bersifat jasmani), dan hukuman (baik
bersifat jasmani maupun rohani).
d.
Sanjungan dan pujian
sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih menandaskan, jika subjek
didik melaksanakan syari’at dan berprilaku baik, dia perlu dipuji.[37]
Selanjutnya, Ibn Maskawaih menyatakan, jika ia didapati melakukan perbuatan
yang melanggar syari’at dan budi pekerti mulia, anak didik jangan langsung
dicerca, apalagi di depan orang banyak.
e.
Mendidik berdasarkan
asas-asas pendidikan
Pemikiran Ibn Maskawaih dalam Tahzib
mengenai asas-asas pendidikan antara lain: asas bertahap, perbedaan,
kesiapan, gestalt, keteladanan, kebebasan, aktivitas, keadilan, cinta,
dan persahabatan serta pembiasaan dan pergaulan.
Dalam asas kesiapan, Ibn Maskawaih
menyatakan bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kesiapan untuk memperoleh
bermacam-macam tingkatan. Dengan model kesiapan ini, manusia mempunyai harapan
untuk meningkatkan kualitas dirinya. Hanya saja, hal ini tidak sama untuk semua
individu.[38]
Asas Gestalt adalah mendahulukan
pengetahuan yang umum kemudian merincinya. Ibn Maskawaih menandaskan jika
mengetahui yang universal, maka akan mengetahui yang partikularnya, karena
partikular itu tidak dapat terpisah dengan yang universalnya.[39]
Asas keteladanan adalah pemberian
contoh yang baik bagi subjek didik, kecenderungan manusia untuk meniru
menyebabkan keteladanan menjadi penting artinya bagi pendidikan.
Asas kebiasaan bagi Ibn Maskawaih
sangat penting dan menjadi perhatiannya. Dikatakannya, subjek didik boleh bebas
memilih, apakah menjadi makhluk mulia atau menjadi makhluk hina seperti
binatang, atau menjadi manusia sederajat malaikat, bahkan menyatu ddengan
Tuhan. Itu semua terserah pada manusia sebagai subjek dari pendidikan.[40]
Asas pembiasaan adalah upaya praktik
dalam pembinaaan dan pembentukan subjek didik. Ibn Maskawaih berulang-ulang
menyatakan untuk membiasakan berbuat baik dan taat kepada orang tua, guru dan
pendidik, biasakanlah untuk tidak berbohong, sering berjalan, bergerak,
rekreasi, oalh raga dan seterusnya.[41]
Dari data di atas dapat disimpulkan
bahwa asas-asas pendidikan dari pemikiran Ibn Maskawaih didasari oleh hakikat
jati diri subjek didik sehingga sangat penting untuk dipahami dan diterapkan
dalam usaha pendidikan.
VIII. Analisis
a.
Analisis Masa Lalu
Dari
data di atas dapat disimpulkan bahwa, Ibn Maskawaih adalah seorang tokoh Islam
Humanis, yang mana dalam pemikiran-pemikirannya menjelaskan di bidang etika
yang di dalamnya membahas jiwa manusia dan akhlak manusia baik dari jenisnya
maupun sifat-sifatnya. Ibn Maskawaih juga merupakan seorang filosof yang sangat
kritis terhadap kehidupan sosisal pada masyarakat saat itu. Beliau mendapat
julukan sebagai “Bapak Filsafat Etika Muslim” dan Bapak Psikologi Pendidikan
Muslim”. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan, dan pendidik.
Pemikiran
Ibn Maskawaih, khususnya mengenai filsafat, sebagian besar sama dengan para
filosof sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, namun beliau lebih kritis,
dikatakan lebih kritis karena ia tidak hanya mengikuti pendapat yang telah ada,
tetapi ia menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat pada masanya.
Pemikirannya
yang paling menonjol adalah mengenai filsafat moral/ akhlaknya. Dalam hal ini,
beliau berbeda pendapat dengan para filosof Yunani yang menjadi sumber filsafatnya.
Oleh karena itulah, Ibnu Maskawaih sangat memperhatikan pendidikan, terutama
pendidikan anak-anak.
Sebagai
seorang penulis, Ibnu Maskawaih adalah seorang yang produktif yang
karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Beliau juga sangat
memperhatikan pergaulan sosial. Karena dari situlah akan muncul cinta dan
saling peduli. Itu sebabnya beliau mengecam orang zuhud, yang dianggapnya
melarikan diri dari pergaulan sosial dan persoalan-persoalannya.[42]
b. Analisis Masa Sekarang
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang tujuan dan fungsi pendidikan
dapat
dijadikan
sumbangan sehubungan dalam
upaya dan mencari
format pendidikan
yang
Islami, tiga tujuan yang dicetuskannya
masih sangat
relevan dengan sistem pendidikan sekarang, dimana
penyelenggaraan pendidikan selama ini lebih berorientasi terhadap persaingan sosial ekonomi global sehingga menyebabkan keringnya
pendidikan dari nilai–nilai moral dan Agama.
Ibnu
Maskawaih merupakan filosof pertama yang membahas masalah akhlak. Hal ini
membuka cakrawala baru bagi para filosof yang hidup setelah beliau seperti Ibnu
Sina dan al-Ghazali. Dari beliau-beliau inilah muncul konsep-konsep
kependidikan yang diterapkan pada pendidikan yang senantiasa berkembang saat
ini. Dan konsep-konsep tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam sistem
pendidikan sekarang, hingga terwujudlah cita-cita pendidikan yaitu terwujudnya
pribadi susila, berwatak yang lahir dan perilaku-perilaku luhur atau berbudi
pekerti mulia.[43]
Dari
ketiga fungsi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ibn Maskawaih, kalau kita
kaitkan dengan pendidikan sekarang ada sisi positif sebagai kontribusi
pemikiran untuk mencari format pendidikan yang semakin Islami. Begitu juga
diantaranya yang perlu kita pertimbangkan mengingat perputaran waktu dan kondisi
yang berbeda.
Adapun
sisi yang perlu dikembangkan dari gagasan Ibn Maskawaih walau bagaimanapun juga
pendidikan hendaknya tidak mengenyampingkan pendidikan moral. Kalau kita
mencoba bercermin dari krisis ekonomi yang baru ini melanda bangsa kita
sebetulnya diawali oleh krisis moral dimana penyelenggaraan pendidikan hanya
berorientasi pada persaingan ekonomi
global, sementara garapan moral sebagai pengejawantahan agama kurang mendapat
perhatian seakan-akan hanya sebaatas pengajaran materi sebagai pelengkap bukan
penanaman pendidikan moral yang mengarah kepada kedewasaan dan tanggung jawab,
atau dengan kata lain pendidikan hanya hmenunjukkan “learning for knowlaedge”
tidak “learning to be person”.
Sebagai
akibat dari arah pendidikan yang mengenyampingkan peranan moral manusia telah
terkooptasi pada sebuah realitas yang menjadikan posisi dan kedudukannya hanya
hseharga dengan sebuah barang (materi), makro kosmos otak manusia modern telah
terkontaminasi pada imbas modern secara global, sehingga lajur dan konstruksi
pemikiran mereka hanya mengikuti jiwa terendah yaitu kesenangan dunia.
Hal
yang perlu kita pertimbangkan kaitannya dengan pendidikan sekarang, gagasan Ibn
Maskawaih terkesan terlalu menekankan pada aspek normatif, ritualistik dan
eskatatologis. Suatu problematika pendidikan selama ini dalam kenyataannya
perlu hadirnya pendidikan moral, namun disisi lain menurut iadanya ukedinamisan
sesuai kemajuan zaman yang semakin global. Salah satu solusinya pendidikan
khususnya pendidikan Islam harus dapat imengembangkan etika dan moral keagamaan
yang mempunyai relevansi dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingg tujuan dan cita-cita
pendidikan Islam akan tercapai yaitu, “transfer of knowledge” dan “transfer
of value”.[44]
Di antara beberapa tawaran pemikiran
tersebut
ialah
Posisi pendidikan Islam harus berada dalam posisi yang equalibrium;
selain transfer of knowledge dan juga harus
dibarengi dengan
transfer of values. Pendidikan Islam (khususnya pesantren) mau menerima kehadiran ilmu
pengetahuan
dan teknologi,
karena pada
dasarnya kemajuan ilmu dan teknologi sesuai dengan cita- cita setiap muslim yaitu; kebaikan di dunia dan di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep
Kependidikan Para Filosof Muslim. Jakarta: al-Amin Press.
Dardy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Departemen Agama, 1987. Ensiklopedia
Islam I. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep
Kependidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press.
Mahmud, 2011. Pemikiran
Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Murtiningsih, Wahyu. 2009.
Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Insan Madani.
Ramli, 2015. Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Upaya Mencari
Format Pendidikan
Yang Islami (Kajian Pemikiran Ibnu Miskawaih). Jurnal EL-FURQONIA Vol.1 No.1
Sholehuddin, M. Sugeng.
2010. Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN
Press.
Syah Nasution, Hasyim. 1999.
Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Syarif, M. 1998. Para
Filosof Muslim. Bandung: Mizan.
Yusuf Musa, Muhammad.
1963. Falsafah Akhlaq fil Islam. Qahirah: Muwasatul Khanji.
Nur Hamim, 2014. Pendidikan
Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih Dan Al-Ghazali”, Ulumuna Jurnal
Studi Keislaman, Volume 18, Nomor 1.
[1]
Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam I, (Jakarta: Direktorat Jendral
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1987), hlm. 353. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, “Reinventing Kepemimpinan
dalam Pendidikan Islam”, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 13.
[2] Ibid
., hlm.353. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit., . . .
[3]
Sedangkan dalam buku karya M. Sugeng Sholehuddin, “Reinventing Kepemimpinan
dalam Pendidikan Islam”, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 14,
disebutkan bahwa nama lengkapnya yaitu Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub
bin Maskawaih, lebih dikenal dengan nama Ibn Maskawaih. Beliau dilahirkan di
Ray, sebuah kota di sebelah selatan Teheran di Persia (Irak), pada tahun 330 H
(941 M) dalam buku karya Dr. Muhammad Yusuf Musa, “Falsafah Akhlaq fil Islam”,
(Qahirah: Muwasatul Khanji:1963), hlm. 74. Ada juga yang mengatakan pada
tahun 320 H (932 M), Selain itu ada yang berpendapat tahun 325 H (937 M).
[4]
Wahyu Murtiningsih, “Biografi Para Ilmuwan Muslim”, (Yogyakarta: Insan
Madani, 2009), hlm. 179-180.
[5]
Hasyim Syah Nasution, “Filsafat Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), hlm. 57.
[6]
Ahmad Dardy, “Kuliah Filsafat Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm. 37. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 16.
[7]
Mahmud, “Pemikiran Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2011),
cet. ke-1. hlm. 277-278.
[8]
Ahmad Dauny, ibid., hlm. 61. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm.
16.
[9] M.
Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 20.
[10]
M. M. Syarif, “Para Filosof Muslim”, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 88.
Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 17.
[11]
Wahyu Murtiningsih, op., cit., hlm. 180.
[12]
Departemen Agama, “Ensiklopedi Islam I …, hlm. 354. Dalam M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 18.
[13]
Busyairi Madjidi, “Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim”,
(Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), hlm. 34. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc.
cit., . . .
[14] Ibid,
hlm. 34. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit., . . .
[15]
Departemen Agama, “Ensiklopedi Islam I, …, hlm. 354. Dalam M. Sugeng
Sholehuddin, op. cit., hlm. 18.
[16]
M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., … hlm. 18.
[17] Ibnu
Miskawaih, “Menuju Kesempurnaan
Akhlak”, ter. Helmi
Hidayat (Bandung: Mizan 1994), 35. Dalam Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih Dan Al-Ghazali”, Ulumuna Jurnal
Studi Keislaman, Volume 18, Nomor 1 (Juni) 2014, hlm. 12.
[18]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 55-58. Dalam Mahmud, ibid., hlm.
278.
[19]
Mahmud, ibid., hlm. 279.
[20]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 18-19. Dalam Mahmud, ibid., hlm.
279.
[21]Ramli, “Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Upaya Mencari
Format Pendidikan
Yang Islami (Kajian Pemikiran Ibnu Miskawaih)”, Jurnal EL-FURQONIA Vol. 1, No. 1 Agustus
2015, hlm. 3.
[22]
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Jakarta:
al-Amin Press, 1997), hlm. 30. Dalam M.
Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 19.
[23]
Majid Fachry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm
268. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit., …
[24]
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, hlm. 32.
Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., …
[25]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 161-162. Dalam Mahmud, ibid., hlm.
280.
[26]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 37-39. Dalam Mahmud, ibid., hlm.
280.
[27]
Beliau lebih menekankan adanya kehendak Allah, tetapi perbaikannya diserahkan
kepada manusia dan bergantung pada kemauannya. Ibn Maskawaih, “Tahzib”,
… hlm. 39-41. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 281.
[28]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 42. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
281.
[29]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 2-3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
281.
[30]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
282.
[31]
Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
284.
[32]
Terma “Al-Insan Madaniyyun bi At-Tabi’i” sering digunakan untuk istilah
tersebut karena kebahagiaan manusia terletak dalam interaksinya dengan manusia
lain dan karena ia dapat menemukan nikmat itu pada dirinya. Lihat, Ibn
Maskawaih, Tahzib . . ., p 159, 164, dan 182. Bandingkan, idem, Al-Hawamil
wa Sawamil, Kairo: t.p., 1370/1951, p, hlm. 69, 70 dan 87, serta idem, al-Fauz
. . ., p, hlm. 52-53.
[33]
Ibn Maskawaih, Tahzib…, hlm. 44-45. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
285.
[34]
Ibn Maskawaih, Tahzib…, hlm. 60. Dalam Mahmud, op. cit., hlm.
285.
[35] Ibid.,
hlm. 208. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 286.
[36] Ibid.,
hlm. 42. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 286.
[37] Ibid.,
hlm. 69-70. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[38] Ibid.,
hlm. 46. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[39] Ibid.,
hlm. 49. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[40] Ibid.,
hlm 55-56. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 288.
[41]
Ibn Maskawaih, Tahzib …, Dalam Mahmud, loc.cit., hlm. 288.
[42]
M. Sugeng Sholehuddin, op., cit., hlm. 21.
[43]
M. Sugeng Sholehuddin, loc., cit., hlm. 21.
[44] Ramli,
“Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Upaya mencari Format Pendidikan yang
Islami (Kajian Pemikiran Ibn Maskawaih)”, Jurnal, El-Furqonia, vol. 01, No.
1 Agustus 2015, hlm. 178-179.