Selasa, 30 Agustus 2016

KONSEP PENDIDIKAN (Studi Pemikiran Ibn Maskawaih)



KONSEP PENDIDIKAN
(Studi Pemikiran Ibn Maskawaih)

Oleh:
IMAM SYAFI’I (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Agama Islam
STAIN Pekalongan
2016

I.              Pendahuluan
Dalam sebuah tatanan kemasyarakatan, selalu ada seorang tokoh yang menjadi pelopor atau pembaharu, atau bahkan pengubah sejarah. Pada masyarakat yang telah melaju, selalu muncul seorang yang dianggap sebagai pembaharu. Begitu pula halnya yang terjadi pada masyarakat yang mengalami degradasi moral.
Pada situasi masyarakat seperti itulah, lahir seorang Ibn Maskawaih yang lebih dikenal sebagai filosof akhlak atau filosof moral. Disebut demikian karena beliau mencurahkan perhatiannya pada masalah akhlak manusia. Lain halnya dengan para filosof sebelumnya, yang lebih banyak membahas filsafat ke-Tuhan-an. Ibn Maskawaih seolah-olah diutus untuk memperbaiki situasi masyrakat yang kacau.
Ibn Hayam dalam bukunya “al-Anta” menggambarkan Ibn Maskawaih adalah seorang fakir diantara orang-orang kaya dan seorang kaya di antara Nabi-nabi.[1]
Ibn Maskawaih adalah seorang filosof Islam yang pertama kali membicarakan filsafat akhlak.[2] Beliau banyak memunculkan konsep-konsep pemikiran beliau tersebut dalam  buku TahdzibulbAkhlaq. Selain itu beliau juga mengungkapkan pikiran-pikirannya tentang pendikdikan kaitannya dengan akhlaq atau moral Manusia.


II.           Biografi Ibnu Maskawaih
Nama lengkap Ibn Maskawaih adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub Miskawaih. Beliau lahir pada tahun 940 M di Rayy, Iran.[3] Ibn Maskawaih menghabiskan masa kecil dan remajanya di tanah kelahirannya itu, sebelum kemudian hijrah ke Baghdad, Irak. Di kota ini Ibn Maskawaih bekerja sebagai pustakawan Daulah Abasid. Beliau bekerja di tempat itu cukup lama, hingga terjadi beberapa kali pergantian kekuasaan. Ibn Maskawaih menganggap perpustakaan serupa sekolah, tempatnya mendalami berbagai macam ilmu pengetahuan. di sela-sela pekerjaannya sebagai pustakawan, Ibn Maskawaih menyempatkan diri melakukan berbagai pengkajian, baik di bidang filsafat, sejarah, kedokteran, maupun kimia. Di antara semua itu, Ibn Maskawaih lebih tertarik mengkaji filsafat Yunani dan Sejarah.
Seperti para ilmuwan lain yang hidup pada masa itu, Ibn Maskawaih mempelajari sejarah dan filsafat, terutama filsafat etika, sebagai alat mencari kebenaran. Dalam setiap kajian filsafatnya, beliau selalu mencari bagaimana cara membangun moral yang sehat dan jiwa yang harmonis. Di kemudian hari, para pemikir muslim, seperti Mohamed Arkoun, menyebut Ibn Maskawaih sebagai seorang muslim yang humanis jika dilihat dari sudut pandang tradisi intelektual Islam, bukan tradisi intelektual humanisme Eropa.
Sebagai ahli filsafat, Ibn Maskawaih sangat terppengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme. Sehubungan dengan itu, ia telah mengahasilkan sebuah karya Monumental berjudul Tahdib al-Akhlaq (Pembinaan Ahlak).[4]

III.        Karya-Karya Ibn Maskawaih
Selama hidupnya, Ibn Maskawaih menghasilkan banyak karya, diantaranya sebagai berikut:
1.        Al-Fauz al-Akbar (kemenangan besar);
2.        Al-Fauz al-Asghar(kemenangan kecil);
3.        Tajarib al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M);
4.        Uns al-Farid (koreksi anekdot, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah);
5.        Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik);
6.        Al-Musthaufa (syair-syair pilihan);
7.        Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bikak/ hikmah yang tak lekang waktu);
8.        Al-Jami’
9.        Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan);
10.    On The Siple Drugs (tentang kedokteran);
11.    On The Composition of The Bajats (seni memasak);
12.    Kitab al-Asyrabah (tentang minuman);
13.    Tahzib al-Akhlaq (tentang akhlaq);
14.    Risalah fi al-Lazzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs;
15.    Ajwibah wa As-Ilah fi Al-Nafs wa al-Aql al-Siyar (tentang aturan hidup);
16.    Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsakats;
17.    Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqah al-Aql;
18.    Thaharah al-Nafs (suci dari nafsu).[5]





IV.        Setting Sosial
Ibn Maskawaih hidup di tengah-tengah masyarakat elit Arab di persia pada zaman Dinasti Buwaihi. Negara Bani Buwaihi merupakan salah satu negara yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad, dan kemudian menaklukkan Persia, Ray, dan Asfahan. Para penguasa Dinasty Buwaihi sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan. mereka banyak meniru apa yang dilakukan oleh para khalifah Bani Abasiyah terutama Harun Rasyid, al-Amid dan al-Ma’mun.[6]
Ibnu Maskawaih yang terkenal dengan julukan al-Khazin, digelari juga sebagai “guru ketiga” setelah Aristoteles dan Al-Farabi. Sebagai seorang otodidak yang sukses, ia menggeluti berbagai disiplin ilmu sehingga menjadikannya sebagai “Bapak Filsafat Etika Muslim” dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim”. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan, dan pendidik.
Pada masa Ibn Maskawaih, filsafat dan sains warisan Yunani tumbuh subur sehingga sangat wajar jika karya-karya Ibn Maskawaih dipengaruhi oleh para filsuf Yunani klasik. Misalnya, karya yang menyangkut filsafat manusia, jiwa, dan etika, Ibn Maskawaih banyak merujuk pada karya-karya Galen, Phytagoras, Socrates, terutama Plato dan Aristoteles.
Bila diperhatikan daftar karya tulis Ibn Maskawaih, tidak ditemukan satu pun yang membahas secara khusus tentang pendidikan. Akan tetapi, ada beberapa buku yang pembahasannya dinilai banyak berkaitan dengan pendidikan, seperti tentang kejiwaan, akal, dan etika. Salah satu bukunya yang dinilai banyak mengandung teori dan konsep pendidikan ialah Tahzib.[7]



V.           Metodologi
Dalam mengungkapkan pemikirannya, Ibn Maskawaih menggunakan beberapa metode sesuai dengan bidang yang dikajinya. Sebagaimana telah diketahui, Ibn Maskawaih selain dikenal sebagai filososf moral, beliau juga merupakan tokoh ahli sejarah dan ahli kimia.
Di bidang ilmu sejarah, pemikiran Ibn Maskawaih lebih dekat dengan prinsip yang dianut ahli sejarah barat. Pandangan dan analisis Ibn Maskawaih mengenai sejarah yang dimuat dalam buku Tajarib al-Umam dinilai sangat filosofis, ilmiah dan tajam.
Pemikiran Ibn Maskawaih tentang akhlak merupakan paduan antara kajian teoritis dan tuntunan praktis.[8] Dalam hal ini Ibn Maskawaih menolak pendapat sebagian pemikir. Yunani yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak dapat berubah karena ia berasal dari watak atau pembawaan.
Beliau mengungkapkan bahwa responsi individu terhadap beliau bermacam-macam tingkatan. Karena alasan itulah dalam mendidik, hendaknya seorang pendidik harus mampu memperhatikan perbedaan-perbedaan watak tersebut agar tiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individualnya tersebut.
Berdasarkan perbedaan individual itulah, maka Ibn Maskawaih menerapkan metode alami dalam pendidikan (Thoriqun Thobi’yyun). Metode alamiah itu bertolak dari pengamatan terhadap potensi-potensi insani. Mana yang muncul lahir lebih dahulu, maka pendidikan diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan potensi yang lahir lebih dulu itu, kemudian kepada potensi berikutnya yang lahir sesuai dengan hukum alam.
Sedangkan dalam buku Reinventing Kepemimpinan karya Dr. M. Sugeng Sholehuddin disebutkan tentang pendidikan, Ibn Maskawaih menggunakan metode alami yang dikenal dengan Thariqun Tha’iyyun dalam mendidik. Metode alami ini maksudnya adalah pengamatan total terhadap potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia, kemudian dikembangkan sesuai dengan potensi yang muncul lebih dahulu.[9]
Mengenai filsafat, terutama pendaoatnya tentang jiwa, beliau bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis. Ia menulis masalah ini dalam al-Fauz al-Asghar dan Tahdzib al-Akhlaq.[10]
VI.        Teori
Pada bagian pertama, beliau membahas tentang jiwa manusia. Seseorang bisa merasakan kebahagiaan hidup jika ia mampu menciptakan kebahagiaan jiwa, mislanya dengan menuntut ilmu. Ibn Maskawaih beranggapan bahwa ilmu itu dapat membuat manusia bijak. Pada bagian berikutnya ia menguraikan beberapa jenis kebahagiaan dan sifat-sifatnya. Ibn Maskawaih berpendapat ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses mencapai kebahagiaan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah kesehatan tubuh dan emosi manusia. Sedangkan faktor eksternal adalah hubungan sosial dan kondisi lingkungan sekitar.[11]
Beberapa teori yang disampaikan oleh Ibn Maskawaih adalah sebagai berikut:
1.        Teori tentang Alam
Dalam hal ini, Ibn Maskawaih mengaungkapkan teori evolusi. Beliau berpendapat bahwa alam berevolusi dari salah satu tingkatan yang paling rendah kepada tingkatan yang lebih tinggi. Evolusi ini melalui empat tingkatan. Tingkat yang paling rendah ialah berupa benda-benda mati (mineral). Berkembang ke arah yang lebih tinggi, yaitu alam tumbuh-tumbuhan (vegetable). Selanjutnya berevolusi ke alam binatang (animal), dan yang terakhir dan tinggi berkembang menjadi manusia (The Human).[12]
2.        Teori tentang Akhlak
Mengenai akhalak, Ibn Maskawaih menolak pendapat para filosof Yunani yang mengatakan bahwa watak itu alami dan tidak dapat berubah berkat pendidikan dan pengajaran, cepat atau lambat.[13]
Watak itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: temperamen, seperti sifat pada seorang manusia yang mudah bereaksi oleh suatu hal yang sederhana dan watak yang diperoleh dari kebiasaan atau latihan yang berulang-ulang.[14]
Selain dari pada kedua hal itu, Ibn Maskawaih berpendapat bahwa orang yang hidup zuhud, mengasingkan diri dari masyarakat, adalah merupakan suatu pelarian, sekalipun ia menganggap dirinya baik, tetapi sebenarnya ia tidaklah mengerti arti kehidupan.[15]
Pendapat beliau yang kontroversial ini lebih dominan disebabkan oleh kondisi masyarakat pada saat itu. Pada saat itu kondisinya kacau dan perlu adanya seorang yang membenahinya, namun orang-orang zuhud seakan-akan lari dari permasalahan disekitarnya. Mereka mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli pada lingkungan sosialnya.[16]
VII.     Ide-Ide Pokok Ibnu Maskawaih tentang Pendidikan
1.    Filsafat yang melandasi Pemikiran Pendidikan Ibn Maskawaih
a.    Filsafat Manusia
Ibnu   Miskawaih memandang  manusia  terdiri  dari  dua substansi: pertama, substansi yang berupa tubuh sebagai wawasan materi, dan  kedua, jiwa   (al-nafs),  yaitu substansi yang tidak berdimensi  sebagai wawasan imateri dan  inilah  yang menjadi esensi manusia.[17]
Dalam karyanya Tahzib, Ibn Maskawaih menjelaskan bahwa manusia terdiri atas jasmani dan rohani. Ia mengakui adanya potensi atau kemampuan dasar yang tabi’i, namun hal tersebut dapat berubah karena pengaruh dari dalam diri dan luar diri manusia, yaitu melalui pendidikan.
Ibn Maskawaih membagi manusia pada tiga tingkatan, sejalan dengan kemampuan akalnya, yakni:
1.    Manusia tingkat hewan, yaitu manusia yang tinggal di pelosok-pelosok terpencil dan tidak mempunyai peradaban;
2.    Manusia indriawi, yaitu manusia yang sudah mampu memahami dan membedakan sesuatu karena peradabannya sudah maju, tetapi mereka masih terkungkung oleh kemampuan indrawinya;
3.    Manusia intelektual, yaitu manusia yang telah berupaya dengan akalnya menemukan keutamaan atau fadilah dengan segala kemampuan.
4.    Manusia filsuf atau manusia setingkat nabi, inilah tingkatan yang paling tinggi bagi manusia karena dia telah menyentuh awal alam malaikat. Pada tingkatan ini, seluruh maujud bersatu dan bertaut antara awal maujud dan akhir maujud, yang dinamakan lingkaran eksistensi.[18]
Ibn Maskawaih menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai keistimewaan dan paling mulia. Hal ini karena dalam kenyataannya, manusia memiliki daya pikir. Dengan menggunakan daya pikir itu, manusia dapat membedakan dan menentukan mana yang benar dan mana yang salah, yang baik dan yang buruk. Manusia yang paling sempurna kemanusiaannya menurutnya adalah mereka yang paling benar dan tepat cara berpikirnya. Adapun manusia yang paling baik adalah yang paling mampu melakukan tindakan yang tepat, yang paling memperhatikan syarat-syarat substansinya.[19]
b.   Filsafat Jiwa
Menurut Ibn Maskawaih, jiwa yang terdapat pada diri manusia yang merupakan substansi yang tidak dapat diindra, terdiri atas jiwa rasional (an-natiqoh), apetitif (asy-syabu’iyah), dan syahwat (al-bahimiyah) dengan dayanya masing-masing (al-quwwa). Ketika aktivitas ketiga jiwa di atas normal, serasi, dan patuh pada jiwa rasional, muncullah keutamaan-keutamaan ilmu dan filsafat, kesantunan dan keberanian, kesederhanaan dan kedermawanan. Dari keutamaan tersebut lahirlah keadilan (al-‘adalah).[20]
Kesempurnaan  manusia  akan  dicapai  apabila  manusia  itu  sendiri mampu menyeimbangkan dari tiga unsur kekuatan jiwa yaitu:[21]
1.    Quwwat  al-Natiqah (daya  pikir)  merupakan  fungsi  jiwa  tertinggi, kekuatan berpikir, melihat fakta, alat yang digunakan adalah otak. Bila kekuatan jiwa ini normal dan tidak bergeser dari hakekatnya akan lahir keutamaan  ilmu  dan  al-hikmah  (kebijakan)  jiwa  pikir  kritis  analitis untuk mengetahui segala yang ada.
2.    Quwwat al-Ghadabiyah (daya marah) keberanian menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan alat yang digunakan hati. Kekuatan jiwa ini seimbang di bawah kontrol daya aqliyah akan menghasilkan keutamaan  al-Hilm (kesantunan) dan diikuti  fadilah al- sajaah (keberanian).
3.    Quwwat  al-Shahwiyyah (nafsu)  atau  bisa  disebut  juga  quwwat al-bahimiyah (daya  hewani)  dorongan  nafsu  makan,  keinginan  kepada kelezatan makanan,  minuman, seks dan  segala  sesuatu            yang berhubungan dengan kenikmatan  inderawi, alat  yang digunakan dalam badan manusia adalah perut.
Mengenai kekuatan jiwa, Ibn Maskawaih menyebutkan ada tiga macam kekuatan jiwa, yaitu:[22]
1.    Quwwatun Natiqoh (daya pikir), merupakan fungsi jiwa tertinggi, kekuatan berfikir, melihat fakta, dengan alatnya otak.
2.    Quwwatun Ghodhobiyah (daya marah), yakni keberanian menghadapi resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan, dan kehormatan, alatnya hati.
3.    Quwwatun Syahwiyyah (nafsu), yakni dorongan nafsu makan, keinginan kepada kelezatan makanan/minuman/seksualitas dan segala macam kenikmatan indrawi, alatnya adalah perut, ada yang mengatakan jantung.[23]
Dari ketiga kekuatan tersebut akan lahir fadhilah-fadhilah sebagai berikut:[24]
1.    Al-Hikmah (kebijakan), ialah fadhilah sifat utama dari jiwa natiqoh jiwa pikir kritis analitis untuk mengetahui (mengenali) segala sesuatu yang ada kerena keberadaannya.
2.    Al-Iffah (kesucian diri), adalah sifat utama pada penginderaan nafsu syahwat.
3.    As-Saja’ah (keberanian), yaitu sifat utama ghodhobiyah.
4.    Al-‘Adalah, merupakan sifat utama pada jiwa.

c.    Filsafat Akhlak
Akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas secara spontan. Keadaan jiwa dapat berupa naluri atau fitrah sejak lahir, dapat pula latihan dan pembiasaan. Karakter manusia dapat dibentuk dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat ia hidup dan pendidikan yang diterimanya.
Beberapa hal pokok dalam filsafat akhlak Ibn Maskawaih adalah sebagai berikut:
1.    Kebaikan dan kebahagiaan, Terma kebaikan menurut Ibn Maskawaih berbeda dengan kebahagiaan. Perbedaannya, kebaikan menjadi milik semua orang, sedangkan kebahagiaan adalah milik individu.
2.    Keutamaan (fadhilah), menurut Ibn Maskawaih terdapat empat keutamaan, yakni hikmah iffah, syaja’ah, dan ‘adalah. Semua keutamaan tersebut adalah titik-titik tengah antara dua ujung keburukan, misalnya sederhana adalah titik tengah antara mengumbar nafsu dan mengekang atau mengabaikan nafsu, berani adalah titik tengah antara pengecut dan sembrono.
3.    Keadilan (al-‘adalah), Ibn Maskawaih mengelompokkan keadilan pada tiga kategori, yaitu alami (tabi’iyyu), konvensional (wada’iyyu), ketuhanan (ilahiyyu). Manusia yang benar-benar adil ialah manusia yang dapat mengharmoniskan semua daya, aktivitas, dan kondisi dirinya sehingga salah satunya tidak mendominasi yang lain.
4.    Cinta dan persahabatan (al-mahabbah wa as-shadaqah), Ibn Maskawaih membagi cinta menjadi dua, yaitu cinta manusia pada sesamanya dan cinta manusia pada Tuhan.[25]
2.    Pemikiran Pendidikan Ibn Maskawaih
a)   Karakter Manusia
Ibn Maskawaih berpendapat tentang karakter manusia menyatakan bahwa manusia memiliki dua macam karakter, pertama, yang tabi’i dan kedua, karakter yang lain dan diperoleh melalui kebiasaan dan latihan.
Ibn Maskawaih mengakui hakikat dan fungsi pendidikan dalam pembentukan kepribadian diri manusia sehingga terbentuk manusia yang memiliki malakah dan karakter terpuji.[26] Malakah mempunyai makna sebagai sifat yang berurat akar, sebagai hasil mengerjakan sesuatu secara berulang-ulang. Jika malakah dihubungkan dengan persoalan belajar, ia bermakna suatu tingkat capaian dan tingkat tertentu sebagai akibat proses belajar.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, Ibn Maskawaih mengungkapkan bahwa manusia dalam menerima perubahan karakter itu berbeda-beda sehingga ia membagi manusia menurut tabi’atnya pada tiga kelompok, yaitu manusia yang baik, manusia yang jahat, dan manusia pada posisi tengah yang dapat berubah menjadi baik atau jahat bergantung pada faktor usaha, pendidikan, dan lingkungan. Pembagian ini memberi gambaran bahwa manusia dapat dididik, dan inilah menurutnya yang sesuai dengan realitas. Karena pemahamannya yang demikian, beliau menulis buku Tahzib supaya manusia berakhlak mulia.[27]
b)   Dasar Pendidikan
Dasar merupakan landasan bagi berdirinya sesuatu dan ia berfungsi sebagai pemberi arah terhadap tujuan yang akan dicapai.
1.    Syariat sebagai dasar pendidikan, Ibn Maskawaih tidak menjelaskan secara pasti apa yang menjadi dasar pendidikan. Akan tetapi, ia menyatakan bahwa syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia. Dengan syariat, manusia terbiasa untuk melakukan perbuatan terpuji, menjadikan jiwa mereka siap menerima al-hikmah dan fadhilah.[28] Karena rujukan syariat agama adalah al-Qur’an dan al-Sunnah.
2.    Pengetahuan psikologi sebagai dasar pendidikan, Ibn Maskawaih pada awal tulisannya dalam Tahzib menegaskan adanya hubungan antara pendidikan dan pengetahuan tentang jiwa. Untuk memiliki karakter yang baik, manusia harus melalui perekayasaan (sina’ah) dan pengarahan pendidikan secara sistematis (ala tartib ta’limy).[29] Pembentukan karakter baik tersebut dapat tercapai jika kita memahami makna jiwa, mulai penciptaan, tujuan, kekuatan atau daya, dan malakah-nya. Jiwa yang dibina dengan tepat akan menjadikan manusia tersebut mencapai kesempurnaan. Pembinaan jiwa tersebut dapat dilakuakan melalui pendidikan.
c)    Tujuan Pendidikan
Corak pemikiran pendidikan Ibn Maskawaih lebih bertendensi etis dan moral. Hal ini terlihat dalam merumuskan pendapatnya tentang tujuan pendidikan sebagai berikut.
1.    Tercapainya Akhlak Mulia
Ibn Maskawaih mengisyaratkan bahwa tujuan pendidikan adalah terbentuknya pribadi yang berakhlak mulia, yang disebutnya isabah al-khuluq as-syarif, yakni pribadi yang mulia secara substansial dan essensial, bukan kemuliaan yang terporal dan aksidental, seperti pribadi yang materialistis dan otokratis.[30]
Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa kemuliaan dan keistimewaan manusia terletak pada jiwa rasionalnya. Menurutnya, manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar rasionalnya, dan terkendali olehnya. Oleh karena itu, pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada cara menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dia bisa menetralisasikan jiwa-jiwa lainnya.
2.    Kebaikan, Kebahagiaan, dan Kesempurnaan
Pada hakikatnya, tujuan pendidikan itu identik dengan tujuan hidup manusia. Tercapainya tujuan pendidikan merupakan langkah bagi tercapainya tujuan hidup manusia yang terakhir, yaitu kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan.
Manusia menurut Ibn Maskawaih memiliki keutamaan rohani, dengannya ia dapat menyamai roh-roh yang baik, dan keutamaan jasmani yang dengannya, ia menyamai hewan. Manusia dengan potensi fisiknya menempati alam rendah untuk mengaturnya, dan akan pindah ke alam tinggi bersama para malaikat dan roh yang baik.
Sehubungan dengan kebaikan, kebahagiaan, dan kesempurnaan di atas. Ibn Maskawaih membagi kedudukan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT. pada:
a.    Kedudukan orang yang yakin, yaitu ytingkat filsuf dan ulama
b.   Kedudukan orang yang baik, yaitu orang yang mengamalkan pengetahuannya
c.    Kedudukan orang yang beruntung, yakni orang-orang yang saleh
d.   Kedudukan orang yang menang, yaitu tingkatan orang yang tulus.
Untuk mencapai semua tingkatan di atas, harus dimiliki empat kualitas, yaitu: (1) kemampuan dan semangat yang kuat, (2) ilmu-ilmu yang hakiki dan pengetahuan yang esensial-substansial, (3) malu akan kebodohan dan kekurangwaspadaan, dan (4) tekun melakukan kebajikan.
3.    Pendidik dan Subjek didik
Ibn Maskawaih mengelompokkan pendidik kepada orang tua, guru atau filsuf, pemuka masyarakat, dan raja atau penguasa. Ibn Maskawaih menjelaskan bahwa kewajiban orang tua mendidik anak-anak mereka supaya menaati syari’at dan seluruh sopan santun dengan berbagai cara.
Menurut Ibn Maskawaih, guru atau filsuf adalah penyebab eksistensi intelektual manusia karena pendidikan yang mereka berikan dan ilmu yang mereka kembangkan. Tugas pemuka masyarakat, yaitu pertama, meluruskan dan memandu manusia dengan ilmu-ilmu rasional dengan melatih daya-daya analisis potensinya. Kedua, memandu manusia dengan keterampilan praktis sesuai dengan kemapuannya.
Pengertian subjek didik bagi Ibn Maskawaih cukup luas, yaitu semua orang yang memperoleh atau memberikan bimbingan, bantuan, dan latihan dari orang lain, baik berupa ilmu pengetahuan maupun keterampilan guna mengembangkan diri. Menurutnya, manusia memiliki watak yang berbeda. Ada yang memiliki sifat baik sejak awal dan ada juga yang tidak memiliki sifat tersebut. Akan tetapi, pembawaan sifat tersebut dapat berubah, jika ia memiliki kesungguhan untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Jika perbedaan watak ini diabaikan, setiap orang akan tumbuh sesuai dengan watak individunya yang tabi’i, di sinilah letak pentingnya pendidikan agama.
Ibn Maskawaih mengemukakan bahwa respon individu dalam menerima pendidikan ada yang harus dengan paksaan. Ada pula manusia yang responnya sangat mudah dan cepat karena ia mempunyai watak yang baik, potensi unggul.
Mengenai tahapan perkembangan kejiwaan manusia, menurut Ibn Maskawaih, berkembang dari tingkat sederhana pada tingkat yang tinggi. Awalnya, daya yang muncul berhubungan dengan makanan, untuk bertahan hidup lalu berkembang daya yang bersifat syahwiyah, yang membuatnya cenderung pada kesenangan. Kemudian, berkembang daya imajinasi melalui pancaindra, selanjutnya muncul daya ghadhabiyah. Ia mencoba mengatasi apa-apa yang merusak diri dan mencari yang bermanfaat dari dirinya. Setelah itu, muncul secara berangsur daya atau kekuatan natiqah yang ditandai dengan rasa malu. Pada tahap ini, manusia akan merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Pada saat ini jiwa sudah siap menerima pendidikan.
Hubungan pendidik dengan subjek didik haruslah didasarkan pada cinta, kasih sayang, persahabatan, keadilan, kebaikan, dan fadhilah. Hal ini karena menurut Ibn Maskawaih bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus membagi cinta dan kasih sayang, bersahabat, menegakkan keadilan, dan kebaikan serta berupaya memperoleh keutamaan. Untuk itu, dalam pendidikan diperlukan komunikasi dua arah (interaksi) dan multiarah (transakasi).[31]
4.    Fungsi Pendidikan
Menurut Ibn Maskawaih, fungsi pendidikan adalah sebagai berikut:
a.    Menanamkan akhlak mulia
Bagi Ibn Maskawaih, pembentukan akhlak mulia merupakan tujuan pendidikan, sekaligus sebagai fungsi pendidikan. Nilai-nilai akhlak mulia yang perlu ditanamkan dan dibiasakan itu pada aspek rohani seperti jujur, tabah, sabar, dan lain-lain. Juga pada aspek jasmani seperti adab berpakaian, berbicara dan lain-lain.
b.   Memanusiakan manusia
Ibn Maskawaih menyatakan bahwa tugas pendidikan adalah menundukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang termulia. Selain itu, pendidikan bertugas mengangkat manusia dari tingkat terendah pada tingkat tinggi.
c.    Sosialisasi individu manusia
Ibn Maskawaih menyatakan bahwa kebajikan dan malakah manusia itu sangat banyak jumlahnya, dan seorang individu tidak dapat mencapainya sendirian. Sejumlah individu harus bersatu untuk mencapai kebahagiaan bersama sehingga satu sama lainnya saling menyempurnakan. Masing-masing individu menjadikan dirinya seperti satu tubuh yang saling menunjang.[32]
Manusia menurut Ibn Maskawaih, tidak dapat mandiri dalam menyempurnakan esensi dan subtansinya sebagai insan tanpa berintegrasi dengan individu lainnya. Oleh karena itu, diperlukan segala bentuk hubungan sosial lainnya, diantaranya melalui interaksi pendidik-subjek didik dalam proses pendidikan.
5.    Materi Pendidikan
Ibn Maskawaih tidak menjelaskan dengan tegas materi apa yang harus diajarkan kepada subjek didik. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa ia menekankan meteri pendidikan itu haruslah bermanfaat bagi terciptanya akhlak mulia dan menjadikan manusia sesuai dengan substansi serta esensinya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Ibn Maskawaih membagi ilmu pada dua kelompok: ilmu-ilmu mulia (al-Ulum asy-Syarifah) dan ilmu-ilmu yang hina (al-ulum ar-radi’ah). Pembagian martabat ilmu tersebut sesuai dengan substansi dari objek ilmu yang ada di alam ini. Ilmu-ilmu tentang manusia (seperti ilmu pendidikan, ilmu kedokteran, dan lain-lain) adalah lebih mulia dari ilmu tentang hewan, dan ilmu-ilmu tentang hewan lebih mulia dari ilmu-ilmu mengenai benda mineral (al-Jamadat).[33] Ia lebih menekankan mempelajari al-ulum al-aqliyah karena itu berkaitan langsung dengan substansi, eksistensi, dan kualitas manusia.
Mengenai urutan yang harus diajarkan pada subjek didik, yang pertama sekali adalah kewajiban syariat sehingga subjek didik terbiasa. Kemudian, materi yang berhubungan dengan akhlak sehingga akhlak dan kualitas terpuji merasuk dalam dirinya, dan terbiasa dengan perkataan yang benar dan argumentasi yang tepat. Kemudian, meningkat setahap demi setahap pada materi ilmu lainnya sehingga subjek didik mencapai tingkat kesempurnaan.[34]
Bagi Ibn Maskawaih, ilmu itu tiada batasnya. Ia berkembang dan harus digali terus-menerus tanpa mengenal lelah sehingga ditemukan kebenaran hakiki, yakni kebenaran yang bersumber dari pemilik ilmu-ilmu itu, yaitu Yang Maha Berilmu.[35]
6.    Metode dan Alat Pendidikan
a.    Metode alami (tabi’iy)
Sebagaimana diuraikan terdahulu, bagi Ibn Maskawaih, setiap individu mempunyai perbedaan dengan individu lainnya, termasuk tahapan perkembangannya. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budi pekerti harus berjenjang, setahap demi setahap sehingga sampai pada kesempurnaan.
Dengan demikian, ide pokok dari metode alami ini adalah dalam pelaksanaan kerja dan proses mendidik itu hendaknya didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan manusia lahir batin, jasmaniah dan rohaniah. Setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia membutuhkan pemenuhan psiko-fisiologis, dan cara mendidik hendaknya memperhatikan kebutuhan-kebutuhan ini sehingga sesuai tuntunan tahapan pertumbuhan dan perkembangan setiap pribadi.
b.   Nasihat dan tuntunan sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih menyatakan, supaya anak menaati syari’at dan berbuat baik, diperlukan dan nasihat dan tuntunan. Subjek didik tidak terarah pada tujuan pendidikan yang diharapkan jika mereka tidak diberi nasihat dan pengajaran lainnya.
Dalam al-Qur’an, apa yang dikemukakan Ibn Maskawaih banyak ditemukan, seperti dalam surat Luqman: 13-19. Ini menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidik dengan subjek didik.
c.    Ancaman, hardikan, pukulan, dan hukuman sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih mengindikasikan banyak sekali yang dapat dilakukan dalam mendidik, seperti tertera di atas dan dilaksanakan secara akurat sesuai dengan tuntutan yang diperlukan.[36] Artinya, jika subjek didik tidak melaksanakan tata nilai yang telah diajarkan, mereka diberi sanksi berbagai cara sehingga mereka kembali pada tatanan nilai yang ada. Akan tetapi, pemberian sanksi harus bertahap dalam pelaksanaannya, yaitu ancaman, hardikan, kemudian pukulan (bersifat jasmani), dan hukuman (baik bersifat jasmani maupun rohani).
d.   Sanjungan dan pujian sebagai metode pendidikan
Ibn Maskawaih menandaskan, jika subjek didik melaksanakan syari’at dan berprilaku baik, dia perlu dipuji.[37] Selanjutnya, Ibn Maskawaih menyatakan, jika ia didapati melakukan perbuatan yang melanggar syari’at dan budi pekerti mulia, anak didik jangan langsung dicerca, apalagi di depan orang banyak.
e.    Mendidik berdasarkan asas-asas pendidikan
Pemikiran Ibn Maskawaih dalam Tahzib mengenai asas-asas pendidikan antara lain: asas bertahap, perbedaan, kesiapan, gestalt, keteladanan, kebebasan, aktivitas, keadilan, cinta, dan persahabatan serta pembiasaan dan pergaulan.
Dalam asas kesiapan, Ibn Maskawaih menyatakan bahwa manusia mempunyai bermacam-macam kesiapan untuk memperoleh bermacam-macam tingkatan. Dengan model kesiapan ini, manusia mempunyai harapan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Hanya saja, hal ini tidak sama untuk semua individu.[38]
Asas Gestalt adalah mendahulukan pengetahuan yang umum kemudian merincinya. Ibn Maskawaih menandaskan jika mengetahui yang universal, maka akan mengetahui yang partikularnya, karena partikular itu tidak dapat terpisah dengan yang universalnya.[39]
Asas keteladanan adalah pemberian contoh yang baik bagi subjek didik, kecenderungan manusia untuk meniru menyebabkan keteladanan menjadi penting artinya bagi pendidikan.
Asas kebiasaan bagi Ibn Maskawaih sangat penting dan menjadi perhatiannya. Dikatakannya, subjek didik boleh bebas memilih, apakah menjadi makhluk mulia atau menjadi makhluk hina seperti binatang, atau menjadi manusia sederajat malaikat, bahkan menyatu ddengan Tuhan. Itu semua terserah pada manusia sebagai subjek dari pendidikan.[40]
Asas pembiasaan adalah upaya praktik dalam pembinaaan dan pembentukan subjek didik. Ibn Maskawaih berulang-ulang menyatakan untuk membiasakan berbuat baik dan taat kepada orang tua, guru dan pendidik, biasakanlah untuk tidak berbohong, sering berjalan, bergerak, rekreasi, oalh raga dan seterusnya.[41]
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa asas-asas pendidikan dari pemikiran Ibn Maskawaih didasari oleh hakikat jati diri subjek didik sehingga sangat penting untuk dipahami dan diterapkan dalam usaha pendidikan.
VIII.  Analisis
a.    Analisis Masa Lalu
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa, Ibn Maskawaih adalah seorang tokoh Islam Humanis, yang mana dalam pemikiran-pemikirannya menjelaskan di bidang etika yang di dalamnya membahas jiwa manusia dan akhlak manusia baik dari jenisnya maupun sifat-sifatnya. Ibn Maskawaih juga merupakan seorang filosof yang sangat kritis terhadap kehidupan sosisal pada masyarakat saat itu. Beliau mendapat julukan sebagai “Bapak Filsafat Etika Muslim” dan Bapak Psikologi Pendidikan Muslim”. Selain itu, ia juga seorang sejarawan, sastrawan, dan pendidik.
Pemikiran Ibn Maskawaih, khususnya mengenai filsafat, sebagian besar sama dengan para filosof sebelumnya, seperti Plato dan Aristoteles, namun beliau lebih kritis, dikatakan lebih kritis karena ia tidak hanya mengikuti pendapat yang telah ada, tetapi ia menyesuaikannya dengan kondisi masyarakat pada masanya.
Pemikirannya yang paling menonjol adalah mengenai filsafat moral/ akhlaknya. Dalam hal ini, beliau berbeda pendapat dengan para filosof Yunani yang menjadi sumber filsafatnya. Oleh karena itulah, Ibnu Maskawaih sangat memperhatikan pendidikan, terutama pendidikan anak-anak.
Sebagai seorang penulis, Ibnu Maskawaih adalah seorang yang produktif yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Beliau juga sangat memperhatikan pergaulan sosial. Karena dari situlah akan muncul cinta dan saling peduli. Itu sebabnya beliau mengecam orang zuhud, yang dianggapnya melarikan diri dari pergaulan sosial dan persoalan-persoalannya.[42]
b.   Analisis Masa Sekarang
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang tujuan dan fungsi pendidikan dapat dijadikan sumbangan sehubungan dalam upaya dan mencari format   pendidikan yang Islami, tiga tujuan yang dicetuskannya masih sangat  relevan dengan sistem pendidikan sekarang, dimana  penyelenggaraan pendidikan selama ini lebih berorientasi terhadap persaingan sosial ekonomi global sehingga menyebabkan keringnya  pendidikan dari nilai–nilai moral   dan Agama.
Ibnu Maskawaih merupakan filosof pertama yang membahas masalah akhlak. Hal ini membuka cakrawala baru bagi para filosof yang hidup setelah beliau seperti Ibnu Sina dan al-Ghazali. Dari beliau-beliau inilah muncul konsep-konsep kependidikan yang diterapkan pada pendidikan yang senantiasa berkembang saat ini. Dan konsep-konsep tersebut masih relevan untuk diterapkan dalam sistem pendidikan sekarang, hingga terwujudlah cita-cita pendidikan yaitu terwujudnya pribadi susila, berwatak yang lahir dan perilaku-perilaku luhur atau berbudi pekerti mulia.[43]
Dari ketiga fungsi dan tujuan pendidikan yang digagas oleh Ibn Maskawaih, kalau kita kaitkan dengan pendidikan sekarang ada sisi positif sebagai kontribusi pemikiran untuk mencari format pendidikan yang semakin Islami. Begitu juga diantaranya yang perlu kita pertimbangkan mengingat perputaran waktu dan kondisi yang berbeda.
Adapun sisi yang perlu dikembangkan dari gagasan Ibn Maskawaih walau bagaimanapun juga pendidikan hendaknya tidak mengenyampingkan pendidikan moral. Kalau kita mencoba bercermin dari krisis ekonomi yang baru ini melanda bangsa kita sebetulnya diawali oleh krisis moral dimana penyelenggaraan pendidikan hanya berorientasi  pada persaingan ekonomi global, sementara garapan moral sebagai pengejawantahan agama kurang mendapat perhatian seakan-akan hanya sebaatas pengajaran materi sebagai pelengkap bukan penanaman pendidikan moral yang mengarah kepada kedewasaan dan tanggung jawab, atau dengan kata lain pendidikan hanya hmenunjukkan “learning for knowlaedge” tidak “learning to be person”.
Sebagai akibat dari arah pendidikan yang mengenyampingkan peranan moral manusia telah terkooptasi pada sebuah realitas yang menjadikan posisi dan kedudukannya hanya hseharga dengan sebuah barang (materi), makro kosmos otak manusia modern telah terkontaminasi pada imbas modern secara global, sehingga lajur dan konstruksi pemikiran mereka hanya mengikuti jiwa terendah yaitu kesenangan dunia.
Hal yang perlu kita pertimbangkan kaitannya dengan pendidikan sekarang, gagasan Ibn Maskawaih terkesan terlalu menekankan pada aspek normatif, ritualistik dan eskatatologis. Suatu problematika pendidikan selama ini dalam kenyataannya perlu hadirnya pendidikan moral, namun disisi lain menurut iadanya ukedinamisan sesuai kemajuan zaman yang semakin global. Salah satu solusinya pendidikan khususnya pendidikan Islam harus dapat imengembangkan etika dan moral keagamaan yang mempunyai relevansi dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingg tujuan dan cita-cita pendidikan Islam akan tercapai yaitu, “transfer of knowledge” dan “transfer of value”.[44]
Di  antara  beberapa  tawaran  pemikiran  tersebut  ialah  Posisi pendidikan Islam harus berada dalam posisi yang equalibrium; selain  transfer of knowledge dan juga harus   dibarengi dengan transfer of values. Pendidikan Islam (khususnya pesantren) mau menerima  kehadiran  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi,  karena pada  dasarnya kemajuan ilmu dan teknologi sesuai dengan cita- cita setiap muslim yaitu; kebaikan di dunia dan di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. Jakarta: al-Amin Press.

Dardy, Ahmad. 1986.  Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Agama, 1987. Ensiklopedia Islam I. Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan  Agama Islam.


Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press.

Mahmud, 2011. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Murtiningsih, Wahyu. 2009. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta: Insan Madani.

Ramli, 2015. Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Upaya Mencari Format Pendidikan Yang Islami (Kajian Pemikiran Ibnu Miskawaih). Jurnal EL-FURQONIA Vol.1 No.1

Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam. Pekalongan: STAIN Press.

Syah Nasution, Hasyim. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Syarif, M. 1998. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Yusuf Musa, Muhammad. 1963. Falsafah Akhlaq fil Islam. Qahirah: Muwasatul Khanji.

Nur Hamim, 2014. Pendidikan  Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih Dan Al-Ghazali”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18, Nomor 1.


[1] Departemen Agama, “Ensiklopedia Islam I, (Jakarta: Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan  Agama Islam, 1987), hlm. 353. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, “Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam”, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 13.
[2] Ibid ., hlm.353. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit., . . .
[3] Sedangkan dalam buku karya M. Sugeng Sholehuddin, “Reinventing Kepemimpinan dalam Pendidikan Islam”, (Pekalongan: STAIN Press, 2010), hlm. 14, disebutkan bahwa nama lengkapnya yaitu Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih, lebih dikenal dengan nama Ibn Maskawaih. Beliau dilahirkan di Ray, sebuah kota di sebelah selatan Teheran di Persia (Irak), pada tahun 330 H (941 M) dalam buku karya Dr. Muhammad Yusuf Musa, “Falsafah Akhlaq fil Islam”, (Qahirah: Muwasatul Khanji:1963), hlm. 74. Ada juga yang mengatakan pada tahun 320 H (932 M), Selain itu ada yang berpendapat tahun 325 H (937 M).
[4] Wahyu Murtiningsih, “Biografi Para Ilmuwan Muslim”, (Yogyakarta: Insan Madani, 2009), hlm. 179-180.
[5] Hasyim Syah Nasution, “Filsafat Islam”, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 57.
[6] Ahmad Dardy, “Kuliah Filsafat Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 37. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 16.
[7] Mahmud, “Pemikiran Pendidikan Islam”, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), cet. ke-1. hlm. 277-278.
[8] Ahmad Dauny, ibid., hlm. 61. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 16.
[9] M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 20.
[10] M. M. Syarif, “Para Filosof Muslim”, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 88. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 17.
[11] Wahyu Murtiningsih, op., cit., hlm. 180.
[12] Departemen Agama, “Ensiklopedi Islam I …, hlm. 354. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 18.
[13] Busyairi Madjidi, “Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim”, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), hlm. 34. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit.,  . . .
[14] Ibid, hlm. 34. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit.,  . . .
[15] Departemen Agama, “Ensiklopedi Islam I, …, hlm. 354. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 18.
[16] M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., … hlm. 18.
[17] Ibnu Miskawaih, Menuju  Kesempurnaan  Akhlak”,  ter.  Helmi Hidayat (Bandung: Mizan 1994), 35. Dalam Nur Hamim, “Pendidikan  Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih Dan Al-Ghazali”, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, Volume 18, Nomor 1 (Juni) 2014, hlm. 12.
[18] Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 55-58. Dalam Mahmud, ibid., hlm. 278.
[19] Mahmud, ibid., hlm. 279.
[20] Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 18-19. Dalam Mahmud, ibid., hlm. 279.
[21]Ramli, Pendidikan Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Upaya Mencari Format Pendidikan Yang Islami (Kajian Pemikiran Ibnu Miskawaih)”, Jurnal EL-FURQONIA Vol. 1, No. 1 Agustus 2015, hlm. 3.
[22] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Jakarta: al-Amin Press, 1997), hlm. 30. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., hlm. 19.
[23] Majid Fachry, Sejarah Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), hlm 268. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, loc. cit., …
[24] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, hlm. 32. Dalam M. Sugeng Sholehuddin, op. cit., …
[25] Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 161-162. Dalam Mahmud, ibid., hlm. 280.
[26] Ibn Maskawaih, “Tahzib”…, hlm. 37-39. Dalam Mahmud, ibid., hlm. 280.
[27] Beliau lebih menekankan adanya kehendak Allah, tetapi perbaikannya diserahkan kepada manusia dan bergantung pada kemauannya. Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 39-41. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 281.
[28] Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 42. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 281.
[29] Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 2-3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 281.
[30] Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 282.
[31] Ibn Maskawaih, “Tahzib”, … hlm. 3. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 284.
[32] Terma “Al-Insan Madaniyyun bi At-Tabi’i” sering digunakan untuk istilah tersebut karena kebahagiaan manusia terletak dalam interaksinya dengan manusia lain dan karena ia dapat menemukan nikmat itu pada dirinya. Lihat, Ibn Maskawaih, Tahzib . . ., p 159, 164, dan 182. Bandingkan, idem, Al-Hawamil wa Sawamil, Kairo: t.p., 1370/1951, p, hlm. 69, 70 dan 87, serta idem, al-Fauz . . ., p, hlm. 52-53.
[33] Ibn Maskawaih, Tahzib…, hlm. 44-45. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 285.
[34] Ibn Maskawaih, Tahzib…, hlm. 60. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 285.
[35] Ibid., hlm. 208. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 286.
[36] Ibid., hlm. 42. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 286.
[37] Ibid., hlm. 69-70. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[38] Ibid., hlm. 46. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[39] Ibid., hlm. 49. Dalam Mahmud, loc. cit., hlm. 287.
[40] Ibid., hlm 55-56. Dalam Mahmud, op. cit., hlm. 288.
[41] Ibn Maskawaih, Tahzib …, Dalam Mahmud, loc.cit., hlm. 288.
[42] M. Sugeng Sholehuddin, op., cit., hlm. 21.
[43] M. Sugeng Sholehuddin, loc., cit., hlm. 21.
[44] Ramli, “Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan dalam Upaya mencari Format Pendidikan yang Islami (Kajian Pemikiran Ibn Maskawaih)”, Jurnal, El-Furqonia, vol. 01, No. 1 Agustus 2015, hlm. 178-179.