Sabtu, 27 Februari 2016

INTERKONEKSI STUDI HADITS DAN ASTRONOMI


INTERKONEKSI STUDI HADITS DAN ASTRONOMI
(Studi Dasar Pijak Teoritis)
Oleh:
IMAM SYAFI’I
(2052115026)
(Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam)

Abstract
Hadits merupakan suatu sumber pokok ajaran Islam. Oleh karena itu hadits tidak hanya menjadi bidang kajian ekslisif ahli-ahli hadits, namun juga memberikan kontribusi substansial. Interkoneksi studi hadits dan astronomi tidak hanya penting bagi pengembangan studi hadits, tetapi juga memberikan kontribusi penting kepada ushul fiqih sebagai metode pemahaman hadits-hadits terkait hukum.
Dalam interkoneksi studi hadits dan astronomi yang disini adalah penggunaan dalam pengertian sempit yaitu sebagai practical astronomy. Kajian yang dimaksudkan adalah suatu bagian dari astronomi yang mempelajari gerak dan posisi geometris benda-benda langit tertentu seperti matahari, bulan dan bumi guna menentukan arah tempat dan waktu di atas bumi.
Pendekatan integrasi dan interkoneksi memiliki dua sisi terpisah yaitu sisi integrasi dan sisi interkoneksi. Dalam integrasi terjadi restrukturisasi ilmu berdasarkan prinsisp-prinsip yang menyangkut paradigma, teori, metode dan prosedur-prosedur tehnis dalam ilmu yang bersangkutan.

Kata Kunci: Interkoneksi, Hadits, dan Astronomi

Beberapa teori yang menjadi landasan pijakan meliputi dua aspek yang berbeda yaitu; Pertama, teori yang menyangkut otentikasi hadits seperti penentuan shahih atau dhaifnya hadits. Kedua, teori yang menyangkut visibilitas hilal guna meramalkan kapan kiranya Nabi saw bersama para Sahabatnya dapat merukyat hilal.[1]
Sedangkan pendekatan interkoneksi dapat dirumuskan sebagai proses pengkajian dalam suatu bidang ilmu dengan memanfaatkan data dan analisis dalam ilmu lain terkait di samping menggunakan data dan analisis ilmu bersangkutan sendiri dalam rangka komplementasi, kofirmasi, kontribusi dan komparasi.[2]
Beberapa Landasan Teoritis
A.  Sanad Hadits dalam Keserjanaan Islam dan Orientalisme
Dalam metodologi hadits umat Islam, unsur sanad merupakan tonggak semua analisis hadits. Analisis matan tidak dapat dilakukan sebelum analisis sanad dapat membuktikan otentisitas sanad hadits. Setelah dibuktikan bahwa sanad sebuah hadits adalah shahih baru analisis matan dilakukan.[3]
Masalah sanad merupakan titik singgung tolak belakang pandangan tentang hadits antara tradisi keilmuan Islam dan kesarjanaan Barat sebagai diwakili oleh beberapa Orientalis. Yang terakhir ini melakukan pengkajian tentang hadits dalam konteks penyelidikan tentang asal mula hukum Islam, dan teori mereka tentang awal mula munculnya hadits adalah konsekuensi dari teori tentang awal mula kelahiran hukum Islam.
Ignaz Goldziher, menyatakan bahwa hukum Islam tidak lahir dari dan tidak merupakan penerapan terhadap sumber pokok berupa al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw yang mengimplikasikan bahwa Sunnah Nabi saw sudah ada sejak masa yang amat dini. Menurutnya hukum Islam berawal dari kayu rakyu yang memiliki peran penting pada abad pertama/ ke tujuh sebagai akibat dari kurangnya bahan-bahan hukum di dalam al-Qur’an dan ketidakcukupan presenden-presenden historis. Penggunaan rakyu yang arbitrer dan tidak definitif menimbulkan reaksi penentangan dengan cara mengutip tradisi-tradisi palsu, akan tetapi tradisi palsu ini sesungguhnya tidak tidak lain dari rakyu juga yang dibungkus dengan baju hadits.[4]
Harald Motzki mencatat tentang pandangan sarjana asal Austria ini dengan komentar bahwa sikap kritis yang berlebihan dan sesungguhnya tergesa-tergesa dari Goldziher terhadap informasi sejarah menyangkut zaman Nabi saw dan Sahabat dalam sumber-sumber biografis menyebabkannya tidak dapat menyatakan apa-apa tentang perkembangan hukum Islam pada abad pertama Hijriah. Oleh karena itu pendapatnya tentang awal mula hukum Islam tampak spekulatif dan hanya sedikit hal yang dapat dikatakannya tentang parohan pertama abad ke-2 H. Oleh karena itu tidak heran apabila ia mencari awal mula perkembangan hukum Islam pada parohan kedua abad ke-2 H, yakni di masa Abbasiah.[5]
Harald Motzki, pengkritik Schacht paling tajam dan paling argumentatif, sebelum melakukan analisis lebih mendalam untuk membuktikan keshahihan hadits dan otentisitas sanadnya secara umum, memberikan beberapa catatan tentang kelemahan metode schacht, ia menegaskan bahwa:
1.    Tidak semua teks yang dibandingkan schacht merupakan elemen diskusi hukum yang mengharuskan penyebutan semua hadits yang digunakan.
2.    Sejumlah kompilasi hadits hanya merupakan seleksi tekstual.
3.    Muatan dari sumber-sumber yang tersisa hanyalah sebagian saja dari keseluruhan stok yang sesungguhnya ada.[6]
Terkait dengan hadits adalah sanad karena sanad merupakan bagian dari hadits. Bertolak belakang dengan sarjana-sarjana Muslim yang berdasarkan pernyataan Ibn Sirn yang dikutip di muka berpandangan bahwa sanad telah digunakan sejak terjadinya fitnah (terbunuhnya khalifah Usman tahun 35/ 656).[7]
Metode yang digunakan Motzki disebutnya sebagai analisis kriteria otentisitas (Criteria of Autenticity), yaitu analisis untuk menemukan unsur-unsur yang menjadi dasar bagi penentuan apakah sumber dan materi yang dilaporkan adalah otentik atau palsu. Analisis kriteria otentisitas ala Motzki ini lebih ditujukan kepada bentuk daripada kepada isi teks al-Musannaf, misalnya; analisis tentang distribusi teks di kalangan sumber-sumber teks itu. Perbandingan rakyu dan hadits, nisbah riwayat yang berasal dari Nabi saw, Sahabat dan Tabi’in, penggunaan dan kualitas rangkaian rawi, terminologi periwayatan, keberadaan pendapat pribadi. komentar-komentar berbeda dan berlawanan terhadap teks, keberadaan periwayatan tak langsung bersama dengan periwayatan langsung, ketidakpastian mengenai kata-kata yang digunakan sumber, laporan tentang adanya perubahan pendapat tentang kontradiksi-kontradiksi, tentang ketidakpastiansumber tentang suatu hukum dan lain-lain.[8]
Motzki menekankan bahwa sanad sesungguhnya secara umum bukan suatu yang secara keseluruhan adalah fiktif dan merupakan hasil rekayasa ceroboh dalam rangka proyeksi doktrin hukum kepada sumber-sumber lebih tua. Penemuan Motzki menunjukkan bahwa rantai sanad adalah alami sealami perjalanan perkembangan materi itu sendiri. Perlu diketahui bahwa penemuan Motzki tidak mengeneralisasi bahwa semua sanad adalah otentik.[9]
B.  Kriteria Otentitas Hadits
Penelitian hadits di lingkungan kesarjanaan Islam meliputi penelitian tentang otentisitas sanad dan penelitian tentang otentisitas matan. Oleh karena itu kriteria otentisitas hadits meliputi kriteria otentisitas matan.
Para ahli hadits telah menyepakati bahwa untuk dinyatakan shahih (otentik), suatu hadits harus memenuhi 5 kriteria, yaitu; 1. Sanadnya bersambung, 2. rawinya adil, 3. rawinya dhabit, 4. bebas dari syuzuz (anomali) dan 5. Bebas dari ilat (cacat tersembunyi).[10]
Apabila kita mencermati penelitian hadits di lingkungan para ahli hadits, maka kritik matan yang mereka lakukan sesungguhnya lebih terfokus kepada kritik format matan dengan melihat apakah matan terbalik, terkontaminasi dengan unsur sisipan, mendapat tambahan, mengalami perubahan dan seterusnya. Di lain pihak fukaha dan ahli ushul fiqh Hanafiah mengajukan suatu model kritik matan yang lebih tertuju pada substansi makna dengan dasar epistemologi koherensi.[11]
Keterkaitan unsur kriteria formal dengan macam-macam hadits terkait dengan unsur bebas dari pertengahan adalah hadits maklub, hadits syaz, hadits mazid, dan hadits mutarib. Terkait dengan unsur pencemaran adalah hadits mudraj. Terkait dengan unsur kekeliruan adalah hadits musahaf dan hadits muharaf. Terkait dengan unsur kontradiksi dan interpenetrasi hadits satu sama lain adalah hadits maklul (mualal). Perlu dicatat bahwa menurut ahli-ahli hadits semua hadits ini adalah dhaif.[12]
C.  Formula Laporan Hadits
Sering timbul pertanyaan tentang laporan Sahabat seperti apa yang dapat dianggap sebagai hadits Nabawi dan bukan qaul sahabi. Para ahli hadits dan ahli ushul fiqih telah membuat rumusan-rumusan untuk menentukan apakah suatu laporan Sahabat itu adalah hadits atau hanya pendapat sahabat belaka. Para ahli hadits dan ushul fiqih membuat kategorisasi dengan melihat formula laporan yang digunakan para Sahabat. Al-Ghazali (w. 505/1111) menyebutkan 5 formula untuk suatu laporan Sahabat dapat dianggap sebagai hadits, yaitu:
1.    Sahabat menyatakan secara tegas bahwa ia mendengar Nabi saw mengatakan sesuatu;
2.    Sahabat menyatakan bahwa Nabi saw berkata;
3.    Sahabat menyatakan Nabi saw memerintahkan atau melarang mereka melakukan sesuatu;
4.    Sahabat menyatakan mereka diperintah atau dilarang melakukan sesuatu (tanpa menyebut otoritas yang memerintahkan atau melarang);
Sahabat menyatakan bahwa mereka pernah melakukan sesuatu di zaman Nabi atau mereka menegaskan bahwa praktik tertentu adalah sunnah.[13]


[1] Syamsul Anwar, “Interkoneksi Studi Hadits dan Astronomi”, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2011), hlm. 7.
[2] Ibid, hlm. 2-3.
[3] Dalam otentikasi hadits, suatu hadits dinyatakan shahih apabila terbukti bahwa hadits itu shahih sanad dan shahih matannya. Penelitian keshahihan hadits dimulai dengan penelitian sanad. Apabila penelitian sanad menemukan bahwa suatu hadits adalah shahih, maka kemudian baru dilanjutkan dengan penelitian matan. Apabila sebaliknya, maka penelitian matan tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu tidak perlu dilanjutkan karena hadits itu telah dinyatakan dhaif sekalipun sesungguhnya matan itu baik sesuai dengan ajaran islam dan asas umum syari’ah.
[4] Ibid, hlm. 9.
[5] Motzki, “The Origins of Islamic Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools (Leiden-Boston-Koln: Brill, 2002) hlm. 11-12.
[6] Schach: The Origin of Muhammadan Jurispundence (Oxford: Oxford University Press, 1959).
[7] Op., Cit., Motzki, hlm 14.
[8] Op., Cit., hlm. 14.
[9] Op., Cit., Syamsul Anwar, hlm. 26.
[10] Nuruddin, “Manhaj an-Naqd fi Ulum al-Hadits (Beirut: Daar al-Fikr al-Mu’asiru”, (Damaskus Dar al-Fiqr, 1997), nlm 242-243.
[11] Syamsul Anwar, “Manhaj Tausiq Mutun al-Hadits ‘Indi Usuliyyi al-Ahnaf”, dalam al-Jami’ah Jurnal of Islamic Studies, Vol 65/VI/2000, hlm. 132-166.
[12] Op., Cit., Syamsul Anwar, hlm. 33.
[13] Lihat masalah ini dalam kitab-kitab Ilmu Hadits dan Ushul Fiqih, misalnya; al-Ghazali,“al-Mustafa min ilm al-Ushul (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H), 104-105; Syuhudi Isamil, Kaidah-kaidah Kesahihan Hadits (Jakarat: Bulan Bintang, 1988) hlm.65-68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar