Minggu, 06 Oktober 2013

Mahkum Fih dan Mahkum 'Alaih

PEMBAHASAN
Mahkum Fih
A.Pengertian Mahkum Fih (Perbuatan Mukallaf / Objek Hukum)
            Menurut al-Syaukani yang dimaksud dangan Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf. Dengan demikian, Muta’alliq (keterkaitan) ijab disebut wajib, keterkaitan  nadb disebut Mandub. Keterkaitan ibadah disebut mubah, keterkaitan karahah  disebut makruh, dan keterkaitan tahrim disebut haram.[1]
            Para ulama sepakat bahwa seluruh perintah syara’ ada objeknya, yaitu perbuatan Mukallaf. Terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah : 43.
وَ اَقِيْمُوْاالصَّلوةَ وَاتُالزَّكوةَ وَارْكَعُو مَعَ الرّكِعِيْنَ
Artinya : dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

            Ayat itu berkaitan dangan mukallaf, yaitu tuntunan untuk mengerjakan sholat. Begitu juga firman Allah dalam Q.S. al-An’am : 151.
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلَ مَ حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُم أَلاَّ تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئاََ وَّ بِالْوَا لِدَيْنِ اِحْسَانََا ج وَلاَ تَقْتُلُوا اَوْلاَدَكُمْ مِنْ اِمْلاَقِِ قلى نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَ اِيَّاهُمْ ج وَلاَ تَقْرَبُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَ مَا بَطَنَ ج وَلاَ تَقْتُلُواالنَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ قلى ذلِكُمْ وَصّكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Artinya : Katakanlah (Muhammad), “marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apapun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka ; janganlah kammu mendekati perbuatan keji, baik yang terliahat maupun yang tersembunyi, janganlah kamu ,membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alsan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu  mengerti.
            Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang Mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, sehuingga membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
            Mahkum berarti perbuatan orang mukallaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’. Misalnya, dalam ayat 1 surat al-Maidah Alloh berfirman,
يَاَ يُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ قلى اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الاَنْعَامِ اِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمُ قلى اِنَّ اللهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ
yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji, sesungguhnya Alloh menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakinya. (QS. al-Maidah : 1)
Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.[2]
B.Syarat-syarat Makhkum Fih
            Ada beberapa persyaratan bagi sahnya suatu perbuatan hukum:[3]
a.       Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukalaf sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap seperti yang dikehendaki oleh Alloh dan Rosul-Nya. Oleh karena itu seperti dikemukakan Abd al-Wahhab Khallaf, ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari Rosul-Nya. Misalnya ayat al-Qur’an yang mewajibkan sholat secara global tanpa merinci syarat dan hukumnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan secara rinci dari Rosululloh. Demikian pula ayat yang memerintahkan untuk melaksanakan haji, puasa, dan zakat.
b.      Diketahui secara pasti oleh orang mukalaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Alloh dan Rosul-Nya. Itulah sebabnya setiap upacara mencari pemecahan hukum, yang paling pertama dilakukan adalah pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai sumber hukum.
c.       Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkanya. Hal itu disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk ditaati. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam al-Qur’an dan Sunnah sebuah perintah yang mustakhil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya perintah untuk terbang tanpa memakai alat.

Makhkum ‘Alaih
A.Pengertian Makhkum ‘Alaih (Subyek Hukum)
Menurut Abu Zahrai, mahkum ‘alaih adalah mukallaf,karena mukalaf lah yang akan dihukumi perbutan-perbuatannya, apakah diterima atau tidak,dan apakah perbuatan itu termasuk yang diperintahkan atau yang terlarang, atau tidak masuk kedua-duanya. Yang menjadi dasar dibebani mukallaf adalah karena akal dan pemahaman, akal yang mengetahui, sedangkan pemahaman adalah tiangnya taklif (pembebanan). Demikian pendapat Al-Amidi, kata Abu Zahrah.[4]
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan oleh Allah itu. Dalam ushul fiqih, subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebeni hukum, atau  Mahkum ‘alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
Makhkum ‘Alaih berarti orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi), seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklifi, bilamana pada dirinya terdapat beberapa persyaratan:[5]
a.       Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri atau dengan bantuan orang lain minimal sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau hadits Rosululloh saw. Adanya kemampuan memahami hukum taklifi itu disebabkan seseorang mempunyai akal yang sempurna. Bilamana diukur dengan pertumbuhan fisik, batas baligh berakal bagi wanita dengan mulainya menstruasi dan bagi laki-laki mimpi pertama bersenggama. Namun jika sampai umur lima belas tahun wanita tidak juga haid dan laki-laki tidak mimpi, maka umur lima belas tahun itu dijadikan batas umur minimal baligh berakal.
b.      Mempunyai ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif. Dengan adanya kecakapan seperti itu seseorang disebut mukalaf, artinya segala perbuatannya diperhitungkan oleh hukum islam, dan ia diperingatkan untuk melaksanakan segala perintah dan menjauhgi segala larangan. Kecakapan seperti ini baru dimilikiseseorang secara sempurna bilamana ia baligh berakal dan bebas dari segala hal yang menjadi penghalang bagi kecakapan tersebut, seperti dalam keadaan gila, tidur, lupa, terpaksa, dan lain-lain bagi yang secara panjang lebar dijelaskan dalam buku-buku ushul fiqh. Khusus mengenai harta, kewenangan seseorang baru dianggap sah disamping sudah baligh berakal juga setelah ada rusyd, yaitu kemampuan untuk mengendalikan hartanya.Seseorang yang telah mencapai umur baligh berakal, tetapi tidak mampu mengendalikan hartanya, seperti mubadzir, tidak dianggap cakap mengendalikan hartanya, dan oleh karena itu     ia perlu dibimbing oleh penanggung jawabnya.
B.Syarat – syarat Mahkum ‘Alaih
1.      Ia memahami titah Alllah yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah. Paham dan tahu itu sangat berkaitan dangan akal, karena akal itu adalah alat untuk mangetahui dan memahami.seperti dalam sabda Nabi SAW :
Artinya :
“Agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal”.
Seorang manusia akan mencapai kesempurnaan akal bila telah mencapai batas dewasa atau baligh, kecuali orang mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari taklif. Dari uraian di atas  dapat di smpulkan bahwa syarat subjek hukum yang pertama adalah ” baligh dan berakal”.
Artinya :
 “Diangkatkan kalam (tuntutan) dari tiga hal yaitu dari anak-anak sampai ia dewasa, dari orang tidur sampe ia terjaga, dari orang gila sampai ia waras”.
2.      Ahlun li al-taklif (orang yang mampu menerima beban taklif atau beban hukum).
Kecakapan menerima taklif disebut ahliyah. Ahliyah  adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada dua yaitu kepantasan untuk dikenai hukum dan kepantasan untuk menjalankan hukum.[6]
Kecakapan yang dikenai hukum (ahliyah wujub) di bagi menjadi dua :[7]
a.       Ahliyah wujub naqish adalah kecakapan seorang manusia untuk menerima hak tetepi tidak menerima kewajiban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas untuk menerima hak.
b.      Ahliyan wujub kamilah adalah kecakapan seorang untuk dikenai kewajiban  dan jga untuk menerima hak.
Kepantasan untuk menjalankan hukum (Ahliyah al-Ada’) dibagi menjadi tiga tingkat :[8]
a.       Adim al-Ahliyah adalah manusia sejak lahir sampai umur tamyiz (sekitar umur tujuh tahun). Dalam batas umur ini seorang anak belum sempurna akalnya atau belum berakal.
b.      Ahliyah al-Ada’ naqishoh adalah manusia yang telah mencapai umur tamyiz (kira-kira umur tujuh tahun) samapi batas dewasa.Penamaan naqishoh dalam bentuk ini oleh karena akal masih lemah dan belum sempurna sedangkan taklif berlaku pada akal yang sempurna.  Manusia dalam batas umur ini daalam hubungannya dengan hukum sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan sebagian lagi belum dikenai hukum.


Dalam hal ini tindakan manusia dan ucapannya terbagi menjadi tiga tingkatan dan setiap tingkatan mempunyai akibat hukum sendiri :[9]
1.      Tindakan yang semata-mata menguntungkan dirinya sendiri, baik ucapan maupun perbuatan adalah sah tanpa memerlukan peretujuan dari walinya.
2.      Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-hak yang ada padanya, baik ucapan maupun perbuatan yang dilakukan oleh mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berupa hukum atau batal yang memungkin yang tidak disetuju oleh walinya.
3.      Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian seperti jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya yang di satu pihak mengurangi haknya dan pihak lain menambah hak yang ada padanya.tindakan yang dilaikukannya dalam bentuk ini tidak batal secara mutlak dan kesahannya tergantung persetujuan oleh walinya sesudah tindakan itu dilakukan.
c.       Ahliyah al-Ada’ kamilah adalah manusia yang cakap berbuat hukum secara sempuurna atau seorang yang telah mencapai usia dewasa.
Menurut jumhur ulama umur dewasa itu 15 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
Abu hanifah berpendapat bahwa usia dewasa untuk lakik-laki 18 tahun sedangkan untuk perempuan 17 tahun.
Menurut ulama fiqih batas dewasa bagi laki-laki sudah mimpi bersetubuh sedangkan bagi perempuan sudah haid. Apakah sesudah mencapai umur itu, seseorang dapat bertindak hukum pada hartanya?
وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن آنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكبروا ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف فإذا دفعتم إليهم أموالهم فأشهدوا عليهم وكفى بالله حسيبا  
Artinya : “Ujilah anak yatim (anak-anak) sampai ia mencapai umur dewasa, bila kamu
mengetahui ada tanda cerdas padanya berikanlah hartanya kepadanya. (An-Nisa : 6)
Ayat ini menjelaskan harta anak yatim diberiakan kepadanya bsesudah mencapai usia dewasa diketahui ia telah cerdas.
Menurut Imam Syafi’i penyerahan harta diberikan sesudah baligh setelah mncapai tingkat Rusyd (cerdas). Harta tidak akan diberikan kepadanya apabila ia belum rusyd (cerdas) meskipun ia sudah berusia lanjut. Beliau beralasan bahwa rusyd itu tidak terkait pda usia tetapi menyangkut pada kemampuan bertindak atas harta.
Menurut Abu Hanifah penyerarahan harta diserahkan setelah mencapai umur 25 tahun, meskipun belum cerdas. Beliau berargumentasi bahwa rusyd pada ayat itu disebutkan dalam bentuk nakirah. Bila syarat itu telah ada secara nyata dalam satu bentuk maka wajiblah berlaku pa yang di persyaratkan. Awal dari keadaan daewasa itu kadang kala di ikuti oleh sifat bodah dengan melihat pada bekas tingkah laku keanak-anakan. Bila msa itu telah berlalu dan tampak aada pengalaman serta telah terlatih dan tidak ad lagi pengaruh keanak-anakn, maka terjadilah sifat rusyd itu.[10]
C.Pengertian  Taklif
Hukum taklif secara bahasa taklif berarti beban. Maksudnya, adalah beban-beban yang diturunkan Allah kepada hambanya yang disebut dengan mukallaf (yang di bebani). Diantara tujuan taklif ini adalah untuk mengukur sejauh mana ketaatan hamba Allah kepada aturan-aturanNya sebagai khaliqnya. Syarat taklif orang itu mampu memahami khittab syar’i (tuntutan syara’).
Taklif  (beban hukum) terhadap orang kafir, sebagaimana telah di jelaskan bahwa syarat mahkum alaih adalah baligh dan berakal, selanjutnya yang di permasalahkan, apakah islam merupakan syarat telah dikenai tuntutan hukum dengan kata lain non muslim dengan kekafirannya itu di tuntut untuk melakuakan beban hukum atau tidak ?
Pendapat pertama, menurut Imam Syafi’i , ulama Irak yang bermadzab hanafi dan mayoritas ulama mu’tazilah bahwa tidak ada hubungan antara syarat taklif dengan tercapainya syarat sya’I. mereka berbendapat bahwa oreang-oarang kafir dikenai beban hukum untuk melaksanakan juzu’ syaria’at seperti ibadah shalat, puasa dan haji.[11]
Dalil-dalil yang menguatkan argument meraka antara lain : Ayat –ayat Al-Qur’an  yang memerintahkan untuk melakukan ibadah secara umum juga menjangkau orang-orang kafir, seperti dalam : 1.Surat Al-Baqarah : 21
يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون
Artinya : “Hai manusia sembahlah tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
2.Surat Al-Imran : 93
كل الطعام كان حـلا لبني إسرائيل إلا ما حرم إسرائيل على نفسه من قبل أن تنزل التوراة قل فأتوا بالتوراة فاتلوها إن كنتم صادقين
Artinya : “kewajiban manusia atas Allah, haji ke baitullah”.


[1] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Ushul Fiqih, ( Pekalongan : Stain Pekalongan Press).
[2] agustianto.niriah.com
[3] Ibid…
[4] Ibid…
[5] Ibid…
[6] Ibid…
[7] Ibid…
[8] Ibid…
[9] Ibid…
[10] Ibid…
[11] Ibid…

Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam d Mesir

PEMBAHASAN
Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam di Mesir

A.Sejarah Awal Pendidikan Islam di Mesir
Jasa terpenting yang disumbangkan Mesir bagi kemajuan umat Islam adalah hasil kegiatan bidang pengetahuan. Sejak  masa pemerintahan dinasti Fatimiyah, Mesir khususnya kairo telah menjadi pusat intelektual Muslim dan kegiatan ilmiah lainya. Kegiatan pendidikan biasanya banyak dilakukan di Masjid-masjid maupun tempat-tempat keramaian (Syadid, 2001 : 37). Tumbuhnya Mesir sebagai pusat ilmu keislaman didukung oleh para penguasanya yang sepanjang sejarah menaruh minat besar pada bidang pengetahuan.
            Kecenderungan para khalifah Fatimiyah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terlihat dari zaman Al-Muiz. Usaha yang mereka lakukan adalah menyebarkan para da’I untuk melakukan dakwah yang disampaikan dengan tujuan untuk menyampaikan doktrin agama dan menghimbau rakyat untuk berpendidikan tinggi. Adapun metode yang dilakukan adalah da’i duduk di halaman masjid sedangkan murid melingkarinya. (Djojosuwarsono, t.t.: 387).
            Pada masa Khalifah Al-Aziz semangat intelektual dan pengembangan kualitas pemikiran, orang Mesir mampu mengungguli negara lainnya. Al-Aziz mencoba merubah fungsi masjid Al-Azhar yang dibangun oleh Jauhar menjadi sebuah Universitas pertama di Mesir, yang merupakan waqaf dari Al-Aziz sendiri.[1]

B. Sejarah Modernisasi Pendidikan Islam di Mesir
            Sejarah modernisasi pendidikan di Mesir sangat lekat dengan gerakan pembaharuan Islam. Namun secara historis kesadaran pembaharuan Islam berawal dari datangnya Napoleon Bonaparte di Alexandria pada tanggal 2 Juli 1798 M. Ekspedisi Napoleon ini membawa angin segar bagi sejarah perkembangan bangsa Mesir, terutama menyangkut pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Perancis banyak memberi inspirasi bagi tokoh pendidikan Mesir untuk melakukan perubahan yang mendasar pada system dan kurikulum pendidikan.[2]

Sistem pendidikan modern mulai memasuki Mesir, di zaman pemerintahan Mukhammad Ali Pasya (1765-1849). Sungguhpun ia seorang yang buta huruf, namun ia mengerti akan pentingnya arti pendidikan dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan suatu Negara. Untuk membantunya dalam mengembangkan pendidikan dan ilmu pengetahuan ini, ia mendirikan kementrian pendidikan. Dan untuk memperkuat kedudukannya sebagai penguasa di Mesir, pertama-tama ia mendirikan Sekolah Militer tahun 1815 M, kemudian tahun 1916 M ia mendirikan Sekolah Teknik dan Sekolah Kedokteran (1927). Guru-gurunya dan tenaga ahli didatangkan dari Eropa. Di samping itu Mukhammad Ali juga mengirimkan siswa-siswa untuk belajar ke Eropa, guna mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan dan teknologi. Setelah kembali  ke tanah air, mereka diberi tugas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, dan mendirikan/mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan kemudian. Sekolah-sekolah yang pertama kali didirikan oleh Mukhammad Ali adalah sekolah pertambangan, sekolah pertanian, dan sekolah penerjemahan.[3]
Sekolah pertama yang dibangun adalah sekolah tinggi dan sekolah spesialisasi. Untuk mengisi sekolah ini maka dibutuhkan sekolah menengah dan madaris tajhiziyah (Yunus, 1989 : 18). Pada tahun 1883 di Kota Kairo, Alexandria dan berbagai tempat lain. Setidaknya terdapat beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan upaya modernisasi yang dilakukan oleh Ali Pasya, yaitu antara lain :
1.      Diberlakukannya system sentralistik sebagai akibat dari pengaruh pendudukan Perancis. Disamping itu ia adalah seorang otokrat yang memusatkan kekuasaan di tangannya sendiri, termasuk pendidikan.
2.      Sehingga kwalitas lulusan ia buat untuk mampu memenuhi kebutuhan pemerintahannya.
3.      Karena tujuan utama pendidikan bersifat pragmatis, maka modernisasi terfokus pada lembaga tingkat tinggi yang khusus melatih profesionalitas pegawai.[4]
Sementara itu, system pendidikan tradisional tetap dipertahankan dengan adanya pembinaan dari Al-Azhar, dan pada umumnya ulama-ulama Al-Azhar ini pun menentang masuknya sekolah-sekolah modern itu, kecuali beberapa orang seperti Mukhammad Abduh yang dikenal sebagai ulama’ yang telah mempelopori usaha pembaharuan/ modernisasi dalam universitas Al-Azhar.
C.Sistem Pendidikan Mesir di Era Modern
            Pada saat ini system pendidikan di Mesir dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu :
a)      Pendidikan Dasar (Al-Taklimil Islamiy)
b)      Pendidikan Menengah (Al-Taklimil Al-tsanawiy)
c)      Pasca Pendidikan Sekunder (Al-Taklimil Jaamiiy)
Sejak perluasan bebas wajib belajar hukum pada tahun 1981 maka diadakan peraturan baru yang isinya kurang lebih yaitu bebas biaya wajib belajar bagi sekolah persiapan atau sekolah dasar. Sedangkan untuk perguruan tinggi atau pasca Pendidikan Sekunder negeri, hanya membayar biaya pendafataran saja.
Jenis-jenis Sekolah :
1.      Sekolah negeri
Sekolah negeri berada di bawah pemerintah. Masyarakat Mesir dapat mengenyam pendidikan tinggi tanpa biaya dan hanya membayar uang pendaftarannya  saja. Sedangkan mahasiswa internasional harus membayar penuh biaya pendidikan yang mencapai hingga $ 1500 per tahun. Contoh : Universitas Al-Azhar didirikan pada tahun 975 M dan Universitas Kairo didirikan pada tahun 1908. Secara umum, terdapat dua jenis sekolah-sekolah negeri :  Arab dan sekolah Eksperimental Language Schools :[5]
a.Sekolah Arab, pemerintah menyediakan kurikulum nasional dalam bahasa Arab.
b.Experimental Language Schools, pendidikan yang diajarkan sebagian besar dalam bahasa asing, contohnya kurikulum dalam bahasa inggris, Perancis dan menambahkan kedua bahasa asing.
            Hampir semua Sekolah negeri di Mesir memiliki asrama untuk para mahasiswanya. Terutama untuk mahasiswa internasional. Sedangkan mahasiswa lokal atau dalam negeri kebanyakan tinggal di rumah orang tuanya. Sedangkan untuk pendafataran ke Sekolah negeri yaitu melalui sentralisasi kantor (Office of Adminission Mesir Universitas/ Maktab tansiyqil jaami’ati al-Misriyah). Siswa dengan skor yang lebih tinggi memiliki peluang yang lebih baik mendapatkan tempat sendiri di sekolahan pilihan mereka.


2.      Sekolah Swasta
Secara umum, mereka adalah tiga jenis sekolah swasta;
            a.Sekolah biasa, kurikulum mereka sangat mirip dengan yang di sekolah-sekolah negeri, tetapi sekolah swasta siswa harus membayar sendiri fasilitas sekolah.
            b.Sekolah bahasa, mengajar kurikulum dalam bahasa Inggris, Perancis, dan menambahkan dengan bahasa Jerman sebagai bahasa asing. Mereka diharapkan akan lebih baik dibandingkan dengan sekolah lainnya, karena fasilitas yang tersedia, tetapi mereka biaya yang lebih tinggi.
            c.Sekolah agama, agama yang berorentasi pada sekolah yang disponsori oleh Muslim Brotherhood gerakan, khususnya di wilayah barat delta.
     Kebanyakan dari sekolah swasta yang ada di Mesir dibangun oleh minoritas yang berhubungan dengan gereja. Selain itu banyak sekolah swasta menawarkan program pendidikan tambahan, sesuai dengan kurikulum nasional, seperti American School Diploma, Britist IGCSE system, Baccalaure’eat Perancis, Jerman Abitur dan Internasional Baccalaureate.[6]
     Dalam perkembangan system pendidikan di Mesir sampai dengan masa kemerdekaan, tahun 1956, terdapat 5 sistem persekolahan, yaitu :
1.Al-Azhar dengan sekolah-sekolah yang/ madrasah yang bernaung di bawahnya yang juga disebut “kuttab”.
     2.Sistem sekolah/ pengajaran bahasa asing.
     3.Sistem sekolah bahasa Arab.
     4.Sekolah-sekolah pemerintah.
     5.Sekolah asing dengan kurikulumnya sendiri.
     Tugas pemerintah adalah untuk menciptakan suatu system pendidikan nasional, untuk menyatukan berbagai system pendidikan/ persekolahan tersebut. Maka sejak tahun 1953 sampai tahun 1960, telah dikeluarkan berbagai perundangan pendidikan, yang bertujuan untuk mengintegrasikan dan mengkonsulidasikan berbagai jenis dan system sekolah yang pada mulanya otonom menjadi satu system pendidikan nasional. Menurut perundang-undangan yang ada itu, maka system persekolahan bermula dari pra-sekolah atau taman kanak-kanak, sekolah dasar 6 tahun, sekolah persiapan 3 tahun, sekolah menengah 3 tahun dan universitas 4 tahun.
            Anak-anak masuk sekolah rendah/ dasar pada umur 6 tahun sampai dengan 12 tahun, dan pendidikan dasar 6 tahun ini merupakan kewajiban belajar dan bebas bayar. Semua sekolah swasta yang memungut bayaran, setelah diintegrasikan ini menjadi bebas bayar bagi tingkatan sekolah dasarnya. Untuk mengakhiri sekolah dasar ini, tidak diadakan ujian, kecuali masuk ke sekolah lanjutan (bagi mereka yang akan melanjutkan).


[1] Dr. Hj. Binti Maunah, M.Pd.I, Perbandingan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm, 87.
[2] Dr. Hj. Binti Maunah, Op, Cit, hlm, 88.
[3] Dr. Hj. Binti Maunah, Op, Cit, hlm, 94-95.
[4] Dr. Hj. Binti Maunah, Op, Cit, hlm, 89.
[5] Dr. Hj. Binti Maunah, Op, Cit, hlm, 90.
[6] Dr. Hj. Binti Maunah, Op, Cit, hlm, 92.

Pengaruh Filsafat Islam thdp Ilmu Pengetahuan

PEMBAHASAN
Pengaruh Filsafat Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan
A.       Pemikiran Filsafat Islam Pada Abad Pertengahan
Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a) periode Mu’tazilah yaitu periode yang mendahulukan pemakaian akal pikiran, kemudian diselaraskan dengan Al-Qur’an dan Al Hadist. Menurut mereka, Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak mungkin bertentangan dengan akal pikiran; (b).Periode Filsafat Pertama. Upaya pendahuluannya adalah dilakukan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani, kemudian diterjemahkan; (c). Periode Kalam Asy’ari adalah periode memperkokoh akidah Islam; (d). Periode Filsafat kedua merupakan prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke Eropa. Inilah sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa kebebasan berpikir. Dalam perkembangannya, filsafat Islam juga ahli dalan bidang keilmuan dan filsafat, seperti Ibnu Rusyd mempunyai pengaruh besar dalam dunia pemikiran filsafat di Barat yang terkenal sebagai Averroisme. Sarjana Islam juga menyumbangkan kemajuan ilmu dengan pengembangan Al-Jabar oleh Al-Khowarizmi, Geometri oleh Al-Battani serta penggunaan angka desimal yang digunakan sampai sekarang.[1]

B.       Pembagian Ilmu
            Kita dapat membagi ilmu dengan beberapa kriteria. Di dalam kesempatan ini kita akan menjelaskan tiga pembagian penting ilmu :
1.IlmuKhushuli dan Khudhuri, pembagian pertama ilmu dibuat berdasarkan kriteria ‘memiliki perantara’ atau ‘tanpa perantara’. Penjelasannya, ilmu atau pengetahuan terkadang berhubungan langsung  dengan objek tanpa perantara, realitas wujud itu sendiri yang kita ketahui dan hadir pada jiwa kita. Terkadang realitas wujud eksternal tidak diketahui secara langsung tapi melalui perantara yang menggambarkan realiatas eksternal yang secara istilah disebut dengan ‘bentuk’ atau ‘konsepsi wujud mentl’ (dhihn). Yang pertama disebut dengan ilmu khudhuri dan yang kedua disebut dengan ilmu khushuli.Pembagian ini menggunakan kriteria rasional yang menafikan adanya bagian ketiga yang bias kita asumsikan. Oleh karena itu, pembagian ilmu itu tidak mungkin keluar dari dua, khudhuri ataukah khushuli.Salah satu misdaq (denotasi) ilmu khudhuri adalah pengetahuan manusia tentang wujud dirinya sendiri.
2.Ilmu konsepsi (tashowwur) dan afirmasi (tashdiq), pembagian ilmu menjadi konsepsi dan afirmasi (penegasan) untuk pertama kali dikemukakan oleh filosof islam Abu Nasr Al-Farabi (260-339 H). Tashowwur adalah konsepsi sederhana tentang realitas sesuatu.Misalnya, konsep atau bentuk matahari yang ada dalam benak kita adalah tashowwur.Namun, ketika kita memberikan afirmasi soal matahari, seperti ketika kita mengatakan “matahari itu bersinar dan terang”, maka ilmu ini menjadi tashdiq.Oleh karena itu, Tashowwur adalah ilmu sederhana yang belum mengandung afirmasi di dalamnya, sedangkan tashdiq adalah ilmu yang didalamnya sudah terkandung afirmasi dan penilaian.
3.Konsepsi Partikular, hal ini secara langsung berhubungan dengan tashowwur dan secara tidak langsung berhubungan dengan tashdiq. Konsepsi ini adalah konsepsi yang hanya memiliki satu misdaq (realitas eksternal) di luar, seperti pengetahuan kita tentang kota Tehran, negeri Iran, gunung Damavand, masjid Guharshad Masyhad (gunung Bawakaraeng, kota Makasar, negeri Indonesia) dan lain-lain. Semua konsep ini bersifat partikular.
            Konsep universal adalah sebuah konsepsi yang memiliki banyak mishdaq di luar seperti konsepsi manusia, api, kota, gunung, masjid, dan lain-lain. Pada umumnya kita lebih banyak menggunakan konsep-konsep pertikular dalam aktivitas persoalan ilmiah, kita menggunakan kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip universal, disanalah kita menggunakan konsep-konsep universal, misalnya tentang definisi segitiga, bujur sangkar, manusia dan lain-lain.Oleh karena itu konsepsi universal adalah tanda perkembangan dan kesempurnaan manusia, dan konsepsi inilah yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.[2]
C.      Hubungan Filsafat Islam dan Ilmu Pengetahuan
            Suatu bidang ilmu memang memiliki serangkaian proposisi dan persoalan masing-masing. Walaupun masing-masing ilmu memiliki subjek, tujuan dan metode sendiri-sendiri yang kemudian memisahkan antara satu ilmu dengan lainnya, namun pada saat yang sama tetap ada hubungan di antara bidang-bidang ilmu tersebut. Bahkan antar satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya bias saling membantu dalam menyelesaikan persoalan dengan batasan tertentu. Sebagai contoh : ilmu eksperimentasi dengan filsafat islam sedikit banyaknya satu sama lain saling berhubungan, realnya argument yang digunakan untuk membuktikan sebagian persoalan filsafat  islam dapat menggunakan postulat yang telah dibuktikan oleh eksperimentasi. Dapat kita ketahui bahwa filsafatislam tidak butuh pada ilmu pengetahuan lain, termasuk dalam prinsip-prinsip asertifnya, melainkan filsafat islam memberikan sumbangsih pada pengetahuan lainnya dan kebutuhan dasarnya diselesaikan oleh filsafat.[3]
D.      Sumbangsih filsafat Islam pada Ilmu Pengetahuan
            Sumbangsih filsafatislam terhadap ilmu pengetahuan adalah dalam menjelaskan prinsip-prinsip asertifnya, yaitu dalam membuktikan subjek-subjeknya yang tidak badhihi dan membuktikan kaidah-kaidah universal apriorinya.
a)      Membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan memiliki subjek pembahasan sendiri. Jika subjenya tidak badhihi maka subjek tersebut perlu dibuktikan. Di dalam membuktikan setiap subjek ilmu pengetahuan wilayahnya bukan dalam persoalan bidang ilmu pengetahuan itu sendiri dan karenanya membutuhkan metode lain. Misalnya dalam membuktikan wujud hakiki subjek ilmu alam butuh metode akal. Hal-hal seperti ini hanya metafisik yang dapat membantu bidang ilmu pengetahuan lainnya, yang dapat membuktikan subjek-subjek ilmu pengetahuan dengan argumentasi akal.
b)      Membuktikan kaidah-kaidah universal apriori, prinsip universal yang paling penting yang dibutuhkan seluruh bidang ilmu pengetahuan adalah prinsip kausalitas dan hukum-hukum turunannya. Pusat perhatian seluruh usaha ilmiah adalah bagaimana menemukan hubungan kausal di antara fenomena-fenomena yang ada.Seorang ilmuan yang sibuk di laboratorium untuk menemukan virus pada sebuah penyakit atau menemukan obatnya, pada hakikanya melacak sebab-sebab penyakit dan sebab-sebab penyembuhannya.
      Oleh karena itu, sebelum memulai usaha-usaha ilmiah atau penelitian, para ilmuwanmenyakini bahwa setiap fenomena pasti ada sebabnya.Bahkan, Newton menemukan hukum gravitasi ketika melihat apel jatuh dari pohon.Penemuan hukum gravitasi karena berkah kenyakinan tersebut. Jika Newton berkenyakinan bahwa fenomena-fenomena yang muncul adalah kebetulan dan tanpa sebab, tenunya dia tidak akan mendapatkan hukum gravitasi tersebut. Di sis lain, pembuktian hukum kausalitas sebagai hukum akal yang universal yang tidak akan pernah terselesaikan kecuali dalam filsafat.
      Demikian halnya hukum-hukum partikular kausalitas seperti ‘keidentikan’ dan keniscayaan antara sebab dan akibat merupakan kaidah-kaidah universal ilmu pengetahuan yang bersifat general dan berlaku pada seluruh ilmu pengetahuan.Segala yang diungkapkan di atas dijelaskan dalam filsafat pada seluruh ilmu pengetahuan.[4]

E.       Sumbangsih Ilmu Pengetahuan terhadap filsafat Islam
            Sumbangsih yang paling penting ilmu pengetahuan terhadap filsafat tejadi dalam dua bentuk :
a)      Membuktikan postulat yang menjadi bagian dari argumentasi filosofis. Sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa terkadang untuk membuktikan sebagian persoalan filsafat kita dapat menggunakan hasil-hsail temuan ilmu eksperimental. Seperti yang dibuktikan dalam sains bahwa walaupin dalam kondisi materi telah memadai namun persepsi kita belum tentu terjadi. Hal ini bisa menyimpulkan bahwa persepsi bukan cuma proses material.
      Saat ini sains membuktikan kepada kita bahwa sel-sel tubuh manusia dan hewan secara perlahan mati dan kemudian digantikan dengan sel lainnya.Pada jangka beberapa tahun, seluruh sel manusia sudah berubah terkecuali sel-sel otak.Kemudian sel-sel tulang otak juga secara perlahan-lahan berubah.Semua ini membuktikan keberadaan ruh.Oleh karena ketunggalan identitas diri dan kekekalan jiwa merupakan prinsip yang jelas, bersifat intuitif dan tidak dapat diingkari, lantaran tubuh senantiasa berubah-ubah.Dari hal ini jelaslah bahwa ruh berbeda dengan tubuh, dimana ruh adalah realitas yang tetap dan tidak berubah.
      Dari sini juga kita dapat membagi wujud pada dua pembagianbesar yaitu wujud materi dan wujud non-materi, dan bisa juga kita menarik kesimpulan bahwa materi bukanlah cirri sejati wujud.
      Tentunya hubungan antara ilmu-ilmu alam dan filsafat tidak menafikan apa yang telah kami jelaskan bahwa filsafat tidak butuh pada pengetahuan lainnya. Oleh karena metode dalam membuktikan persoalan filsafat – seperti yang telah kami ungkapkan di atas – hanya terbatas pada metode sepeti di atas, sementara semua persoalan lain bisa dibuktikan dengan akal murni tanpa memakai postulat yang telah dibuktikan oleh eksperimentasi, dengan hanya bersandar pada prinsip badhihi primer dan intuitif. Membangun argumentasi dengan memakai pendahuluan ekperimentasi hanya cocok dan sesuai bagi mereka yang belum terbiasa dengan pendekatan akal murni.
b)      Menyediakan sarana-sarana baru untuk analisis-analisis filsafat. Setiap ilmu dimulai dengan beberapa prinsip dasar dan universal, kemudian diperluas bersamaan dengan munculnya fenomena-fenomena baru yang menjelaskan kasus-kasus tertentu partikular. Fenomena-fenomena ini terkadang muncul dengan bantuan ilmu pengetahuan lain. Filsafat pun tidak terkecuali dalam hal ini. Persoalan dasar filsafat sebenarnya terbatas, namun meluas berkat munculnya fenomena-fenomena baru dalam sains. Fenomena-fenomena ini terkadang merupakan hasil eksplorasian mental dan bersentuhan dengan pemikiran lain, terkadang merujuk pada petunjuk wahyu atau visi mistik (mukasyafah irfani) dan terkadang juga dengan tema-tema tertentu yang telah dibuktikan dalam ilmu pengetahuan lain. Melalui fenomena-fenomena tersebut diatas timbul kebutuhan untuk meninjaunya melalui prinsip filsafat dan analisis akal.
      Misalnya, ketika teori perubahan materi ke energi dan pembentukan atom-atom materi dari energy terungkap, muncul persoalan baru bagi para filosof: apakah mungkin sesuatu mengaktual di alam materi yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat materi, seperti massa? Apakah mungkin sesuatu yang memiliki massa berubah menjadi sesuatu yang tidak memiliki massa? Jika jawabannya negative, maka kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa energi pasti memiliki massa, sebab jika tidak maka tidak bisa dibuktikan dan diobservasi dengan eksperimentasi indrawi.[5]
F.       Tingkatan Ilmu Pengetahuan
            Walaupun ilmu-ilmu saling berhubungan, namun pada saat yang sama tiap ilmu memiliki batasan tertentu. Berdasarkan batasan itu kita dapat membagi tingkatan ilmu.Dahulu para pemikir dan ilmuwan membagi tingkatan ilmu untuk memudahkan mereka dalam tujuan pendagogis. Dengan cara ini akan terlihat dengan jelas manakah ilmu yang apriori dan mana yang posterior serta metode apa yang dipakai untuk masing-masingnya? Salah satu pembagian ilmu pengetahuan adalah teoritis dan praktis.Ilmu teoritis meliputi ilmu alam, matematika dan teologi, sedangkan ilmu praktis meliputi akhlaq, politik dan kekeluargaan.[6]
G.      Tolak Ukur Tingkatan Ilmu Pengetahuan
            Tingkatan ilmu pengetahuan dapat dibagi dengan tolak ukur yang berbeda-beda. Di antara tolak ukurnya adalah :
a)      Berdasarkan metode penelitian. Sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnybahwa kita dapat membagi tiga tahapan ilmu pengetahuan berdasarkan metode penelitian :
1.      Ilmu akal seperti matematika, logika, teologi dan filsafat dimana pengetahuan ini hanya dapat dianalisa dg argumentasi akal.
2.      Ilmu eksperimental seperti fisika, kimia, biologi yang hanya dapat dibuktikan dengan metode eksperimentasi.
3.      Ilmu penukilan seperti sejarah, ilmu rijal, ilmu fiqih, yang hanya bisa dibuktikan berdasarkan dokumentasi, bukti-bukti penukilan dan sejarah.
b)      Berdasarkan maksud dan tujuan, seperti tujuan-tujuan material dan spiritual, tujuan-tujuan individual dan social. Bagi mereka yang ingin menempuh kesempurnaan spiritual, dia butuh kepada persoalan di luar harta yang diperoleh dengan bertani atau berdagang. Begitu juga dengan seorang pemimpin sosial membutuhkan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kebanyakan awam.
c)      Berdasarkan subjek ilmu pengetahuan. Persoalan yang berada di sekitar suatu subjek bahasan dapat dinaungi oleh suatu tema universal yang menjadi bidang ilmu pengetahuan. Dalam naungan tema itu ditentukan batasan-batasan dalam ilmu npoengetahuan tersebut. Dengan batasan-batasan itu hubungan internal persoalan, system dan urutan dalam satu bidang ilmu dapat terjaga. Oleh karena itu, pembagian ini menjadi perhatian khusus para ilmuwan dan filosof besar.[7]

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
            Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a) periode Mu’tazilah (b).Periode Filsafat Pertama (c). Periode Kalam Asy’ari adalah periode memperkokoh akidah Islam (d). Periode Filsafat kedua.
Kita dapat membagi ilmu dengan beberapa criteria :
1.IlmuKhushuli dan Khudhuri, pembagian pertama ilmu dibuat berdasarkan kriteria ‘memiliki perantara’ atau ‘tanpa perantara’.
2.Ilmu konsepsi (tashowwur) dan afirmasi (tashdiq), pembagian ilmu menjadi konsepsi dan afirmasi (penegasan) untuk pertama kali dikemukakan oleh filosof islam Abu Nasr Al-Farabi (260-339 H).        
3.Konsepsi Partikular, hal ini secara langsung berhubungan dengan tashowwur dan secara tidak langsung berhubungan dengan tashdiq.
            Sumbangsih filsafat islam terhadap ilmu pengetahuan adalah dalam menjelaskan prinsip-prinsip asertifnya, yaitu dalam membuktikan subjek-subjeknya yang tidak badhihi dan membuktikan kaidah-kaidah universal apriorinya.

B.   Saran
       Suatu bidang ilmu memang memiliki serangkaian proposisi dan persoalan masing-masing. Walaupun masing-masing ilmu memiliki subjek, tujuan dan metode sendiri-sendiri yang kemudian memisahkan antara satu ilmu dengan lainnya, namun pada saat yang sama tetap ada hubungan di antara bidang-bidang ilmu tersebut. Bahkan antar satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya bias saling membantu dalam menyelesaikan persoalan dengan batasan tertentu.




DAFTAR PUSTAKA
Gharawiyan, Mohsen, 2012. Pengantar Memahami Buku Daras Filsafat Islam, Jakarta : Sadra Press.
Amuzesy-e falsafe, 2012.Metode Penelitian Ilmu atau Filsafat Ilmu.Jakarta : Sadra Press.
Adib, Mohammad,2011. Filsafatilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.



[1]Drs. H. Mohammad Adib, MA, Filsafat Ilmu, (Pustaka Pelajar : 2011), hlm. 30-31
[2]Prof. Mohsen Gharawiyan, Pengantar Memahamu Buku Daras Filsafat Islam, (Jakarta : 2012), hlm. Ibid :hal 56-60
[3]Ibid : hlm. 45
[4]Ibid : hlm. 45-47
[5]Ibid : hlm. 47-50
[6]Ibid : hlm. 50
[7]Amuzesy-e Falsafe, Metode Penelitian Ilmu atau Filsafat Ilmu, (Jakarta : 2012),hlm. 5,9