Sabtu, 27 Februari 2016

Tasawuf sebagai Paradigma Spiritual dan Akhlak


TASAWUF SEBAGAI PARADIGMA SPIRITUAL DAN AKHLAK
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(Mahasiswa PASCASARJANA STAIN Pekalongan)
2015

ABSTRAK
Akhlak merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dan Allah SWT. (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia tidak lahir berdasarkan keturunan atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang, yakni melalui pendidikan akhlak. Sedangkan bidang akhlak memang membicarakan tatakrama atau etika perbuatan lahir dan perbuatan batin, termasuk di dalamnya adalah ajaran tasawuf, karena Islam memberikan tempat bagi penghayatan keagamaan secara lahiriah, dan juga secara batiniah. Penghayatan lahiriah dilakukan dengan fiqh/ syari’at, sedangkan penghayatan secara batiniah dilakukan dengan tasawuf.
Adapun praktek bertasawuf adalah menyandangkan sifat-sifat terpuji sekaligus menanggalkan sifat-sifat tercela, melaksanakan semua perintah agama sekaligus menjauhi larangannya, dan senantiasa berdzikrullah untuk mempertajam hati serta menjernihkan relung batin dan ruhani. Untuk itu, dalam ilmu tasawuf dipelajari berbagai pengalaman pengetahuan yang menyangkut gejala hati, etika hati, proses penjernihan relung batin dan penjernihan cahaya ruhani serta bebagai hal yang menyangkut kelancaran suluk (proses perjalanan spiritual) menuju wujud hakiki Allah swt.





PENDAHULUAN
Pada dasarnya, hakikat tasawuf adalah upaya para ahlinya untuk mengembangkan semacam disiplin (riyadhah)—spiritual, psikologis, keilmuan, dan jasmaniah—yang dipercayai mampu mendukung proses penyucian jiwa atau hati sebagaimana diperintahkan dalam kitab suci. (Haidah Bagir, 1999: 7).
Adapun menyangkut faktor lahirnya tasawuf, dijelaskan oleh HM. Amin Syukur dalam bukunya Intelektualisme Tasawuf (2002: 33) bahwa terdapat perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Masehi atau Nasrani. Meskipun tasawuf berkembang secara Islami, tetapi tidak tertutup kemungkinan ada sedikit pengaruh luar, terutama Nasrani.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Sementara itu, Abul A’la Afifi (dalam HM. Amin Syukur, 2002: 34) mengklasifikasikan pendapat sarjana tentang faktor tasawuf ini menjadi empat aliran. Pertama, dikatakan bahwa tasawuf berasal dari India melalui Persia. Kedua, berasal dari asketisme Nasrani. Ketiga, dari ajaran Islam sendiri. Keempat, berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjadi satu konsep.
Meskipun demikian, kita paham, bahwa inti ajaran Islam adalah usaha pencapaian keridlaan Tuhan dan kesalehan, sehingga kehidupan pemeluk Islam terfokus pada dua hal itu. Dalam sejarah tradisi Islam sendiri muncul dua model pencapaian keduanya, yaitu: model syari’ah dan hakikat. Jika yang pertama lebih menekankan prosedur ibadah, yang kedua lebih terfokus pada usaha batin walaupun pada umumnya yang dilakukan dengan tata cara tertentu yang dikenal dengan tarekat.





PEMBAHASAN
A.  Pengertian Tasawuf, Spiritual dan Akhlak
Para ulama berbeda pendapat tentang akar kata tashawwuf  ini:[1]
1.    Berasal dari kata shofi yang artinya suci, karena kesucian hati para sufi (pengamal tasawuf) dan kebersihan tindakannya.
2.    Berasal dari kata shaff yang artinya barisan, karena para sufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih baris terdepan dalam shalat berjama’ah.
3.    Berasal dari kata shuffah yang artinya serambi, karena para sufi di zaman Nabi bertempat tinggal di serambi rumah beliau hingga mereka disebut Ahlis Shuffah. Tempat ini masih diabadikan sampai sekarang, yaitu di sisi utara makam Rasul dalam Masjid Nabawi di Madinah.
4.    Berasal dari kata Shafwah yang artinya terpilih, karena para sufi adalah orang-orang pilihan Allah disebabkan ketulusan amal mereka kepada-Nya.
5.    Berasal dari kata Shuuf yang artinya bulu domba, karena para sufi biasa memakai pakaian dari bulu sebagai lambang kerendahan hati dan kesederhanaan mereka.
Kemudian Al-Qanuji mengutip pendapat Imam Qusyairi, bahwa kata tashawwuf adalah laqab (sebutan, gelar, istilah), jadi tidak perlu dicari akar katanya.[2]
Karena perbedaan tentang akar kata tersebut, maka menjadi sulit untuk dirumuskan definisinya. Adapun definisi-definisi yang ada dan ditemukan dari berbagai literatur yaitu dirumuskan berdasarkan pengalaman batin para ulama sufi antara lain:
1.    Syaikh Junaid Al-Baghdadi (wafat: 297 H/ 910 M), yaitu “membersihkan hati dari sifat-sifat hewani, menekan sifat-sifat basyariyah, melawan hawa nafsu, menegakkan sifat ruhaniah, berpegang pada ilmu kebenaran, memberi nasihat kepada umat, benar-benar menapati janji kepada Allah dan mengikuti syari’at Rasulullah saw”.
2.    Syaikh Ruwaim (wafat: 303 H/ 916 M), yaitu: “kemerdekaan bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya”.
3.    Syaikh Abdul Qasim Al-Qusyairi, yaitu: “ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, berjuang melawan nafsu, mengendalikan syahwat, dan menghindari sifat meremehkan ibadah”.
4.    Syaikh Ma’ruf Al-Karkhi (wafat: 200 H/ 816 M), sebagai guru Al-Junaid, yaitu: “ketidak pedulian terhadap duniawi dan mengabaikan apa yang di tangan orang lain”. Pengertian senada juga dikemukakan oleh Syaikh Dzin Nun Al-Misri (wafat: 246 H/ 861 M) dan Syaikh Al-Syibli (wafat: 334 H/ 946 M).[3]
5.    Syaikh Al-Jurjani, yaitu: “sifat teguh dan memegangi adab syar’iyah secara lahir dan batin, sehingga dari lahir muncul hikmah pada batin dan dari batin muncul hikmah pada lahir, maka seseorang menjadi sempurna dengan dua macam hikmah tersebut”.[4]
Dari beberapa pengertian dapat disimpulkan bahwa “tasawwuf adalah proses penyucian hati dalam diri seorang hamba (makhluk) dari beberapa kotoran/ penyakit hati, seperti hawa nafsu dan syahwat yang dapat mejadikannya jauh dari nur rahmat dan nur hidayah supaya ia menjadi hamba yang senantiasa mendekatkan diri kepada (Sang Khaliq) tanpa memperdulikan apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri dan tidak adanya satir yang menjadi penghalang antara Sang Khaliq dan Makhluk sebagai predikat seorang hamba yang sempurna.
Kemudian kata thariqah artinya jalan atau methode. Berdasarkan makna harfiah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa thariqah (tarekat) adalah sebuah methode atau cara untuk melakukan suluk (perjalanan spiritual menuju Allah swt). dalam artian teknis, thariqah adalah cara melaksanakan tasawuf. Imam Al-Jurjani mendefinisikan thariqah sebagai berikut:
الطريقة هي السيرة المختصة بالسالكين إلى الله تعالى من قطع المنازل والترقي في المقامات
Yang artinya: “thariqah adalah prosesi khas bagi orang-orang yang bertandang menuju Allah swt dengan melintas beberapa post pemberhentian guna menerobos naik pada posisi tertentu”.
Sedangkan spiritual dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aliran filsafat yang mengutamakan kerohanian.[5] Di dalam paradigma spiritual tidak terlepas dari sebuah pemahaman suluk, yang mana merupakan perjalanan atau yang dijalani oleh seseorang dalam perjalanan hidup menuju ke alam berikutnya dengan cara menempuh suatu sistem dan metode tertentu, Amatullah amstrong menyebutnya sebagai perjalanan di jalan spiritual menuju Sang Sumber. Ia merupakan metode perjalanan melalui beberapa keadaan (ahwal), dan kedudukan (maqam) di bawah bimbingan seorang guru spiritual (syeikh, mursyid).[6]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa kata akhlak berarti budi pekerti, kelakuan.[7] Secara singkat, definisi akhlak dalam bahasa Arab mempunyai arti perangai, kebiasaan, watak, peradaban yang baik atau agama.[8]
Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.[9]
Akhlak diartikan sebagai ilmu tata krama, ilmu yang berusaha mengenal tingkah laku manusia, kemudian memberi nilai perbuatan baik atau buruk sesuai dengan norma-norma dan tata susila.[10]
Akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga ia akan muncul secara spontan apabila dibutuhkan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta tidak memerlukan dorongan dari luar. Dalam pembahasan tentang akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak, yaitu istilah etika, moral dan susila.[11]
Dengan kata lain bahwa akhlak adalah suatu sifat yang timbul dari gejolak hati yang telah melalui proses penyaringan melalui akal yang akan menghasilkan sebuah formula baru yang berwujud tingkah laku atau prilaku seseorang dalam menjalani fase kehidupannya hingga sampai pada batas waktu yang telah ditetapkannya.

B.  Korelasi Tasawuf dengan Spiritual dan Akhlak
Para ulama pada umumnya mengelompokkan ajaran Islam menjadi tiga bidang, yaitu bidang aqidah, bidang syari’at, dan bidang akhlak. Bidang aqidah membicarakan seluk beluk kenyakinan atau theologi dan puncaknya adalah iman. Syari’at membicarakan hukum-hukum yang menyangkut amal perbuatan lahiriah, mulai dari urusan ibadah, muamalah, hingga urusan pemerintahan negara. Sedangkan bidang akhlak membicarakan tatakerama atau etika perbuatan lahir dan perbuatan batin, termasuk di dalamnya adalah ajaran tasawuf.
Pengelompokan tersebut adalah pengelompokan bidang studi. Adapun dalam pengamalan ajaran Islam, tentu tidak mungkin dilakukan pembidangan dalam arti dilakukan secara parsial, misalnya seseorang hanya mengamalkan aqidah tanpa yang lain, atau syari’ah saja tanpa akhlak. Ibnu Ajibah menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah yang paling unggul, katanya, “karena ia merupakan pengendali syari’ah, pedoman thariqah, dan sumber cahaya hati”.[12]
Pengamalan agama harus dilakukan secara komprehensif dengan tiga bidang di atas. Misalnya ibadah shalat, dalam pelaksanaannya tentu mengandung unsur aqidah dan adab, meskipun kompetensi utamanya adalah syari’at. Kemudian tawakkal yang pelaksanaannya juga harus sesuai dengan ajaran aqidah dan rambu-rambu syari’at, meskipun kompetensi utamanya adalah akhlak.
Pengamalan ajaran agama yang dilakukan secara parsial, mengakibatkan amal tersebut tidak sempurna atau tidak sah sama sekali, karena yang terjadi di sini bukanlah pengamalan ajaran agama tetapi pengamalan sebuah bidang studi. Melakukan tasawuf tanpa syari’ah dapat berakibat tersesat, karena tidak memperhatikan batasan-batasan hukum yang telah ditentukan, sedangkan mengamalkan syari’ah tanpa tasawuf maka akan kehilangan ruh, dan agama akan tereduksi oleh aturan fiqh yang bersifat formalitas serta kering dari nilai-nilai ruhaniah.
Sebagaimana yang telah dikatakan Imam Maliki yaitu;
مَنْ تَفَقَّهَ وَلَمْ يَتَصَوَّفْ تَفَسَّقْ , وَمَنْ تَصَوَّفَ وَلَمْ يَتَفَقَّهْ تَزَنْدَقْ , وَمَنْ تَفَقَّهَ وَتَصَوَّفَ تَحَقَّقْ
Artinya: “Barang siapa mentaati fiqh tanpa tasawuf maka dia menjadi fasiq, dan siapa yang bertasawuf tanpa memegangi fiqh maka menjadi mistis, dan siapa yang mentaati fiqh dan tasawuf maka ia mendapatkan kebenaran hakiki”.[13]
Dari keterangan di atas bisa disimpulkan bahwa syari’ah dan tasawuf tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Syari’at bagaikan suatu jasad dan tasawuf seperti nyawa (ruh). Jasad tanpa nyawa, maka tidak akan bisa hidup. Sedangkan nyawa tanpa jasad, maka tidak akan terwujud. Implementasi tasawuf harus dalam bingkai syari’ah, dan pengamalan syari’at harus dalam pengendalian tasawuf. Sehingga pada akhirnya seorang muslim harus mampu memperkokoh iman, mengimplementasikan ajaran syari’at dalam kehidupannya secara konsekuen dan bertasawuf sebagai pengendali keduanya.
Akhlak yang mulia dalam agama Islam adalah melaksanakan kewajiban-kewajiban, menjauhi segala larangan-larangan, memberikan hak kepada Allah, Makhluk, sesama manusia dan alam sekitar dengan sebaik-baiknya.[14]

C.  Hakikat Tasawuf
Hakikat Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi, diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak  alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
D.  Sumber Tasawuf[15]
Kenapa gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi/'in? Kenapa tidak muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf. Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada, bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang Khaliq.
Ketika kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan, mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah). Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu Hasyim as-Shufi (w. 150 H).
Ibrahim Basyuni, sebagaimana disebutkan oleh Amin Syukur (2000: 12) mengklasifikasikan definsi tasawuf ke dalam tiga carian yang menunjukkan elemen-elemen. Pertama, Al-bidayah, kedua, Al-Mujahadah, ketiga, Al-Mazaqat.
Elemen pertama sebagai unsur dasar dan pemula, mengandung arti bahwa secara fitri manusia sadar dan mengakui bahwa semua yang ada ini tidak dapat menguasai dirinya sendiri karena di balik yang ada terdapat realitas mutlak. Elemen ini dapat disebut sebagai tahap kesadaran tasawuf. Contohnya adalah definisi yang dikemukakan oleh Ma’ruf al-Karkhi: “Tasawuf adalah mencari hakikat, dan memutuskan apa yang ada pada tangan makhluk.”
Elemen kedua sebagai unsur perjuangan keras, karena jarak antara manusia dan Realitas Mutlak yang emngatasi semua yang ada bukan jarak fisik dan penuh rintangan serta hambatan, maka diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jalan dan jarak tersebut dengan cara menciptakan kondisi tertentu untuk dapat mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak.
Elemen ketiga mengandung arti manakala manusia telah lulus mengatasi hambatan dan rintangan untuk mendekati Realitas Mutlak, maka ia akan dapat berkomunikasi dan berada sedekat mungkin di hadirat-Nya serta akan merasakan kelezatan spiritual yang didambakan.

E.  Tokoh dan Aliran Tasawuf[16]
Kita mengenal ada banyak tokoh tasawuf. Pada masa pembentukannya, yakni dalam abad I Hijriah muncul Hasan Basri (w. 110 H) dengan ajarah khauf-nya. Kemudian pada akhir abad I Hijriah, Hasan Basri diikuti oleh Rabi’ah al Adawiyah (w. 185) seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hub al-ilah). (HM. Amin Syukur, 2002: 19).
Pada masa pengembangannya, yakni pada abad III dan IV Hijriyah tasawuf sudah mempunya corak yang berbeda sama sekali dengan abad sebelumnya. Pada masa ini tasawuf sudah bercorak kefanaan (ekstase) yang menjerumus ke persatuan hamba dengan khaliq. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami (261 H) dan al-Hallaj, yang merupakan yang pertama kali menggunakan istilah fana’. Corak pemikiran tasawuf Abu Yazid ditentang keras oleh Ibn Taymiyah, sang pendekar ortodox, yang dengan lantang menyerang ajaran-ajaran sufi yang dianggap menyeleweng dari syariat Islam. (HM. Amin Syukur, 2002: 30-31).
Kemudian pada abad VI dan dilanjutkan abad VII hijriah, muncul cikal bakal orde-orde (tarekat) sufi kenamaan. Antara lain tarekat qadariyah yang dikaitkan dengan Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), tarekat Suhrawardiyah yang dicetuskan Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Tarekad Syadziliyah, yang dikaitkan dengan Abu Hasan Al-Syadzili (592-656 H), Tarekat Badaqiyah yang dikaitkan dengan Ahmad Al-Badawi (596-675), dan tarekat Naqsyabandiyah yang dikaitakan kepada Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al-Bukhary (717-791 H). (HM. Amin Syukur, 2002: 30)
Lalu, pada masa pemurnian muncullah nama-nama seperti Ibn Araby, Ibn Faridh, Jalaludin ar-Rumi dan sebagainya. Masa ini dianggap sebagai masa keemasan gerakan tasawuf secara teoritis mapun praktis (HM. Amin Syukur, 2002: 30).

F.   Macam-macam Tasawuf[17]
1.    Tasawuf Akhlaki (Tasawuf Sunni)
Tasawuf akhlaki identik dengan tasawuf sunni. Dalam hal landasannya, tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) ini berpijak pada Al-Qur’an dan As-sunnah. Orientasi dari tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) ini adalah pembentukan akhlak yang mulia (mahmudah) dalam mencari hakikat kebenaran, mewujudkan manusia yang mengenal dan dekat kepada Allah (ma’rifah). Teori-teori dari tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) ini sederhana dan mudah dipahami, serta tidak dimasuki oleh unsur-unsur filsafat.
Tokoh-tokohnya antara lain:
a.    Hasan Al-Bashri
Nama lengkap dari Hasan Al-Bashri adalah Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasir. Ia adalah seorang zahid yang amat mahsyur di kalangan tabiin. Ia adalah putra dari Zaid bin Tsabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi Muhammad SAW, sedangkan ibunya adalah hamba sahaya Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad SAW. Hasan Al-Bashri dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H atau bertepatan dengan tahun 632 M. Dan beliau wafat pada hari Kamis tanggal 10 Rajab tahun 110 H atau bertepatan dengan tahun 728 M.
Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, Hasan Al-Bashri menggunakan dua cara. Pertama, beliau mengajak murid-muridnya untuk menghidupkan kembali masa salaf, yaitu masa ketika para sahabat Nabi Muhmmad SAW masih hidup, terutama sahabat Umar bin Khattab yang selalu berpegang teguh kepada kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Kedua, beliau menyerukan kepada murid-muridnya untuk lebih bersifat zuhud dalam menghadapi kemewahan dunia.
b.    Al-Muhassibi
Nama lengkap dari Abu Abdillah Al-Harits bin Asad Al-Muhassibi. Beliau dilahirkan di Bashrah, Irak pada tahun 165 H atau bertepatan dengan tahun 781 M dan meninggal pada tahun 243 H atau bertepatan dengan tahun 857 M. Al-Muhassibi adalah seorang sufi dan ulama besar yang menguasai beberapa bidang ilmu, seperti tasawuf, hadits dan fiqh. Beliau merupakan figur seorang sufi yang dikenal senantiasa menjaga dan mawas diri terhadap perbuatan dosa. Ia juga sering mengintrospeksi diri menurut amalan-amalan yang pernah dilakukannya.
Al-Muhassibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya, meneladani rasulullah.
c.    Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin Hawazin. Ia dilahirkan di Istiwa, kawasan Naisabur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya pada tahun 376 H. Al –Qusyairi memiliki seorang guru sufi terkenal bernama Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, ia juga belajar fiqh kepada seorang faqih Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi yang wafat pada tahun 405 H, dan mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr bin Farauk yang wafat pada tahu 406 H. Selain berguru pada Abu ‘Ali Ad-Daqqaq berguru pada Abu Ishaq Al-Isfarayini yang wafat pada tahun 418 H.
d.   Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi Asy-Syafi’i Al-Ghazali. Beliau dilahirkan di kampung Ghazlah, sebuah kota di Khurasan, Iran pada tahun 450 H atau yang bertepatan pada tahun dengan 1058 M. Ayahnya seorang ahli tasawuf yang saleh, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil. Sebelum meninggal ayahnya menitipkan kedua putranya kepada seorang ahi tasawuf untuk mendidik dan membimbinganya.
Pada mulanya Al-Ghazali belajar kepada Imam Ar-Razakani di Thus, lalu ia menuntut ilmu di Jurjan kepada Syekh Abi Al-Qasim Ismail bin Mas’adah Al-Islamiy Al-Jurjani, seorang pengikut madzab Syafi’i dan seorang sastrawan. Pada tahun 473 H ia pergi ke Naisabur untuk belajar fiqh, logika, dan ushul kepada Imam Al-Haramayn,  Abu Al-Ma’ali Al-Juwani.
2.    Tasawuf Irfani
Di samping tasawuf akhlaqi yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, ada juga tasawuf irfani yang tingkatannya lebih tinggi lagi. Ini tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Ini tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Tokoh-tokoh sufi yang termasuk ke dalam aliran tasawuf irfani adalah Rabi’ah Al-Adawiyyah dengan konsep mahabbah-nya, Dzu An-Nun Al-Mishri dengan paham ma’rifat-nya, Anu Yazid Al-Bustami dengan paham fana’ dan baqa’, dan Abu Manhsur Al-Hajja dengan paham Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud.
Berikut ini dikemukakan biografi tokoh-tokoh tasawuf irfani dan ajaran-ajarannya:
a.    Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada 185 H/801 M. Rabi’ah Al-Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwiyatkan bahwa ketika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka ?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
b.    Dzun An-Nun Al-Mishri
Dzun An-Nun Al-Mishri dalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya adalah Abu Al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzun An-Nun Al-Mishri, ia dilahirkan di Ikhmim dataran tinggi Mesir tahun 180 H/796 M dan meninggal pad tahun 246 H/856 M. Al-Mishri adalah pelopor paham ma’rifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson-dan Abd. Al-Qadir dalam falsafah Ash-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam.
Pertama, ia membedakan antara makrifat sufiyah dan makrifat aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang keduan menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Mishri, ma’rifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) sebab ma’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak zaman azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Mishri merupakan genosisme ala Neo-platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menu teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandan sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falasafah dalam tasawuf.
3.    Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriah. Masih menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar akibat banyak istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini.
Diantara tokoh-tokoh aliran tasawuf falsafi adalah Ibn Arabi, Al-Jilli, Ibn Sab’in, dan Ibn Massarah;
a.    Ibn Arabi
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Beliau dilahirkan di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H. Setelah berusia 30 tahun, Ibn ‘Arabi mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita).
Guru-guru dari Ibn ‘Arabi tersebut banyak memengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Selain itu, ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn ‘Arabi juga pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, seorang filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari Alomohad di Cordova, Spanyol.
Beliau juga dikabarkan mengunjungi Al-Marriyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Massarah, seorang sufi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia, Spanyol.
b.    Al-Jilli
Nama lengkap dari Al-Jilli adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jilli. Beliau dilahirkan di Jillan (Gillan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia pada tahun 1365 M dan wafat tahun 1417 M. Nama Al-Jilli diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Beliau adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Sebuah sumber mengatakan bahwa beliau pernah melakukan perjalanan ke India pada tahun 1387 M. Kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Jailani, seorang pendiri dan pemimpin dari tarekat Qadariyah yang sangat terkenal. Di samping itu, beliau juga berguru kepada Syekh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M. Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, seperti dalam hadis berikut yang artinya: “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”.
c.    Ibn Sab’in
Nama lengkap Ibn Sab’in adalah ‘Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr, seorang sufi yang juga filosof dari Andalusia. Dia terkenal di Eropa karena jawaban-jawabannya atas pernyataan Fredik II, penguasa Sisilia. Dia dipanggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin, terkadang dia dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217 M-1218 M) di kawasan Murcia. Ibn Sab’in adalah seorang penggagas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhana saja, yaitu wujud lainnya adalah satu alias Wujud Allah semata, sedangkan wujud lainnya  hanyalah wujud Yang Satu semata. Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang tetap.

KESIMPULAN
Praktek tasawuf sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, meskipun istilah tentang tasawuf baru muncul pada akhir abad ke I Hijriah. Istilah tasawuf sendiri terdapat perbedaan tentang asal-usulnya, tetapi yang paling tepat berasal dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
Sebenarnya tasawuf dan syari’at memiliki tujuan yang sama yaitu taqarrub kepada Khalik (Allah) tetapi dengan jalan yang berbeda. Oleh karena itu secara historis perkembangan tasawuf mengalami dinamika dalam perjalanannya. Adapun periodesasi perkembangan tasawuf, dimulai dari masa pembentukan, masa pengembangan, masa konsolidasi, masa falsafi, dan terakhir masa pemurnian. Sementara, secara ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Ada pula yang membagi tasawuf, menjadi tiga bagian, yakni tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi.
Adapun tokoh-tokoh terkemuka di dunia tasawuf diantarnya adalah Hasan Basri (w. 110 H), Rabi’ah al Adawiyah (w. 185), Abu Yazid al-Busthami (261 H), Ibn Arabi, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Tasawuf juga memunculkan sekte-sekte, yang kemudian dikenal dengan istilah tarekat. Di antara tokoh-tokoh tarekat yang terkenal antara lain Abd. Qadir al- Jailani (471-561 H), Syihabu al-Din Umar Ibn Abdillah al-Suhraardi (539-631 H), Abu Hasal Al-Syadzili (592-656 H), Ahmad Al-Badawi (596-675), dan Muhammad Ibn Bahau Al-Din al-Uwaisi al Bukhary (717-791 H).
Jelaslah bahwa ajaran tasawuf, adalah bagian dari kekayaan khazanah Islam. Ia bukanlah aliran sesat. Karena sejatinya, tokoh-tokoh sufi berpendapat ajaran tasawuf harus bersendikan al-Qur\'an dan Hadis. Diluar itu ditolak!
Tasawuf, seperti dinyatakan Syeikh Yusuf al-Qaradhawi, adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam. Karena misi tasawuf memperbaiki akhlak. Dan akhlak jelas sekali bagian dari Islam. Karena Nabi Muhamad Saw diutus untuk menyempurnakan akhlak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran. Jakarta: Amzah.

Abudin Nata, Abudin. 2012.  Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.

Ajibah, Ibnu. Tt. Liqodhul Himam. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.

Ajibah, Ibnu. Tt. Risalah Qusyairiyah, Muqaddimah. Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.

Al-Habsyi, Husain. Tt. Kamus Al-Kautsar. Surabaya: Assegaf.

Aliy As’ad, Aliy. 2014. Menyelami Samudra Hikmah Al-Hikam (Terjemah Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari. Kudus: Menara Kudus.

Al-Jurjani. Tt. At-Ta’rifah, Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah.

Al-Qanuji, Ahadiq bin Hasan. Abjadul Ulum II.

Chusnan BDJ, 2015. Urgensi Suluk dalam Kehidupan Muslim. Pekalongan: Unggul Press.

Ebta Setiawan, KBBI offline, Versi 1.5, freeware © 2010-2013.

Muchson dan Samsuri. 2013. Dasar-Dasar Pendidikan Moral. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Nur Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter (Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Ibnu Ajibah, Liqodhul Himam, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah), hlm. 28.
[2] Al-Qanuji, Ahadiq bin Hasan, Abjadul Ulum II, hlm. 105.
[3] Ibnu Ajibah, Risalah Qusyairiyah, Muqaddimah, dan Al-Qanuji, ibid, hlm. 155.
[4] Al-Jurjani, At-Ta’rifah, hlm. 19.
[5] Ebta Setiawan, KBBI offline, Versi 1.5, freeware © 2010-2013.
[6] Dr. Chusnan BDJ, Urgensi Suluk dalam Kehidupan Muslim, (Pekalongan: Unggul Press, 2015), hlm. 2.
[7] Ebta Setiawan, Op. Cit.,
[8] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter (Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 27.
[9] Muchson dan Samsuri, “Dasar-Dasar Pendidikan Moral”, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 21.
[10] Husain Al-Habsyi, “Kamus Al-Kautsar” (Surabaya: Assegaf, tt), hlm. 87.
[11] Nur Hidayat, “Akhlak Tasawuf”, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 8.
[12] Ibnu Ajibah, loc. Cit., …
[13] Aliy As’ad, Menyelami Samudra Hikmah Al-Hikam (Terjemah Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah As-Sakandari, (Kudus: Menara Kudus, 2014), hlm. 16-17.
[14] M. Yatimin Abdullah, “Studi Akhlak dalam Perspektif al-Quran” (Jakarta: Amzah, 2007), hlm. 2.
[15] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 181-189.
[16] Op. Cit., hlm. 19-21.
[17] Op. Cit., hlm. 269-276.