Senin, 28 September 2015

DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM



DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah         : Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Waryani Fajar Riyanto


Disusun oleh:
Nama                    : Imam Syafi’i
NIM                      : 2052115026


PASCA SARJANA - PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PEKALONGAN
2015
DIMENSI PESANTREN DAN KEBANGKITAN INTELEKTUALISLME ISLAM
Oleh: Imam Syafi’i
(2052115026)
Asal Usul Pesantren
Ada beberapa pendapat berasal dari asal usul kata santri. Menurut A. H. Johns, kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji. Sedangkan C. C. Berg berpendapat bahwa kata santri berasal dari kata Shastri yang berarti orang yang tahu dan memahami kitab suci agama Hindu. Kemudian Jonns mengatakan bahwa kata Shastri itu sendiri berasal dari kata sastra yang berarti buku-buku suci (buku-buku agama) atau buku-buku tentang Ilmu Pengetahuan.[1]
Dari kata santri inilah terbentuklah kata Pesantren. Menurut Struktur Bahasa Indonesia, kata pesantren menunjukkan tempat, yakni tempat untuk mengajar dan mendidik para santri yang hendak mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama (Islam). Menurut Nurkholis Madjid, secara Historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga  makna keaslian Indonesia. Sebab Cikal Bakal lembaga yang dikenal sebagai pesantren dewasa ini sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya.[2]
Pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional dalam arti bahwa ia dalam menyelenggarakan pengajaran dan pendidikannya masih terikat secara kuat kepada pemahaman, ide, gagasan dan pemikiran ulama-ulama fiqh, tafsir, tauhid, dan tasawuf pada abad pertengahan.[3]
Pesantren bukan sekedar merupakan fenomena lokal ke-Jawaan (hanya terdapat di Jawa), akan tetapi merupakan fenomena yang juga terdapat di seluruh Nusantara. Artinya, lembaga pendidikan sejenis pesantren ini dapat ditemukan pula di luar Jawa. Di Aceh ia disebut dayah, dan di Minangkabau ia dinamakan surau. Berbagai penelitian mengatakan bahwa pada awal abad ke-16 pesantren merupakan pusat lembaga pendidikan Islam kedua setelah masjid.[4]
Pondok pesantren bukanlah satu-satunya lembaga pendidikan Islam, sekalipun pesantren adalah bentuk yang melembaga secara permanen di pedesaan. Muhammad Yacub mencatat adanya enam bentuk lembaga pendidikan Islam, yaitu: perguruan formal, pesantren tradisional, majelis taklim, “serikat tolong menolong” seperti kelompok Yasinan, majelis latihan semacam pesantren kilat, dan majelis kultum (kuliah tujuh menit atau ceramah singkat).[5]
Di desa Putukrejo, Malang Selatan, Mukti Ali mencatat adanya lima macam lembaga pendidikan agama di luar perguruan formal dan pesantren, yaitu majlis taklim berupa pengajian rutin setiap bulan, pengajian rutin tiga kali seminggu, kuliah subuh pada jum’at pagi di masjid jami’, jama’ah khataman al-Qur’an, dan jam’ah tahlil.[6]
Pesantren bukan lagi lembaga yang tertutup, esoteris, dan eksklusif. Bahkan Zamakhsyari Dhofier terlalu menyederhanakan pesantren ke bentuknya yang paling tradisional dalam lukisannya tentang pesantren. Dalam buknya “Tradisi Pesantren”, ia menyebutkan adanya lima unsur yang membentuk pesantren, yaitu pondok, masjid, pengajian kitab klasik, santri dan Kiai.[7]
Ketika terjadi “polemik kebudayaan” di tahun 1930-an, pendidikan di pondok pesantren untuk pertama kali dibanggakan sebagai sistem yang tak terpaku pada penumpukan pengetahuan dan pengesahan otak, tetapi juga mementingkan kepribadian, karakter manusia. Di pesantren terleburlah segala kecenderungan dan hasrat kebirokrasian, yang terdapat dalam sistem pendidikan Barat, ke dalam suasana kekeluargaan, antara Kyai dan Santrinya. Dalam perdebatan yang terjadi di saat pergerakan nasional telah mencapai tingkat yang lanjut ini, sistem pendidikan pesantren dibanggakan pula sebagai alternatif yang otentik terhadap sistem kolonial, yang bukan saja dikatakan bersifat intelektualistik, tetapi juga cenderung membentuk manusia yang tidak bebas. Hal ini tampak dengan jelas bahwa pokok perdebatannya bukanlah substansi ilmu yang ingin dikembangkan, melainkan corak produk yang ingin dihasilkan. Inti maslah ialah, bagaimana corak masyarakat dan karakter manusia yang diinginkan di masa depan.[8]
Sementara itu dunia pesantren bukan saja lebih mengalami perubahan, baik sebagai akibat dari dinamika internal maupun sebagai penetrasi dari “dunia luar”, tetapi juga melanjutkan peranan yang cukup besar dalam perkembangan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan Islam yang mana seorang guru dan murid menciptakan suatu suasana kekeluargaan dalam usaha mencari, menggali, dan menyebarkan berbagai ilmu keagamaan. Kemudian pesantren tidaklah bisa terlepas dari masyarakat yang mengitarinya. Peranan yang paling sederhana tentu saja ialah jasa “pelayanan keagamaan” kepada masyarakat sekitar, seperti pembacaan talqin di waktu pembacaan do’a untuk sang mayit. Selain menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, pesantren juga menjadi tempat bagi para remaja yang berdatangan dari tempat-tempat yang cukup jauh untuk menjalani semacam “ritus peralihan” dari situasi remaja ke suasana dewasa.
Dari sudut keagamaan, pesantren adalah tempat mengaji dan mempelajari kitab-kitab dan kadang-kadang juga merupakan tempat di mana intensifikasi peribadatan bisa dilakukan yang terlepas dari kemungkinan adanya unsur heterodoksi dari ajaran yang disampaikan dan praktek ritual yang dijalankan, sebagaimana sering dikecam oleh para ulama ahli fiqh, selain itu cukup banyak juga pesantren yang menjadi pusat-pusat tarekat.
Tak kurang pentingnya dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia ialah peranan pesantren sebagai pusat pemikiran keagamaan. Berbagai buku teks, tafsir, dan lainnya, bahkan kemudian bermacam-macam publikasi majalah dan brosur keagamaan yang dihasilkan oleh pesantren. Pesantren juga menjadi sumber dari pendukung dan pemimpin dari organisasi serta partai yang bernafaskan Islam.[9]
Pertumbuhan dan Perkembangan Pesantren
Dari gambaran di atas dapatlah kita ketahui bahwa akar-akar historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh ke belakang pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia. Ketika para Wali Songo menyebarkan dan menyiarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para Wali Songo itu mendirikan masjid dan padepokan (pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam. Misalnya Raden Rahmat (yang dikenal sebagai Sunan Ampel) mendirikan pesantrennya di daerah kembang kuning (Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairah, dan Kiai Bangkuning.[10]
Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosia-kultural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Faktor-faktor yang menopang untuk menguatkan keberadaan pesantren ini antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1.    Karena agama Islam telah semakin tersebar di pelosok-pelosok Tanah Air, maka masjid-masjid dan pesantren-pesantren semakin banyak pula didirikan oleh Umat Islamuntuk dijadikan saran pembinaan dan pengembangan Syi’ar Islam.
2.    Kedudukan dan Kharisma Kiai dan Ulama (yang memperoleh penghormatan, penghargaan, dan perhatian dari para penguasa pada masa itu) sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan pesantren. Sebagai contoh, pesantren Tegal Sari, di Jawa Timur didirikan pada tahun 1792 atas anjuran Susuhunan II.
3.    Siasat belanda yang terus memecah belah antara penguasa dan ulama telah mempertinggi semangat jihad umat Islam untuk melawan Belanda. Menghadapi situasi ini, para ulama hijrah ke tempat-tempat yang jauh dari kota dan mendirikan pesantren sebagai basis pemusatan kekuatan mereka.
4.    Kebutuhan umat Islam yang semakin mendesak akan sarana pendidikan yang Islami, karena sekolah-sekolah Belanda secara terbatas hanya menerima murid-murid dari kelas sosial tertentu.
5.    Semakin lancarnya hubungan antara Indonesia dan tanah suci Mekkah yang memungkinkan para pemuda Islam Indonesia untuk belajar ke Mekkah yang merupakan pusat studi Islam. Sepulangya dari Mekkah, banyak di antara mereka yang mendirikan pesantren untuk mengajarkan dan mengembangkan agama Islam di daerah asal mereka masing-masing.[11]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial tumbuh diam-diam di pedesaan dan perkotaan. Jumlah lembaga itu ternyata meningkat dari tahun ke tahun. Dalam catatan Departemen Agama jumlah pesantren pada tahun 1977 adalah 4.195 buah dengan santri sebanyak 677.384 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 santri pada tahun 1981.[12]
Menurut buku laporan yang dikeluarkan oleh Departemen Agama pada tahun 1982, jumlah pesantren di Indonesia yang trecatat sebnyak 4.890 pesantren. Dalam rentang waktu selama lima belas tahun kemudian (antara 1982-1997), jumlah pesantren ini akan semakin bertambah banyak sejalan dengan didirikannya pesantren-pesantren di berbagai pelosok tanah Air, terutama di masa orde baru sekarang ini.[13]
Dapat diperkirakan jumlah itu sekarang lebih tinggi, sekalipun angka-angka resmi tidak selalu tersedia. Pencatatan pertumbuhan pesantren mengalami kesulitan karena dua hal. Pertama, tidak adanya kriteria yang jelas mengenai besar kecilnya lembaga yang dapat disebut sebagai pesantren. Di dekat Yogyakarta, di dua desa Mlangi dan Sawahan, Kelurahan Nogotirto, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, misalnya terdapat 20 pesantren yang masing-masing mempunyai santri tak lebih tinggi dari 150 orang, seperti pesantren As-Salafiyah pada tahun 1982/1983. Sementara itu, banyak pesantren yang mempunyai santri lebih dari 2.000 orang, seperti pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Sukorejo, Asembagus-Situbundo, yang mempunyai 2.162 santri; atau Lirboyo-Kediri, yang mempunyai 3.000 santri. Kedua, pesantren-pesantren besar biasanya juga mendirikan sekolah-sekolah agama dan sekolah umum, bahkan universitas, sehingga timbul pertanyaan apakah sekolah/universitas itu termasuk pesantren dan murid/mahasiswanya itu santri juga. Tiadanya kriteria yang memadai ini justru menggambarkan pertumbuhan pesantren dan membuktikan bahwa pesantren responsif terhadap perubahan dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan baru.[14]
Pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang, sekalipun pesantren-pesantren besar yang ada sekarang hanya dapat dilacak asal-usulnya sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Dalam hal ini Zamakhsyari Dhofier telah membuat peta pesantren-pesantren di Jawa dari abad ke-19 dan abad ke-20 yang menunjukkan adanya pemusatan pesantren dengan Jawa Timur sebagai pemegang jumlah terbesar, diikuti secara berurutan oleh Jawa Tengah dan Jawa Barat.[15]
Pengamatan mutakhir tentang pesantren ternyata menemukan bermacam tingkat perkembangan pesantren. Soedjoko Prasodjo et al, menyebut adanya lima macam pola pesantren, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri hanya dari masjid dan rumah Kiai; Pola II terdiri atas masjid, rumah Kiai dan pondok; Pola III terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok dan madrasah; Pola IV terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah dan tempat ketrampilan; Pola V terdiri atas masjid, rumah Kiai, pondok, madrasah, tempat ketrampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.[16]
Perkembangan pesantren sudah dimulai sejak awal abad ke-20 ini. Perkembangan itu meliputi kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat perkembangan sejak 1906 ketika kerajaan Jawa di Surakarta mendirikan Mamba’ul Ulum, tempat mendidik calon-calon pejabat agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama itu. Pada waktu yang hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat. Dalam metode mengajar ada perkembangan dari sistem salaf ke sistem madrasi. Sistem salaf ialah metode mengajar secara tradisional dengan sistem sorogan, yaitu bimbingan individual, dan bandongan, semacam ceramah umum. Dalam sistem salaf tidak ada pembagian ke dalam tingkatan kemajuan belajar, karena masing-masing santri menentukan sendiri kemajuannya dengan menunjukkan kemampuan penguasaan buku-buku kepada Kiai secara perorangan. Dalam sistem madrasi, yang sudah dikenal di Sumatera barat sejak 1907. Dan di pesantren-pesantren Jawa baru pada awal 1920-an, sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatan-tingkatan pendidikan.[17]

Peranan Pesantren dan Kebangkitan Intelektualisme
Soedjono Prasodjo menyebutkan adanya tiga macam jasa pesantren, yaitu: (1) kegiatan tabligh kepada masyarakat yang dilakukan dalam kompleks pesantren. (2) Majlis Ta’lim atau pengajian yang bersifat pendidikan kepada umum, dan (3) bimbingan hikmah berupa nasihat Kiai kepada orang yang datang untuk minta diberi “amalan-amalan” apa yang harus dilakukan supaya mencapai suatu hajat, nasihat-nasihat agama dan sebagainya.[18]
Peranan pesantren tentu bukan tanpa batas. Sepanjang yang menyangkut pembangunan dengan konteks pedesaan, agraris, dan teknologi sederhana, pesantren merupakan tempat persemaian yang baik. Santri-santrinya, dan lembaga pesantrennya sendiri, merupakan agen yang sesuai dengan tingkat kemajuan semacam itu. Namun kita inginmencatat supaya pesantren yang sekarang jangan dijadikan satu-satunya model yang terlalu direalisasikan menjadi sebuah “mitos”. Pembangunan menuju masyarakat industrial memerlukan lembaga yang memadai. Pikiran-pikiran sederhana dan “kecil itu indah” perlu diimbangi dengan pikiran-pikiran tinggi dan besar. Catatan ini hendaknya justru menekankan pentingnya pesantren dalam pembangunan masyarakat desa dan bukan sebaliknya.[19]
Kedudukan Kiai di sebuah pesantren bukan sekedar memberikan pelajaran dan bimbingan keagamaan kepada para santri di pesantrennya, akan tetapi juga berperan sebagai tokoh non-formal yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya. Pendek kata, Kiai berperan sebagai sosok, model atau contoh yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi para santrinya akan tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar pesantrennya. Sosiolog Clifford Geertz mengemukakan bahwa Kiai selain berperan sebagai tokoh masyarakat yang memberikan pelayanan sosial kepada mereka, ia juga berperan sebagai mediator  atas arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri. Dengan demikian, posisi dan peran seorang Kiai yang mampu menjembatani dalam proses transformasi nilai-nilai kultural yang berkembang di tengah-tengah masyarakat ini telah menempatkan Kiai sebagai cultural broker.[20]
Peran Kiai dan Ulama sebagai tokoh masyarakat dapat dilihat, misalnya dalam serangkaian upaya-upaya mereka untuk menyukseskan program-program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. Para Kiai dan Ulama berperan sebagai penerjemah dan komunikator yang bisa menerjemahkan ide-ide, gagasan-gagasan, dan program-program pembangunan ke dalam bahasa agama yang mudah dimengerti dan kemudian mereka sampaikan kepada komunitas yang dipimpinnya. Dengan cara ini, para Kiai dan Ulama sekaligus berperan pula dalam memobilisasi masyarakat Muslim lapisan bawah untuk berpartisipasi dalam program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Fatwa-fatwa agama yang mereka keluarkan telah ikut melegitimasi kebijakan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan, yang atas dasar itu masyarakat Muslim akan dapat menerima kebijakan dan program pembangunan yang diagendakan oleh pemerintah. Hal ini semakin memperjelas peran Kiai dan Ulama dalam proses transformasi sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat.[21]
Dilihat dari perspektif transformasi sosial budaya, sikap para Kiai dan pesantren yang mereka kelola dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Pertama, para Kiai yang mempertahankan nilai ortodoksi Islam dalam sistem pendidika pesantren dengan melakukan usaha-usaha untuk tetap melestarikan tradisi ulama salaf. Oleh karena itu, Kiai ini disebut Kiai salaf dan pesantren yang mereka pimpin disebut pesantren salafiyah. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa yang mereka pertahankan itu adalah nilai-nilai ortodoksi Islam, tetapi mereka tidak menolak perlunya pembangunan fisik pesantren, perangkat atau peralatan pendidikannya. Dengan kata lain, mereka membuka diri terhadap modernisasi dalam rangka membangun sarana dan prasarana pendidikan di pesantren mereka. Kedua, para Kiai yang sudah memasukkan  ilmu-ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pesantren mereka dengan tetap mempertahankan  tradisi dan nilai-nilai ortodoksi Islam.[22]
Memasuki abad 21 nanti, posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional terasa akan semakin penting dan sekaligus akan memiliki peran yang sangat signifikan dan strategis. Sejak paruh kedua abad 20, kajian-kajian serius tentang pesantren telah banyak diminati oleh para mahasiswa, para calon sarjana, para sarjana dan para pakar di berbagai perguruan tinggi, tidak saja di Tanah Air tetapi juga di luar negeri. Bahkan kajian-kajian tentang pesantren secara akademis dan komprehensif telah banyak dilakukan oleh para mahasiswa peserta program S-3 dalam rangka mempersiapkan disertasi mereka. Dengan kata lain, sosok dan dunia pesantren telah menjadi salah satu minat besar para akademisi untuk dijadikan bahan studi dan fokus telaah-telaah ilmiah.[23]
Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, tak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat dalam transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Pengajaran “kitab-kitab kuning” (sebagaimana sering dikatakan orang untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi ciri khas dari proses belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang menekankan penggunaan metode sorogan dan weton. Pelajaran pertama dan utama di pesantren adalah bahasa Arab dengan seluk beluknya (nahwu, sharaf dan ilmu balaghah), karena dengan penguasaan bahasa Arab yang baik para santri akan bisa mengupas dan membahas kitab-kitab klasik yang tidak memakai syakal (kitab-kitab gundul). Dalam hubungan ini, penguasaan “kitab Alfiyah Ibnu Malik” oleh para santri sangat ditekankan.
Selain bahasa Arab, biasanya mata pelajaran lain yang diberikan adalah ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, misalnya kitab-kitab yang dipelajari adalah Fathul Qarib Syarh Matan Taqrib (Ibnu Qasim Al-Ghazi), Fathul Mu’in Syarh Qurratul ‘Ain (Zainuddin Al-Malibari), Minhaju Thoalibin (An-Nawawi), Hasyiyah Fathul Qarib (Ibrahim Al-Bajuri), Al-Iqna’ (Syarbini), Fathul Wahab, Tuhfah (Ibnu Hajar) dan Nihayah (Ramli). Kajian-kajian kitab kuning yang ditradisikan di pesantren-pesantren sudah seharusnya tetap dipertahankan agar kesinambungan historis antara masa depan dengan masa lampau tidak terputus. Dengan demikian, khazanah ilmu-ilmu pengetahuan keislaman masa klasik akan tetap terpelihara dan terawat dengan baik di pesantren-pesantren dan di pusat studi inilah mutiara-mutiara keilmuwan masa lalu itu bisa tetap terjaga secara utuh dan baik.
Para Kiai dikenal sebagai musafir pencari ilmu. Mereka bukan saja berguru kepada Kiai-Kiai senior dengan cara belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, tetapi juga mereka belajar langsung ke Mekkah dan Madinah serta tinggal di Tanah Suci itu bertahun-tahun lamanya. K.H. Hasyim Asy’ari, misalnya, sebelum mendirikan pondok pesantrennya sendiri (Tebu Ireng), beliau berguru kepada ayahnya dan Kiai-Kiai lainnya untuk kemudian belajar ke Mekkah (Masjidil Haram) selama bertahun-tahun. Setelah sekian lama mendalami ilmu hadits di bawah bimbingan gurunya di Mekkah, Beliau akhirnya memperoleh ijazah di bidang ilmu hadits. Beliau kemudian mengajarkan ilmu hadits itu kepada para santrinya di pesantren Tebu Ireng selama bertahun-tahun.
Hal serupa juga dilakukan oleh Kiai-Kiai lain, termasuk K.H. Ali Maksum yang ketika masih hidup beliau secara aktif memimpin pondok pesantren Krapyak. Para santri Kiai Hasyim, santri Kiai Ali dan santri-santri Kiai-Kiai lain setelah menamatkan pendidikan mereka di pondok pesantren masing-masing, mereka banyak yang mendirikan pesantren di daerah-daerah asal mereka. Situasi ini sekaligus menggambarkan adanya jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang sangat luas melalui pesantren-pesantren itu. Dengan kata lain, pesantren telah berperan sebagai pusat studi ilmu-ilmu keislaman dan sekaligus berperan pula sebagai jaringan transmisi atau penyebaran ilmu-ilmu keislaman tersebut. Demikianlah, keadaan ini terus berlangsung hingga dewasa ini dan diperluas lagi dengan merebaknya pembangunan pesantren-pesantren baru yang juga berperan sebagai pusat dan jaringan transmisi ilmu-ilmu keislaman yang semakin luas dan intens.[24]
Para pakar mengatakan bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan. Apabila kualitas pendidikan di kalangan kaum muda Muslim tradisional mengalami peningkatan dan percepatan dalam arti luas, maka diharapkan akan terjadi pula peningkatan dan pemekaran kualitas SDM di kalangan mereka. Peningkatan, percepatan dan pemekaran SDM di bidang pendidikan ini tentu akan mendorong bagi tumbuhnya intelektualitas dan kreativitas di kalangan mereka. Keadaan ini, pada gilirannya akan mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual di kalangan Muslim tradisional, yang oleh Nurcholis Madjid di atas disebut sebagai pelopor dan penggerak kebangkitan intelektual Muslim kedua. Sedangkan yang pertama di pelopori oleh M. Natsir dan kawan-kawan di tahun 1950-an.
Pondok pesantren yang kini sebagiannya telah memiliki universitas-universitas dan pada umumnya berafiliasi pada jam’iyah Nahdlatul Ulama serta berperan sebagai basis kekuatan Muslim tradisional ditantang untuk ikut mempercepat proses munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Pesantren diharapkan bisa menjadi “garda depan” motivator dan dinamisator munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua itu. Karena, bagaimanapun kalangan tradisional Muslim itu sendirilah yang harus membuktikan diri bahwa mereka mampu untuk memotori munculnya gelombang kebangkitan intelektual Muslim kedua ini. Inilah salah satu tugas sejarah yang penting dan strategis yang terletak di pundak kalangan Muslim tradisional dalam memasuki abad 21.[25]








DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia Penerbit PT: Pustaka LP3ES Indonesia.

Ali, H.A. Mukti. 1987. Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers.

Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES.

Islmail, Faisal. 1997. Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Kuntowijoyo. 1999. Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi). Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI.

Madjid, Nur Chalish, 1985. Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah. Jakarta: P3M.

Prasodjo, Soedjoko. et. al. 1982. Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor. Jakarta: LP3ES.

Saridjo, Marwan. et al. 1982. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bhakti.

Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Yacub, Muhammad. 1985. Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Penerbit: Angkasa.

Yacub, Muhammad. Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.


[1] Zamakhshahri Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1994, hlm. 18.
[2] Nur Chalish Madjid , Merumuskan Kembali Tujuan Pendidikan Islam, “dalam Dawam Raharjdjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari bawah (Jakarta: P3M, 1985), hlm, 3.
[3] Op. Cit., Tradisi Pesantren, hlm. 1.
[4] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 24.
[5] Muhammad Yacub, Model-model Pengembangan Koperasi di Lingkungan Lembaga Pendidikan Islam, makalah, tanggal 28-30 Agustus di Jakarta.
[6] H.A. Mukti Ali, Beberpa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987).
[7] Dhofier, Tradisi Pesantren, Bab-II.
[8] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia (Penerbit PT: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 110.
[9] Ibid, hlm. 111-112.
[10] Marwan Saridjo et al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1982), hlm. 25.
[11] Ibid, hlm. 41-43.
[12] H.M. Yacub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat Desa, (Bandung: Penerbit: Angkasa, 1985), hlm. 68.
[13] Faisal Islmail, Paradigma Kebudayaan Islam (Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 108.
[14] Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), (Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 1999), hlm. 246.
[15] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 3.
[16] Soedjoko Prasodjo et. al., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 83-84.
[17] Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 102.
[18] Op. Cit., Profil Pesantren, hlm. 111.
[19] Op. Cit., Paradigma Islam (Interpretasi untuk Aksi), hlm. 264.
[20] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 109.
[21] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[22] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 110.
[23] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 113.
[24] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 117-118.
[25] Op. Cit., Paradigma Kebudayaan Islam, hlm. 120.

Minggu, 27 September 2015

(Hadits tentang terpecahnya Umat Islam menjadi 73 Golongan)



Konsep Pendidikan
(Hadits tentang terpecahnya Umat Islam menjadi 73 Golongan)


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas:
Mata Kuliah         : Studi Hadits Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Zawawi, M.A.


Disusun oleh:
Nama                    : Imam Syafi’i
NIM                      : 2052115026


PASCA SARJANA - PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN) PEKALONGAN
2015

Konsep Pendidikan
(Hadits tentang terpecahnya Umat Islam menjadi 73 Golongan)
Perpecahan Umat
Hadits Pertama
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحْمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفَرَّقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً[1]
Artinya:
(IBNUMAJAH - 3981) : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan dan ummatku akan terpecah menajadi tujuh puluh tiga golongan."
Hadits Penguat
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً[2]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Muhammad bin Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nashara terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."
وَبِإِسْنَادِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً[3]
Artinya:
Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya, dan dengan sanadnya, dari Abu Hurairah ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Bersabda: "Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau dua golongan, dan ummatku terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan."

حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَهَلَكَتْ سَبْعُونَ فِرْقَةً وَخَلَصَتْ فِرْقَةٌ وَاحِدَةٌ وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَتَهْلِكُ إِحْدَى وَسَبْعِينَ وَتَخْلُصُ فِرْقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ تِلْكَ الْفِرْقَةُ قَالَ الْجَمَاعَةُ الْجَمَاعَةُ[4]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Kholid bin Yazid dari Said bin Abi Hilal dari Anas bin Malik sesungguhnya Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda, "Bani Isra'il terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, akan hancur tujuh puluh golongan dan tersisa satu golongan saja. Dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh duagolongan, akan hancur tujuh puluh satu golongan, dan yang selamat hanya satu golongan saja." Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah siapakah glongan itu tersebut?" beliau menjawab, "Yaitu jama'ah, Yaitu jama'ah."

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ[5]
Artinya:
(IBNUMAJAH - 3982) : Telah menceritakan kepada kami 'Amru bin 'Utsman bin Sa'id bin Katsir bin Dinar Al Himshi telah menceritakan kepada kami 'Abbad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Shafwan bin 'Amru dari Rasyid bin Sa'd dari 'Auf bin Malik dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-orang Yahudi akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, satu golongan akan masuk surga dan yang tujuh puluh golongan akan masuk neraka. Dan orang-orang Nashrani terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, yang tujuh puluh satu golongan masuk neraka dan yang satu golongan akan masuk surga. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada ditangan-Nya, sungguh ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, yang satu golongan masuk surga dan yang tujuh puluh dua golongan akan masuk neraka." Lalu beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka (yang masuk surga)?" beliau mennjawab: "Yaitu Al Jama'ah."
Hadits Kedua
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ افْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِي سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ[6]

Artinya:
(IBNUMAJAH - 3983) : Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Ammar telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami Abu 'Amru telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bin Malik dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Bani Israil akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama'ah."
Hadits Penguat
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي الْمَاجِشُونَ عَنْ صَدَقَةَ بْنِ يَسَارٍ عَنْ الْنُمَيْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ قَدْ افْتَرَقَتْ عَلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَأَنْتُمْ تَفْتَرِقُونَ عَلَى مِثْلِهَا كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا فِرْقَةً[7]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Waki' berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz -yaitu Al Majisyun- dari Shadaqah bin Yasar dari An Numairi dari Anas bin Malik ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya bani Isra`il terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan kalian juga akan terpecah seperti mereka, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja."
Kemudian dalam hadits lain disebutkan, yang artinya sebagai berikut:
Telah diriwayatkan dari Katsir bin Abdullah bin Amr bin Auf dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sungguh, kamu akan mengikuti jejak orang-orang sebelummu tapak demi tapak. Dan sungguh kamu akan melangkah seperti langkah mereka, jika sejengkal maka sejengkal, jika sehasta maka sehasta, dan jika sedepa maka sedepa. Sampai-sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, tentu kamu ikut masuk ke dalamnya. Ingat, sesungguhnya Bani Israil telah berpecah belah sepeninggal Musa menjadi tujuh puluh satu golongan. Semuanya tersesat kecuali satu golongan saja, yaitu Islam dan para pengikutnya. Kemuadian sepeninggal Isa putra Maryam, mereka telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan; semuanya di neraka kecuali satu yaitu, Islam dan pengikutnya. Kemudian kamu akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan, yaitu Islam dan pengikutnya.”
Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya Auf bin Malik Al-Asyja’i r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Golongan yang besar fitnahnya bagi umatku adalah orang-orang yang memutuskan berbagai hal dengan pendapatnya, mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Dari Abdullah bin Zaid, dari Abdullah bin Umar, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, semuanya di neraka kecuali satu, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya di neraka kecuali satu. “Mereka bertanya, “Siapakah yang satu ini?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang mengikuti jejakku dan jejak para sahabatku.”
Perpecahan yang disebutkan oleh Nabi saw itu tidak terjadi pada zaman beliau atau zaman Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali r.a.. Zaman perpecahan itu terjadi setelah puluhan tahun kemudian, yakni setelah para sahabat dan tabi’in tidak ada, setelah tujuh ulama fuqaha dan para ahli fiqih Madinah tidak ada. Bahkan setelah para ulama terkemuka diambil oleh Allah swt kecuali sedikit saja. Mereka adalah golongan yang selamat, di mana Allah swt menjaga agama ini dengan mereka. Diriwayatkan dari Urwah, dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda. “ Sesungguhnya Allah swt tidak mencabut ilmu dari hati ulama setelah diberikan kepada mereka, tetapi ilmu itu akan hilang dengan wafatnya ulama. Setiap orang alim meninggal dunia, maka ilmunya akan pergi bersamanya. Sehingga yang tinggal hanya orang-orang yang tidak berilmu. Mereka tersesat dan menyesatkan. “Dalam lafadz lain dari Urwah, dari ayahnya, dari Abdullah bin Umar, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara tiba-tiba dari manusia, tetapi ilmu akan diambil dengan wafatnya ulama. Sehingga ketika tidak ada seorang alim, manusia akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin. Manusia bertanya lalu mereka memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.[8]
Kemudian dalam hadits yang lain disebutkan yang artinya bahwa, dari Katsir bin Abdullah bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya r.a., dari Rasulullah saw, beliau bersabda, “Sesungguhnya agama ini akan kembali berlindung ke Hijaz sebagaimana ular kembali berlindung ke sarangnya. Dan agama ini sungguh akan diikat di Hijaz seperti domba diikat di puncak bukit. Sesungguhnya agama ini mula-mula asing dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah bagi orang-orang yang asing, “Ditanyakan, “Siapakah orang-orang yang asing itu?” Beliau bersabda, “Orang-orang yang telah memperbaiki sunnahku yang telah dirusak oleh manusia sesudahku. “Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, “Tidak datang suatu zaman pada manusia, kecuali pada zaman itu mereka mematikan satu sunnah dan menghidupkan satu bid’ah.”
Setelah itu riwayat lain menyebutkan yang artinya bahwa; dari Harits, dari Ali bin Abi Thalib r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw telah menyebutkan berbagai fitnah bagi manusia. Maka kami bertanya, “Apakah jalan keluar darinya Wahai Rasulullah? “Beliau bersabda, “Kitabullah, ia adalah peringatan dari Dzat Yang Maha Bijaksana, ia adalah jalan yang lurus, ia tidak dapat dicampuri oleh ucapan manusia, ia adalah kitab di mana kamu tidak dapat mencegah jin ketika mendengarnya untuk berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan.’(Q.S. Al-Jin: 1). Barang siapa berkata dengan Al-Qur’an berarti dia benar, dan barang siapa menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an berarti dia adil.”
Ada lagi riwayat lain yang artinya bahwa; dari Abdullah bin Umar, dari Irbadh bin Sariyah r.a. dia berkata bahwa Rasulullah saw telah shalat Shubuh bersama kami, kemudian memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang sangat dalam sehingga membuat mata berlinangan, hati ketakutan, dan kulit gemetar. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, sepertinya nasihat ini yang terakhir. Beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu supaya bertakwa kepada Allah serta mendengar dan taat kepada amir, walaupun dia seorang hamba sahaya dari Habsyi. Sesungguhnya akan hidup sesudahku orang yang melihat perselisihan yang banyak sekali. Maka hendaklah kamu berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafaur-Rasyidin sesudahku. Berpeganglah kepadanya, dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Takutlah kamu terhadap perkara-perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara baru itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu tersesat.”
Kemudian hadits berikutnya yang artinya bahwa; diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dia berkata bahwa Rasulullah saw besabda, “Siapapun penyeru yang mengajak kepada petunjuk lalu diikuti, baginya mendapat pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan siapapun penyeru yang mengajak kepada kesesatan lalu diikuti, maka baginya dosa orang yang mengikutinya tanpa berkurang sedikitpun.”
Tujuh Puluh Tiga Firqah Islam[9]
Asal mula tujuh puluh tiga golongan itu dari sepuluh golongan, dan sepuluh golongan itu adalah Ahlus-Sunnah, Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah, Musyabbihah, Jahmiyah, Dharariyah, Najariyah, dan Kilabiyah. Golongan Ahlus-Sunnah tetap menjadi satu. Khawarij pecah menjadi lima belas golongan, Mu’tazilah menjadi enam golongan, Murji’ah menjadi dua belas golongan, Syi’ah menajdi tiga puluh dua golongan, Jahmiyah, Najariyah, Dharariyah, dan Kilabiyah masing-masing satu golongan, dan Musyabbihah menjadi tiga golongan. Semua itu berjumlah tujuh puluh tiga golongan sebagaimana yang disabdakan Nabi saw.
1.    Ahlus-Sunnah
Adapun golongan yang selamat adalah golongan Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah. Sungguh, kami telah menjelaskan mengenai paham dan ajaran mereka. Kelompok Qadariyah dan Mu’tazilah menyebut golongan yang selamat ini (Ahlus-Sunnah) sebagai mujbirah karena menganggap semua makhluk itu ada dalam kehendak, kekuasaan, dan penciptaan Allah swt., golongan Mu’rji’ah menyebutnya sebagai Syakakiyah, karena pengecualiannya dalam masalah iman. Salah seorang di antara mereka mengatakan, “Aku seorang Mukmin, insya Allah.” Sebagaimana yang telah dijelaskan. Adapau golongan Al-Rafidhah menyebut Ahlus-Sunnah itu dengan nama Nashibiyah, karena harus memilih dan menetapkan imam. Aliran Jahmiyah dan Najariyah menamakan Ahlus-Sunnah dengan Musyabbihah karena menetapkan sifat-sifat Allah swt seperti mengetahui, Kuasa, Hidup dan sebagainya. Sementara kelompok Al-Bathiniyah menyebut Ahlus sunnah sebagai kelompok yang tersesat karena berpegang pada atsar atau sunnah. Adapun nama seluruh kelompok itu tidak lain adalah ahli bid’ah, sedangkan mengenai Ahlus-Sunnah  sudah dijelaskan.”[10]
2.    Khawarij
Khusus mengenai golongan Khawarij, mereka memiliki beberapa nama dan julukan. Mereka disebut Khawarij karena keluar untuk memusuhi Ali bin Abi Thalib r.a.. mereka juga disebut kelompok Hukmiyah karena penolakan mereka terhadap keputusan dua hakim, Abu Musa Al-Asy’ari dan Amr bin Al-Ash r.a. serta karena ucapan mereka, “Tidak ada pengadilan kecuali pengadilan Allah, bukan pengadilan dua pemimpin itu. “Mereka juga disebut golongan Hururiyah karena tinggal di sebuah tempat yang bernama Hurur. Nama mereka yang lain adalah Syarah karena mereka mengatakan, “Kami telah menjual diri kami kepada Allah, “yakni untuk mendapatkan pahala dan ridha-Nya. Mereka disebut pula golongan Mariqah karena lari dari pada agama.[11]
Golongan Khawarij ini terpecah menajdi lima belas aliran, antara lain:
a.    An-Najdat
Golongan ini disandarkan kepada Najdah bin Amir Al-Hanafi dari Yamamah. Mereka adalah penganut Abdullah bin Nashir yang berpendapat bahwa barang siapa berdusta sekali atau melakukan dosa kecil yang berterusan, maka dia adalah seorang musyrik. Meskipun dia berzina, mencuri, dan minum arak, kalau tidak berterusan tetap seorang muslim. Menurut mereka imam itu tidak perlu, yang diwajibkan hanya mengetahui Kitabullah saja.
b.    Al-Zariqah
Golongan ini adalah pengikut Nafi’ bin Azraq yang berpendapat bahwa setiap dosa besar itu menyebabkan kafir. Menurut mereka, Abu Musa dan Amr bin ‘Ash r.a. keduanya kafir kepada Allah ketika berseberangan dengan Ali.
c.    Fadakiyah
Golongan ini disandarkan kepada Ibnu Fadak. Mereka membolehkan membunuh anak-anak kaum musyrikin. Mereka mengharamkan hukum rajam. Orang yang menuduh zina terhadap laki-laki yang telah nikah tidak boleh dihukum dera, tetapi orang yang menuduh zina terhadap wanita yang sudah berkeluarga harus didera.
d.   Al-Athuwiyah
Golongan ini disandarkan kepada ‘Athiyah bin Al-Aswad.
e.    Al-Ajaridah
Golongan ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Ajrad, mereka terpcah menjadi banyak aliran yang semuanya dalam kelompok Al-Maimuniyah. Mereka membolehkan menikahi cucu perempuan dari anak lelaki, cucu perempuan dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, dan anak perempuan saudara perempuan. Mereka mengatakan bahwa surat Yusuf itu tidak termasuk Al-Qur’an.
f.     Al-Jazimiyah
Golongan ini berpendapat bahwa wilayah, yakni kekuasaan dan permusuhan adalah dua sifat.
g.    Al-Ma’lumiyah
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang tidak mengenal Allah swt dengan nama-namanya adalah jahil. Mereka menolak bahwa perbuatan Allah itu adalah makhluk Allah swt dan bahwa kemampuan itu bersama dengan perbuatan.
h.    Al-Majhuliyah
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang mengetahui sebagian nama-Nya berarti dia mengenal Allah dan tidak jahil.
i.      Ash-Shaltiyah
Golongan ini dipimpin oleh Utsman bin Shalt. Dia mengatakan; “Barang siapa mengikuti kami dan masuk Islam sedang dia punya anak, maka anak itu belum Islam sehingga ia dewasa dan diajak masuk Islam, dan bersedia masuk Islam.
j.      Al-Akhansiya
Golongan ini disandarkan kepada seorang lelaki yang bernama Al-Akhnas. Mereka berpendapat bahwa seorang majikan boleh mengambil zakat hambanya dan boleh memberikan zakatnya kepadanya jika diperlukan.
k.    Al-Dzafariyah dan Al-Hafshiyah
Kedua golongan ini berpendapat bahwa orang yang telah mengenal Allah swt dan kufur terhadap selain-Nya termasuk Rasul, Surga, Neraka, melakukan segala kejahatan seperti membunuh dan menghalalkan zina, dia tetap jauh dari syirik. Dia menjadi syirik hanya jika tidak mengenal Allah dan mengingkarinya. Mereka juga menyatakan bahwa orang-orang yang kebingungan yang disebutkan di dalam Al-Qur’an itu adalah Ali dan para sahabatnya. Mereka adalah penduduk Nahrawan.
l.      Al-Abadhiyah
Golongan ini mengatakan bahwa semua yang difardhukan Allah kepada hamba-Nya itulah iman. Melakukan dosa besar berarti kufur nikmat, bukan kufur syirik.
m.  Bahansiyah
Golongan ini disandarkan kepada Abi Bahansa. Mereka berpendapat bahwa seorang lelaki tidak dikatakan muslim sehingga dia mengetahui semua yang dihalalkan Allah baginya, dan semua yang diharamkan Allah baginya. Di antara pengikut Bhansiyah ada yang mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan pelanggaran dosa tidak menjadi kufur hingga dihadapkan kepada penguasa, lalu penguasa itu menjatuhkan hukum kepadanya, ketika itu barulah dia menjadi kafir.
n.    Syamrakhiyah
Golongan ini dipimpin oleh Abdullah bin Samrakh. Dia menyatakan bahwa membunuh dua orang itu halal. Ketika dia mengumumkan pahamnya ini, maka seluruh kaum Khawarij menolaknya.
o.    Al-Bid’iyah
Golongan ini pendapatnya seperti pendapat Azariqah. Hanya saja, dia mengatakan bahwa shalat itu hanya dua rakaat pagi dan dua rakaat petang, karena ada ayat yang mengatakan, “Dirikanlah shalat pada kedua tepi siang. ”(Q.S. Hud: 114). Dia sepakat dengan kelompok Azariqah dalam hal dibolehkannya merampas wanita dan membunuh anak-anak orang kafir. Seluruh kaum Khawarij sepakat mengkafirkan Ali karena keputusannya dan sepakat bahwa pelaku dosa besar itu kafir. Kecuali aliran An-Najdah, mereka tidak sependapat mengenai hal itu.
3.    Syi’ah
Golongan ini memiliki beberapa nama, antara lain Rafidhah, Ghaliyah, dan Thayyarah. Dikatakan Syi’ah karena mereka terlalu mengkultuskan Ali melebihi para sahabat lainnya. Dikatakan Rafidhah karena mereka menolak para sahabat serta kepamimpinan Abu Bakar dan Umar r.a.. dikatakan bahwa mereka disebut Rafidhah karena penolakannya terhadap Zaid bin Ali ketika mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar r.a. seraya berkata, “Mereka telah menolakku,” sehingga mereka dinamakan ‘Rafidhah’. Ada yang mengatakan bahwa Syi’ah adalah orang yang tidak mengutamakan Utsman di atas Ali r.a., sedangkan Rawafidh adalah orang yang mengutamakan Ali di atas Utsman r.a.. Di dalam golongan Syi’ah ada aliran Al-Qath’iyyah karena mereka telah memastikan kematian Musa bin Ja’far. Ada lagi, Al-Ghaliyah karena mereka terlalu mengkultuskan Ali r.a. dan mengatakan bahwa Ali memiliki sifat-sifat ketuhanan dan kenabian yang luar biasa. Adapun orang-orang yang mengarang kitab-kitab mereka adalah Hisyam bin Hakam, Ali bin Manshur, Abu Ahwash, Husain bin Sa’id, Fadhal bin Syadzan, Abu Isa Al-Waraq, Ibnu Ruwandi, dan Al-Muniji. Kebanyakan mereka tinggal di negeri Qum, Qisyan, Idris, dan Kufah.[12]
Kelompok ini terpecah menjadi tiga golongan yaitu:[13]
1.    Al-Ghaliyah, kelompok ini terpecah menjadi dua belas yakni:
a.    Al-Bananiyah
Mereka menisbatkan diri kepada Banan bin Sam’an. Di antara kesesatan dan kebathilan mereka adalah menganggap bahwa Allah swt berbentuk seperti manusia. Mereka mendustakan Allah swt.
b.    Ath-Thayyariyah
Mereka menisbatkan diri kepada Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far Ath-Thayyar. Mereka mengakui adanya penjelamaan, bahwa ruh Adam itu adalah ruh Allah yang menjelma padanya. Bahkan dari firqah Al-Ghaliyah ini ada yang mengakui terjadinya penjelmaan. Mereka menyatakan bahwa ruh itu setelah kematian akan berpindah ke dalam unta atau binatang lain selamanya kecuali pepohonan, sampai akhirnya ia akan berpindah ke dalam ulat dan sejenisnya. Mereka mengatakan bahwa arwah orang-orang yang berdosa akan menjelma ke dalam besi, tanah, dan tembikar, lalu disiksa dengan api, dimasak, dipukuli, dan dicincang-cincang.
c.    Al-Manshuriyah
Paham ini dipimpin oleh Abu Manshur. Dia mengaku telah dinaikkan ke langit, dan Allah mengusap kepalanya. Dia mengatakan bahwa Isa adalah makhluk Allah yang pertama, kemudian Ali r.a.. Menurutnya, kerasulan itu tidak berhenti, surga dan neraka itu tidak ada. Menurut paham ini, jika seseorang telah membunuh empat puluh orang yang menentang kelompok mereka akan masuk surga. Mereka menghalalkan harta manusia. Sesungguhnya Jibril telah salah dalam mengantarkan wahyu.
d.   Al-Mughiriyah
Kelompok ini dipimpin oleh Mughirah bin Sa’d yang mengaku menjadi nabi. Dia mengatakan bahwa Allah itu nur yang berbentuk seorang lelaki. Dia mengaku dapat menghidupkan orang mati dan sebagainya.
e.    Al-Khaththabiyah
Paham ini disandarkan pada Abi Khaththab. Menurut mereka, para imam adalah nabi-nabi yang terpercaya. Setiap waktu ada rasul yang berbicara dan ada rasul yang diam. Nabi Muhammad saw adalah rasul yang berbicara, sedangkan Ali adalah rasul yang diam.
f.     Al-Ma’mariyah
Paham ini berpendapat demikian, namun berbeda dengan Al-Khithabiyah dalam hal dibolehkannya meninggalkan shalat.
g.    Al-Buzai’iyah
Paham ini dipimpin oleh Buza’i. Menurut mereka, Ja’far adalah Allah yang menjelma dalam dirinya. Sungguh celaka mereka. Mereka mengaku mendapat wahyu dari langit. Sungguh besar kebohongan dan kebathilan mereka. Mereka telah tersesat dan patut dikirim ke neraka yang paling dasar disebabkan ucapan mereka.
h.    Al-Mufdhiliyah
Paham ini dipimpin oleh Mufdhil Ash-Shairafi yang mengaku menjadi Nabi. Pendapat mereka mengenai para imam adalah seperti ucapan orang-orang Nashara mengenai Al-Masih.
i.      Al-Mutanasikhah
Mereka berpendapat bahwa harus ada penetapan imam. Imam harus diangkat, para imam itu ma’shum, dijauhkan dari cacat, kesalahan, lupa dan dosa. Oleh karena itu, mereka mengingkari imam yang dipilih berdasarkan kelebihan dan keutamaannya sebagaimana yang telah dijelaskan. Mereka mengkultuskan Ali di atas para sahabat lainnya dan mengangkatnya sebagai imam setelah Nabi saw.
j.      Asy-Syura’iyah
Paham ini disandarkan kepada Syura’i. Mereka mengatakan bahwa Allah itu menjelma dalam diri lima orang, yakni Nabi dan keluarganya. Mereka adalah Abbas, Ali, Ja’far dan Aqil.
k.    As-Sabaiyah
Paham ini disandarkan pada Abdullah bin Saba’. Di antara ajaran mereka adalah bahwa Ali tidak mati, dia akan kembali sebelum hari Kiamat, dan Sayid Al-Khumairi adalah termasuk kelompok ini.
l.      Al-Mufawwidhah
Paham ini mengatakan bahwa Allah telah menyerahkan pengaturan manusia kepada para imam. Allah telah menyerahkan kepada Nabi saw pengaturan seluruh alam, meskipun Nabi saw tidak menciptakan alam itu sedikitpun. Mengenai Ali r.a., mereka juga mengatakan seperti itu. Di antara mereka ada yang berpendapat apabila seseorang melihat mega, maka harus mengucapkan salam, karena mengira Ali berada di tempat itu, sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembicaraan terdahulu.

2.    Az-Zaidiyah
Paham ini disandarkan kepada pendapat Zaid bin Ali mengenai pengangkatan Abu Bakar dan Umar r.a. Kelompok ini terpecah menjadi enam yakni:[14]
a.    Al-Jarudiyah
Paham ini disandarkan kepada Abil Jarud. Menurut mereka, Ali telah mendapat wasiat Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin, dan Nabi saw mengangkat Ali sebagai pemimpin karena sifatnya, bukan karena namanya. Mereka menyerahkan kepemimpinan itu kepada Husain, kemudian dimusyawarahkan diantara mereka.
b.    As-Sulaimaniyah
Paham ini dipimpin oleh Sulaiman bin Katsir. Ruzqan berkata bahwa menurut mereka, Ali itulah imam. Pembai’atan kepada Abu Bakar dan Umar adalah suatu kesalahan karena keduanya tidak mempunyai hak, dan bahwa umat telah meninggalkan sesuatu yang terbaik.
c.    Al-Bitriyah
Paham ini disandarkan kepada Al-Abtar yang nama aslinya adalah An-Nawa (pawang hujan). Mereka mengatakan bahwa pembai’atan terhadap Abu Bakar dan Umar tidak bersalah, karena Ali memang meninggalkan kepemimpinan. Mereka diam terhadap kepemimpinan Utsman.
d.   An-Nu’aimiyah
Paham ini disandarkan kepada Nu’aim bin Yaman, pendapatnya sama dengan paham Abtariyah, hanya saja dia menolak terhadap kepemimpinan Utsman bin Affan r.a. dan menentangnya.
e.    Ya’qubiyah
Paham ini mengakui kepemimpinan Abu Bakar dan Umar r.a., hanya saja mereka mengatakan bahwa Ali itu lebih utama daripada mereka. Paham ini disandarkan pada seorang lelaki yang bernama Ya’qub. Namun, sebagian mereka ada yang menolak terhadap kepemimpinan Abu Bakar dan Umar r.a..
f.     Kelompok yang tidak mengingkari pembatalan dan menolak terhadap Abu Bakar r.a. dan Umar r.a..

3.    Ar-Rafidhah, kelompok ini terpecah menjadi lima belas firqah;[15]
a.    Al-Qath’iyah
Dinamakan demikian karena mereka memastikan kematian Musa bin Ja’far dan menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad bin Hanafiyah. Dia adalah pemimpin yang ditunggu-tunggu.
b.    Al-Kisaniyah
Paham ini disandarkan kepada Kisan. Mereka mengakui kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah, karena dipercaya mampu mempertahankan bendera di Bashrah.
c.    Al-Kuraibiyah
Mereka adalah teman-teman Ibnu Kuraib Adh-Dharir.
d.   Al-Umairiyah
Mereka adalah kawan-kawan Umair dan dia menjadi pemimpin mereka hingga datangnya Mahdi.
e.    Al-Muhammadiyah
Mereka menyatakan bahwa pemimpin yang sebenarnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Hasan bin Husain, dan sesungguhnya dia telah berwasiat kepada Abi Manshur, bukan kepada Bani Hasyim sebagaimana wasiat Musa kepada Yusya’ bin Nun, bukan kepada anaknya atau anak Harun.
f.     Al-Husainiyah
Firqah ini menganggap bahwa Abu Manshur telah berwasiat kepada anaknya Husain bin Abi Manshur untuk menjadi imam sesudahnya.
g.    An-Nawisiyah
Firqah ini disandarkan kepada Nawas Al-Bashri sebagai pemimpin mereka. Mereka mengakui kepemimpinan Ja’far dan menganggapnya bahwa dia tidak mati, tetapi masih hidup, dan dialah Al-Mahdi (pemimpin yang ditunggu).
h.    Al-Ismailiyah
Mereka mengatakan bahwa Ja’far telah mati, dan imam sesudahnya adalah Ismail.

i.      Al-Qaramithah
Firqah ini menyerahkan kepemimpinan kepada Ja’far, sesungguhnya Ja’far telah mengangkat keluarga Muhammad bin Ismail dan Muhammad itu hidup, tidak mati, dialah Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu.
j.      Al-Mubarakiyah
Firqah ini disandarkan kepada pemimpin mereka Al-Mubarak. Mereka menyatakan bahwa Muhammad bin Ismail itu telah mati dan kepemimpinan diserahkan kepada anaknya.
k.    Asy-Syamithiyah
Firqah ini disandarkan kepada pemimpin mereka, yakni Yahya bin Syamith. Mereka menyatakan bahwa yang menjadi Imam adalah Ja’far, kemudian Muhammad bin Ja’far, kemudian anaknya.
l.      Al-Ma’mariyah
Firqah ini disebut juga Al-Afthahiyah karena Abdullah bin Ja’far lebih lapang di antara dua lelaki. Mereka mengatakan bahwa setelah Ja’far, imam itu digeser kepada anak lelakinya, Abdullah.
m.  Al-Mamthmuriyah
Dinamakan demikian karena mereka menunggu Yunus bin Abdurrahman. Ia termasuk firqah Al-Qath’iyah yang memastikan kematian Musa bin Ja’far. Maka Yunus berkata kepada mereka, “Kamu lebih hina daripada anjing buruk yang dilempari di jalanan (Al-Mamthmuriyah), sehingga julukan ini melekat pada mereka. Mereka juga disebut firqah Al-Waqifah karena penantian mereka kepada Musa bin Ja’far dan menganggapnya masih hidup, tidak mati. Dia adalah Mahdi bagi mereka.
n.    Al-Musawiyah
Firqah ini dinamakan demikian karena mereka bersikap diam mengenai Musa. Mereka mengatakan, “Kami tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah mati.” Mereka juga mengatakan, “Jika kepemimpinan selain dia itu sah, maka teruskan saja.”
o.    Al-Imamiyah
Firqah ini menyerahkan kepemimpinan kepada Muhammad bin Husain. Dialah pemimpin yang ditunggu yang akan muncul dan memenuhi bumi dengan keadilan.
4.    Murji’ah
Golongan Murji’ah terpecah menjadi dua belas firqah, yaitu Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Syamriyah, Al-Yunusiyah, Al-Yunaniyah, An-Najariyah, Al-Ghilaniyah, Asy-Syabibiyah, Al-Ghisaniyah, Al-Mu’adziyah, Al-Murisiyah dan Al-Karamiyah. Mereka disebut golongan Murji’ah karena beranggapan bahwa seorang mukallaf bila telah mengucapkan Lâ ilâha illallâh, dan setelah itu melakukan segala jenis kemaksiatan, maka tidak akan dimasukkan ke neraka. Mereka mengatakan bahwa iman adalah ucapan tanpa perbuatan. Amal adalah syari’at, sedangkan iman adalah ucapan saja. Tidak ada perbedaan dalam tingkat keimanan manusia; iman mereka, iman para Nabi, iman para malaikat, senuanya sama saja, tidak bertambah dan tidak berkurang, dan tidak ada perkecualian dalam hal iman. Barang siapa telah mengucapkan kalimah iman dan tidak beramal, dia tetaplah seorang mukmin.[16]
Kelompok ini terpecah menjadi dua belas firqah, antara lain:[17]
a.    Al-Jahmiyah
Firqah ini disandarkan kepada Jahm bin Shafwan. Dia mengatakan bahwa iman itu artinya mengenal Allah, Rasul-Nya, dan semua yang datang dari-Nya saja. Mereka menyatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk dan bahwa Allah tidak berbicara dengan Musa. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, tidak bisa diajak bicara, tidak dapat dilihat, tidak dapat diketahui tempat-Nya. Dia tidak memiliki Arsy dan tidak memiliki kursi. Dia juga tidak berada di Arsy. Mereka mengingkari adanya timbangan amal dan siksa kubur. Surga dan neraka adalah makhluk, keduanya diciptakan bersifat fana. Allah swt tidak berbicara kepada makhluk-Nya dan tidak memandang mereka pada hari Kiamat. Allah swt tidak malihat ahli surga dan neraka juga tidak dapat melihat-Nya di surga. Sesungguhnya iman adalah pengetahuan di hati, bukan ucapan di lisan. Mereka mengingkari seluruh sifat Allah swt, Allah Maha Suci dari semua sifat itu, Maha Tinggi dan Maha Besar.
b.    Ash-Shalihiyah
Firqah ini mengakui pendapat Abil Husain Ash-Shalih. Dia mengatakan bahwa iman adalah pengetahuan, dan kufur adalah kebodohan. Ucapan orang yang mengatkan demikian itu tiga kali tidak menyebabkan kufur, dan tidak ada ibadah tanpa iman.
c.    Al-Yunusiyah
Firqah ini dipimpin oleh Yunus Al-Barri. Menurutnya iman berarti pengetahuan, kepatuhan, dan kecintaan kepada Allah swt.. Barang siapa meninggalkan salah satu dari tiga hal itu, berarti dia kafir.
d.   Asy-Syamriyah
Firqah ini disandarkan kepada Abi Syamr. Dia menyatakan bahwa iman berarti pengetahuan, kepatuhan, kecintaan, dan pernyataan bahwa Allah swt Esa, tidak ada yang menyerupai-Nya. Apabila terdpat empat hal tersebut, maka itulah iman. Abu Syamr juga mengatakan, “Aku tidak menamakan orang yang melakukan dosa besar itu sebagai fasik mutlak, tetapi fasik dalam dosa demikian dan demikian.”
e.    Al-Yunaniyah
Firqah ini dipimpin oleh Yunan. Mereka menyatakan bahwa iman adalah pengetahuan dan pengakuan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak boleh dilakukan.
f.     An-Najariyah
Firqah ini dipimpin oleh Hasan bin Muhammad bin Abdullah An-Najar. Mereka berpendapat bahwa iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, mengetahui hal-hal fardhu yang harus dikerjakannya, tunduk kepada-Nya, dan menyatakannya dengan lisan. Barang siapa tidak mengetahui sebagian fardhu yang harus dilakukannya, dan dia sudah diingatkan tetapi tidak mau mengakui, maka dia telah kafir.
g.    Al-Ghilaniyah
Firqah ini dipimpin oleh Ghilan. Mereka sependapat dengan paham Syamriyah yang menyatakan bahwa iman adlah pengakuan di lidah dan pemebenaran di hati.
h.    Asy-Syabibiyah
Firqah ini adalah kelompok sahabat-sahabt Muhammad bin Syabib. Mereka menyatakan bahwa iman adalah pengakuan terhadap Allah dan mengetahui keesaan-Nya serta tidak menyerupakan-Nya dengan yang lain. Dia juga mengatakan bahwa iblis itu mempuanyai iman, dia kafir karena kesombongannya.
i.      Al-Ghisaniyah
Firqah ini berafiliasi pada Ghassan Al-Kufi. Ia berpendpat bahwa iman adalah makrifat (pengetahuan) dan pengakuan terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta apa-apa yang dibawanya dari Sisi-Nya secara total. Keterangan ini merujuk pada penjelasan Al-Burhuti dalam kitab Asy-Syajarah.
j.      Al-Mu’adziyah
Firqah ini disandarkan kepada Mu’adz Al-Mushi; dia berkata, “barang siapa tidak taat kepada Allah, dia telah rusak, tetapi tidak disebut fasik. Seorang yang fasik itu bukan musuh Allah dan bukan pula wali Allah.
k.    Al-Murisiyah
Firqah ini disandarkan kepada Basyar Al-Murisi. Menurut mereka, iman adalah pemnbenaran dengan hati dan lisan. Pendapat ini disetujui oleh Ibnu Rawandi dan dia menambahkan bahwa sujud kepada Matahari itu tidak kufur tetapi hanya tanda-tanda kufur.
l.      Al-Karamiyah
Firqah ini dipimpin oleh Abi Abdillah bin Karam. Menurut mereka, iman sudah cukup dengan pernyataan secara lisan, bukan dengan hati. Jadi, orang-orang munafik itu pada hakikatnya beriman. Mereka berpendapat bahwa kemampuan itu mendahului perbuatan, tidak sebagaimana pendapat Ahlus-Sunnah, bahwa kemapuan itu harus bebarengan dengan  perbuatan. Para penulis kitab-kitab mereka adalah Abul Husain Ash-Shalihi, Ibnu Rawandi, Muhammad bin Syabib, dan Husain bin Muhammad al-Najar. Kebanyakan pengikut mereka di timur dan dipinggaran Khurasan.
5.    Mu’tazilah
Mereka disebut Mu’tazilah karena menjauhi kebenaran, atau karena menolak apa yang telah disepakati oleh kaum Muslimin. Sungguh, manusia telah berbeda pendapat mengenai para pelaku dosa besar. Sebagian berpendapat bahwa mereka masih mukmin. Sebagian lagi berpendapat bahwa mereka telah kafir. Maka Washil bin Atha’ mempunyai pendapat ketiga yang berbeda dengan mereka. Dia mengatakan, “mereka bukan mukmin dan bukan pula kafir, “itulah sebabnya mereka dinamakan Mu’tazilah. Dikatakan juga bahwa mereka dinamakan demikian karena mereka menjauhi Majelis Hasan Bashri r.a.. Ketika Hasan Bashri melewati mereka, dia berkata, “mereka adalah Mu’tazilah, “kemudian mereka dijuluki demikian. Mereka itu mengikuti Amr bin Ubaid. Ketika Hasan Bashri marah kepada Amr bin Ubaid, mereka mencelanya. Maka dia berkata, “Apakah mereka mencelaku berkenaan dengan orang yang aku lihat dalam mimpi bersujud kepada matahari?”[18]
Kelompok ini terpecah menjadi enam firqah, antara lain:[19]
1.    Al-Hudzailiyah
Firqah dinisbatkan kepada Abu Hudzail yang berpendapat bahwa, “Allah tidak memiliki Ilmu, Qudrah, Sama’, dan Bashar. Kalamullah itu sebagian makhluk dan sebagian yang lain bukan makhluk. Yang bukan makhluk adalah firman Allah ‘Kun’. Dan Allah itu tidak berbeda dengan makhluk-Nya. Kekuasaan Allah itu terbatas. Ahli surga akan tinggal di surga tanpa bergerak, dan Allah tidak kuasa menggerakkan mereka. Boleh jadi mayit, orang terbunuh, dan orang lemah itu dapat melakukan sesuatu. Dia menolak bahwa Allah senantiasa mendengar.”
2.    An-Nizhamiyah
Firqah ini dinisbatkan kepada gurunya yang bernama An-Nizham. Dia berpendapat bahwa benda-benda mati itu dapat berbuat sesuatu. Tidak ada wujud benda kecuali gerak. Manusia itu ruh. Tidak ada seorang yang melihat Nabi saw, dia hanya melihat jasad Beliau. Dia menolak ijma’ dan berkata, “Barang siapa meninggalkan shalat dengan sengaja, bila ingat tidak perlu mengqadha. Menurutnya, umat Islam boleh sepakat menyetujui sesuatu yang bathil. Sesunggunya iman itu seperti kekufuran, dan taat itu seperti kemaksiatan. Perbuatan Nabi saw seperti perbuatan Iblis yang terkutuk. Perilaku Umar dan Ali adalah seperti perilaku Hajaj. Menurutnya, seluruh hewan itu satu jenis. Susunan Al-Qur’an itu bukan mu’jizat. Allah tidak berkuasa membakar bayi meskipun ia berada di bibir neraka dan tidak berkuasa melemparkan bayi itu ke dalamnya. Menurutnya, jisim itu bisa terbagi sampai tidak terhingga. Ular, kalajengking, dan kumbang itu ada di surga, bahkan di surga juga ada anjing dan babi.
3.    Al-Ma’mariyah
Firqah ini dinisbatkan kepada Ma’mar. Pendapatnya sungguh keterlaluan. Menurutnya, Allah tidak menciptakan warna, rasa, bau, mati dan hidup. Semua itu perbuatan jisim yang terjadi dengan sendirinya. Al-Qur’an itu perbuatan jasad, bukan perbuatan Allah swt.. Dia menolak bahwa Allah itu Qadim. Sungguh celaka dia, semoga Allah menjauhkan umat ini dari ajarannya.
4.    Al-Jabaiyah
Firqah ini dinisbatkan kepada Al-Jabai. Dia menolak ijma’ dan mempunyai pendapat yang aneh. Dia mengatakan bahwa manusia itu menciptakan perbuatan mereka sendiri, bahwa Allah swt. telah menghamili wanita seluruh dunia dengan meletakkan janin pada diri mereka. Allah itu taat kepada hamba-Nya jika dia melakuakan apa saja yang dikehendaki-Nya. Dia mengatakan, “Barang siapa bersumpah untuk memberi kepada orang yang berutang kepadanya besok, dan dia mengecualikan dengan ucapan insya Allah, maka pengecualiannya itu tidak berguna. Jika dia tidak memberi maka dia berdosa.” Dia juga mengatakan, “Barang siapa mencuri lima dirham, maka dia telah fasik, jika kurang dari itu satu biji saja, maka tidak fasik.”
5.    Al-Bahsyamiyah
Firqah ini dipimpin oleh Abu Hasyim bin Al-Jabai. Dia berpendapat bahwa jika seorang mukallaf itu berkuasa, lalu dia tidak melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, maka Allah akan menyiksanya karena perbuatannya. Barang siapa bertaubat dari seluruh dosa kecuali satu dosa saja, maka tidak sah taubatnya.
6.    Al-Ka’biyah
Firqah ini disandarkan kepada Abil Qasim Baghdadi. Dia mengingkari bahwa Allah itu Maha Mendengar, Maha Melihat, dan Maha Menghendaki. Kehendak Allah terhadap perbuatan hamba-Nya itu adalah perintah-Nya. Dan kehendak Allah terhadap perbuatan diri-Nya adalah ilmu-Nya, dan tidak ada paksaan di dalamnya. Dia mengatakan bahwa sesuatu yang bergerak itu digerakkan oleh lapisan pertama dari jisim. Jika manusia memakai minyak lalu berjalan, maka bukan manusia itu yang bergerak, tetapi minyak itulah yang menggerakkan. Dia mengatakan bahwa Al-Qur’an itu baru, dia tidak mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
6.    Musyabbihah
Golongan ini terpecah menjadi tiga, yakni Al-Hisyamiyah, Al-Muqatiliyah, dan Al-Wasimiyah. Tiga firqah ini sepakat bahwa Allah itu jisim, tidak ada sesuatu yang wujud kecuali jisim. Kebanyakan ajaran mereka sama dengan firqah-firqah Rawafidh dan Karamiyah. Kitab mereka dikarang oleh Hisyam bin Hakam. Dia menuliskan kitab yang menjelaskan tentang jisim. Firqah Hisyamiyah disandarkan kepada Hisyam bin Hakam. Dia menyatakan bahwa Allah itu jisim yang panjang, lebar dan dalam, serta nur yang terang. Dia memiliki kemampuan seperti bergerak, diam, berdiri, dan duduk. Pernah dinyatakan kepadanya, “Lebih besar Tuhan atau lebih besar seseorang?” dia menjawab, “Tuhanku lebih besar. “Al-Muqatilah dipimpin oleh Muqatil bin Sulaiman. Dia berkata bahwa Allah itu jisim. Dia menyerupai bentuk manusia yang memiliki daging, darah dan anggota badan seperti kepala, lidah dan leher. Namun dalam semua hal, Allah tidak menyerupai sesuatu.
7.    Jahmiyah
Golongan ini dipimpin oleh Jahm bin Shafwan. Menurutnya, manusia itu dinisbatkan kepada sesuatu yang tampak darinya seperti dikatakan bahwa pohon kurma itu berdiri dan berbuah. Dia menolak bahwa Allah mengetahui sesuatu yang belum ada. Surga dan Neraka itu akan fana. Dia juga menafikan sifat-sifat Allah. Jahm bin Shafwan mati dibunuh oleh Muslim bin Ahwad Al-Marwani.[20]
8.    Dharariyah
Firqah Dharariyah dipimpin oleh Dharar bin Amr. Dia mengatakan bahwa jisim adalah susunan beberapa unsur, bisa jadi unsur-unsur itu berubah menjadi jisim. Kemapuan sebagian orang yang mampu itu ditetapkan sebelum tindakan. Dia mengingkari qira’ah Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Ka’b r.a..
9.    Najariyah
Firqah Najariyah dipimpin oleh Husain bin Muhammad An-Najar. Menurutnya, perbuatan orang yang berbuat itu pada hakikatnya adalah milik Allah dan hamba. Dia menafikan sifat-sifat Allah sebagaimana golongan Mu’tazilah kecuali dalam menafikan sifat Iradah. Menurutnya, Dzat yang Qadim itu berkehendak dengan sendirinya. Menurutnya, Al-Qur’an itu makhluk. Allah menghendaki maknanya adalah bahwa Dia tidak terpaksa dan tidak terkalahkan. Bahwa Allah itu berbicara dalam arti tidak lemah untuk berbicara. Dia Maha Pemurah, tidak bakhil. Pendapatnya mirip dengan madzhab Ibnu Auf dan Abi Yusuf Ar-Razi. Kebanyakan penganutnya tinggal di Qasyam.
10.    Kilabiyah
Firqah Kilabiyah dipimpin oleh Abi Abdillah bin Kilab. Dia mengatakan bahwa sifat-sifat Allah itu tidak qadim dan tidak hadits (baru). Dia mengatakan, “Aku tidak berkata bahwa sifat-sifat-Nya itu Dia atau sifat-sifat-Nya itu bukan Dia. Makna istiwa’ adalah tidak bengkok. Allah selalu tidak berubah, tidak bertempat, dan dia menolak bahwa Al-Qur’an terdiri dari huruf-huruf.[21]
11.    Qadariyah
Golongan qadariyah dinamakan demikian karena mereka menolak keputusan Allah swt dan takdir-Nya berkaitan dengan kemaksiatan manusia. Golongan Mu’tazilah, Jahmiyah, dan Qadariyah sama saja dalam hal menafikan sifat sebagaimana yang telah kami jelaskan. Para penulis kitab mereka adalah Abul Hudzail, Ja’far bin Harb Al-Khayath, Al-Ka’bi, Abu Hasyim, Abu Abdullah Al-Bashri, dan Abdul Jabbar bin Ahmad Al-Hamdani. Kebanyakan mereka tinggal di Askar, Ahwaz, dan Jahzam. Mereka terdiri dari enam firqah, yakni Al-Hudzailiyah, An-Nizhamiyah, Al-Ma’mariyah, Al-Jabiyah, Al-Ka’biyah dan Al-Bahsyamiyah.[22]
12.    As-Salimiyah
Golongan ini dipimpin oleh Ibnu Salim. Di antara pendapatnya, pada hari kiamat Allah swt akan terlihat dalam bentuk manusia seperti umat Muhammad. Pada hari kiamat, Allah swt akan menampakkan diri kepada semua makhluk, jin, manusia, malaikat dan seluruh binatang. Namun, Allah swt telah menolak pendapat mereka dengan firman-Nya, “Tidak ada sesuatu yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. “Mereka berpendapat bahwa Allah swt memiliki rahasia yang jika Dia menampakkannya, maka aturan menjadi rusak. Para Nabi juga mempunyai rahasia, jika mereka menampakkannya, maka akan merusak kenabian. Para ulama juga memiliki rahasia, jika mereka menampakkannya, maka akan merusak ilmu. Sungguh, ini adalah pendapat yang salah, karena Allah swt Maha Bijaksana dan pengaturan-Nya sangat bijaksana, tidak dapat dirusakkan oleh kebatilan dan kejahatan. Jadi, apa saja yang mereka sebutkan itu merusak kebijaksanaan Allah swt dan tentu saja ini merupakan kekufuran.[23]

























DAFTAR PUSTAKA

Ahmad bin Hanbal. Tt. Musnad Ahmad. Penerbit: Darul Fikr.

Majah, Ibnu, Abu Abdullah Muhammad bin Yazin Al-Quzwaini. Tt. Sunan Ibnu Majah. Penerbit: Maktabah Abil Ma’athi.

Sulaiman bin Al-Asy’ats, Abu Dawud As-Sajastani Al-Azadi. Tt. Sunan Abi Dawud. Penerbit: Darul Fikr.

Syaikh Qadir Al-Jailani r.a., Abdul. 2010. Al-Ghunyah, (Penerjemah: Masrohan Ahmad), Yogyakarta: Citra Risalah.


[1] Ibnu Majah, Kitab Fitnah, Bab Perpecahan Umat, No. Hadits: 3981.
[2] Abu Dawud, Sunnah, Penjelasan tentang Sunnah, No. Hadits: 3980.
[3] Ahmad, Sisa Musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadits, Musnad Anas bin Malik r.a., No. Hadits. 8046.
[4] Ibid, No. Hadits: 12022.
[5] Ibnu Majah, op. cit., No. Hadits: 3982.
[6] Ibnu Majah, op. cit., No. Hadits: 3983.
[7] Ahmad, op. cit., No. Hadits: 11763.
[8] Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani r.a., Al-Ghunyah, (Penerjemah: Masrohan Ahmad), (Yogyakarta: Citra Risalah, 2010), hlm. 237.
[9] Ibid, hlm. 239.
[10] Ibid, hlm. 240.
[11] Ibid, hlm. 240.
[12] Ibid, hlm. 244.
[13] Ibid, hlm. 246-248.
[14] Ibid, hlm. 248-249.
[15] Ibid, hlm. 250-252.
[16] Ibid, hlm. 253.
[17] Ibid, hlm. 253-256.
[18] Ibid, hlm. 256.
[19] Ibid, hlm. 258-260.
[20] Ibid, hlm. 260.
[21] Ibid, hlm. 261.
[22] Ibid, hlm. 256.
[23] Ibid, hlm. 262.