Jumat, 21 Oktober 2016

Telaah Praktik Pembelajaran Karakter (Telaah Kitab Ta'lim Muta'allim)



TELAAH PRAKTIR PEMBELAJARAN KARAKTER
(Telaah Kitab Ta’limul Muta’allim)
Oleh:
IMAM SYAFI’I         (2052115026)
Mahasiswa Pascasarjana Magister Pendidikan Agama Islam
IAIN Pekalongan
2016
ABSTRAK
Pengarang kitab Ta’limul Muta’allim melihat kebanyakan penuntut ilmu di zamannya mempelajari ilmu dengan tekun, tetapi mereka tidak dapat mencapai target bahkan terhalangi dari manfaat dan buahnya karena mereka menyalahi prosedurnya dan meninggalkan syarat-syaratnya, barangsiapa yang salah jalan ia tersesat dan tidak akan meraih keinginannya sedikit maupun banyak, timbullah keinginanku untuk menerangkan kepada mereka cara belajar sesuai yang telah aku lihat di buku-buku dan yang telah aku dengar dari guru-guruku yang berilmu dan bijaksana dengan harapan aku mendapat do’a dari orang-orang yang tulus menginginkannya agar aku selamat di hari kiamat.
Kitab Ta’limul Muta’allim sebagai materi pembelajaran karakter pencari ilmu di dalamnya dibagi menjadi beberapa pasal, antara lain: definisi ilmu dan fiqih serta keutamaannya, niat ketika belajar, memilih bidang ilmu, guru, teman dan ketekunan, mengagungkan ilmu dan ulama, tekun dan semangat, memulai belajar, pengaturannya dan urutannya, tawakkal, waktu mencari ilmu, kasih sayang dan nasihat, mengambil faidah, bersikap wara’ saat belajar, hal-hal yang dapat memperkuat hafalan dan yang menyebabkan kelupaan, serta hal-hal yang dapat mendatangkan rizqi dan yang dapat mencegahnya, yang dapat menambah umur dan yang dapat menguranginya.

Kata Kunci: Kitab Ta’limul Muta’allim, Pembelajaran Karakter.

Saat ini kita berada di tengah pusaran hegemoni media, revolusi iptek tidak hanya mampu menghadirkan sejumlah kemudahan dan kenyataan hidup bagi manusia modern, melainkan juga mengundang serentetan permasalahan dan kekhawatiran. Teknologi multimedia misalanya, yang berubah begitu cepat sehingga mampu membuat informasi cepat didapat, kaya isi, tak terbatas ragamnya, serta lebih mudah dan enak untuk dinikmati. Namun di balik semua itu, sangat potensial untuk mengubah cara hidup seseorang, bahkan dengan mudah dapat merambah ke bilik-bilik keluarga yang semula sarat norma susila.[1]
Kemudian meningkatnya perhatian terhadap pendidikan akhlak itu disebabkan ketidakmampuan negara dalam mengatasi masalah minuman keras, kriminaliatas, kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis.[2]
Disinilah akhlak harus berbicara, sehingga mampu menyaring ampas negatif teknologi dan menjaring saripati informasi positf. Dengan otoritas yang ada dalam akhlakul karimah, seorang akan berpegang kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan akhlak, sedangkan pondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah akidah yang kokoh. Akhlak, pada hakikatnya merupakan manifestasi akidah. Akidah yang kokoh berkorelasi positif dengan akhlakul karimah.
Sehingga pendidikan nilai-nilai akhlak diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik beretika baik dan mulia. Padahal tujuan pendidikan di anataranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat, beriman dan bertakwa, serta beretika.
Akhlak maupun etika menjadi sesuatu yang sangat penting dan berharga bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, sudah tentu etika yang baik dan mulia (akhlaqul karimah). Mengingat dengan etika akan membentuk watak bangsa yang berkarakter dan memiliki jati diri. Pada masa Presiden Soekarno ketika itu, dalam setiap kesempatan senantiasa mengingatkan tentang arti pentingnya nation and charakter building (pembangunan bangsa dan karakter), karena dengan memiliki karakter, suatu bangsa akan dihargai dan diperhitungkan oleh bangsa manapun di dunia ini.[3]
A.      Biografi
Nama lengkap beliau adalah Tajudin Nu’man bin Ibrahim bin Kholil al-Zarnuji. Zarnuj adalah sebuah bilangan di daerah mā warāan nahar atau yang dikenal dengan transoxania. Beliau menimba ilmu pada Ali bin Abu Bakar al-Farghani al-Marghinani dan Zakiyyudin al-Qorokhi. Beliau termasuk ulama’ besar madzhab Hanafi. Di antara buah karyanya adalah kitab al-Mudhih Syarah kitab al-Maqomat al-Haririah dan Ta’limul Muta’allim Fi Thariqit Ta’allum. Beliau wafat pada hari jum’at 10 Muharram 640 H/1242 M di Bukhara.[4]
B.       Latar Belakang Penyusunan Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam muqodimah Ta’lim Muta’allim beliau menceritakan bahwa latar belakang beliau menyusun kitab tersebut adalah rasa keprihatinan beliau melihat banyak sekali santri yang tidak berhasil dengan gemilang dan bahkan tidak merasakan buah dan manfaatnya ilmu karena sebab jalan yang mereka pilih dalam menuntut ilmu salah. Di dalamnya beliau menyebutkan barmacam-macam bekal yang harus dipersiapkan dan selalu dibawa dalam menempuh perjalanan mencari ilmu agar para santri dan pelajar pada umumnya sampai pada tujuan mereka, yaitu menempuh benderang cahaya ilmu.[5]
Setelah penulis beristikharah kepada Allah mengenai hal ini, penulis memberi judul kitab ini: Ta’limul Muta’allim Fi Thariqit Ta’allum dan penulis membaginya menjadi beberapa pasal, yaitu:[6]
1.         Hakikat ilmu dan fiqih
2.         Niat ketika belajar
3.         Memilih bidang ilmu, guru, teman dan ketekunan/ketabahan
4.         Mengagungkan ilmu dan ahli ilmu (ulama’)
5.         Tekun dan semangat belajar serta tujuan yang mulia
6.         Waktu memulai belajar, pengaturannya dan urutannya
7.         Tawakkal
8.         Waktu mencari ilmu
9.         Sikap kasih sayang dan nasihat menasihati dengan tujuan kebaikan
10.     Mengambil faidah
11.     Bersikap wara’ saat belajar (menjaga dari barang yang haram ketika mencari ilmu
12.     Hal-hal yang dapat memperkuat hafalan dan yang menyebabkan kelupaan
13.     Hal-hal yang dapat mendatangkan rizqi dan yang dapat mencegahnya, yang dapat menambah umur dan yang dapat menguranginya
14.     Menjelaskan sejatinya ilmu dan fiqih dan keutamaannya ilmu
C.      Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’limul Muta’allim
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim Thorīqat Ta’allum dijelaskan bahwa penulis melihat sebagian besar santri pada zamannya banyak yang mencari ilmu dengan bersemangat namun mereka tidak bisa menghasilkan ilmu, mengambil buahnya ilmu dan manfaatnya ilmu yaitu amal dan menyebarkan ilmunya. Sebab orang tersebut salah pada jalannya dan meninggalkan syarat-syaratnya ilmu dan setiap salah jalannya pasti tersesat dan tidak akan mendapatkan apa yang menjadi tujuannya baik sedikit maupun banyaknya. Ibarat orang yang berjalan pada jalan yang salah. Maka penulis menginginkan sekali menjelaskan caranya mencari ilmu sesuai atas apa yang penulis lihat dan ketahui dalam kitab-kitab dan keterangan-keterangan yang telah penulis dengar dari para guruku yang memiliki ilmu dan hikmah. Penulis berharap do’a dari orang yang mencintai ilmu dan ikhlas supaya bisa menjadi orang yang beruntung dan selamat pada hari kiamat.
Penulis meminta kebaikan dari Allah dalam menyusun kitab ini yang diberi nama Ta’līmul Muta’allim Thorīqat Ta’allum. Dan penulis membagi isi materinya menjadi beberapa bab sebagai berikut:[7]
1.         Menjelaskan ilmu dan keutamaannya ilmu fiqih
Ketahuilah, diwajibkannya seorang muslim untuk mencari ilmu, bukan pada setiap ilmu melainkan hanya pada ilmu khaal, yaitu ilmu ushûluddim (ilmu agama dan ilmu fiqih). Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu yang berkenaan dengan agamanya pada setiap saat, baik saat sehat, sakit, bepergian ataupun pada saat di rumah. Misalnya, diperintah shalat maka wajib mengetahui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan shalat. Hal itu karena untuk bisa terlaksananya perkara yang hukumnya wajib dituntut dengan adanya sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.[8]
Adapun penjelasan hakikatnya ilmu adalah suatu sifat yang memperjelas orang yang memilikinya, sedangkan fiqih adalah ilmu untuk mengetahui dalamnya ilmu. Menurut Imam Abu Hanifah, bahwa fiqih adalah ilmu/pengetahuan jiwa tentang sesuatu yang baik atau tidak baik untuk dirinya. Beliau juga berkata bahwa tidak ada ilmu kecuali untuk diamalkan, sedangkan amal adalah meninggalkan dunia untuk akhirat.[9]
Keutamaan ilmu tidak asing lagi bagi siapaun karena ilmu hanyalah dikhususkan bagi manusia sedangkan sifat-sifat lainnya juga dimiliki oleh manusia dan binatang, seperti keberanian, kekuatan kemurahan hati, kasih sayang dan sifat-sifat selain ilmu.[10]
2.         Menjelaskan niat dalam belajar
Hendaknya seorang pelajar berniat dalam menuntut ilmu adalah untuk mencari ridha Allah, bekal di akhirat, membasmi kebodohan dari dirinya dan orang lain, menghidupkan agama dan menegakkan Islam karena Islam akan tegak dengan ilmu, selain itu tidak dibenarkan zuhud dan taqwa yang disertai dengan kebodohan.[11]
3.         Menjelaskan dalam memilih guru, teman dan ketekunan
Hendaknya seorang murid memilih bidang ilmu yang terbaik yang ia butuhkan untuk menjalankan agamanya saat itu, kemudia ia memilih apa yang ia akan butuhkan kelak, dalam hal ini yang perlu ia dahulukan adalah ilmu tauhid dan ma’rifah untuk mengenali Allah dengan dalillnya, karena keimanan seorang muqalid meskipun kami anggap sah tetapi ia akan berdosa bila tidak mempelajari dalil-dalilnya, dan memilih buku yang lama dari pada buku-buku yang baru, guru-guru berkata: “berpedomanlah pada buku-buku lama dan jauhilah buku-buku baru”.[12]
4.         Mengagungkan ilmu dan orang yang mempunyai ilmu
Ketahuilah bahwa seorang yang mencari ilmu tidak akan mendapat ilmu dan tidak akan manfaat dari ilmunya kecuali dengan mengagungkan ilmu dan orang-orang yang berilmu, mengagungkan dan menghormati guru. Tidaklah engkau melihat seseorang tidak menjadi kafir karena bermaksiat, tetapi ia kafir karena meremehkannya dan tidak menghormatinya, di antara penghormatan terhadap ilmu adalah menghormati guru.[13]
5.         Bersungguh-sungguh, tidak pernah bosan dan bercita-cita yang mulia
Kunci utama memperoleh segala sesuatu adalah kesungguhan dan semangat yang tinggi, barangsiapa yang bersemangat menghafal buku-buku karya Muhammad bin al-Hasan Rahimahullah dan disertai dengan kesungguhan dan ketekunan, kelihatannya ia akan menghafal sebagian besar kitabnya atau setengahnya, sedangkan jika ia bersemangat tinggi tetapi tidak sungguh-sungguh atau sebaliknya, maka ia tidak akan memperoleh ilmu kecuali sedikit.[14]
6.         Menjelaskan waktunya memulai belajar, ukuran dan urutannya belajar
Guru kami Syaikhul Islam menetapkan dimulainya belajar pada hari rabu. Adapun mengenai ukuran memulai belajar bagi yang baru belajar disebutkan oleh Abu Hanifah nasihat gurunya agar memulai memahami isi kitab dengan mengulanginya sebanyak dua kali dengan perlahan, setiap harinya ditambah materi pelajaran. Namun bila materinya banyak maka bila diperlukan untuk diulangi maka diulangi pelajaran sebelumnya.[15]
7.         Tawakkal
Seorang santri harus bertawakkal dalam menuntut ilmu, tidak perlu memusingkan masalah rizqi dan tidak perlu menyibukkan hatinya akan masalah dunia, karena orang yang sibuk memikirkan urusan rizqi baik itu sandang dan pangan, jarang sekali ia berusaha untuk mencari akhlak yang baik dan hal-hal yang luhur.[16]
8.         Menjelaskan waktu yang dapat menghasilkan ilmu
Hendaknya seorang murid menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar, bila ia telah bosan dari satu bidang ilmu ia bisa berpindah ke bidang ilmu lainnya. Dan waktu belajar adalah sejak dari ayunan sampai ke liang lahat dan sebaik-baik waktu adalah masa muda, menjelang waktu subuh dan antara maghrib dan isya’.[17]
9.         Menjelaskan kelembutan kasih sayang dan nasihat
Orang yang berilmu harus bersifat kasih sayang, memberi nasihat dan tidak iri karena iri hanya merusak dan tidak bermanfaat. Ia tidak boleh bermusuhan denga siapapun karena hal ini menyia-nyiakan waktunya.[18]
10.     Menjelaskan dalam mencari keutamaan ilmu
Hendaknya seorang santri selalu siap setiap saat untuk mengambil ilmu agar ia mendapatkan kemuliaan. Cara memperolehnya setiap saat ia harus membawah pena agar ia bisa menulis ilmu yang ia dengar. Seorang santri hendaknya mengambil manfaat ilmu dari guru-guru karena bukanlah segala yang hilang bisa dapat kembali.[19]
11.     Wira’i ketika belajar/mencari ilmu
Selama seorang santri semakin wara’, ilmunya akan semakin bermanfaat, belajarnya semakin mudah dan banyak mendapat ilmu. Di antara sifat wara’ yang sempurna ialah tidak makan banyak, tidak banyak tidur, tidak banyak berbicara yang tidak berguna, dan menjaga diri dari makanan pasar sebisanya karena makanan pasar lebih dekat dengan najis dan pengkhianatan, lebih jauh dari menyebut nama Allah dan lebih dekat kepada kelalaian, selain itu mata orang-orang miskin meliriknya tetapi mereka tidak mampu untuk membelinya, dengan demikian hati mereka sakit dan hilanglah keberkahannya.[20]
12.     Menjelaskan perkara yang menjadikan hafal ilmu dan lupa ilmu
Penyebab utama memperkuat hafalan adalah kesungguhan, ketekunan, makan sedikit, shalat malam dan membaca al-Qur’an serta memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi SAW., karena beliau adalah rahmat bagi alam semesta, menggunakan siwak, meminum madu, memakan kemenyan yang dicampur gula, dan memakan 21 kismis merah setiap hari yang dikunyah dapat memperkuat hafalan dan dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Adapun yang menyebabkan kelupaan adalah banyaknya maksiat, banyaknya pikiran dan kesedihan tentang urusan duniawi, serta apa saja yang dapat menambah dahak. Kesusahan akan urusan duniawi dapat menggelapkan hati sedangkan memikirkan ahkhirat dapat menerangi hati, hal ini akan nampak sewaktu shalat.[21]
13.     Menjelaskan sesuatu yang mendatangkan rizqi, yang menghalanginya dan sesuatu yang bisa menambah dan mengurangi umur
Seorang santri perlu mengkonsumsi makanan dan mengetahui hal-hal yang dapat menambah rizqi, yang menambah umur dan kesehatan agar ia dapat lebih konsentrasi menuntut ilmu. Melakukan kemaksiatan dapat menyebabkan terhambatnya rizqi terutama berbohong, karena hal ini menyebabkan kefakiran, dan banyak tidur juga menjadi salah satu penyebabnya.
Penyebab utama yang dapat mendatangkan rizqi adalah menjalankan shalat dengan penuh khusyu’, lengkap dengan rukun-rukunnya, kewajibannya, sunnah-sunnahnya, dan adab-adabnya, mendatangi masjid sebelum adzan, selalu dalam keadaan suci, menunaikan shalat sunnah subuh, dan shalat witir juga dapat mendatangkan rizqi.[22]
D.      Literatur Pembanding
Pembandingnya adalah kitab adabud dunnya waddin, karangan Abi Hasan Ali bin Muhammad, pada tahun 364 M, yang mana dalam kitab ini pembahasannya terdapat akhlak pencari ilmu dan akhlak yang mengajarkan ilmu. kemudian dalam kitab itu tidak fokus pada akhlak, karena di dalamnya juga terdapat pembahasan akal, adab agama (membahas usuluddin, puasa, zakat dll), adab dunia (seperti dalam hal mu’amalah dll), adab terhadap diri sendiri, akhlak yang baik dan lain-lain yang sebagian besar lebih bersifat universal, sungguhpun demikian didalamnya bab terdapat tema-tema kecil seperti pembahasan tentang ilmu, adab orang yang belajar, adab pengajar, syarat-syarat dalam mencari ilmu.[23]
E.       Analisis Kitab Ta’limul Muta’allim
Berdasarkan data-data di atas penulis mengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kitab Ta’līmul Muta’allim Thorīqat Ta’allum, menjadi 4 macam:
1.    Hubungan antara manusia dengan Allah, yang meliputi:
a.    Berdo’a sebelum dan sesudah belajar.
Pelajar memulai dan mengakhiri belajar dengan membaca basmallah, hamdallah, shalawat kepada Nabi dan keluarganya serta para sahabat kemudian meminta pertolongan Allah tentang ilmu.[24]
Jabir bin Abdullah R.A., mengatakan bahwa pada saat turun ayat bismillahirrahmanirrahim, maka awan lari ke timur, angin berhenti, laut bergelombang, binatang-binatang mendengarkan dengan telinganya, dan syaitan-syaitan dilempari dari langit. Allah SWT. bersumpah dengan kemuliaan-Nya bahwa jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan menjadi obat baginya. Jika disebutkan nama-Nya pada sesuatu, maka akan menjadikan keberkahan baginya. Dan barang siapa membaca bismillahirrahmanirrahim dijamin masuk surga.”[25]
Kemudian ada riwayat lain dari Ikrimah mengatakan bahwa Allah menciptakan qalam dan lauh yang pertama kali dan Allah memerintahkan qalam menulis di atas lauh segala sesuatu yang akan terjadi sampai hari kiamat. Maka sesuatu yang pertama kali yang ditulis di atas lauh adalah bismillahirrahmanirrahim. Kemudian Allah SWT. menjadikan ayat ini sebagai jaminan keamanan bagi hamba-Nya yang membacanya. Karena kalimat itu merupakan bacaan seluruh penghuni tujuh langit dan bacaan orang-orang yang selalu menyucikan Allah SWT., yaitu orang yang telah mendapatkan keagungan.”[26]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kalimat bismillahirrahmanirrahim, shalawat atau do’a-do’a dapat menjadikan suatu keberkahan tersendiri bagi para pembacanya dan menjadikan diangkat derajat kemuliaannya serta dapat menjadikannya mudah dalam segala urusannya.
b.    Menjauhi perkara dosa
Kemudian pelajar hendaknya menjauhi beberapa perkara dosa, karena satu dosa merupakan kotoran yang melekat di hati.[27]
Perbuatan dosa membuat hati manusia merasa bersalah dan tidak tenang bahkan bisa membuat hati putus asa sehingga bingung tidak tahu akan lari kemana. Kondisi tersebut membuat pikiran tidak dapat berfungsi dengan sempurna, sebab kondisi kejiwaan sangat mempengaruhi kinerja pikiran.[28]
Imam al-Syafi’i dalam gubahan sya’irnya mengatakan, bahwa: “Aku mengeluh pada Imam Waqi’ akan lemahnya hapalanku, maka beliau menyuruhku untuk meninggalkan maksiat dan beliau memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak akan diberikan pada ahli maksiat.”[29]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hati manusia sering kali berubah, terkadang berangsur-angsur menjadi terang, terasa lapang, ibadah menjadi ringan sehingga belajar juga semakin kuat. Namun terkadang hati berubah menjadi terasa sesak, dunia terasa sempit, ibadah jadi kendor dan akhirnya belajarpun menjadi malas. Hal itu disebabkan karena hatinya telah menjadi gelap dan keras yang merupakan akibat dari dosa yang menumpuk dan nafsu yang memegang kendali kemauan dan gerakan manusia.
c.    Disiplin waktu
Pelajar dapat membagi waktu agar dapat memenuhi hak-haknya waktu sehingga tidak ada waktu yang kosong dan sia-sia dengan memperbanyak untuk mengulang pelajaran di waktu malam terlebih lagi pada waktu sahur agar dapat mengejar para ahli ilmu. Dan Pelajar yang tidak bisa menanggung deritanya (cobaan) mencari ilmu dalam waktu yang pendek, maka pelajar akan berada di kehinaan kebodohan pada waktu yang lama.[30]
Menurut al-Ghazali dalam kitab ihya’ ulumiddin membagi waktu 24 jam menajdi tiga bagian:
1.    8 jam untuk ilmu
2.    8 jam untuk urusan dunia
3.    8 jam untuk urusan akhirat[31]
Kemudian pelajar menghidupkan waktu malam, karena waktu malam itu lebih mulia dari waktu siang. Ibadah yang dilakukan di malam hari jauh lebih besar pahalanya dari ibadah yang dilakukan di siang hari. Pada waktu malam juga terdapat waktu mustajabah. Nabi SAW. bersabda: ”sesungguhnya di malam hari terdapat waktu yang tiada satupun yang saat itu meminta hal dunia maupun akhirat kecuali diberinya. Setiyap malam rahmat Allah turut ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga akhir dari malam dia berkata adakah yang berdo’a, sehingga kukabulkan? Adakah yang meminta sehingga kuberi? Adakah yang meminta ampunan sehingga kuampuni?. Barang siapa mengisi malamnya dengan tidur, maka di hari kiamat ia datang dalam keadaan fakir.”[32]
Malam adalah waktu yang luar biasa. Menurut kyai Nawawi Banten belajar di waktu malam adalah salah satu sebab terbukanya hati dalam memahami ilmu. Waktu malam juga termasuk waktu yang senggang, sepi, dan tenang sehingga sangat cocok untuk mengulang-ulang membaca pelajaran dan menghafalkan.[33]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang yang alim membutuhkan waktu yang tidak sebentar sebab ilmu pengetahuan sangat luas sekali sehingga butuh waktu yang panjang. Tiada yang tahu luasnya ilmu kecuali Allah al-Alim. Sehebat apapun manusia dan selama apapun dia hidup, tidak akan mampu mengumpulkan semuanya.
d.   Niat dan tujuan
Pelajar membaguskan/ memurnikan niatnya dalam mencari ilmu dengan tidak mengharapkan harta benda dan menjauhi dari mencintai kedudukan, dimuliakan manusia serta dipuji oleh manusia agar ia menjadi orang yang mulia, karena pelajar yang mencari ilmu karena Allah, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali perkara dunia dan ia tidak akan mencium baunya surga.[34]
Setiap orang yang menuntut ilmu harus punya niat, karena sahnya amal dengan niat. Niat menuntut ilmu yang utama adalah mencari ridlanya Allah SWT. kemudian di antara niat mencari ilmu yang lain adalah untuk mendapatkan pahala di akhirat, untuk menghidupkan agama Allah yaitu agama islam, untuk melanggengkan agama islam, untuk menghilangkan kebodohan dirinya dan kebodohan orang-orang yang bodoh serta untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan Allah berupa nikmat akal dan kesehatan badan. Dan janganlah berniat untuk mendapatkan perhatian manusia dan untuk mendapatkan harta benda serta dengan niat agar dimuliakan pejabat atau penguasa.[35]
Sebelum berangkat mencari ilmu hendaknya pelajar mengatur niat terlebih dahulu, merenungkan tujuannya mencari ilmu dan menghayati manfaat ilmu yang kelak akan diperolehnya. Dengan demikian niatnya akan menjadi kukuh dan kuat sehingga tidak mudah goyah dan roboh ketika badai cobaan dan ujian menerpanya. Setelah niatnya terasa sangat kuat mengucap di dada kemudian atur dan rencanakan urutan, cara, dan metode dalam belajar.[36]
Pelajar mengamalkan sesuatu yang pernah didengarnya dari beberapa golongan ilmu ibadah dan ilmu akhlak yang utama serta mengajarkan ilmu yang telah diperolehnya walaupun satu kalimat karena Allah Ta’ala, agar ia tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu sehingga mendapatkan laknat dari Allah.[37]
Mengamalkan atau mempraktekkan ilmu termasuk cara yang paling efektif untuk menancapkan ilmu dengan kokoh dalam hati. Ilmu akan terasa berkesan dalam hati setelah diamalkan sehingga tidak mudah hilang. Sufyan al-Tsauri mengatakan bahwa “ilmu memanggil amal, jika ia datang (maka ia akan tetap) namun jika tidak datang ilmu akan pergi.”[38]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa niat dan tujuan dalam mencari ilmu sangatlah penting bagi pelajar agar selama perjalanannya dapat menuai kesempurnaan hidupnya dan mengangkat derajat juga martabat kemanusiaannya.
2.    Hubungan antara manusia dengan sesamanya, yang meliputi:
a.    Akhlak terhadap keluarga, yaitu berbuat baik dan mendo’akan kedua orang tua.
Pelajar berbuat baik terhadap kedua orang tua dengan sungguh-sungguh dan mendo’akan kedua orang tua serta mengirimkan pahala kebaikan setelah wafatnya.[39]
Abdullah bin Umar RA., dia berkata, “seorang lelaki telah datang kepada Nabi SAW. lalu berkata, “sesungguhnya aku ingin berjihad.” Beliau bersabda, “apakah kamu mempunyai kedua orang tua?” dia menjawab, “ya.” Beliau bersabda, berjihadlah dengan melayani mereka.” Adapun cara berbakti kepada mereka adalah dengan mencukupi keperluan mereka, menghindarkan mereka dari hal yang menyakitkan, dan merawat mereka seperti merawat anak kecil. Janganlah bersikap kasar terhadap mereka, janganlah menolak apa yang mereka inginkan, dan menjadikan pelayanan kepada mereka sebagai ganti memperbanyak shalat sunnah dan puasa.
Kemudian memohonkan ampun untuk mereka seusai shalat. Jangan membuat mereka lelah, jangan membebani dan menyakiti mereka, jangan mengeraskan suara melebihi mereka, jangan membantah perintah mereka selama tidak melanggar agama, misalnya perintah untuk meninggalkan suatu perintah yang wajib seperti haji bagi yang mampu, shalat lima waktu, puasa, zakat, nadzar dan tidak pula melanggar dosa seperti zina, minum arak, membunuh, menuduh palsu, dan mengambil harta tanpa sepengetahuan pemiliknya.[40]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berbuat baik dan mendo’akan terhadap kedua orang tua itu wajib karena pahalanya seperti orang yang berjihad dan dilarang membantah kecuali dalam hal ajakan melaksanakan perbuatan yang tidak baik menurut ajaran agama.
b.    Akhlak terhadap masyarakat, antara lain:
1.   Memuliakan dan mengagungkan guru
Pelajar menyakini kemuliaan dan keluhuran seorang guru agar pelajar menjadi orang yang beruntung pada zaman yang akan dihadapinya, sehingga ia mampu bersungguh-sungguh mencari ridhanya guru dan mengagungkan guru dengan hati yang bersih supaya termasuk golongan orang yang utama.[41]
Seorang murid harus memiliki kenyakinan bahwa gurunya sangat ahli dan yang paling unggul di antara sekian ulama’ lainnya agar ia lebih antusias dengan apapun yang ia dengar dari gurunya. Dan murid harus selalu berprasangka baik pada gurunya, jika ada yang menggunjingnya ia harus menghentikannya dan jika tidak bisa, maka segera pergi dan meninggalkan mereka untuk menjaga iktikad pada guru. Selain itu jangan pernah berburuk sangka pada gurunya walaupun yang dilakukan gurunya tidak cocok dengannya, bahkan walaupun tidak sesuai dengan sunnah, beliau lebih paham dan lebih mengetahui rahasia dibalik yang dikerjakannya. Cukuplah kisah Nabi Musa dengan gurunya Nabi Khidhir sebagai contoh pentingnya menjaga hati dari prasangka buruk pada guru.[42]
Memuliakan guru merupakan kewajiban seorang murid, Nabi SAW. telah bersabda yang artinya “pelajarilah ilmu serta belajarlah tenang dan berwibawa dan rendah dirilah pada orang yang kamu belajar darinya.”
Tujuan menghormati guru adalah untuk mengagungkan ilmu beliau dan untuk mendapatkan ridlo beliau. Dalam buku karangan Sayyid Ahmad al-Hasyimi yang berjudul Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah disebutkan bahwa “sesungguhnya guru dan dokter tidak akan tulus jika mereka tidak dimuliakan, maka sabarlah dengan penyakitmu jika kamu meninggalkan dokternya dan terimalah kebodohanmu jika kamu tinggalkan guru.”[43]
Syeikh Ahmad al-Maihiy al-Syaibani dalam kitab Hasyiah Syaibani menyebutkan bahwa “lebih kudahulukan guruku atas diriku sendiri dan orang tuaku walaupun aku memperoleh keutamaan dan kemuliaan dari orang tuaku sebab guruku mendidik jiwaku (ruh) dan ayahku mendidik ragaku sedangkan ruh bagaikan mutiara dan jisim bagaikan wadahnya.”[44]
Kemudian sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata dalam sya’irnya yaitu “aku menyakini bahwa hak yang paling penting adalah hak seorang guru dan merupakan hak yang paling wajib dipenuhi bagi semua umat dan sungguh sangat layak jika seorang guru diberi seribu dirham sebagai penghormatan untuk satu huruf yang beliau ajarkan.[45]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa menyakini kemuliaan dan keluhuran sang guru serta menghormati guru merupakan suatu kewajiban bagi pelajar, karena dalam hal ini menyebabkan ridlanya guru dan salah satu cara dalam mengagungkan pemilik ilmu.
2.   Taat dan tawadlu’
Pelajar duduk dengan tenang, takut terhadap guru dan ilmu serta patuh pada guru dengan menghadap pada guru dan menundukkan kepala saat guru menerangkan sesuatu serta mencatat apa-apa yang belum diketahui agar dapat dipahaminya.[46]
Kemudian di dalam kitab al-Bayan disebutkan bahwa seorang pelajar harus bersikap tawadlu’ (rendah hati) dan sopan kepada guru walaupun gurunya lebih muda, kurang tersohor dan lebih rendah nasab dan kebaikannya daripada dirinya, dengan tawadlu’, maka ia bisa mendapatkan ilmu.[47]
Pelajar menggunakan pekerti yang baik dan budi yang mulia serta sopan santun terhadap orang yang mengajarinya agar mencapai kemuliaan yang tinggi dengan tidak membuat kebosanan pada guru, karena hal itu akan merusak kepahaman dan pekerti yang dapat mencegah dalam mengambil kemanfaatan ilmu. Kemudian ia meminta ijin kepada guru ketika ada halangan untuk tidak masuk dalam belajar dengan menjelaskan halangannya.[48]
Orang yang mengajarimu walau satu huruf yang penting dalam agama, maka dia adalah bapakmu dalam agama, jangan pernah mengatakan, dia mantan guruku, maka ilmumu tidak akan bermanfaat dan tidak akan bisa mendapatkan barokah ilmu dan guru, Jangan pula berjalan di muka guru, jangan menduduki tempat duduknya guru, jangan bertanya sesuatu yang membosankan, jangan mengetuk-ngetuk pintu guru, tetapi bersabarlah hingga guru keluar. Barang siapa yang menyakiti hati guru, maka ia tidak akan bisa mendapatkan barokahnya dan manfaatnya ilmu kecuali sedikit.[49]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa taat dan rendah hati terhadap orang yang mengajari merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi pelajar dalam mencari ilmu, karena hal ini dapat meningkatkan kemuliaan yang tinggi bagi pelajar dan dapat menjaga kepahamannya selama mencari ilmu serta dapat memberi keberkahan dan kemanfaatan ilmu.
3.   Tidak sombong dan tidak minder
Pelajar tidak merasa malu dan sombong terhadap orang yang lebih rendah nasabnya dan umurnya serta lainnya seperti berselisih tentang ilmu dan unggul-unggulan dalam hal ilmu serta menganggap remeh ilmu dengan beralasan ilmu itu mudah, karena orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu sebagaimana air yang tidak akan mengalair ke atas gunung.[50]
Imam as-Syafi’i mengatakan “tidak akan berhasil orang yang mencari ilmu dengan keangkuhan, orang yang akan berhasil mendapatkannya adalah yang mencarinya dengan kerendahan diri dan serba diliputi keterbatasan.”[51]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sifat sombong dan minder yang dimiliki oleh pelajar dapat mencegah rusaknya ilmu dan mempersulit kepahamannya selama mencari ilmu, karena ilmu hanya akan diberikan kepada orang yang memiliki sifat rendah hati dan memiliki sifat percaya diri yang tidak berlebihan.
3.    Akhlak terhadap lingkungannya, yang meliputi:
Pelajar dianjurkan memakan makanan yang halal, memakai pakaian yang bersih dan menggunkan alat belajar yang halal serta menata semua perkara dengan rajin seperti meletakkan sesuatu pada tempat yang tetap agar hatinya menjadi terang dan bersinar.[52]
Abu Hurairah RA. Telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “barang siapa mencari harta secara halal, dengan menjaga harga diri dan tidak meminta-minta untuk mencukupi keluarganya dan mengasihi tetangganya, maka Allah SWT. akan membangkitkannya pada hari kiamat dengan wajah seperti bulan purnama. Barang siapa mencari harta secara halal untuk ditumpuk-tumpuk karena sombong dan pamer, maka dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dalam keadaan Dia murka kepadanya.”[53]
Sungguh, jika salah seorang di antara kamu mengambil tali kemudian menuju ke suatu lembah untuk mencari kayu lalu datang ke pasarmu untuk menjualnya dengan satu mud kurma, itu lebih baik baginya daripada meminta manusia, baik mereka memberinya atau tidak memberinya.”[54]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terang dan bersinarnya hati disebabkan oleh penggunaan apa-apa yang ada dalam diri pelajar yaitu dengan sesuatu yang bersifat halal dan baik serta bersih juga rapi, sehingga ilmu mudah diterima dengan baik.
4.    Akhlak terhadap diri sendiri, yang meliputi:
a.    Menjaga kebersihan dengan bersuci
Apabila hendak masuk pada tempat belajar, maka pelajar dianjurkan bersuci dengan berwudlu, menggunakan pakaian yang bersih dan suci serta berbau harum serta bersiwak agar sesampainya di tempat belajar sudah bagus dan rapi. Kemudian ia mempersiapkan apa-apa yang diperlukan saat di tempat belajar seperti buku, bolpoin dan sebagainya dalam belajar agar tidak mengganggu dalam proses belajar mengajar.[55]
Hal ini sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah SAW. yaitu bahwa wudlu itu sebagian dari iman. Begitu pula hati harus dikosongkan dari akhlak tercela, kemudian diisi dengan akhlak terpuji. Begitu pula mengenai anggota tubuh. Ia harus dikosongkan dari dosa-dosa, kemudian diisi dengan ketaatan. Masing-masing dari tingkatan ini adalah syarat untuk masuk dalam tingkatan selanjutnya. Maka penyucian diawali dengan penyucian lahir, kemudian penyucian roh, hati dan batin.[56]
Tugas pertama pelajar ialah mendahulukan kebersihan jiwa dari akhlak yang rendah berdasarkan sabda Rasulullah SAW. bahwa “Agama didirikan di atas kebersihan.” Bukanlah yang dimaksud kebersihan baju saja, tetapi di dalam hati. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. Al-Taubah: 28), sedangkan najasah tidak khusus mengenai baju.
Maka, selama batin tidak dibersihkan dari hal-hal yang keji, ia pun tidak menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak diterangi dengan cahaya ilmu. Ibnu Mas’ud berkata, “Bukanlah ilmu itu karena banyak meriwayatkan, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang dimasukkan ke dalam hati.”[57]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berwudlu, bersiwak dan menjaga kebersihan baik jasmani maupun rohani sangat dianjurkan bagi pelajar, karena hal ini menyebabkan diterimanya ilmu yang bermanfaat dalam hati bagi pelajar.
b.    Muthola’ah (mengulang pelajaran)
Apabila sepulang dari tempat belajar, sesampainya di rumah pelajar mengulang pelajaran yang baru saja ia dapatkan di tempat belajar sampai pada pelajaran yang berikutnya, begitu pula ketika akan masuk pada pelajaran yang baru agar ilmunya menetap di hati dengan kuat.[58]
Mengasah kemampuan hafalan dengan terus akan meningkatkan volume hafalan secara bertahap. Dalam manaqib Imam Syafi’i yang disebutkan dalam pembukuan kitab al-Umm dikisahkan bahwa Imam Syafi’i ketika beliau telah berkembang beliau dikirim ibunya untuk belajar menulis, namun karena sang ibu tidak mampu membiayainya, maka Syafi’i kecil tidak diurus oleh guru.
Sikap guru tersebut membuat Syafi’i selalu mendekatkan jaraknya dari guru, beliau berusaha menghafal semua yang diajarkan sang guru pada murid-murid. Luar biasa secara bertahap daya ingat al-Syafi’i meningkat sampai pada lefel yang amat mengagumkan, bahkan ketika gurunya pergi Syafi’ilah yang mengajari teman-temanya karena mereka belum hafal apa yang diajarkan oleh sang guru.[59]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa muthalaah (mengulang pelajaran) sebelum dan sesudah belajar sangatlah diperlukan, karena hal ini dapat meningkatkan daya ingat pelajar terhadap ilmu yang telah didapat selama melaksanakan proses belajar mengajar dan akan membuatnya mudah dalam memahami ilmu.
c.    Berkerja keras dan bermusyawarah
Dalam sya’ir kitab ta’lim muta’allim disebutkan bahwa “kemalasan disebabkan sedikitnya membaca tentang keutamaan ilmu.” Oleh karena itu, hendaknya seorang murid menimbulkan kesungguhan dan ketekunan dalam dirinya dengan menelaah keutamaan ilmu, karena ilmu akan tetap kekal selama pengetahuan itu masih ada, sedangkan harta akan habis, seperti yang dikatakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bahwa “kami rela ketentuan Tuhan yang Maha Perkasa pada diri kami, kami memperoleh ilmu dan musuh memperoleh harta, karena harta akan hancur dalam waktu dekat sedangkan ilmu akan kekal selamanya.” Dengan ilmu yang manfaat seseorang mendapat pujian yang indah dan akan terus melekat padanya meski setelah ia wafat karena ilmu itu hidup kekal.[60]
Ada tiga tingkatan bagi manusia dalam bermusyawarah, bertanya dan mengutarakan pendapat:
1.    Seorang yang sempurna, yaitu orang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar dan mau mengutarakannya. Ia sempurna karena meluruskan temannya yang melenceng pemahamannya.
2.    Seorang yang setengah sempurna, yaitu orang yang memiliki pemahaman dan pendapat yang benar namun tidak mau mengutarakannya dan orang yang mengutarakan pendapatnya namun pendapatnya tidak benar, akhirnya dengan musyawarah ia mendapatkan kebenaran.
3.    Orang yang tiada sempurna sama sekali, yaitu orang yang tidak mau mengutarakan pendapatnya dan pendapatnya salah, akhirnya ia tidak memperoleh kebenaran.[61]
Pelajar bersungguh-sungguh dengan sekuat tenaga dalam menghasilkan ilmu seperti bermusyawarah dengan para ahli ilmu agar dapat memperoleh ilmu karena ilmu tidak akan didapat dengan bersanatinya badan dan banyak menganggur dan hidupnya ilmu adalah dengan bermusyawarah. Setelah itu pelajar menghafalkan ilmu per bab/ tiap satu permasalahan samapai ke bab/ permasalahan yang lain dengan pelan-pelan seperti memahami lafadznya, bahasanaya, i’robnya, dan beberapa makna yang diucapkan guru, sehingga ilmu itu akan mudah diingat dan menjadi jelas serta nyata, karena orang yang mencari ilmu dengan borongan/ semua bab, maka hal itu akan membuat repot bagi dirinya dan akan menjadi sia-sia atas apa yang telah dilakukannya.[62]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bekerja keras sangatlah perlu bagi pelajar, karena dalam menjalani hidup ini dianjurkan untuk berusaha sesuai kemampuan dengan kata lain harus berusaha semaksimal tanpa mengeluh dan bosan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara bermusyawarah terhadap orang yang lebih pandai ilmunya agar kemampuan yang dimiliki dapat meningkat.
1.         Kelebihan Kitab Ta’limul Muta’allim
Adapun kelebihan dari kitab Ta’limul Muta’allim menurut penulis adalah sebagai berikut:
a.    Kitab disusun dari sebuah latar belakang yang bersumber dari permasalahan dalam mencari ilmu
b.    Kitab ini dimulai dari menata hati yaitu dengan pembahasan niat atau tujuan dalam mencari ilmu, yang merupakan dasar utama dalam menentukan visi dan misi dalam mencari ilmu.
c.    Lebih fokus membahas pada akhlak orang yang mencari ilmu (peserta didik)
d.   Kitab Ta’limul Muta’allim dimulai dan diakhiri dengan kalimat rasa syukur kepada Allah SWT. dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW., sehingga hal itu dapat memberikan keberkahan (bertambahnya kebaikan) bagi penulis, guru, pencari ilmu dan pembaca.
e.    Kitab Ta’limul Muta’allim merupakan sebuah kitab klasik yang memuat pendidikan akhlak dalam proses belajar mengajar secara ringkas dan specifik.
f.     Kitab Ta’limul Muta’allim ditulis dalam bentuk syair-syair yang bersifat nadhaman sehingga memudahkan anak-anak dan para pencari ilmu untuk menghafalkan dan mempelajarinya.
g.    Kitab Ta’limul Muta’allim disusun secara sistematis dengan meletakkan beberapa bab yang runtut sehingga memudahkan para pencari ilmu dalam memahami kitab tersebut.
h.    Dengan kemudahan dalam memahami kitab Ta’limul Muta’allim, hal itu menjadikan para pencari ilmu mampu mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang ada di kitab Ta’limul Muta’allim dalam kehidupan sehari-hari, terutama terhadap kepribadian pencari ilmu.
i.      Isi dari kitab Ta’limul Muta’allim dapat dijadikan salah satu sumber inspirasi pendidikan dalam membentuk pribadi pencari ilmu (peserta didik) yang memiliki akhlak dan sikap yang baik dalam proses belajar mengajar.
j.      Ada pesan singkat yang memberikan motifasi kepada pencari ilmu yaitu sebagai salah satu langkah yang ditempuh penulis untuk memberikan peringatan agar dapat melaksanakan dan mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah dihafalkan dan dipelajari dalam kehidupan sehari-harinya pada saat proses belajar mengajar maupun bermasyarakat.
2.         Kekurangan Kitab Ta’limul Muta’allim
a.    Penyampaian isi materi masih bersifat universal namun dalam beberapa baitnya sudah menjurus pada specifikasi dalam suatu pembelajaran dan pendidikan
b.    Tidak disamapaikan secara urut metode dalam penyampaian materi atau metode pembelajarannya
c.    Tidak menyampaikan adab seorang guru pada khususnya
d.   Lebih fokus akhlak pada perilaku santri atau pencari ilmu



















DAFTAR PUSTAKA

Abu Aufa al-Dimawi, tt. Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Pekalongan: Hasan bin Idrus.

Ahmad, Masrohan. 2010. Terjemah al-Ghunyah, Jakarta: Citra Risalah.

Baalawi al-Hadad, Abdullah. Tt. Nashaihul Diniyah, Maktabah Toha Putra.

Burhan al-Islam, Imam. Terjemah Ta’limul Muta’allim, Jakarta: CV. Megah Jaya.

Ghazali, Imam. 1995. Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid). Jakarta : Pustaka Amani.

Hadi, Nur. 1978. Terjemah Cara Jawa Kitab Ta’limul Muta’allim, Surabaya: Perpustakaan Ahmad bin Sa’id bin Nabhan.

Khoiri, Alwan, 2005. dkk, Akhlak/ Tasawuf.Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.

Maisur Sindi al-Thursidi, Ahmad, 1987. Ta’limul Muta’allim. Semarang: Karya Thoha Putra.

Maulana al-Tarobani, Ibnu. 2014. Zadul Muta’allim (Pengantar memahami Nadham Ta’limul Muta’allim). Bojonegoro: al-Aziziyyah.

Muchson dan Samsuri. 2013. Dasar-Dasar Pendidikan Moral, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Abu Hamid. Tt. Ihya’ Ulumiddin, Beirut: Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah.

Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Muhammad. Tt. Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul Hidayah, Surabaya: tt.

Niam, Shohibun. 2014. Zadul Muta’allim. Bojonegoro: al-Aziziyyah.

Rahmaniyah, Istighfarotur. 2010. Pendidikan Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan). Malang: Aditya Media.

Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Sayyid Ahmad. Tt. Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah, Surabaya: Maktabah Nurul Huda.

Sunarto, Ahmad. 2012. Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia). Surabaya: al-Miftah.


[1] Alwan Khoiri, dkk, Akhlak/ Tasawuf, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 25.
[2] Muchson dan Samsuri, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 86.
[3] Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di bidang Pendidikan), (Malang : Aditya Media, 2010), hlm. 2-4.
[4] Al-Zarkali, al-‘Alam, Vol. VIII, hlm. 44.
[5] Ibnu Maulana al-Tarobani, Zadul Muta’allim (Pengantar memahami Nadham Ta’limul Muta’allim), (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm. v.
[6] Abu Aufa al-Dimawi, Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Pekalongan: Hasan bin Idrus, tt), hlm. 3-5.
[7] Nur Hadi, Terjemah Cara Jawa Kitab Ta’limul Muta’allim, (Surabaya: Perpustakaan Ahmad bin Sa’id bin Nabhan, 1978), hlm. 4-5.
[8] Imam Burhan al-Islam, Terjemah Ta’limul Muta’allim, (Jakarta: CV. Megah Jaya, 2012), hlm. 1.
[9] Imam Burhan al-Islam, Terjemah Ta’limul Muta’allim…, hlm. 5.
[10] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia), (Surabaya: al-Miftah, 2012), hlm. 25.
[11] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 35.
[12] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 49.
[13] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 70.
[14] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 106.
[15] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 140.
[16] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 154.
[17] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 158.
[18] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 166.
[19] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 174.
[20] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 185.
[21] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 196.
[22] Ahmad Sunarto, Etika menuntut Ilmu (Terjemah Ta’limul Muta’allim Jawa Pegon dan Bahasa Indonesia)…, hlm. 211-212.
[23] Abi Hasan Ali bin Muhammad, Adabud Dunya Waddin, (Indonesia: Kharomain, 1421 H), hlm. 348-350.
[24] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, Tanbihul Muta’allim, (Semarang: Karya Thoha Putra, 1987), hlm. 6.
[25] Masrohan Ahmad, Terjemah al-Ghunyah, (Jakarta: Citra Risalah, 2010), hlm. 301.
[26] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 303.
[27] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 9.
[28] Shohibun Niam, Zadul Muta’allim, (Bojonegoro: al-Aziziyyah, 2014), hlm. 15.
[29] Ahmad Sunarto, Etika Menuntut Ilmu terjemah Ta’limul Muta’allim, (Surabaya: al-Miftah, 2012), hlm. 195.
[30] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 17-18, 20.
[31] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, (Beirut: Maktabah Darul Kutub al-Ilmiah, tt), vol.1, hlm. 80.
[32] Abdullah Baalawi al-Hadad, Nashaihul Diniyah, (Maktabah Toha Putra, tt), hlm. 30-31.
[33] Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Maraqiyul Ubudiyah Syarah Bidayatul Hidayah, (Surabaya: tt), hlm. 40.
[34] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 20-21.
[35] Taufiqul Hakim, op., cit., hlm . 6-11.
[36] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 1.
[37] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 22-23.
[38] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, op., cit., hlm. 88.
[39] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 10.
[40] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 112-113.
[41] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 11-12.
[42] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 94-95.
[43] Sayyid Ahmad al-Hasyimi, Muhtarul Ahadits al-Nabawiyyah, (Surabaya: Maktabah Nurul Huda, tt), hlm. 71.
[44] Ahmad al-Maihi al-Syaibani, Hasyiah al-Syaibani Ala Syarhis Sittin, (Sangkapura: Maktabah Usaha Keluarga, tt), hlm. 2.
[45] Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 71.
[46] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 5.
[47] Taufiqul Hakim, op., cit., hlm. 40-41.
[48] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 12, 18.
[49] Tafiqul Hakim, op., cit., hlm. 15-16.
[50] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 19.
[51] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab, vol. 1, hlm. 35.
[52] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 8-9.
[53] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 94.
[54] Masrohan Ahmad, op., cit., vol. 1, hlm. 95.
[55] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 4.
[56] Imam Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin (Penerjemah: Zaid Husein al-Hamid), (Jakarta : Pustaka Amani, 1995), hlm. 24.
[57] Imam Ghazali, ibid., hlm. 8.
[58] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 7.
[59] Shohibun Ni’am, op., cit., hlm. 18.
[60] Ahmad Sunarto, op., cit., hlm. 108.
[61] Syeikh al-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim, hlm. 14.
[62] Ahmad Maisur Sindi al-Thursidi, op., cit., hlm. 14-16.