DIMENSI
PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah : Studi Islam
Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Waryani
Fajar Riyanto
Disusun oleh:
Nama : Imam
Syafi’i
NIM :
2052115026
PASCA
SARJANA - PAI
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN)
PEKALONGAN
2015
DIMENSI PESANTREN
DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM
Oleh: Imam Syafi’i
(2052115026)
Asal Usul Pesantren
Ada beberapa
pendapat berasal dari asal usul kata santri. Menurut A. H. Johns, kata santri
berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Sedangkan C. C. Berg
berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata Shastri yang berarti
orang yang tahu dan memahami kitab suci agama Hindu. Kemudian Jonns mengatakan
bahwa kata Shastri itu sendiri berasal dari kata sastra yang berarti
buku-buku suci (buku-buku agama) atau buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan.[1]
Dari kata
santri inilah terbentuklah kata Pesantren. Menurut Struktur Bahasa Indonesia,
kata pesantren menunjukkan tempat, yakni tempat untuk mengajar dan mendidik
para santri yang hendak mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama (Islam).
Menurut Nurkholis Madjid, secara Historis pesantren tidak hanya mengandung
makna keislaman, tetapi juga makna
keaslian Indonesia. Sebab Cikal Bakal lembaga yang dikenal sebagai pesantren
dewasa ini sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha dan Islam tinggal
meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya.[2]
Pesantren
dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam
menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada
pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran ulama-ulama fiqh, tafsir, tauhid, dan
tasawuf pada abad pertengahan.[3]
Pesantren bukan
sekedar merupakan fenomena lokal ke-Jawaan (hanya terdapat di Jawa), akan
tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh Nusantara. Artinya,
lembaga pendidikan sejenis pesantren ini dapat ditemukan pula di luar Jawa. Di
Aceh ia disebut dayah, dan di Minangkabau ia dinamakan surau. Berbagai
penelitian mengatakan bahwa pada awal abad ke-16 pesantren merupakan pusat
lembaga pendidikan Islam kedua setelah masjid.[4]
Pondok
pesantren bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam, sekalipun pesantren
adalah bentuk yang melembaga secara permanen di pedesaan. Muhammad Yacub
mencatat adanya enam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: perguruan formal,
pesantren tradisional, majelis taklim, “serikat tolong menolong” seperti
kelompok Yasinan, majelis latihan semacam pesantren kilat, dan majelis kultum
(kuliah tujuh menit atau ceramah singkat).[5]
Di desa
Putukrejo, Malang Selatan, Mukti Ali mencatat adanya lima macam lembaga
pendidikan agama di luar perguruan formal dan pesantren, yaitu majlis taklim
berupa pengajian rutin setiap bulan, pengajian rutin tiga kali seminggu, kuliah
subuh pada jum’at pagi di masjid jami’, jama’ah khataman al-Qur’an, dan jam’ah
tahlil.[6]
Pesantren bukan
lagi lembaga yang tertutup, esoteris, dan eksklusif. Bahkan Zamakhsyari Dhofier
terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional dalam
lukisannya tentang pesantren. Dalam buknya “Tradisi Pesantren”, ia
menyebutkan adanya lima unsur yang membentuk pesantren, yaitu pondok, masjid,
pengajian kitab klasik, santri dan Kiai.[7]
Ketika terjadi
“polemik kebudayaan” di tahun 1930-an, pendidikan di pondok pesantren untuk
pertama kali dibanggakan sebagai sistem yang tak terpaku pada penumpukan
pengetahuan dan pengesahan otak, tetapi juga mementingkan kepribadian, karakter
manusia. Di pesantren terleburlah segala kecenderungan dan hasrat
kebirokrasian, yang terdapat dalam sistem pendidikan Barat, ke dalam suasana
kekeluargaan, antara Kyai dan Santrinya. Dalam perdebatan yang terjadi di saat
pergerakan nasional telah mencapai tingkat yang lanjut ini, sistem pendidikan
pesantren dibanggakan pula sebagai alternatif yang otentik terhadap sistem
kolonial, yang bukan saja dikatakan bersifat intelektualistik, tetapi juga
cenderung membentuk manusia yang tidak bebas. Hal ini tampak dengan jelas bahwa
pokok perdebatannya bukanlah substansi ilmu yang ingin dikembangkan, melainkan
corak produk yang ingin dihasilkan. Inti maslah ialah, bagaimana corak
masyarakat dan karakter manusia yang diinginkan di masa depan.[8]
Sementara itu
dunia pesantren bukan saja lebih mengalami perubahan, baik sebagai akibat dari
dinamika internal maupun sebagai penetrasi dari “dunia luar”, tetapi juga
melanjutkan peranan yang cukup besar dalam perkembangan masyarakat. Sebagai
lembaga pendidikan Islam yang mana seorang guru dan murid menciptakan suatu
suasana kekeluargaan dalam usaha mencari, menggali, dan menyebarkan berbagai
ilmu keagamaan. Kemudian pesantren tidaklah bisa terlepas dari masyarakat yang
mengitarinya. Peranan yang paling sederhana tentu saja ialah jasa “pelayanan
keagamaan” kepada masyarakat sekitar, seperti pembacaan talqin di waktu
pembacaan do’a untuk sang mayit. Selain menyediakan wadah bagi sosialisasi
anak-anak, pesantren juga menjadi tempat bagi para remaja yang berdatangan dari
tempat-tempat yang cukup jauh untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari
situasi remaja ke suasana dewasa.
Dari sudut
keagamaan, pesantren adalah tempat mengaji dan mempelajari kitab-kitab dan
kadang-kadang juga merupakan tempat di mana intensifikasi peribadatan bisa
dilakukan yang terlepas dari kemungkinan adanya unsur heterodoksi dari ajaran
yang disampaikan dan praktek ritual yang dijalankan, sebagaimana sering dikecam
oleh para ulama ahli fiqh, selain itu cukup banyak juga pesantren yang menjadi
pusat-pusat tarekat.
Tak kurang
pentingnya dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia ialah peranan
pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan. Berbagai buku teks, tafsir, dan
lainnya, bahkan kemudian bermacam-macam publikasi majalah dan brosur keagamaan yang
dihasilkan oleh pesantren. Pesantren juga menjadi sumber dari pendukung dan
pemimpin dari organisasi serta partai yang bernafaskan Islam.[9]
Pertumbuhan dan Perkembangan
Pesantren
Dari gambaran
di atas dapatlah kita ketahui bahwa akar-akar historis keberadaan pesantren
dapat dilacak jauh ke belakang pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia.
Ketika para Wali Songo menyebarkan dan menyiarkan Islam di tanah Jawa, mereka
memanfaatkan masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif.
Para Wali Songo itu mendirikan masjid dan padepokan (pesantren) sebagai pusat
kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. Misalnya Raden
Rahmat (yang dikenal sebagai Sunan Ampel) mendirikan pesantrennya di daerah
kembang kuning (Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga
orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning.[10]
Setelah melalui
beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah
banyak jumlahnya dan tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air. Pertumbuhan dan
perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor
sosia-kultural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi pesantren ini
semakin kuat berakar dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia.
Faktor-faktor yang menopang untuk menguatkan keberadaan pesantren ini antara
lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Karena agama Islam telah
semakin tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air, maka masjid-masjid dan
pesantren-pesantren semakin banyak pula didirikan oleh Umat Islamuntuk
dijadikan saran pembinaan dan pengembangan Syi’ar Islam.
2.
Kedudukan dan Kharisma Kiai
dan Ulama (yang memperoleh penghormatan, penghargaan, dan perhatian dari para
penguasa pada masa itu) sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan
pesantren. Sebagai contoh, pesantren Tegal Sari, di Jawa Timur didirikan pada
tahun 1792 atas anjuran Susuhunan II.
3.
Siasat belanda yang terus
memecah belah antara penguasa dan ulama telah mempertinggi semangat jihad umat
Islam untuk melawan Belanda. Menghadapi situasi ini, para ulama hijrah ke
tempat-tempat yang jauh dari kota dan mendirikan pesantren sebagai basis
pemusatan kekuatan mereka.
4.
Kebutuhan umat Islam yang
semakin mendesak akan sarana pendidikan yang Islami, karena sekolah-sekolah
Belanda secara terbatas hanya menerima murid-murid dari kelas sosial tertentu.
5.
Semakin lancarnya hubungan
antara Indonesia dan tanah suci Mekkah yang memungkinkan para pemuda Islam
Indonesia untuk belajar ke Mekkah yang merupakan pusat studi Islam. Sepulangya
dari Mekkah, banyak di antara mereka yang mendirikan pesantren untuk
mengajarkan dan mengembangkan agama Islam di daerah asal mereka masing-masing.[11]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan
lembaga sosial tumbuh diam-diam di pedesaan dan perkotaan. Jumlah lembaga itu
ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Dalam catatan Departemen Agama jumlah
pesantren pada tahun 1977 adalah 4.195 buah dengan santri sebanyak 677.384
orang. Jumlah itu meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada
tahun 1981.[12]
Menurut buku laporan yang dikeluarkan
oleh Departemen Agama pada tahun 1982, jumlah pesantren di Indonesia yang
trecatat sebnyak 4.890 pesantren. Dalam rentang waktu selama lima belas tahun
kemudian (antara 1982-1997), jumlah pesantren ini akan semakin bertambah banyak
sejalan dengan didirikannya pesantren-pesantren di berbagai pelosok tanah Air,
terutama di masa orde baru sekarang ini.[13]
Dapat diperkirakan jumlah itu sekarang
lebih tinggi, sekalipun angka-angka resmi tidak selalu tersedia. Pencatatan
pertumbuhan pesantren mengalami kesulitan karena dua hal. Pertama, tidak
adanya kriteria yang jelas mengenai besar kecilnya lembaga yang dapat disebut
sebagai pesantren. Di dekat Yogyakarta, di dua desa Mlangi dan Sawahan,
Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, misalnya terdapat 20
pesantren yang masing-masing mempunyai santri tak lebih tinggi dari 150 orang,
seperti pesantren As-Salafiyah pada tahun 1982/1983. Sementara itu, banyak pesantren
yang mempunyai santri lebih dari 2.000 orang, seperti pesantren Salafiyah
Syafi’iyah di Sukorejo, Asembagus-Situbundo, yang mempunyai 2.162 santri; atau
Lirboyo-Kediri, yang mempunyai 3.000 santri. Kedua, pesantren-pesantren
besar biasanya juga mendirikan sekolah-sekolah agama dan sekolah umum, bahkan
universitas, sehingga timbul pertanyaan apakah sekolah/universitas itu termasuk
pesantren dan murid/mahasiswanya itu santri juga. Tiadanya kriteria yang
memadai ini justru menggambarkan pertumbuhan pesantren dan membuktikan bahwa
pesantren responsif terhadap perubahan dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan
baru.[14]
Pesantren mempunyai akar sejarah yang
panjang, sekalipun pesantren-pesantren besar yang ada sekarang hanya dapat
dilacak asal-usulnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dalam hal
ini Zamakhsyari Dhofier telah membuat peta pesantren-pesantren di Jawa dari
abad ke-19 dan abad ke-20 yang menunjukkan adanya pemusatan pesantren dengan
Jawa Timur sebagai pemegang jumlah terbesar, diikuti secara berurutan oleh Jawa
Tengah dan Jawa Barat.[15]
Pengamatan mutakhir tentang pesantren
ternyata menemukan bermacam tingkat perkembangan pesantren. Soedjoko Prasodjo et
al, menyebut adanya lima macam pola pesantren, dari yang paling sederhana
sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid
dan rumah Kiai; Pola II terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok; Pola III
terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok dan madrasah; Pola IV terdiri atas
masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan; Pola V terdiri
atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas,
gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[16]
Perkembangan pesantren sudah dimulai
sejak awal abad ke-20 ini. Perkembangan itu meliputi kurikulum, metode
mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat perkembangan sejak 1906
ketika kerajaan Jawa di Surakarta mendirikan Mamba’ul Ulum, tempat mendidik
calon-calon pejabat agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam
pendidikan agama itu. Pada waktu yang hampir bersamaan terjadi perkembangan
serupa di Sumatera Barat. Dalam metode mengajar ada perkembangan dari sistem salaf
ke sistem madrasi. Sistem salaf ialah metode mengajar secara
tradisional dengan sistem sorogan, yaitu bimbingan individual, dan bandongan,
semacam ceramah umum. Dalam sistem salaf tidak ada pembagian ke
dalam tingkatan kemajuan belajar, karena masing-masing santri menentukan
sendiri kemajuannya dengan menunjukkan kemampuan penguasaan buku-buku kepada
Kiai secara perorangan. Dalam sistem madrasi, yang sudah dikenal di
Sumatera barat sejak 1907. Dan di pesantren-pesantren Jawa baru pada awal
1920-an, sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatan-tingkatan pendidikan.[17]
Peranan Pesantren dan Kebangkitan Intelektualisme
Soedjono Prasodjo menyebutkan adanya tiga
macam jasa pesantren, yaitu: (1) kegiatan tabligh kepada masyarakat yang
dilakukan dalam kompleks pesantren. (2) Majlis Ta’lim atau pengajian
yang bersifat pendidikan kepada umum, dan (3) bimbingan hikmah berupa
nasihat Kiai kepada orang yang datang untuk minta diberi “amalan-amalan” apa
yang harus dilakukan supaya mencapai suatu hajat, nasihat-nasihat agama dan
sebagainya.[18]
Peranan pesantren tentu bukan tanpa
batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks pedesaan, agraris,
dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat persemaian yang baik.
Santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri, merupakan agen yang sesuai
dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita inginmencatat supaya pesantren
yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya model yang terlalu direalisasikan
menjadi sebuah “mitos”. Pembangunan menuju masyarakat industrial memerlukan
lembaga yang memadai. Pikiran-pikiran sederhana dan “kecil itu indah” perlu
diimbangi dengan pikiran-pikiran tinggi dan besar. Catatan ini hendaknya justru
menekankan pentingnya pesantren dalam pembangunan masyarakat desa dan bukan
sebaliknya.[19]
Kedudukan Kiai di sebuah pesantren bukan
sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada para santri di
pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang
ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di
sekitarnya. Pendek kata, Kiai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang
baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga
bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz
mengemukakan bahwa Kiai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang
memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator atas arus informasi yang masuk ke lingkungan
kaum santri. Dengan demikian, posisi dan peran seorang Kiai yang mampu
menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan Kiai sebagai cultural broker.[20]
Peran Kiai dan Ulama sebagai tokoh
masyarakat dapat dilihat, misalnya dalam serangkaian upaya-upaya mereka untuk
menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para
Kiai dan Ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa
menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan program-program pembangunan ke
dalam bahasa agama yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada
komunitas yang dipimpinnya. Dengan cara ini, para Kiai dan Ulama sekaligus
berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk
berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan oleh pemerintah.
Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut melegitimasi kebijakan
pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar
itu masyarakat Muslim akan dapat menerima kebijakan dan program pembangunan
yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini semakin memperjelas peran Kiai dan
Ulama dalam proses transformasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat.[21]
Dilihat dari perspektif transformasi
sosial budaya, sikap para Kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan
menjadi dua kelompok. Pertama, para Kiai yang mempertahankan nilai
ortodoksi Islam dalam sistem pendidika pesantren dengan melakukan usaha-usaha
untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu, Kiai ini disebut
Kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut pesantren salafiyah.
Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah
nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan
fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain,
mereka membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan
prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para Kiai yang sudah
memasukkan ilmu-ilmu pengetahuan umum ke
dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam.[22]
Memasuki abad 21 nanti, posisi pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional terasa akan semakin penting dan
sekaligus akan memiliki peran yang sangat signifikan dan strategis. Sejak paruh
kedua abad 20, kajian-kajian serius tentang pesantren telah banyak diminati
oleh para mahasiswa, para calon sarjana, para sarjana dan para pakar di
berbagai perguruan tinggi, tidak saja di Tanah Air tetapi juga di luar negeri.
Bahkan kajian-kajian tentang pesantren secara akademis dan komprehensif telah
banyak dilakukan oleh para mahasiswa peserta program S-3 dalam rangka
mempersiapkan disertasi mereka. Dengan kata lain, sosok dan dunia pesantren
telah menjadi salah satu minat besar para akademisi untuk dijadikan bahan studi
dan fokus telaah-telaah ilmiah.[23]
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan
Islam tradisional, tak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat dalam
transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian
klasik. Pengajaran “kitab-kitab kuning” (sebagaimana sering dikatakan orang
untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi ciri khas dari proses
belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang
menekankan penggunaan metode sorogan dan weton. Pelajaran pertama
dan utama di pesantren adalah bahasa Arab dengan seluk beluknya (nahwu, sharaf
dan ilmu balaghah), karena dengan penguasaan bahasa Arab yang baik para santri
akan bisa mengupas dan membahas kitab-kitab klasik yang tidak memakai syakal
(kitab-kitab gundul). Dalam hubungan ini, penguasaan “kitab Alfiyah Ibnu Malik”
oleh para santri sangat ditekankan.
Selain bahasa Arab, biasanya mata
pelajaran lain yang diberikan adalah ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, misalnya
kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathul Qarib Syarh Matan Taqrib (Ibnu
Qasim Al-Ghazi), Fathul Mu’in Syarh Qurratul ‘Ain (Zainuddin
Al-Malibari), Minhaju Thoalibin (An-Nawawi), Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim
Al-Bajuri), Al-Iqna’ (Syarbini), Fathul Wahab, Tuhfah (Ibnu
Hajar) dan Nihayah (Ramli). Kajian-kajian kitab kuning yang ditradisikan
di pesantren-pesantren sudah seharusnya tetap dipertahankan agar kesinambungan
historis antara masa depan dengan masa lampau tidak terputus. Dengan demikian,
khazanah ilmu-ilmu pengetahuan keislaman masa klasik akan tetap terpelihara dan
terawat dengan baik di pesantren-pesantren dan di pusat studi inilah
mutiara-mutiara keilmuwan masa lalu itu bisa tetap terjaga secara utuh dan
baik.
Para Kiai dikenal sebagai musafir pencari
ilmu. Mereka bukan saja berguru kepada Kiai-Kiai senior dengan cara belajar
dari satu pesantren ke pesantren yang lain, tetapi juga mereka belajar langsung
ke Mekkah dan Madinah serta tinggal di Tanah Suci itu bertahun-tahun lamanya.
K.H. Hasyim Asy’ari, misalnya, sebelum mendirikan pondok pesantrennya sendiri
(Tebu Ireng), beliau berguru kepada ayahnya dan Kiai-Kiai lainnya untuk
kemudian belajar ke Mekkah (Masjidil Haram) selama bertahun-tahun. Setelah
sekian lama mendalami ilmu hadits di bawah bimbingan gurunya di Mekkah, Beliau akhirnya
memperoleh ijazah di bidang ilmu hadits. Beliau kemudian mengajarkan ilmu
hadits itu kepada para santrinya di pesantren Tebu Ireng selama bertahun-tahun.
Hal serupa juga dilakukan oleh Kiai-Kiai
lain, termasuk K.H. Ali Maksum yang ketika masih hidup beliau secara aktif
memimpin pondok pesantren Krapyak. Para santri Kiai Hasyim, santri Kiai Ali dan
santri-santri Kiai-Kiai lain setelah menamatkan pendidikan mereka di pondok
pesantren masing-masing, mereka banyak yang mendirikan pesantren di daerah-daerah
asal mereka. Situasi ini sekaligus menggambarkan adanya jaringan transmisi
ilmu-ilmu keislaman yang sangat luas melalui pesantren-pesantren itu. Dengan
kata lain, pesantren telah berperan sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman dan
sekaligus berperan pula sebagai jaringan transmisi atau penyebaran ilmu-ilmu
keislaman tersebut. Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung hingga dewasa
ini dan diperluas lagi dengan merebaknya pembangunan pesantren-pesantren baru
yang juga berperan sebagai pusat dan jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman
yang semakin luas dan intens.[24]
Para pakar mengatakan bahwa pendidikan
adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan di kalangan kaum muda Muslim
tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka diharapkan
akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan mereka.
Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini tentu akan
mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan mereka.
Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya gelombang
kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh Nurcholis
Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual
Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan kawan-kawan
di tahun 1950-an.
Pondok pesantren yang kini sebagiannya
telah memiliki universitas-universitas dan pada umumnya berafiliasi pada
jam’iyah Nahdlatul Ulama serta berperan sebagai basis kekuatan Muslim
tradisional ditantang untuk ikut mempercepat proses munculnya gelombang
kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Pesantren diharapkan bisa menjadi
“garda depan” motivator dan dinamisator munculnya gelombang kebangkitan
intelektual Muslim kedua itu. Karena, bagaimanapun kalangan tradisional Muslim
itu sendirilah yang harus membuktikan diri bahwa mereka mampu untuk memotori
munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua ini. Inilah salah satu
tugas sejarah yang penting dan strategis yang terletak di pundak kalangan Muslim
tradisional dalam memasuki abad 21.[25]
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik.
1996. Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia Penerbit PT:
Pustaka LP3ES Indonesia.
Ali, H.A. Mukti.
1987. Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.
Bruinessen, Martin
van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan.
Dhofier, Zamakhsyari.
1994. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta:
LP3ES.
Islmail, Faisal.
1997. Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
Kuntowijoyo. 1999. Paradigma
Islam (Interpretasi untuk Aksi). Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.
Madjid, Nur Chalish,
1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed),
Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah. Jakarta: P3M.
Prasodjo, Soedjoko. et.
al. 1982. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah
dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.
Saridjo, Marwan. et
al. 1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.
Steenbrink, Karel A.
1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta:
LP3ES.
Yacub, Muhammad.
1985. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung:
Penerbit: Angkasa.
Yacub, Muhammad. Model-model
Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah,
tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[1] Zamakhshahri
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta:
LP3ES, 1994, hlm. 18.
[2]
Nur Chalish Madjid , Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam
Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah (Jakarta:
P3M, 1985), hlm, 3.
[3] Op.
Cit., Tradisi Pesantren, hlm. 1.
[4]
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 24.
[5]
Muhammad Yacub, Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga
Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[6]
H.A. Mukti Ali, Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Pers,
1987).
[7]
Dhofier, Tradisi Pesantren, Bab-II.
[8]
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia (Penerbit
PT: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 110.
[9] Ibid,
hlm. 111-112.
[10]
Marwan Saridjo et al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta:
Dharma Bhakti, 1982), hlm. 25.
[11] Ibid,
hlm. 41-43.
[12]
H.M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung:
Penerbit: Angkasa, 1985), hlm. 68.
[13]
Faisal Islmail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi
Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 108.
[14]
Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung:
Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1999), hlm. 246.
[15]
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:
LP3ES, 1985), hlm. 3.
[16]
Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian
Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES,
1982), hlm. 83-84.
[17]
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam
Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 102.
[18] Op.
Cit., Profil Pesantren, hlm. 111.
[19] Op.
Cit., Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), hlm. 264.
[20] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 109.
[21] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[22] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[23] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 113.
[24] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 117-118.
[25] Op.
Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 120.